Kerusuhan Stonewall adalah serangkaian demonstrasi spontan dengan kekerasan oleh anggota komunitas gay memprotes penggerebekan polisi yang terjadi pada dini hari 28 Juni 1969 di Stonewall Inn, kawasan Greenwich Village, New York City. Demonstrasi ini secara luas dianggap sebagai suatu peristiwa paling penting yang memicu gerakan pembebasan gay dan perjuangan modern untuk hak-hak gay dan lesbian di Amerika Serikat.[1][2]
Gay dan lesbian di Amerika Serikat pada tahun 1950-an dan 1960-an menghadapi sistem hukum yang lebih antihomoseksual dibandingkan sistem hukum yang dimiliki negara-negara Pakta Warsawa.[catatan 1][3] Kelompok-kelompok homofilia di Amerika Serikat awalnya berusaha untuk membuktikan bahwa orang gay dapat berasimilasi ke dalam masyarakat, dan mereka memilih pendidikan nonkonfrontasi baik untuk homoseksual maupun heteroseksual. Situasi memanas di Amerika Serikat pada tahun-tahun terakhir dekade 1960-an karena aktifnya banyak gerakan sosial, termasuk Gerakan Hak-Hak Sipil Afrika-Amerika, Kontrabudaya tahun 1960-an, dan demonstrasi antiperang. Pengaruh situasi, ditambah lingkungan bersifat liberal di Greenwich Village mempercepat terjadinya kerusuhan Stonewall.
Sangat sedikit tempat umum yang secara terbuka mau menerima orang gay pada tahun 1950-an dan 1960-an, biasanya bar-bar, meskipun pemilik bar dan manajer bar jarang yang gay. Stonewall Inn adalah bar yang waktu itu dimiliki oleh Mafia.[4][5] Meski melayani berbagai macam pelanggan, bar ini dikenal sangat populer di kalangan orang termiskin dan orang paling terpinggir di antara komunitas gay: drag queen, perwakilan komunitas transgender yang baru sadar diri, pemuda keperempuan-perempuanan, pelacur pria, dan pemuda tunawisma. Penggerebekan polisi terhadap bar gay adalah kejadian rutin pada tahun 1960-an. Namun para petugas dengan cepat kehilangan kendali ketika berhadapan dengan situasi di Stonewall Inn, dan mengundang kerumunan orang yang terhasut untuk melakukan kerusuhan. Ketegangan antara polisi New York City dan penduduk gay menyebabkan terjadinya lebih banyak protes pada malam keesokan harinya, dan beberapa malam berikutnya. Hanya dalam beberapa minggu, penduduk Greenwich Village secara cepat terorganisasi menjadi grup-grup aktivis yang menyatukan upaya untuk mendirikan tempat-tempat untuk gay dan lesbian sehingga mereka dapat mengungkapkan orientasi seksual secara terang-terangan tanpa takut ditangkap.
Setelah kerusuhan Stonewall, gay dan lesbian di New York City menghadapi hambatan generasi, kelas, dan ras untuk menjadi komunitas yang kohesif. Dalam waktu enam bulan, dua organisasi aktivis gay dibentuk di New York, berkonsentrasi pada taktik-taktik konfrontatif, dan tiga surat kabar didirikan untuk mempromosikan hak-hak gay dan lesbian. Dalam beberapa tahun berikutnya, organisasi hak-hak gay didirikan di seluruh Amerika Serikat dan dunia. Pada 28 Juni 1970, pawai Gay Pride pertama dilangsungkan di Los Angeles, Chicago, dan New York untuk memperingati Kerusuhan Stonewall. Pawai-pawai serupa juga diselenggarakan di kota-kota lain. Acara-acara Gay Pride kini diadakan setiap tahun menjelang akhir Juni untuk menandai kerusuhan Stonewall.[6]
Latar belakang
Homoseksualitas di Amerika Serikat abad ke-20
Menurut sejarawan Barry Adam, setelah pergolakan sosial Perang Dunia II, banyak orang di Amerika Serikat merasakan keinginan kuat untuk "memulihkan ketertiban sosial sebelum perang dan menahan kekuatan perubahan".[7] Didorong oleh program nasional antikomunisme, Senator Joseph McCarthy melakukan dengar pendapat mencari komunis di dalam pemerintahan Amerika Serikat, Angkatan Darat Amerika Serikat, serta lembaga serta dinas lainnya yang didanai pemerintah, hingga menyebabkan paranoia nasional. Anarkis, komunis, dan kalangan lain yang tidak berjiwa Amerika dan subversif dianggap sebagai risiko keamanan. Pada tahun 1950, homoseksual dimasukkan ke dalam daftar ini oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat berdasarkan teori bahwa mereka rentan terhadap pemerasan. Wakil menteri luar negeriJames E. Webb menulis dalam sebuah laporan, "Mereka yang terlibat secara terus terang dalam tindakan menyimpang umumnya dipercaya memiliki stabilitas emosional yang kurang dibandingkan orang normal."[8] Antara tahun 1947 dan 1950, 1.700 lamaran pekerjaan federal ditolak, 4.380 orang diberhentikan dari militer, dan 420 orang dipecat dari pekerjaan pemerintah karena dicurigai sebagai homoseksual.[9]
Sepanjang tahun 1950-an dan 1960-an, Biro Investigasi Federal (FBI) dan departemen polisi menyusun daftar orang-orang yang diketahui sebagai homoseksual, tempat-tempat yang disukai, dan kawan-kawan mereka. Dinas Pos Amerika Serikat menyimpan alamat-alamat tempat tujuan benda-benda yang berkaitan dengan homoseksual dikirimkan.[10] Pemerintah setempat dan pemerintah negara bagian juga ikut-ikutan: bar-bar yang melayani homoseksual ditutup, dan pelanggan mereka ditangkap dan nama mereka dibeberkan di surat kabar. Kota-kota melakukan "sapu bersih" untuk membersihkan lingkungan, taman, bar, dan pantai dari para gay. Mereka dilarang memakai pakaian lawan jenis, dan universitas mengusir dosen yang diduga homoseksual.[11] Ribuan pria dan wanita gay dipermalukan di depan publik, dilecehkan secara fisik, dipecat, dipenjara, atau dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Banyak di antara gay menjalani kehidupan ganda, menjaga rahasia kehidupan pribadi mereka dari kehidupan profesional mereka.
Pada 1952, American Psychiatric Association memasukkan homoseksualitas dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM) sebagai gangguan kepribadian sosiopat. Sebuah penelitian homoseksual dalam skala besar yang dilakukan pada tahun 1962 dipakai untuk pembenaran untuk memasukkannya sebagai gangguan akibat ketakutan patologis terselubung terhadap lawan jenis yang disebabkan oleh hubungan traumatis orang tua-anak. Pandangan ini berpengaruh secara luas di kalangan profesi medis.[12] Namun pada tahun 1956, psikolog Evelyn Hooker melakukan sebuah penelitian yang membandingkan kebahagiaan dan kemampuan menyesuaikan diri antara pria yang mengaku homoseksual dan pria heteroseksual. Ia tidak menemukan adanya perbedaan.[13] Penelitian Evelyn Hooker mencengangkan kalangan kedokteran dan membuatnya sebagai pahlawan di kalangan pria gay dan lesbian,[14] tetapi homoseksual tetap masuk dalam DSM hingga tahun 1973.
Kerusuhan
Pada pukul 1.20 dini hari, Sabtu 28 Juni 1969, empat orang polisi berpakaian preman setelan gelap, dua petugas patroli berseragam, bersama Detektif Charles Smythe dan Wakil Inspektur Seymour Pine tiba di pintu masuk ganda Stonewall Inn dan berteriak "Polisi! Kami mengambil alih tempat ini!"[16][catatan 2] Dua polisi pria dan dua polisi wanita yang semuanya dalam penyamaran sudah masuk lebih dulu pada malam itu untuk mengumpulkan bukti visual, sementara Skuat Moral Publik menunggu kode di luar. Setelah masuk ke dalam, mereka dengan memakai telepon umum di bar, memanggil bantuan dari Sektor Kepolisian Keenam. Musik dimatikan dan lampu utama dinyalakan. Kira-kira 200 orang berada di bar malam itu. Pelanggan yang belum pernah berpengalaman digerebek polisi menjadi bingung. Beberapa orang yang menyadari apa yang sedang terjadi, berlarian ke arah pintu dan jendela di kamar mandi, tetapi polisi menghadang di pintu-pintu. Michael Fader mengingat, "Semua terjadi begitu cepat, sebelum sadar Anda sepertinya sudah ditangkap. Tiba-tiba ada polisi di sana dan kami semua diberitahu untuk berbaris dan menyiapkan kartu pengenal sebelum digiring keluar dari bar."[16]
Penggerebekan tidak berjalan sesuai rencana. Menurut prosedur standar, pelanggan diminta berbaris, tanda pengenal mereka diperiksa. Polisi wanita mengajak pelanggan yang berpakaian sebagai wanita ke kamar kecil untuk memastikan jenis kelamin mereka, lalu semua pria yang berpakaian sebagai wanita akan ditangkap. Mereka yang berpakaian sebagai wanita pada malam itu menolak diperiksa oleh polisi.
Menurut David Carter, (pengarang Stonewall, The Riots That Sparked The Gay Revolution), "Ketika Jerry Hoose, pendiri Gay Liberation Front tiba di Stonewall Inn malam itu, [malam pertama kerusuhan Stonewall], ia ditemui oleh rekannya yang bernama John Goodman. John Goodman lalu berkata kepadanya, "segera setelah Jackine Hormona mulai melawan polisi, Marsha Johnson dan Zasou Nova ikut bergabung. Setelah kerusuhan, Morty Manford dan Marty Robinson, dua tokoh penting dalam Aliansi Aktivis Gay, keduanya memberi tahu Robin Souza, kalau Marsha P. Johnson memulai kerusuhan. Menurut cerita yang nantinya disampaikan Robin Souza kepadaku [David Carter], bahwa Marsha Johnson berkata, "Aku punya hak-hak sipil", dan lalu melempar sebuah gelas seloki ke sebuah kaca, dan itulah awal mula kerusuhan. Peristiwa ini bagi Aliansi Aktivis Gay dikenal sebagai "sebuah gelas seloki terdengar ke seluruh dunia". Dalam kasus ini, mitos mencerminkan fakta, dan aku berpikir kalau kita menimbang-nimbang semua bukti bersama-sama, kita harus menyimpulkan bahwa dia, [Marsha P. Johnson] adalah orang yang paling mungkin, di antara orang-orang pertama yang secara fisik melawan polisi."
Pelanggan pria di barisan mulai menolak mengeluarkan kartu identifikasi mereka. Polisi memutuskan untuk membawa semuanya yang ada di bar ke kantor polisi, setelah memisahkan pelanggan cross-dresser di sebuah ruangan belakang bar. Maria Ritter yang dikenal sebagai Steve oleh keluarganya, mengenang, "Ketakutan terbesar untukku adalah kalau aku ditangkap. Ketakutan terbesar nomor dua kalau foto aku masuk surat kabar atau liputan televisi dengan mengenakan gaun ibuku!"[17] Baik pelanggan maupun polisi ingat bahwa rasa ketidaknyamanan menyebar dengan sangat cepat, disebabkan oleh polisi yang mulai menyerbu beberapa lesbian, "menggerayangi sebagian dari mereka secara tidak pantas" sambil melakukan penggeledahan.[18]
Mulai kapan kau pernah lihat seorang homoseks melawan?... Sekarang, keadaan sudah berubah. Selasa malam adalah malam terakhir untuk .... sial. Sebagian besar dari tema [malam itu] adalah, "kesialan ini harus berakhir!"
Para polisi mau mengangkut minuman beralkohol yang disita dari bar dengan menggunakan mobil van patroli. Dua puluh empat krat bir dan 19 botol minuman keras disita, tetapi van patroli belum tiba, sehingga pelanggan yang tertangkap harus menunggu sambil berbaris selama kira-kira 15 menit.[17] Pelanggan yang tidak ditangkap, dibebaskan dari pintu depan. Namun mereka tidak langung pergi seperti biasa, melainkan mereka berdiri-diri di luar. Kerumunan orang yang menonton mulai bertambah. Dalam hitungan menit, antara 100 hingga 150 orang telah berkumpul di luar, beberapa di antara mereka adalah yang dilepas dari Stonewall. Sejumlah orang datang setelah melihat kedatangan mobil polisi dan adanya kerumunan. Meski beberapa pelanggan sudah didorong secara paksa atau ditendang keluar dari bar, beberapa pelanggan yang telah dibebaskan oleh polisi beraksi di hadapan kerumunan dengan cara berpose dan memberi salut kepada polisi secara berlebihan. Aplaus dari kerumunan membuat mereka makin berani, "Pergelangan tangan menjadi lemas, rambut jadi rapi, dan reaksi terhadap tepuk tangan adalah klasik."[20]
Ketika van patroli pertama tiba, menurut ingatan Inspektur Pine, kerumunan orang itu, sebagian besar dari mereka homoseksual, telah bertambah setidaknya sepuluh kali lipat daripada jumlah orang yang ditangkap sebelumnya, dan mereka semua menjadi sangat tenang.[21] Kebingungan pada komunikasi radio menunda kedatangan van patroli kedua. Polisi mulai mengawal anggota Mafia ke van pertama, sambil disoraki penonton. Selanjutnya, karyawan biasa dinaikkan ke dalam van yang sama. Seorang penonton berteriak, "Gay power!", seseorang mulai menyanyikan "We Shall Overcome", dan kerumunan bereaksi dengan senangnya serta humor bagus yang umum bercampur dengan "permusuhan intensif dan makin berkembang".[22] Seorang petugas mendorong seorang banci yang membalas dengan memukulnya di kepala dengan dompet sambil kerumunan mulai menyorakinya. Penulis Edmund White yang kebetulan lewat, mengenang, "Setiap orang gelisah, marah, dan bersemangat tinggi. Tidak ada seorang pun orang yang memiliki slogan, bahkan tidak ada seorang pun yang memiliki sikap, tetapi sesuatu sedang bergolak."[23] Mulanya kerumunan melempari van polisi dengan uang logam satu sen, lalu botol bir, sementara desas-desus menyebar di antara kerumunan bahwa pelanggan yang masih ada di dalam bar sedang dipukuli.
Sebuah pergumulan terjadi ketika seorang wanita yang diborgol sedang dikawal dari pintu bar ke van polisi yang sedang menunggu. Wanita itu mencoba melarikan diri berulang kali, dan berkelahi melawan empat orang polisi, menyumpah-nyumpah dan berteriak, selama kira-kira sepuluh menit. Penampilannya seperti "wanita lesbian khas New York" yang pakaian serta penampilannya tidak feminin, dan "wanita besar kelaki-lakian, sangat lesbi", dia sudah dipukuli di bagian kepala oleh seorang petugas dengan sebatang baton karena, seperti diakui seorang saksi mata, mengeluh borgolnya terlalu kencang.[24] Penonton mengingat perempuan itu yang identitasnya hingga kini tidak diketahui,[catatan 3] memicu kerumunan untuk melawan ketika dia memandang ke arah kerumunan dan berteriak, "Mengapa kau laki-laki enggak melakukan apa-apa?" Setelah seorang petugas mengangkat dan melemparkannya ke bagian belakang van,[25] kerumunan berubah gerombolan perusuh dan jadi "mengamuk", "Tiba saatnya situasi berubah menjadi mudah meledak".[26]
Batas terakhir kesabaran
Polisi berusaha mengendalikan sebagian dari kerumunan, dan merobohkan beberapa orang di antaranya. Namun tindakan itu justru makin memanaskan suasana. Beberapa orang yang diborgol melarikan diri dari dalam van setelah polisi meninggalkan mereka tanpa penjagaan (disengaja, menurut beberapa saksi).[catatan 4][27] Ketika van polisi itu berusaha dijungkirkan oleh massa, dua mobil polisi dan van polisi itu, dengan beberapa ban sudah teriris, pergi dengan segera. Namun Inspektur Pine memerintahkan mereka untuk kembali secepat mungkin. Keributan itu menarik lebih banyak orang yang sudah tahu apa yang telah terjadi. Seseorang di dalam kerumunan menyatakan bahwa bar itu digerebek karena "mereka tidak membayar polisi", dan langsung dijawab oleh orang lainnya dengan teriakan "Ayo kita bayar mereka!"[28] Uang-uang logam beterbangan di udara ke arah polisi diiringi teriakan oleh massa, "Babi!" dan "Polisi homo!" Kaleng-kaleng bir dilemparkan dan polisi menyerang dengan tiba-tiba, membubarkan sebagian dari kerumunan yang lalu memunguti tumpukan batu bata dari situs konstruksi berdekatan. Polisi yang sudah kalah banyak melawan massa yang berjumlah 500 hingga 600 orang, meringkus beberapa orang, termasuk penyanyi folk Dave Van Ronk yang tertarik menonton keributan dari sebuah bar, dua bangunan bersebelahan dari Stonewall. Meski Van Rok bukan gay, ia telah berpengalaman menghadapi kekerasan polisi ketika ikut dalam unjuk rasa antiperang. "Sepengetahuanku, siapa saja yang berpihak melawan polisi, semuanya berada di pihakku, dan itulah alasannya aku bertahan.... Setiap kali kau menoleh, polisi sedang menciptakan kemarahan"[28] Sepuluh perwira polisi, termasuk dua polisi wanita, membarikade diri mereka sendiri, Van Ronk, Howard Smith (penulis untuk The Village Voice), dan beberapa tahanan diborgol diamankan di dalam Stonewall Inn demi keselamatan mereka.
Berbagai kesaksian tentang kerusuhan ini menegaskan tentang tidak adanya organisasi yang diatur sebelumnya atau penyebab nyata terjadinya unjuk rasa; peristiwa yang terjadi kemudian bersifat spontan.[catatan 5] Michael Fader menjelaskan,
Kami semua memiliki perasaan kolektif kalau kami tampaknya sudah cukup mendapat kesialan ini. Perasaan ini bukan sesuatu yang nyata yang dapat dikatakan seseorang kepada orang lainnya, melainkan semua yang bertahun-tahun terpendam akhirnya pecah pada suatu malam tertentu di satu tempat tertentu, dan itu bukan sebuah unjuk rasa terorganisir.... Setiap orang di dalam kerumunan merasa bahwa kami tidak akan pernah kembali. Saat itu merupakan batas terakhir kesabaran kami. Saatnya bagi kami untuk mengambil kembali sesuatu yang telah diambil dari kami... Meski orangnya berbeda-beda, dan semuanya memiliki alasan berbeda, tetapi hal ini sebagian besar mengenai kemarahan luar biasa, kedongkolan, semuanya jadi satu, dan semuanya seperti berkembang dengan sendirinya. Polisi lah yang melakukan sebagai besar kerusakan. Kami benar-benar mencoba untuk membalas dan melepaskan diri. Juga kami merasa bahwa kami akhirnya akan bebas, atau bebas paling tidak untuk menunjukkan bahwa kami menuntut kebebasan. Kami tidak akan berjalan dengan malu-malu pada malam hari dan membiarkan mereka menganiaya kami—peristiwa tersebut membuat kami mempertahankan pendirian untuk pertama kalinya dan dengan cara yang sangat keras, serta itulah yang membuat polisi terkejut. Di luar ada angin baru, kebebasan yang lama tertunda, dan kami akan berjuang untuk itu. Kebebasan itu bentuknya berbeda, tetapi pada intinya kami tidak akan enyah dari sini. Dan kami memang tidak.[29]
Satu-satunya foto yang diambil pada malam pertama kerusuhan memperlihatkan bahwa pemuda tunawisma yang tidur di dekat Taman Christopher Park, berkelahi dengan polisi.[30] Buletin bulanan Mattachine Society yang terbit sebulan kemudian berusaha menjelaskan alasan kerusuhan terjadi: [Bar] itu sebagian besar melayani sekelompok orang yang tidak disambut, atau tidak mampu mendapatkan, tempat kumpul-kumpul homoseksual.... Stonewall menjadi pangkalan untuk anak-anak seperti itu. Ketika digerebek, mereka melawannya. Alasan itulah, dan fakta bahwa mereka tidak takut kehilangan apa-apa, dan paling hanya tempat paling toleran dan berpikiran terbuka untuk gay di kota, menjelaskan semuanya."[31]
Tong sampah, sampah, botol, batu, dan batu bata dilemparkan ke bangunan, memecahkan jendela-jendela. Saksi menyatakan bahwa pria gay keperempuan-perempuanan (flame queen), penjahat kecil, dan "anak gay jalanan" yang merupakan orang paling buangan di tengah masyarakat gay, bertanggung jawab atas pelemparan proyektil pertama, begitu pula pencabutan meteran parkir yang dipakai untuk mendobrak pintu-pintu Stonewall Inn.[32]Sylvia Rivera yang sepenuhnya berpakaian wanita malam itu, dan berada di dalam Stonewall semasa penggerebekan mengingat, "Anda telah memperlakukan kami seperti kotoran selama bertahun-tahun? Ah-ah, Sekarang giliran kami!.... Malam itu adalah momen-momen terbesar dalam hidupku."[33] Massa membakari sampah-sampah dan menyumpalkannya ke jendela-jendela yang pecah sementara polisi meraih selang air pemadam kebakaran. Tidak adanya tekanan air menyebabkan selang air tidak efektif untuk membubarkan kerumunan, dan tampaknya malah memberanikan mereka.[catatan 6] Ketika para pengunjuk rasa berhasil menembus jendela yang telah ditutupi dengan kayu lapis oleh pemilik bar untuk mencegah penggerebekan oleh polisi, para polisi di dalam mengeluarkan pistol dari sarung pistol mereka. Pintu-pintu terbuka dan petugas polisi mengacungkan senjata-senjata mereka ke arah kerumunan massa yang marah, mengancam untuk mulai menembak. Penulis The Village Voice Howard Smith yang sedang berada di dalam bar bersama polisi, mengambil sebuah kunci pas dari bar dan memasukkannya ke dalam celananya, meski tidak yakin nantinya akan dipakai melawan massa atau polisi. Ia menyaksikan seseorang mengucurkan minyak penyala arang di dalam bar, lalu dinyalakan dan polisi dijadikan sasaran, sirene terdengar dan truk pemadam kebakaran tiba. Penggerebekan itu berlangsung 45 menit.[34]
Memburuknya situasi
Pasukan Polisi Taktis (Tactical Police Force) New York City, disingkat TPF, tiba untuk membebaskan polisi yang terjebak di dalam Stonewall. Mata salah seorang petugas terluka, dan beberapa lainnya luka-luka memar akibat terhantam pecahan benda yang beterbangan. Bob Kohler yang mengajak jalan anjingnya malam itu, melihat kedatangan TPF. "Saya telah melihat cukup banyak kerusuhan hingga tahu kalau kegembiraan sudah berakhir.... Polisi benar-benar dipermalukan, Ini tidak pernah terjadi. Mereka lebih marah dari biasanya, saya kira, karena semua orang lainnya telah membuat kerusuhan ... tetapi para peri seharusnya tidak rusuh ... sebelumnya tidak ada kelompok yang pernah berhasil memaksa polisi untuk mundur, jadi kemarahan mereka luar biasa. Saya kira, mereka ingin membunuh."[35] Berkekuatan dalam jumlah besar,
Setelah datang bantuan dalam jumlah lebih besar, polisi menahan siapa saja yang mereka bisa tahan, dan memasukkan mereka ke van patroli untuk dibawa ke penjara. Inspektur Pine mengingat, "Perkelahian pecah mellawan para waria yang tidak mau masuk ke van patroli". Ingatan Pine dikuatkan oleh saksi lain di seberang jalan yang berkata, "Yang dapat kulihat pada perkelahian itu hanyalah para waria, dan mereka berkelahi mati-matian".[36]
TPF membentuk formasi falangs dan mencoba membersihkan jalan-jalan dengan berbaris perlahan sambil mendorong mundur massa. Secara terbuka massa mengejek polisi. Massa bersorak, secara spontan melakukan gerakan tari kaki menendang ke atas dalam barisan (kick line), dan menyanyikan lagu tema The Howdy Doody Show yang liriknya diganti menjadi: "Kami perempuan Stonewall / Kami memakai wig keriting / Kami tidak memakai pakaian dalam / Kami mempertontonkan rambut pubis".[37]Lucian Truscott melaporkan dalam The Village Voice: "Situasi stagnan di sana disebabkan oleh beberapa orang gay melakukan perbuatan bodoh, membentuk barisan koor berhadapan dengan barisan polisi berhelm dan bersenjatakan tongkat malam. Ketika barisan gay mulai melakukan gerakan kick line, TPF maju kembali dan membersihkan kerumunan yang meneriakkan gay power mulai dari Christopher hingga Seventh Avenue."[38] Salah seorang peserta yang sebelumnya berada di Stonewall sewaktu razia berkata, "Polisi menyerbu kami, dan saat itulah aku sadar kalau [menantang polisi] bukanlah hal yang baik, karena mereka memukulku di punggung dengan sebuah tongkat malam". Menurut kesaksian lain, "Aku tidak akan pernah lupa pemandangan itu. Polisi bersenjata [tongkat malam] berhadapan dengan gay menari kick line di sisi lain. Sangat menakjubkan.... Dan secara tiba-tiba, gerakan kick line itu, saya pikir adalah olok-olok terhadap sifat macho ... Aku kira saat itulah ketika aku menjadi marah. Alasannya orang dipukuli dengan tongkat. Dan karena apa? Menari kick line."[39]
Craig Rodwell, pemilik Oscar Wilde Memorial Bookshop melaporkan dirinya melihat polisi mengejar peserta unjuk rasa di sepanjang jalan berliku-liku untuk kemudian sadar mereka tiba di sudut berikutnya di belakang polisi. Sebagian dari massa menghentikan mobil-mobil, membalikkannya untuk memblokir Christopher Street. Jack Nichols dan Lige Clarke dalam kolom yang diterbitkan oleh majalah Screw menyatakan bahwa "kerumunan massa pengunjuk rasa mengejar [polisi] hingga berblok-blok jauhnya sambil berteriak, 'Tangkap mereka!' "[38]
Pada pukul 4.00 pagi hari, jalan-jalan telah berhasil dibersihkan. Banyak orang duduk-duduk di tangga masuk bangunan atau berkumpul di Taman Christopher yang berdekatan sepanjang pagi. Mereka bingung tak percaya apa yang telah terjadi. Banyak saksi mengingat suasana surealis dan kesunyian mencekam di Christopher Street, meski di tempat itu sudah ada "listrik di udara".[41] Seorang saksi berkomentar, "Ada suatu keindahan pascakerusuhan.... Sekarang jelas, paling tidak untuk aku, bahwa banyak orang benar-benar gay, dan, Anda tahu, inilah jalan milik kita".[42] Tiga belas orang ditahan. Beberapa orang di antara massa dirumahsakitkan,[catatan 7] dan empat petugas polisi terluka. Hampir semua barang di Stonewall Inn hancur. Inspektur Pine bermaksud menutup dan membongkar Stonewall Inn malam itu. Telepon umum, toilet, kaca, jukebox, dan mesin penjual rokok semuanya hancur, kemungkinan dalam kerusuhan atau oleh polisi.[34][43]
After Stonewall, dokumenter dari Stonewall hingga akhir abad ke-20
Before Stonewall, dokumenter mengenai dekade-dekade sebelum Stonewall
Stonewall, film fiksi tentang peristiwa yang berakhir dengan kerusuhan
Stonewall Uprising, dokumenter yang dibuat dari arsip film, foto, dokumen, dan pernyataan saksi mata
Catatan kaki
^Kecuali Illinois yang telah mendekriminalisasi sodomi pada tahun 1961, tindakan homoseksual, bahkan antara orang dewasa yang saling setuju di rumah-rumah sendiri, adalah tindakan kriminal di seluruh negara bagian Amerika Serikat pada saat terjadinya kerusuhan Stonewall: "Seorang dewasa yang dihukum karena kejahatan berhubungan seks dengan orang dewasa lain yang setuju untuk melakukannya dalam lingkup privasi rumah sendiri dapat dikenakan hukuman mulai dari denda ringan hingga lima, sepuluh, atau dua puluh tahun atau bahkan hukuman seumur hidup dalam penjara. Pada tahun 1971, dua puluh negara bagian memiliki undang-undang "psikopat seks" yang membolehkan orang ditahan hanya karena dia homoseksual. Di Pennsylvania dan California, pelanggar seks dapat dimasukkan ke rumah sakit jiwa seumur hidup, dan [di] tujuh negara bagian, mereka dapat dikastrasi." (Carter, p. 15) Kastrasi, emetik, hipnosa, terapi kejang listrik, dan lobotomi dipakai oleh psikiater sebagai upaya menyembuhkan homoseksual pada tahun 1950-an dan 1960-an.(Katz, pp. 181–197.)(Adam, p. 60.)
^Seingat pegawai Stonewall tidak ada bocoran akan ada penggerebekan malam itu, seperti biasanya dilakukan polisi. Menurut Duberman (p. 194), memang ada desas-desus kalau bakal ada razia, tetapi razia dilakukan lebih larut malam daripada biasanya. Oleh karena itu, manajemen Stonewall menganggap bocoran itu tidak akurat. Berhari-hari setelah penggerebekan, salah seorang pemilik bar mengeluh kalau tidak ada peringatan sebelumnya, dan kalau razia itu diperintahkan oleh Biro Alkohol, Tembakau, Senjata Api dan Bahan Peledak yang berkeberatan botol-botol minuman keras di sana tidak dipasangi meterai cukai yang berarti minuman beralkohol tersebut ilegal. David Carter memberikan informasi (p. 96–103) yang mengindikasikan Mafia pemilik Stonewall dan manajernya memeras pelanggan kaya, terutama yang bekerja di Wall Street. Mereka tampaknya mendapat lebih banyak uang dari pemerasan daripada penjualan minuman di bar. Carter menyimpulkan bahwa ketika polisi tidak bisa lagi menerima suap dari pemerasan dan pencurian obligasi dapat diperdagangkan (didapat dengan cara menekan pelanggan gay dari Wall Street), mereka memutuskan untuk menutup Stonewall Inn selama-lamanya.
^Menurut ingatan orang-orang yang menyaksikan kejadian tersebut, termasuk laporan dari surat-surat dan siaran berita, deskripsi wanita yang melawan polisi itu saling bertentangan. Sementara beberapa saksi mata mengaku penyebab massa menjadi marah adalah seorang wanita yang dikasari oleh polisi, beberapa orang juga mengingat kalau ada beberapa "wanita lesbian" yang sudah melawan balik ketika masih di dalam bar. Setidaknya seorang lesbian sudah berdarah ketika dibawa keluar dari bar (Carter, p. 152–153). Craig Rodwell (dalam Duberman, p. 197) menulis bahwa penangkapan wanita itu bukanlah peristiwa utama yang memicu kekerasan, melainkan salah satu dari beberapa kejadian bersamaan: "yang ada hanya sekelompok, massa yang marah".
^Saksi Morty Manford berkata, "Tidak ada keraguan dalam pikiranku kalau orang-orang itu secara sengaja dibiarkan tanpa penjagaan. Aku pikir ada semacam hubungan antara manajemen bar dan polisi setempat, jadi mereka tidak benar-benar mau menangkap orang-orang itu. Tapi mereka harus setidaknya terlihat seperti sedang melakukan pekerjaan mereka." (Marcus, p. 128.)
^Bertahun-tahun setelah terjadinya kerusuhan ini, kematian ikon gayJudy Garland pada awal pekan 22 Juni 1969 dikaitkan sebagai faktor signifikan dalam kerusuhan, tetapi tidak ada seorang pun peserta unjuk rasa Sabtu dini hari yang ingat kalau nama Garland disebut-sebut. Tidak ada catatan tertulis dari sumber-sumber tepercaya tentang kerusuhan ini mengatakan Garland sebagai alasan untuk membuat rusuh. Walaupun demikian, satu catatan sarkastik dari sebuah terbitan heteroseksual memperkirakannya. (Carter, p. 260.) Meski Sylvia Rivera ingat bahwa dia merasa sedih dan terkejut setelah pemakaman Garland pada Jumat 27 Juni, dia berkata bahwa dia tidak merasa ingin keluar rumah tetapi nantinya berubah pikiran. (Duberman, p. 190–191.) Bob Kohler yang sebelumnya sering berbincang dengan pemuda tunawisma di Sheridan Square, berkata, "Kalau orang berbicara mengenai kematian Judy Garland ada hubungannya dengan kerusuhan, itu membuatku gila. Anak-anak jalanan menghadapi kematian setiap hari. Mereka tidak takut kehilangan apa pun. Dan mereka tidak peduli soal Judy. Kita bicara soal anak-anak yang umurnya empat belas, lima belas, enam belas. Judy Garland adalah jantung hati setengah umur milik gay kelas menengah. Aku jadi marah soal ini karena rumor ini meremehkan segalanya." (Deitcher, p. 72.)
^Rivera diberi sebuah bom Molotov (tidak ada catatan saksi mata tentang bom Molotov pada malam pertama meski terjadi banyak pembakaran) yang dia kenali hanya karena dia pernah melihatnya di siaran berita: "Aku seperti, 'Apa yang harus kulakukan dengan ini?' Lalu anak itu berkata, "Oh, aku akan menyalakannya, dan kamu melemparnya.' Dan aku seperti, 'Baiklah. Kau menyalakan, aku melemparnya,' karena kalau bom itu meledak, aku tidak mau meledak di badanku.' Memang sulit menjelaskannya, kecuali peristiwa itu harus terjadi pada suatu hari...." (Deitcher, p. 67.)
^Seorang pengunjuk rasa perlu dijahit untuk memperbaiki sebuah lutut yang pecah akibat tongkat malam, seorang lainnya kehilangan dua jari terjepit pintu mobil. Saksi mengingat bahwa beberapa dari "anak laki-laki paling feminin" paling parah dipukuli.(Duberman, p. 201–202.)
^"Pride Marches and Parades", in Encyclopedia of Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender History in America, Marc Stein, ed. (2004), Charles Scribner's Sons.
Edsall, Nicholas (2003). Toward Stonewall: Homosexuality and Society in the Modern Western World, University of Virginia Press. ISBN 0-8139-2211-9
Faderman, Lillian (1991). Odd Girls and Twilight Lovers: A History of Lesbian Life in Twentieth Century America, Penguin Books. ISBN 0-14-017122-3
Faderman, Lillian and Stuart Timmons (2006). Gay L.A.: A History of Sexual Outlaws, Power Politics, and Lipstick Lesbians. Basic Books. ISBN 0-465-02288-X.
Fejes, Fred (2008). Gay Rights and Moral Panic: The Origins of America's Debate on Homosexuality, Palgrave MacMillan. ISBN 1-4039-8069-1
Gallo, Marcia (2006). Different Daughters: A History of the Daughters of Bilitis and the Rise of the Lesbian Rights Movement, Seal Press. ISBN 1-58005-252-5
Katz, Jonathan (1976). Gay American History: Lesbians and Gay Men in the U.S.A. Thomas Y. Crowell Company. ISBN 0-690-01165-2
Marcus, Eric (2002). Making Gay History, HarperCollins Publishers. ISBN 0-06-093391-7
Teal, Donn (1971). The Gay Militants, St. Martin's Press. ISBN 0-312-11279-3
Williams, Walter and Retter, Yvonne (eds.) (2003). Gay and Lesbian Rights in the United States: A Documentary History, Greenwood Press. ISBN 0-313-30696-6
Witt, Lynn, Sherry Thomas and Eric Marcus (eds.) (1995). Out in All Directions: The Almanac of Gay and Lesbian America. New York, Warner Books. ISBN 0-446-67237-8.