Jalur kereta api Cibatu–Cikajang adalah jalur kereta api cabang dari lintas selatan Pulau Jawa yang menghubungkan Stasiun Cibatu dengan Stasiun Cikajang di Kabupaten Garut dengan panjang lintas kurang lebih 47 km (29 mi), termasuk dalam Daerah Operasi II Bandung. Saat ini hanya segmen Cibatu–Garut yang beroperasi pascareaktivasi 2019–2022, sedangkan segmen Garut–Cikajang hingga saat ini masih tidak aktif.
Sejarah
Eksperimen jalur kereta api Staatsspoorwegen (SS) untuk menghubungkan Bogor dengan Yogyakarta pada saat itu masih digulirkan. Selama bertahun-tahun, SS terus mengkaji aspek sosial kemasyarakatan Tatar Sunda pada masa itu sebagai salah satu modal mengembangkan jalur kereta api untuk mempersatukan Tatar Sunda, sesuai target SS pada dekade 1880-an. Tatar Sunda menjadi incaran Belanda terlebih saat itu hasil perkebunan ingin ditambah lagi volume angkutnya, sehingga tidak perlu menggunakan pedati.
Akan tetapi harus diakui, Tatar Sunda wilayah tengah dan selatan hampir 100% merupakan jalur pegunungan dengan kontur terjal dan ekstrem yang memaksa agar para insinyur dan teknisi SS harus pintar membuat kontur jalur rel. Hal ini tecermin dari dibangunnya jalur Bogor–Yogyakarta pada saat itu, dan berhasil terhubung pada tahun 1894.
Jalur-jalur SS dikatakan "mahal" karena di samping biaya pembangunan dan biaya operasional, juga membutuhkan lokomotif bertenaga besar yang pasti mahal di pasar kendaraan uap Eropa. Bahkan sebelum SS dibentuk pada tanggal 6 April 1875, Pemerintah Kolonial pernah menyelenggarakan lelang operator untuk rencana jalur kereta api di Tatar Sunda ini, dan akhirnya gagal.[1]
Agar masyarakat Garut dapat menikmati kereta api, maka dibangun jalur kereta api yang menghubungkan Cibatu dengan Garut. Jalurnya sepaket dengan proyek pembangunan jalur dari Bandung ke Cibatu dan diresmikan pada tanggal 14 Agustus 1889. Percobaan paling ekstrem adalah perpanjangan jalur Cibatu–Garut menuju Cikajang, yang menyentuh ketinggian +1.246 meter (4.088 ft) di atas permukaan laut, dibuka pada tanggal 1 Agustus 1930.[2]
Dalam pidato pembukaan jalur Cicalengka-Garut yang cukup meriah, R.H.J. Spanjaard sebagai kepala proyek pembuatan jalur ini mengakui, bahwa pembuatan jalur sepanjang 51 km ini merupakan yang tersulit dibanding proyek pembangunan jalur lainnya di antara Bandung-Cilacap. Salah satu bagian yang sulit dalam pembangunan jalur ini adalah membangun jalur antara Cicalengka dan Leles yang harus menembus kawasan Nagreg.[3]
Dekade 1940 s.d. 1950-an
Pada masa pendudukan Jepang, segmen Garut–Cikajang diketahui ikut dibongkar bersama jalur-jalur kereta api lainnya di Indonesia. Pembongkaran ini dilakukan pada tahun 1942.[4] Jepang menganggap bahwa jalur-jalur tersebut kurang begitu penting. Di sisi lain, juga terlibat dalam perang di wilayah Asia Timur yang kemudian dikenal dengan Perang Asia Timur Raya. Sehingga bahan material seperti kereta api ini nilainya sangat berarti bagi Jepang demi pemenuhan kebutuhan perangnya.[5]
Pada 1 Juni 1942, Jepang membentuk Rikuyu Sokyoku, sebuah biro yang bertanggungjawab atas terlaksananya semua penyelenggaraan transportasi darat non-militer di Pulau Jawa dan Madura. Biro ini memiliki kantor pusat di Bandung yang menempati bekas kantor pusat Staatsspoorwegen. Demi menjamin kelancaran bertransportasi darat, biro ini menyelenggarakan angkutan berbasis kereta api, truk, bus, cikar, dokar, dan sebagainya. Khusus untuk kereta api sendiri, biro ini mempekerjakan ahli-ahli, teknisi, dan buruh di bidang perkeretaapian yang berasal dari Belanda maupun masyarakat pribumi.[6]
Setelah menyerahnya Jepang kepada sekutu pada 15 Agustus 1945 dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, para pekerja kereta api turut mengambil alih aset-aset perkeretaapian yang masih di kuasai Jepang. Puncaknya pada 28 September 1945, kantor pusat Rikuyu Sokyoku di Bandung berhasil diambil alih dan dikembalikan ke fungsi awalnya sebagai kantor pusat kereta api serta mendirikan Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI).[5]
Pada triwulan pertama tahun berikutnya tepatnya pada 20 Maret 1946, tentara sekutu mengultimatum pemerintah Indonesia agar menjauhkan unsur-unsur bersenjata dari Bandung. Suasana kota menjadi genting. Atas rekomendasi dari Kolonel Abdul Haris Nasution, Ir. Moh. Effendi Saleh yang menjabat sebagai Kepala Dinas Traksi dan Material DKARI mengusulkan kepada Ir. Djoeanda Kartawidjaja selaku pimpinan DKARI untuk memindahkan Balai Besar Kereta Api ke luar kota. Usulan itu diterima dan diputuskan untuk memindahkan Dinas Lalu-lintas ke Cisurupan, Garut menempati hotel di daerah setempat; Dinas Traksi diungsikan ke Leles, Garut menempati gedung bekas pabrik; Dinas Jalan dan Bangunan diungsikan ke Purwokerto menempati bekas hotel milik Serajoedal Stoomtram Maatschappij, dan bagian percetakan ditempatkan di Sokaraja, Banyumas. Terakhir, Kantor Inspeksi 3 Bandung dipindahkan ke Tasikmalaya lalu dipindahkan lagi ke Banjar.[5]
Pada 24 Maret 1946, Bandung dibumihanguskan oleh Tentara Rakyat Indonesia dan rakyat setempat. Ribuan penduduk kota meninggalkan Bandung sembari membakar rumah mereka dan mengungsi ke daerah Bandung Selatan, Garut, dan sekitarnya. Pembumihangusan Kota Bandung dimaksudkan agar kota tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh Sekutu. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai Peristiwa Bandung Lautan Api.[5]
Tak lama setelah terjadinya peristiwa Bandung Lautan Api, DKARI mengoperasikan layanan kereta api ekspres dari Solo ke Garut. Layanan kereta api ekspres ini ditujukan membuka akses hubungan cepat antara Yogyakarta yang menjadi ibukota Indonesia ketika itu dengan Cisurupan. Perlu diketahui, meskipun Cisurupan ketika itu dipilih menjadi kantor Dinas Lalu-lintas DKARI, realitanya Cisurupan tidak dapat diakses kereta api. Hal itu disebabkan karena lintas Garut–Cikajang yang melewati Cisurupan telah dibongkar Jepang dan belum sempat dibangun kembali.
Pengoperasian kereta api ini juga sangat membantu arus mobilisasi dan pergerakan masyarakat Garut bagian selatan.[5]
Di tengah ancaman tentara sekutu dan tentara Belanda yang semakin keras, akhirnya di penghujung tahun 1946 DKARI kembali memindahkan kantor-kantornya. Pemindahan kali ini berada cukup jauh dari lokasi awalnya karena dipindahkan ke Yogyakarta, separuh Jawa Tengah, dan sebagian Jawa Timur sesuai wilayah republik Indonesia
saat itu dengan batas demarkasi yang telah disepakati. Pada tahun 1947, Belanda mulai memasuki Jawa Barat dan menduduki Kota Bandung. Melihat kondisi yang telah porak-poranda Belanda pun mulai memperbaiki dan merekonstruksi ulang infrastruktur yang telah dihancurkan sebelumnya. Di bidang perkeretaapian, Belanda mengumpulkan ahli-ahli, teknisi, dan pegawai kereta api milik negara (Staatsspoorwegen atau SS) dan swasta. Setelah itu, dibentuklah gabungan perusahaan kereta api negara dan swasta yang pernah beroperasi di Hindia-Belanda yang bernama Staatsspoorwegen Verenigd Spoowegbedjrif (SS/VS).[7]
SS/VS bergerak cepat dalam penanganan rehabilitasi sejumlah jalur kereta api yang telah rusak di Jawa Barat dan Sebagian Jawa Timur. Dalam pelaksanaan lapangannya, di Jawa Barat, SS/VS seringkali mendapat serangan, gangguan dan sabotase dari kelompok perusuh, seperti DI/TII. Di Garut sendiri SS/VS berhasil mereaktivasi lintas Garut–Cikajang yang telah dibongkar Jepang sebelumnya. Bangunan Stasiun Garut juga turut direkonstruksi ulang sebab bangunan utamanya telah dihancurkan. Untuk sementara, didirikan bangunan stasiun darurat sembari menunggu bangunan baru diselesaikan pembangunannya.[7] Bangunan stasiun barunya pun mengusung arsitektur yang mirip dengan stasiun penting SS lainnya seperti bangunan baru Stasiun Karawang yang diresmikan pada 28 Oktober 1930.[8]
Akhir kedinasan dan penutupan (1970-1983)
Sepanjang kariernya, jalur ini hanya bisa didaki dengan lokomotif mallet bermassa besar seperti DD52, CC10, D14, atau CC50, semuanya peninggalan SS. Lokomotif CC10 menjadi andalan karena merupakan lokomotif mallet berukuran tidak terlalu besar sehingga ideal untuk jalur cabang, meskipun penurunan kondisi di akhir masa beroperasinya jalur ini membuat lokomotif CC50 lebih sering digunakan. Dekade 1970-an menjadi dekade emas bagi jalur ini karena jalur ini banyak didokumentasikan oleh pecinta-pecinta kereta api luar negeri. Sejak era itu pula, kondisi lokomotif uap yang melayani jalur ini mulai turun dan satu persatu pun pensiun. Karena sudah tidak ada lagi lokomotif yang siap beroperasi, ditambah dengan adanya letusan Gunung Galunggung pada tahun 1982, yang mengakibatkan sarana serta prasarana kereta rusak serta adanya abu vulkanik yang berdampak pada air yang digunakan untuk lokomotif uap, maka jalur ini ditutup pada tahun 1982 untuk segmen Garut-Cikajang dan 1983 untuk segmen Cibatu-Garut.[9]
Sejak jalur ini ditutup, trase jalur ini kebanyakan menjadi sawah atau perkebunan, atau pemukiman penduduk untuk trase yang terletak dekat kota. Rel tipe R25 yang digunakan juga terkubur di bawahnya, dan pada masa reaktivasi rel tersebut terlihat kembali, kemudian karena masih layak pakai maka rel R25 yang ada digunakan sebagai rel gongsol (rel paksa) untuk mengamankan jalannya kereta api pada tikungan tajam.
Reaktivasi (2019-2022)
Pada 26 September 2018, Edi Sukmoro, Dirut PT KAI, telah meninjau kesiapan reaktivasi jalur ini dengan menelusuri jejak jalur menggunakan sepeda motor. Program ini bertujuan untuk mendukung pariwisata Jawa Barat.[10]
Kesiapan reaktivasi ini juga didukung beberapa faktor seperti masih jarangnya permukiman penduduk di beberapa titik (kecuali di wilayah Garut Kota yang telah padat). Reaktivasi ini akan menjadi pilot project terhadap reaktivasi jalur-jalur kereta api lainnya di Jawa.[11]
Jalur kereta api ini juga direaktivasi dengan tempo yang sangat cepat mengingat reaktivasi jalur ini diinisiasi langsung oleh PT KAI, tanpa melibatkan Direktorat Jenderal Perkeretaapian.[12] Ditargetkan, pada bulan September 2019, jalur ini mulai diujicoba dan dilanjutkan dengan pengoperasian reguler.[13] Untuk mewujudkan reaktivasi tersebut, PT KAI memberi penugasan kepada PT KA Properti Manajemen (KAPM), anak perusahaan KAI, sebagai kontraktor.[14]
Reaktivasi ini dilakukan dengan penggantian rel R25 dan bantalan kayu/baja yang selama ini terkubur di dalam tanah dengan rel tipe R42 dengan bantalan beton, lalu sinyal tebeng "Krian" yang selama ini digunakan juga diganti dengan sinyal mekanik tipe Siemens & Halske semiotomatis, serta peningkatan fasilitas di setiap stasiunnya.[15] Dua stasiun antara dipilih untuk dihidupkan kembali, yaitu Pasirjengkol dan Wanaraja. Satu unit sinyal tebeng "Krian" di dekat viaduct Ciwalen juga telah dipreservasi berkat kolaborasi PT Kereta Api Indonesia (Persero), Indonesian Railway Preservation Society, dan Yayasan Kereta Anak Bangsa.[16]
Pada tanggal 29 September 2019, dilakukan uji coba di segmen pertama, Cibatu–Wanaraja, dengan menggunakan Lokomotif CC201, setelah sebelumnya jalurnya dipecoki.[17] Uji coba lainnya adalah dengan rangkaian kereta api balas pada hari berikutnya. Kereta-kereta lainnya yang sudah mencoba melintasi jalur ini adalah Kereta Inspeksi 3 yang dinaiki oleh Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia, Edi Sukmoro beserta jajarannya serta RailClinic yang menggelar bakti sosial di Stasiun Wanaraja.[18][19] Uji coba ini disambut sangat antusias oleh masyarakat Garut. Nantinya, mereka sudah dapat menggunakan moda kereta api ke berbagai jurusan di Jawa tanpa harus ke Stasiun Cibatu.[20]
Per pertengahan Januari 2020, reaktivasi jalur kereta api segmen kedua (Wanaraja–Garut) juga sudah tersambung sepenuhnya, dan hampir selesai. Sebagai langkah awal, segmen akhir (Wanaraja–Garut) dipecoki seperti segmen sebelumnya.[21] Total biaya Rp400 miliar telah digelontorkan untuk reaktivasi jalur ini.[22]
Pada 12 Maret 2020, telah dilakukan uji coba rangkaian kereta api di jalur ini, Uji coba ini sekaligus bertujuan untuk mengecek kesiapan persinyalan, wesel, serta sarana dan prasarana pendukung lainnya sebelum jalur ini dapat resmi digunakan.[23] Namun, akibat pandemi Covid-19, peresmian jalur ini harus tertunda hingga 2022.
Per tanggal 24 Maret 2022, reaktivasi segmen Cibatu–Garut diresmikan oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan Menteri BUMN Erick Thohir.[24] Peresmian tersebut juga dihadiri oleh Bupati Garut, Rudy Gunawan serta jajaran PT KAI Daop II Bandung. Upacara peresmian reaktivasi ini dilaksanakan di Stasiun Garut.[25] Satu hari sesudahnya, dua layanan kereta api yang diberi nama Garut Cibatuan dan Cikuray berjalan reguler di segmen ini.[26]
^Bruin, Jan de (2003). Het Indische Spoor In Oorlogstijdt: de spoor- en tramwegmaatschappijen in Nederlands-Indië in de vuurlinie, 1873-1949. Uquilair B.V.
^ abcdeNusantara, Telaga Bakti; Perkeretaapian, Asosiasi Pakar (1997). Sejarah Perkeretaapian Indonesia jilid 1. Bandung: CV Angkasa.
^Kurasawa, Aiko (1996). "Rice shortage and transportation". brill.com. Diakses tanggal 22 Maret 2020.Parameter |institutions= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abBolle, A.G.A. (1949). Hij Rijdt Weer! Een Spoorwegtriomf in Indonesie [Dia Berjalan Kembali] (dalam bahasa Belanda). Diterjemahkan oleh Ninar, Bagus (edisi ke-1st).
^Indonesian Railway Preservation Society Bandung (Agustus 2019). "Save Our Railways Heritage: Merawat Jejak Perjalanan 130 tahun Perkeretaapian Garut". 2. Bandung.
^Subdirektorat Jalan Rel dan Jembatan (2004). Buku Jarak Antarstasiun dan Perhentian. Bandung: PT Kereta Api (Persero).Parameter |link= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Perusahaan Umum Kereta Api (1992). Ikhtisar Lintas Jawa.