Filsafat India mengacu pada tradisi filsafat kuno di Subbenua India. Aliran-aliran filsafat utama diklasifikasikan dalam ortodoks atau heterodoks – āstika atau nāstika – tergantung pada satu dari tiga kriteria pilihan: aliran itu percaya pada Weda sebagai sumber pengetahuan yang valid atau tidak; aliran itu percaya pada premis Brahman dan Atman atau tidak; dan aliran itu percaya pada kehidupan setelah kematian dan Dewa-Dewa atau tidak.[1][2][3]
Aliran-aliran utama filsafat India diformalkan terutama antara tahun 1000 SM hingga awal abad-abad Era Umum. Persaingan dan integrasi di antara berbagai aliran meningkat dalam tahun-tahun pembentukan mereka, khususnya antara tahun 800 SM dan 200 M. Beberapa aliran bertahan, seperti Jainisme, Buddhisme, Yoga, Śaiwa, dan Wedanta, tapi lainnya tidak, seperti Ajñana, Carwaka, dan Ājīvika.
Filsafat India menyebarkan banyak konsep, seperti dharma, karma, samsara, reinkarnasi, dukkha, penolakan, meditasi, dan hampir semuanya berfokus pada tujuan akhir pembebasan individu melalui beragam praktik spiritual (moksa, nirwana).[11] Mereka berbeda dalam asumsi-asumsi mengenai sifat keberadaan serta kekhususan jalan menuju pembebasan akhir, sehingga menghasilkan banyak aliran yang tidak saling sejalan. Doktrin-doktrin kuno mereka menjangkau berbagai filsafat yang ditemukan dalam budaya kuno lain.[12]
Banyak tradisi intelektual Hindu diklasifikasikan dalam skolastik Brahman-Sanskrit abad pertengahan menjadi suatu daftar standar yang terdiri atas enam aliran (darshana) ortodoks (Astika), "Enam Filsafat" (ṣaḍ-darśana), yang seluruhnya menerima kebenaran Weda.[13][14][15]
Samkhya, aliran rasionalisme dengan tema dualisme dan ateistis,[16][17]
Yoga, serupa dengan Samkhya, tapi secara personal menerima tema-tema teistis yang jelas,[18]
Nyaya, aliran realisme yang menekankan analitik dan logika,[19][20]
Waisesika, aliran naturalisme dengan tema-tema atomistis dan berelasi dengan aliran Nyaya,[21][22]
Purwa Mimamsa (atau hanya Mimamsa), aliran ritualisme dengan eksegesis Weda dan penekanan filologi,[23][24] dan
Wedanta (juga disebut Uttara Mimamsa), tradisi Upanisad, dengan banyak subaliran mulai dari dualisme hingga nondualisme.[25][26]
Keenam aliran di atas sering dipasangkan menjadi tiga kelompok berdasarkan alasan historis dan konseptual, yaitu Nyaya-Waisesika, Samkhya-Yoga, dan Mimamsa-Wedanta. Aliran Wedanta kemudian dibagi menjadi enam subaliran: Adwaita (monisme/nondualisme), juga mencakup konsep Ajatiwada, Wisistadwaita (monisme dari seluruh yang memenuhi syarat), Dwaita (dualisme), Dwaitadwaita (dualisme-nondualisme), Suddhadwaita, dan Achintya Bheda Abheda.
Selain itu, aliran Mādhawa Widyāraṇya juga mencakup yang mengikuti filsafat-filsafat teistis di atas berdasarkan Agama dan Tantra:[4]
Pasupata, aliran Shaiwisme oleh Nakulisa
Saiwa, aliran Samkhya teistis
Pratyabhijña, aliran yang dikenal
Raseśwara, aliran tak diduga
Pāṇini Darśana, aliran tata bahasa (yang menjelaskan teori Sphoṭa)
Sistem yang disebutkan di sini bukan satu-satunya sistem ortodoks, tapi merupakan yang utama, dan ada aliran-aliran ortodoks lain. Sistem ini menerima pengaruh Weda dan dianggap sebagai aliran filsafat Hindu ortodoks (astika). Selain mereka, aliran-aliran yang tidak menerima pengaruh Weda masuk dalam sistem heterodoks (nastika), seperti Buddhisme, Jainisme, Ajiwika, dan Charwaka.[27][28][29] Terminologi ortodoks-heterodoks ini adalah suatu susunan dari bahasa Barat, dan tidak memiliki dasar keilmuan dalam bahasa Sanskerta. Menurut Andrew Nicholson, ada beragam terjemahan heresiologis dari Āstika dan Nāstika dalam literatur abad ke-20 mengenai filsafat India, tapi cukup banyak yang sederhana dan lemah.[3]
Beberapa gerakan Sramana telah ada sebelum abad ke-6 SM dan gerakan ini berpengaruh terhadap tradisi āstika dan nāstika dalam filsafat India.[30] Gerakan Sramana memunculkan beragam keyakinan heterodoks, mulai dari menerima atau menolak konsep jiwa, atomisme, etika antinomian, materialisme, ateisme, agnostisisme, fatalisme, hingga kehendak bebas, idealisasi asketisme ekstrem pada kehidupan keluarga, ahimsa yang ketat (tanpa kekerasan), dan vegetarianisme terhadap kemungkinan kekerasan dan makan daging.[31] Filsafat-filsafat terkenal yang muncul dari gerakan Sramana adalah Jainisme, Buddhisme awal, Charwaka, Ajñana, dan Ājīvika.[32]
Filsafat Ajñana
Ajñana adalah salah satu aliran nāstika atau "heterodoks" dari filsafat India kuno dan aliran kuno dari skeptisime India radikal. Ajñana termasuk gerakan Śramaṇa dan pesaing utama Buddhisme awal dan Jainisme. Mereka tercatat dalam naskah-naskah Buddha dan Jain. Mereka berpendapat bahwa tidak mungkin memperoleh pengetahuan tentang hal-hal metafisika atau memastikan nilai kebenaran dari proposis filosofis; bahkan jika itu mungkin, tidak berguna dan tidak menguntungkan untuk pembebasan akhir. Pengikut aliran ini adalah sofis dengan spesialisasi dalam pembuktian kesalahan tanpa menyebarkan doktris positif mereka sendiri.
Filsafat Jain adalah filsafat India tertua yang sepenuhnya memisahkan tubuh (materi) dari jiwa (kesadaran).[33] Jainisme dihidupkan dan dibentuk kembali setelah Mahawira, Tirthankara ke-24 dan terakhir, menyintesis dan menyebarkan kembali filsafat dan tradisi Śramaṇa kuno yang dasar-dasarnya berasal dari Tirthankara pertama, yaitu Rishabhanatha berjuta-juta tahun lalu.[34] Menurut Dundas, di luar tradisi Jain, para sejarawan memperkirakan Mahawira itu sezaman dengan Buddha pada abad ke-5 SM dan menurut Parshwanatha historis, selisih sekitar 250 tahun, yaitu pada abad ke-8 atau 7 SM.[35]
Jainisme adalah suatu agama Śramaṇa dan menolak pengaruh Weda. Namun, seperti semua agama India, agama ini menyebarkan konsep-konsep inti, seperti karma, kehidupan beretika, kelahiran kembali, samsara, dan moksha. Jainisme menekankan kuat pada asketisisme, ahimsa (tanpa kekerasan), dan anekantawada (relativititas sudut pandang) sebagai sarana pembebasan spiritual, pemikiran-pemikiran yang memengaruhi tradisi-tradisi India lainnya.[36]
Filsafat Buddhisme adalah suatu sistem pemikiran yang dimulai dengan ajaran Siddhartha Gautama, sang Buddha, atau "yang dibangunkan". Buddhisme didirikan atas unsur-unsur gerakan Śramaṇa, yang berkembang pada paruh pertama milenium 1 SM, tetapi pondasinya mengandung pemikiran-pemikiran baru yang tidak ditemukan atau diterima oleh gerakan Sramana lain. Paul Williams menyatakan bahwa Buddhisme dan Hinduisme secara mutualisme saling memengaruhi dan berbagi banyak konsep, tapi kini sulit untuk mengidentifikasikan dan menggambarkan pengaruh-pengaruh itu.[37] Buddhisme menolak konsep Weda tentang Brahman (realitas tertinggi) dan Atman (jiwa, diri) yang menjadi dasar filsafat Hindu.[38][39][40]
Buddhisme berbagi banyak pandangan filosofis dengan sistem India lainnya, seperti kepercayaan pada karma – suatu hubungan sebab-akibat, samsara – pemikiran-pemikiran mengenai siklis kehidupan setelah kematian dan kelahiran kembali, dharma – pemikiran mengenai etika, kewajiban, dan nilai, ketidakkekalan semua materi dan tubuh, dan kemungkinan pembebasan spiritual (nirwana atau moksa).[41][42] Perbedaan besar dari filsafat Hindu dan Jain adalah penolakan pengikut Buddha terhadap jiwa yang abadi (atman) dan mendukung anatta (tanpa diri).[43]
Filsafat Ājīvika dibangun oleh Makkhali Gosala, merupakan suatu gerakan Sramana dan pesaing utama Buddhisme awal dan Jainisme.[45] Ājīvika diorganisasi oleh orang-orang yang terasing yang membentuk komunitas kebiaraan berbeda yang cenderung pada gaya hidup pertapa dan sederhana.[46]
Kitab suci aliran filsafat Ājīvika mungkin pernah ada, tapi saat ini tidak tersedia dan mungkin hilang. Teori-teori mereka ditarik dari penyebutan-penyebutan tentang Ajivika dalam sumber-sumber sekunder literatur India kuno, terutama dari Jainisme dan Buddhisme yang secara polemik mengkritik Ajivika.[47] Aliran Ājīvika terkenal dengan doktrin Niyati-nya mengenai determinisme absolut (takdir), premisnya adalah tidak ada kehendak bebas, semua yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi sepenuhnya ditakdirkan dan suatu fungsi dari prinsip-prinsip kosmis.[47][48] Ājīvika menganggap doktrin karma sebagai suatu kekeliruan.[49] Ājīvika termasuk ateis[50] dan menolak pengaruh Weda, tapi mereka percaya bahwa dalam setiap makhluk hidup ada ātman – suatu premis pusat aliran Hinduisme dan Jainisme.[51][52]
Carwaka atau Lokāyata adalah suatu filsafat tentang skeptisisme dan materialisme, dibangun pada periode Maurya. Carwaka sangat kritis terhadap aliran filsafat lain pada masa itu. Carwaka menganggap Weda telah dinodai oleh tiga kesalahan, yaitu ketidakbenaran, kontradiksi diri, dan tautologi.[53] Demikian pula mereka menyalahkan Buddhisme dan Jain, dengan mengejek konsep pembebasan, reinkarnasi, dan akumulasi kebaikan atau keburukan melalui karma.[54] Mereka percaya bahwa sudut pandang melepaskan kesenangan untuk menghindari rasa sakit adalah "alasan orang-orang bodoh".[53]
^Burley, Mike (2012). Classical Samkhya and Yoga - An Indian Metaphysics of Experience (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 43-46. ISBN978-0415648875.
^Bryant, Edwin. "The Yoga Sutras of Patanjali". Internet Encyclopedia of Philosophy (dalam bahasa Inggris). Rutgers University. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-05-18. Diakses tanggal 03-03-2020.Periksa nilai tanggal di: |access-date= (bantuan)
^Chadha, Monima (22-06-2015). "2.2 Nyāya realism". Perceptual Experience and Concepts in Classical Indian Philosophy. Stanford Encyclopedia of Philosophy (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-03-26. Diakses tanggal 03-03-2020.Periksa nilai tanggal di: |access-date=, |date= (bantuan)
^"Nyaya: Indian Philosophy". Encyclopædia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 03-03-2020.Periksa nilai tanggal di: |access-date= (bantuan)
^Riepe, Dale (1996). Naturalistic Tradition in Indian Thought (dalam bahasa Inggris). hlm. 227-246. ISBN978-8120812932.
^Ganeri, Jonardon (29-05-2019). "2.2 Vaiśeṣika Atomism". Analytical philosophy in early modern India. Stanford Encyclopedia of Philosophy (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-03-18. Diakses tanggal 03-03-2020.Periksa nilai tanggal di: |access-date=, |date= (bantuan)
^Leaman, Oliver (2006). "Shruti". Encyclopaedia of Asian Philosophy. Routledge. hlm. 503. ISBN978-0415862530.
^"Mimamsa". Encyclopædia Britannica (dalam bahasa Inggris). 2014. Diakses tanggal 03-03-2020.Periksa nilai tanggal di: |access-date= (bantuan)
^Prasad, R. (2009). A Historical-developmental Study of Classical Indian Philosophy of Morals (dalam bahasa Inggris). Concept Publishing. hlm. 345-347. ISBN978-8180695957.
^Perrett, Roy (2000). Indian Philosophy (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 88. ISBN978-0815336112.
^Thursby, Gene (2004). The Hindu World (dalam bahasa Inggris). Routledge. hlm. 729-730. ISBN978-0415772273.Parameter |first1= tanpa |last1= di Authors list (bantuan)Pemeliharaan CS1: Tanpa pipa (link)
^Neville, Robert (2004). Hackett, Jeremiah, ed. Philosophy of Religion for a New Century: Essays in Honor of Eugene Thomas Long. Jerald Wallulis. Springer. hlm. 257. ISBN978-1-4020-2073-5., Quote: "[Buddhism's ontological hypotheses] that nothing in reality has its own-being and that all phenomena reduce to the relativities of pratitya samutpada. The Buddhist ontological hypothesese deny that there is any ontologically ultimate object such a God, Brahman, the Dao, or any transcendent creative source or principle."
^"Anatta: Buddhism". Encyclopædia Britannica (dalam bahasa Inggris). 2013. Diakses tanggal 03-03-2020.Periksa nilai tanggal di: |access-date= (bantuan)
^[a] Humphreys, Christmas (2012). Exploring Buddhism. Routledge. hlm. 42–43. ISBN978-1-136-22877-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-01-11. Diakses tanggal 2020-03-02. [b] Gombrich, Richard F. (2009). What the Buddha Thought. Oxford Centre for Buddhist Studies monographs. hlm. 47., Quote: "(...) Buddha's teaching that beings have no soul, no abiding essence. This 'no-soul doctrine' (anatta-vada) he expounded in his second sermon."
^[a]"Anatta: Buddhism". Encyclopædia Britannica (dalam bahasa Inggris). 2013. Diakses tanggal 03-03-2020.Periksa nilai tanggal di: |access-date= (bantuan), Quote: "Anatta in Buddhism, the doctrine that there is in humans no permanent, underlying soul. The concept of anatta, or anatman, is a departure from the Hindu belief in atman ("the self")."; [b] Collins, Steven (1994). Reynolds, Frank; Tracy, David, ed. Religion and Practical Reason. State Univ of New York Press. hlm. 64. ISBN978-0791422175., Quote: "Central to Buddhist soteriology is the doctrine of not-self (Pali: anattā, Sanskrit: anātman, the opposed doctrine of ātman is central to Brahmanical thought). Put very briefly, this is the [Buddhist] doctrine that human beings have no soul, no self, no unchanging essence."; [c] John C. Plott et al (2000), Global History of Philosophy: The Axial Age, Volume 1, Motilal Banarsidass, ISBN978-8120801585, page 63, Quote: "The Buddhist schools reject any Ātman concept. As we have already observed, this is the basic and ineradicable distinction between Hinduism and Buddhism"; [d] Javanaud, Katie (2013). "Is The Buddhist 'No-Self' Doctrine Compatible With Pursuing Nirvana?". Philosophy Now. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-02-06. Diakses tanggal 2020-03-02. [e] Loy, David (1982). "Enlightenment in Buddhism and Advaita Vedanta: Are Nirvana and Moksha the Same?". International Philosophical Quarterly. 23 (1): 65–74.
^Lochtefeld, James. Ajivika. The Illustrated Encyclopedia of Hinduism. 1: A–M. Rosen Publishing. hlm. 22. ISBN978-0823931798.
^"Ajivikas". Overview of World Religions Project (dalam bahasa Inggris). University of Cumbria. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-07-17. Diakses tanggal 03-03-2020.Periksa nilai tanggal di: |access-date= (bantuan)
^Bhattacharya, Ramkrishna (21-08-2011). "Materialism in India: A Synoptic View". cārvāka 4 india (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-03-04. Diakses tanggal 03-03-2020.Periksa nilai tanggal di: |access-date=, |date= (bantuan)
Nicholson, Andrew J. (2014), Unifying Hinduism: Philosophy and Identity in Indian Intellectual History (dalam bahasa Inggris), Columbia University Press, ISBN978-0231149877, OCLC881368213