Transendentalisme adalah sebuah paham filsafat yang berpengaruh pada abad 18.[1] Paham filsafat tersebut menekankan bahwa pengetahuan tidak terbatas pada, dan tidak berasal semata-mata dari pengalaman atau pengamatan, melainkan melampauinya.[1] Dengan demikian, paham tersebut menjadi berseberangan dengan Empirisme.[1] Transendtalisme juga meyakini bahwa pemecahan masalah-masalah yang dihadapi manusia dapat didukung dengan perkembangan emosi individu.[1] Transendetalisme lebih banyak bekerja pada aspek kerohanian manusia.[1] Dengan penalaran yang mendalam, transendentalisme meyakini bahwa segala sesuatu yang tampak oleh mata merupakan perwujudan atau representasi dari dunia rohani atau transenden.[1] Untuk memahami paham transendetalisme, manusia mutlak harus menggunakan daya nalarnya untuk menemukan apa yang mutlak benar, yang ada di balik dunia nyata.[1] Kemampuan penalaran meliputi kemampuan bebas dan intuitif.[1] Unsur filsafat ini terdapat salah satunya dalam filsafat Neoplatonisme (Yunani Kuno), tetapi sumber gagasan utamanya terdapat dalam karya Immanuel Kant, seorang filsuf berkebangsaan Jerman dalam bukunya Critique of pure reason.[1] Ajaran tersebut sering disebut sebagai idealisme transendetal yang populer pada abad 18 dan 19.[1]
Etimologis
Transendentalisme menekankan nilai transenden (Inggris: transcendent; Latin: transcendere)[2] Dalam filsafat agama, transendentalisme mempelajari sifat Tuhan yang dapat ditangkap melalui realitas semesta.[3] kata "transenden" terdiri dari dua kata "trans" yang berarti seberang, melampaui, atas, dan kata "scandere" yang berarti memanjat.[2] Istilah ini bersama-sama dengan bentuk-bentuk lain seperti "transendental", "transendensi".[2] Beberapa pengertian dari transenden adalah: lebih unggul, agung, melampaui, superlatif, melampaui pengalaman manusia, berhubungan dengan apa yang selamanya melampaui pemahaman terhadap pangalaman biasa dan penjelasan ilmiah.[3]