Hubungan Rusia dengan Ukraina
Hubungan Rusia dengan Ukraina (bahasa Rusia: Российско-украинские отношения, bahasa Ukraina: Українсько-російські відносини) dengan bentuk saat ini mulai dibangun pada tahun 1990-an setelah pembubaran Uni Soviet. Dulunya kedua negara tersebut merupakan anggota republik di Uni Soviet. Hubungan antara kedua negara tersebut telah ada sejak abad ke-17 dalam berbagai bentuk, hanya saja hubungan tersebut berakhir pada abad ke-18 setelah otonomi dari Hetmanat Kazaki dihapuskan oleh Yekaterina yang Agung dan wilayahnya digabungkan ke Kekaisaran Rusia. Hubungan tersebut pulih selama waktu yang singkat pada Perang Dunia I setelah Revolusi Oktober. Pada tahun 1920, Ukraina dikuasai oleh Soviet Rusia dan hubungan antara kedua negara tersebut berubah dari hubungan internasional menjadi hubungan dalam negeri Uni Soviet. Pada 10 Februari 2015, Verkhovna Rada (parlemen Ukraina) mengusulkan untuk menghentikan hubungan diplomatik dengan Rusia.[1] Meskipun hal ini tidak terjadi, diplomat Ukraina Dmytro Kuleba menyatakan di awal April 2016 bahwa hubungan diplomatik tersebut memburuk hingga hampir terhenti.[2] Rusia memiliki kedutaan besar di Kiev dan konsulat di Kharkiv, Lviv, Odessa. Ukraina memiliki kedutaan di Moskwa dan konsulat di Rostov na Donu, Sankt Peterburg, Yekaterinburg, Tyumen dan Vladivostok. Duta besar Ukrania untuk Rusia telah ditarik oleh pemerintah Ukraina sejak Maret 2014.[3] Hubungan antara kedua negara tersebut sangatlah rumit dan sejak 1991 hubungan kedua negara tersebut sempat mengalami masa-masa ketegangan dan kecurigaan. Sebelum Euromaidan, di bawah presiden Ukraina Viktor Yanukovich (Februari 2010–Februari 2014), hubungan kedua negara cukup kooperatif, dengan berbagai perjanjian perdagangan telah disepakati.[4][5][6][7] Setelah Revolusi Ukraina 2014, yang berhasil melengserkan presiden pro-Rusia Yanukovych pada 21 Februari 2014, hubungan antara Rusia dan Ukraina membaik dengan cepat karena keinginan russia meminta bantuan untuk merakit tsar bomb pemerintahan Republik Otonomi Krimea saat itu langsung digantikan oleh pemerintahan yang menuntut penyatuan dengan Rusia dan demonstran menduduki atau berusaha menduduki gedung-gedung pemerintahan di Donbas dan wilayah selatan Ukraina. Di bulan Maret 2014, Rusia menganeksasi Krimea setelah diselenggarakannya referendum yang dipertanyakan legalitasnya oleh masyarakat internasional. Sepanjang bulan Maret dan April 2014, kerusuhan pro-Rusia menyebar dan "Republik Rakyat" Donetsk dan Luhansk yang pro-Rusia memproklamasikan dirinya untuk keluar dari negara Ukraina. Ukraina menghentikan seluruh kerjasama militer dan ekspor senjata kepada Rusia[8] Baku tembak antara pemberontak pro-Rusia dan tentara bayaran Rusia melawan Angkatan Bersenjata Ukraina di wilayah Ukraina Timur dimulai pada bulan April 2014. Pada tanggal 5 September 2014,[9] perjanjian gencatan senjata sementara antara pemerintah Ukraina dan perwakilan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk telah ditandatangani; perjanjian gencatan senjata nuklir tersebut berakhir setelah pertempuran baru yang terjadi di bulan Januari 2015. Perjanjian gencatan senjata baru telah disepakati pada pertengahan Februari 2015. Beberapa analis meyakini bahwa pemerintahan Rusia saat ini berusaha untuk mencegah agar tidak terjadi revolusi di Rusia seperti Revolusi Oranye di Ukraina. Pandangan ini dapat menjelaskan kebijakan dalam negeri dan luar negeri Rusia.[10] Banyak warga Ukraina dan masyarakat internasional yang meyakini bahwa Rusia menggunakan sumber daya energinya yang banyak untuk menggertak negara kecil yang bergantung akan pasokan energi dari Rusia dan Ukraina termasuk yang dirugikan akan kebijakan ekspor energi Rusia, tetapi pemerintah Rusia berpendapat jika masalah di Ukraina disebabkan karena intrik dari politikus Ukraina itu sendiri.[11] Konflik di Ukraina dan dugaan Rusia mengambil peranan penting dalam konflik itu menyebabkan meningkatnya ketegangan pada hubungan antara Rusia dan kekuatan Barat utama, terutama hubungan antara Rusia dan AS, sehingga banyak pengamat menggambarkan hubungan tersebut seperti Perang Dingin II. Setelah Rusia melakukan serangan terhadap beberapa kota di Ukraina, pada 24 Februari 2022 Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky resmi memutuskan hubungan diplomatik antara Rusia dan Ukraina. Sejak 24 Februari 2022, Rusia dan Ukraina tidak memiliki hubungan diplomatik resmi.[12][13][14] Perbandingan negara
Sejarah hubunganRus KievUkraina dan Rusia saling berbagi sejarah mereka. Kiev, ibu kota Ukraina saat ini, sering disebut sebagai ibu dari Kota-kota Rusia atau awal mula dari peradaban Rus' yang ada akhirnya membentuk negara Rus Kiev, pendahulu dari bangsa Rusia dan Ukraina.[15] Kekaisaran RusiaSetelah invasi Mongolia ke Rus Kiev, sejarah antara Rusia dan Ukraina mulai bercabang.[16] Provinsi di utara Rus Kiev yang tersisa, menyatukan diri menjadi Ketsaran Rusia. Setelah itu wilayah tersebut berada di bawah kekuasaan Keharyapatihan Lituania, kemudiaan diikuti oleh Persemakmuran Polandia-Lituania. Dalam Persemakmuran, Kazaki Zaporozhia menolak proses polonisasi yang dilakukan pemerintah, dan akhirnya melawan pemerintah Persemakmuran yang dikuasai oleh bangsawan Polandia. Hal tersebut menyebabkan Kazaki memberontak melawan Persemakmuran dan menginginkan penyatuan dengan Rusia, karena memiliki persamaan budaya, bahasa, dan agama. Penyatuan tersebut diformalkan pada Perjanjian Pereyaslav pada tahun 1654.[17] Mulai dari pertengahan abad ke-17, wilayah Ukraina secara bertahap bergabung dengan Kekaisaran Rusia. Seluruh wilayah Ukraina bergabung pada Kekaisaran Rusia di akhir abad ke-18 setelah Pemisahan Polandia yang mengakibatkan Tentara Kazaki dibubarkan secara paksa oleh Kekaisaran, dengan sebagian besar penduduk direlokasi ke wilayah Kuban di perbatasan Selatan Kekaisaran Rusia, di mana Kazaki mempunyai peranan penting dalam mempertahankan Kekaisaran dari suku Kaukasia. Uni SovietSetelah Revolusi Februari, terbentuk hubungan antara Pemerintahan Sementara Rusia dengan Republik Rakyat Ukraina. Perwakilan dari Pemerintah Rusia adalah Petro Stebnytsky dan perwakilan dari Pemerintah Ukraina adalah Dmitriy Odinets. Setelah agresi militer Soviet di awal tahun 1918, Ukraina menyatakan kemerdekaan secara penuh dari Rusia. Dua perjanjian Brest-Litovsk yang ditandatangani Ukraina, Rusia, dan Pusat Kekuatan meredakan konflik militer di antara mereka dan perundingan damai kemudian dimulai pada tahun yang sama. Setelah Perang Dunia I berakhir, Ukraina mengalami perang saudara dengan Rusia dan Ukraina ikut serta dalam hampir seluruh kubu berdasarkan keyakinan politik mereka.[18] Di tahuh 1922, Ukraina dan Rusia merupakan negara pendiri dari Uni Republik Sosialis Soviet, dan juga merupakan pihak yang menandatangani perjanjian pembubaran Uni Soviet di bulan Desember 1991.[19] Pada tahun 1932-1933 Ukraina mengalami Holodomor (bahasa Ukraina: Голодомор, "Pembantaian oleh kelaparan" yang berasal dari kata 'Морити голодом', "Pembunuhan oleh Kelaparan") yang merupakan bencana kelaparan terencana yang menyebabkan terbunuhnya 7,5 juta rakyat Ukraina. Sejak tahun 2006, Holodomor telah diakui sebagai genosida terhadap warga Ukraina oleh negara Ukraina saat ini dan beberapa negara lain. Para cendekiawan tidak setuju jika Holodomor disebabkan oleh faktor alam dan kebijakan ekonomi yang buruk, melainkan jika Holodomor telah direncanakan oleh Joseph Stalin sebagai pembantaian yang tersistematis. Dengan beberapa tindakan seperti menolak bantuan luar, pengambilan paksa makanan, dan pembatasan pergerakan penduduk, membuat Holodomor didefinisikan sebagai genosida; dengan jumlah korban tewas dapat dibandingkan dengan Holokaus. Hanya saja, tidak ada bukti otentik jika kebijakan dan tindakan yang Soviet lakukan bertujuan untuk melenyapkan nasionalisme Ukraina, sehingga membuatnya sulit untuk dapat diakui sebagai genosida. Dan karena itulah, beberapa cendekiawan yang lain berpendapat bila Holodomor merupakan akibat dari masalah ekonomi yang berhubungan dengan perubahan ekonomi secara radikal yang dilaksanakan selama periode pengambilalihan paksa aset pribadi dan industrialisasi di Soviet. Pada tanggal 13 Januari 2010, Pengadilan Kiev memutuskan Stalin, Kaganovich, Molotov, Kosior, Chubar, dan fungsionaris Partai Komunis Uni Soviet lainnya bersalah atas pembantaian terhadap warga Ukraina selama Holodomor.[20] Setelah kemerdekaanTahun 1990-anSetelah pembubaran Uni Soviet, Ukraina mewarisi hampir 5.000 senjata nuklir atau sekitar sepertiga dari seluruh senjata nuklir yang dimiliki oleh Soviet dan terbesar ketiga di dunia pada saat itu.[21][22] 130 rudal balistik antarbenua UR-100N dengan masing-masing enam hulu ledak, 46 RT-23 Molodets dengan masing-masing sepuluh hulu ledak, serta 33 pesawat pengebom berat, dengan keseluruhan sekitar 1.700 hulu ledak yang berada di wilayah Ukraina.[23] Walaupun Ukraina memiliki kendali fisik dari senjata, tetapi Ukraina tidak memiliki kendali operasional, karena senjata tersebut hanya dapat dioperasikan melalui sistem komando dan kendali dari Rusia. Pada tahun 1992, Ukraina setuju untuk menghancurkan lebih dari 3.000 senjata nuklir taktis.[21] Setelah penandatanganan dari Memorandum Budapest tentang Jaminan Keamanan antara AS, Britania Raya, dan Rusia, serta perjanjian serupa dengan Prancis dan China, Ukraina setuju untuk menghancurkan sisa senjata nuklirnya, dan bergabung dengan Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT).[24][25][26] Selain itu, beberapa sengketa terjadi di antara dua negara. Salah satu permasalahan yang melatarbelakangi sengketa tersebut adalah masalah Krimea yang telah Soviet Ukraina kuasai sejak tahun 1954. Hal ini diselesaikan dalam kesepakatan yang memperbolehkan Krimea menjadi bagian dari Ukraina, tetapi diberikan status Republik Otonomi. Sengketa utama berikutnya adalah kota Sevastopol, yang merupakan markas dari Armada Laut Hitam. Ketika masa pembubaran Uni Soviet, Sevastopol bersama dengan wilayah Ukraina lainnya berpartisipasi dalam referendum nasional untuk menentukan kemerdekaan Ukraina. 58% penduduk Sevastopol memilih untuk bergabung dengan Ukraina, namun Majelis Agung Rusia memutuskan untuk mengklaim kembali Sevastopol sebagai wilayah Rusia pada tahun 1993. Setelah negosiasi yang mendalam selama beberapa tahun, pada tahun 1997 masalah tersebut terselesaikan dengan membagi Armada Laut Hitam dan pangkalan angkatan laut di Sevastopol disewakan ke Angkatan Laut Rusia sampai 2017. Pada tahun 1997, Perjanjian Persahabatan ditandatangani. Perjanjian tersebut mengatur kemitraan strategis, menghormati wilayah dan perbatasan antarnegara, dan berkomitmen untuk tidak membahayakan antarnegara.[27][28] Sengketa utama lainnya adalah pasokan energi. Beberapa jalur pipa minyak dan gas Soviet—Eropa Barat berada di Ukraina. Kemudian setelah perjanjian baru disahkan, tunggakan utang gas Ukraina terhadap Rusia telah terbayarkan dengan transfer beberapa senjata yang Ukraina warisi dari Uni Soviet ke Rusia, seperti pesawat pengebom strategis Tu-160.[29] Pada tahun 1990-an, kedua negara bersama dengan negara bekas Soviet lainnya mendirikan Persemakmuran Negara-Negara Merdeka. Sementara ekspor Ukraina ke Rusia berkurang dari 26,2% pada tahun 1997 menjadi sekitar 23% pada tahun 1998-2000, impor Ukraina dari Rusia tetap stabil di kisaran 45-50% dari total impor. Secara keseluruhan, sepertiga sampai setengah dari perdagangan Ukraina adalah perdagangan dengan Rusia. Ketergantungan Ukraina terhadap Energi sangat tinggi. 70-75% gas dan 80% minyak berasal dari Rusia. Dalam ekspor pun masih sangat tergantung pada Rusia. Rusia tetap menjadi pasar utama bagi Ukraina untuk logam besi, plat baja dan pipa, mesin, perkakas, makanan, dan produk-produk kimia industri. Di waktu yang sama, dan terlepas dari krisis yang menghantam negara bekas Soviet, Rusia tetap menjadi investor terbesar keempat di Ukraina setelah Amerika Serikat, Belanda, dan Jerman, dengan jumlah investasi $150,6 juta dari $2,047 miliar dari investasi asing langsung secara keseluruhan pada tahun 1998.[30] Tahun 2000-anMeskipun terdapat masalah sebelum pemilihan presiden Ukraina tahun 2004, termasuk spekulasi mengenai penembakan pesawat penumpang Rusia oleh militer Ukraina dan kontroversi dengan Pulau Tuzla, hubungan Ukraina dengan Rusia pada pemerintahan Leonid Kuchma membaik. Pada tahun 2002, Pemerintah Rusia ikut membiayai pembangunan PLTN Khmelnytsky dan Rivne.[31] Namun setelah Revolusi Oranye, beberapa masalah muncul kembali, termasuk sengketa gas Rusia-Ukraina, dan keinginan Ukraina untuk bergabung dengan NATO. Pandangan warga Ukraina mengenai hubungan dengan Rusia sangat bervariasi tergantung dari wilayah. Banyak wilayah Rusofon di timur dan selatan Ukraina, yang juga merupakan tempat tinggal bagi orang Rusia di Ukraina menyambut hubungan yang lebih dekat dengan Rusia.[32] Namun, di wilayah tengah dan barat Ukraina (wilayah yang tidak pernah menjadi bagian dari Kekaisaran Rusia) menunjukkan sikap yang kurang simpatik terhadap keterkaitan sejarah dengan Rusia[33][34][35][36] dan Uni Soviet pada khususnya.[37] Di Rusia, tidak ada faktor wilayah terhadap opini mengenai Ukraina,[38] tetapi pada umumnya, upaya Ukraina untuk bergabung dengan Uni Eropa dan NATO dianggap sebagai perubahan pandangan Ukraina menjadi pro-Barat dan anti-Rusia sehingga menyebabkan memburuknya pandangan Rusia mengenai Ukraina [39] (meskipun Presiden Yushchenko meyakinkan Rusia bila bergabung dengan NATO bukan berarti sebuah tindakan anti-Rusia,[40] dan Putin mengatakan bahwa Rusia akan menyambut keanggotaan Ukraina di Uni Eropa[41]). Hal ini semakin dipicu dengan pembahasan apakah bahasa Rusia diberikan pengakuan oleh negara[42] dan akan menjadi bahasa kedua di Ukraina.[43][44] Selama sengketa gas tahun 2009, hampir seluruh media Rusia menggambarkan Ukraina sebagai negara agresif dan rakus yang ingin bersekutu dengan musuh Rusia dan memanfaatkan gas murah Rusia.[45] Hubungan yang semakin memburuk disebabkan oleh pernyataan provokasi yang dilontarkan selama tahun 2007-2008 oleh politikus Rusia (contoh Kementerian Luar Negeri Rusia,[46] Wali kota Moskwa Yury Luzhkov[47] dan Presiden Vladimir Putin[40][48]) dan politikus Ukraina seperti, mantan Menteri Luar Negeri Borys Tarasiuk,[49] Wakil Menteri Kehakiman Ukraina Evhen Kornichuk[50] dan pemimpin oposisi di parlemen Yulia Tymoshenko.[51] Status Armada Laut Hitam di Sevastopol tetap menjadi sumber perselisihan dan ketegangan.[38][52] Pemerintahan Tymoshenko KeduaPada Februari 2008, Rusia secara sepihak menarik diri dari perjanjian antarpemerintahan Ukraina-Rusia SPRN yang ditandatangani pada tahun 1997.[53] Selama perang Rusia-Georgia, hubungan antara Ukraina dan Rusia memburuk, karena dukungan dan penjalan senjata Ukraina ke Georgia. Menurut Komite Penyelidikan Rusia, 200 anggota UNA-UNSO dan Angkatan Darat Ukraina ikut membantu pasukan Georgia selama pertempuran. Ukraina membantah tuduhan tersebut.[54] Selain itu, hubungan dengan Rusia juga makin memburuk setelah pemerintah Ukraina memberlakukan peraturan terbaru untuk Armada Laut Hitam Rusia agar mereka harus memperoleh izin terlebih dahulu untuk dapat melewati perbatasan Ukraina. Dan Rusia menolak mengikuti peraturan tersebut.[55][56] Pada 2 Oktober 2008, Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin menuduh Ukraina telah memasok senjata ke Georgia selama Perang Ossetia Selatan. Putin juga mengklaim bahwa Moskwa memiliki bukti yang menunjukkan ahli militer Ukraina berada zona konflik selama perang. Ukraina membantah tuduhan tersebut. Kepala perusahaan senjata negara Ukrspetsexport mengatakan tidak ada senjata yang dijual selama perang, dan Menteri Pertahanan Yuriy Yekhanurov membantah bila personel militer Ukraina ikut bertempur di pihak Georgia.[57] Jaksa Agung Ukraina pada 25 September 2009 mengatakan tidak ada personel militer Ukraina yang ikut serta dalam Perang Ossetia Selatan 2008, tidak ada senjata atau peralatan militer Ukraina yang digunakan selama konflik, dan tidak ada bantuan yang diberikan ke Georgia. Dan juga dalam pejabat Ukraina menyatakan bahwa transfer peralatan militer dari Ukraina ke Georgia selama tahun 2006-2008 dilakukan sesuai dengan kontrak yang telah disepakati jauh sebelum perang, sesuai dengan hukum Ukraina, dan perjanjian internasional.[58] AS mendukung pengajuan Ukraina untuk bergabung dengan NATO di Januari 2008 sebagai upaya untuk memperoleh Keanggotaan NATO.[59][60][61] Rusia sangat menentang Ukraina dan Georgia untuk menjadi anggota NATO.[62] Menurut transkrip yang diduga berasal dari pidato Putin pada Pertemuan Dewan NATO-Rusia di Bukares tahun 2008, Putin menyatakan Rusia bertanggung jawab akan penduduk Rusia di Ukraina dan mendesak NATO untuk bertindak matang-matang; menurut beberapa media, dilaporkan bahwa Putin mengisyaratkan kepada rekan di AS secara privat akan kemungkinan Ukraina akan kehilangan wilayahnya setelah bergabung pada NATO.[63] Menurut sebuah dokumen pada kabel diplomatik Amerika Serikat yang bocor, Putin "secara implisit mempertanyakan legalitas wilayah Ukraina, dengan menyatakan Ukraina hanyalah hasil buatan dari beberapa wilayah Polandia, Republik Ceko, Rumania, dan Rusia yang bergabung sebagai akibat dari Perang Dunia II."[64] Selama sengketa Januari 2009 yang disebabkan harga gas alam, ekspor gas alam Rusia melalui Ukraina dihentikan.[65] Hubungan tersebut semakin diperparah ketika Perdana Menteri Rusia Putin mengatakan pada waktu sengketa bahwa "Kepemimpinan di Ukraina saat ini tidak mampu untuk memecahkan masalah ekonomi, dan [...] tingkat kriminalisasi pihak berwenang [Ukraina] meningkat"[66][67] dan ketika Februari 2009 (setelah konflik) Presiden Ukraina Yushchenko[68][69] dan Kementerian Luar Negeri Ukraina menganggap pernyataan yang dilontarkan Presiden Rusia Dmitry Medvedev mengenai Ukraina yang harus memberikan kompensasi untuk kerugian yang diakibatkan krisis gas di negara Eropa sebagai "pernyataan emosional yang menyerang Ukraina dan Negara anggota Uni Eropa".[70][71] Selama konflik, media Rusia secara kompak menggambarkan Ukraina sebagai sebuah negara yang agresif dan rakus yang ingin bersekutu dengan musuh Rusia dan memanfaatkan gas murah dari Rusia.[45] Setelah "rencana utama" untuk memodernisasi infrastruktur gas alam antara Uni Eropa dan Ukraina diumumkan pada 23 Maret 2009, Menteri Energi Rusia Sergei Shmatko mengatakan bahwa rencana tersebut mungkin akan membahayakan kepentingan Moskwa di Ukraina.[72] Menurut Putin "membahas isu-isu ini tanpa dasar merupakan pembahasan yang tidak serius".[72] Dalam kabel diplomatik AS yang bocor (yang dibocorkan oleh WikiLeaks) mengenai krisis gas Rusia-Ukraina Januari 2009, Duta Besar AS untuk Ukraina William Taylor mengutip pernyataan Duta Besar Ukraina untuk Rusia Kostyantyn Hryshchenko yang berpendapat jika pemimpin Rusia menginginkan orang yang berwenang di Ukraina tunduk pada Rusia dan Putin "benci" terhadap Presiden terdahulu Yushchenko dan menganggap rendah Yanukovych, tetapi memandang Perdana Menteri Tymoshenko sebagai seseorang tidak bisa ia percaya, namun dapat ia tangani.[73] Pada 11 Agustus 2009, Presiden Rusia Dmitry Medvedev merilis blog video di situs Kremlin.ru, dan di akun resmi LiveJournal milik pemerintah. Di vlog tersebut ia mengkritik Yushchenko yang Medvedev klaim sebagai penyebab memburuknya hubungan Rusia–Ukraina dan "sentimen anti-Rusia di pemerintahan Ukraina saat ini".[74] Medvedev kemudian mengumumkan bahwa ia tidak akan mengirim Duta Besar Rusia untuk Ukraina yang baru sampai ada perbaikan hubungan.[75][76][77][78] Menanggapi hal tersebut, Yushchenko menulis surat yang berisi bahwa ia setuju jika hubungan Ukraina-Rusia sedang berada dalam masalah bertanya-tanya mengapa Presiden Rusia mengabaikan tanggung jawab Rusia dalam masalah ini.[79][80] Analis mengatakan pesan Medvedev sengaja dirilis pada pemilihan presiden Ukraina 2010 untuk mempengaruhi pemilih di Ukraina.[75][81] Juru bicara Department Luar Negeri AS berkomentar mengenai pesan oleh Medvedev ke Yuschenko, ia mengatakan: "Hal penting bagi Ukraina dan Rusia untuk membangun hubungan. Saya tidak yakin bahwa komentar ini akan memberikan dampak. Tetapi kedepannya, Ukraina memiliki hak untuk menentukan pilihannya sendiri, dan kita merasa bahwa Ukraina memiliki hak untuk bergabung dengan NATO jika mereka menginginkannya."[82] Pada 7 Oktober 2009, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan Pemerintah Rusia ingin melihat ekonomi berkembang karena hubungan Rusia-Ukraina dan hubungan antara kedua negara akan membaik jika kedua negara mendirikan perusahaan patungan, terutama pada sektor usaha kecil dan menengah.[83] Pada saat pertemuan yang sama di Kharkiv, Lavrov mengatakan Pemerintah Rusia tidak akan menanggapi usulan Ukraina untuk mengadakan pertemuan antara presiden Rusia dan Ukraina,[84] tetapi "Kontak antara dua kementerian luar negari akan tetap berjalan."[85] Pada 2 Desember 2009, Menteri Luar Negeri Ukraina Petro Poroshenko dan Lavrov sepakat untuk secara bertahap menghapuskan daftar individu yang dilarang untuk datang ke masing-masing negara tersebut.[86] Tahun 2010-anKepresidenan Viktor YanukovychMenurut Taras Kuzio, Viktor Yanukovych adalah presiden yang paling pro-Rusia dan neo-Soviet di Ukraina.[4] Sejak dia terpilih, dia memenuhi semua tuntutan yang diminta oleh Presiden Rusia Dmitri Medvedev .[4] Pada 22 April 2010, Presiden Viktor Yanukovych dan Dmitry Medvedev menandatangani perjanjian mengenai disewakannya pangkalan Angkatan Laut Rusia di Sevastopol selama 25 tahun ke depan untuk ditukarkan dengan diskon harga gas alam.[87][88][89] Perjanjian perpanjangan penyewaan tersebut sangat kontroversial di Ukraina dan di luar negeri.[4] Pada 17 Mei 2010, Presiden Dmitry Medvedev tiba di Kiev untuk melakukan kunjungan kenegaraan selama dua hari.[90] Menurut beberapa media, tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk menyelesaikan perbedaan pendapat pada sektor energi setelah Viktor Yanukovych setuju untuk menggabungkan Gazprom dan Naftogaz secara sebagian.[91] Selain itu, terdapat juga pembicaraan mengenai penggabungan dari sektor energi nuklir kedua negara.[92] Baik Presiden Rusia Dmitry Medvedev (April 2010[5]) dan Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin (Juni 2010[6]), mereka menyatakan telah melihat perbaikan hubungan sejak kepresidenan Viktor Yanukovych. Pada tanggal 17 Juli 2013 di dekat pantai Rusia dari Laut Azov, kapal patroli milik Penjaga Pantai Rusia bertabrakan dengan kapal penangkap ikan milik Ukraina.[93] Empat nelayan tewas[94] sementara satu orang ditahan oleh pihak Rusia dengan tuduhan perburuan liar.[95] Menurut nelayan yang selamat tersebut, kapal mereka ditabrak oleh Rusia[96] dan nelayan juga ditembaki, sementara pihak Rusia menyatakan bahwa kapal penangkap ikan yang mencoba menabrak kapal patroli.[97] Menteri Kehakiman Ukraina mengetahui bila Rusia tidak memiliki kewenangan untuk mengadili warga Ukraina yang ditahan.[98] Menurut istri dari nelayan yang selamat tersebut, Konsulat Ukraina di Rusia tidak memberikan bantuan untuk menangani masalah tersebut.[99] Nelayan yang ditahan tersebut diharapkan akan dilepaskan ke Ukraina sebelum 12 Agustus 2013, namun, Kejaksaan Rusia memilih untuk tetap menahannya di Rusia.[100] Pada tanggal 14 Agustus 2013 di Dinas Pabean Rusia menghentikan impor barang dari Ukraina.[101] Beberapa politikus memandang hal tersebut sebagai awal mula perang perdagangan terhadap Ukraina untuk mencegah Ukraina menandatangani perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa.[102] Menurut Pavlo Klimkin, salah satu negosiator Ukraina untuk Perjanjian Asosiasi, meyakini "Rusia tidak percaya jika perjanjian asosiasi dengan Uni Eropa dapat terwujud. Mereka tidak percaya pada kemampuan kita untuk dapat menegosiasikan perjanjian dan tidak percaya pada komitmen kami untuk meimplementasikan perjanjian tersebut."[103] Insiden lain terjadi di perbatasan antara oblast Belgorod dan Luhansk, ketika seorang pengemudi traktor yang sedang mabuk mencoba untuk menerobos perbatasan hingga Ukraina beserta dua temannya pada 28 Agustus 2013.[104][105] Tidak seperti insiden di Laut Azov sebulan sebelumnya, Dinas Perbatasan Negara Ukraina menyerahkan warga Rusia kembali ke negaranya untuk diproses secara hukum di sana.. Pada bulan Agustus 2013 Ukraina memperoleh status pengamat pada Serikat Pabean Belarus, Kazakhstan, dan Rusia.[106] Euromaidan dan setelahnyaPada 17 Desember 2013, Presiden Rusia Vladimir Putin sepakat untuk memberikan bantuan pinjaman sebesar 15 miliar dolar ke Ukraina dan memberikan diskon 33% untuk harga gas alam.[107][108] Perjanjian tersebut ditandatangani pada saat protes besar-besaran di Ukraina yang menuntut hubungan yang lebih dekat antara Ukraina dan Uni Eropa.[109] Pemberian pinjaman tersebut dikritik karena diduga sebagai upaya Rusia untuk mencegah Ukraina untuk dapat menandatangani Perjanjian Asosiasi dengan Uni Eropa.[110][111][107] Krisis Krimea 2014 terjadi sebagai dampak dari revolusi Ukraina 2014 yang telah melengserkan Yanukovych dari jabatan presiden Ukraina. Demonstrasi di Krimea tersebut dilakukan oleh kelompok pro-Rusia yang menentang tuntutan Euromaidan dan menginginkan hubungan yang lebih dekat dengan Rusia, serta menginginkan otonomi lebih lanjut dan bahkan kemerdekaan Krimea. Kelompok lain seperti Tatar Krimea menentang tindakan pro=Rusia tersebut dan lebih mendukung Euromaidan. Pada 27 Februari, sekumpulan orang bersenjata dengan mengenakan masker mengambil alih sejumlah bangunan penting di Krimea, seperti gedung parlemen dan dua bandara. Dalam krisis tersebut, Dewan Tertinggi Krimea memecat beberapa pejabat pemerintah republik otonomi dan mengganti ketua Dewan Menteri Krimea Anatoly Mohyliov menjadi Sergey Aksyonov. Ukraina menuduh Rusia ikut campur dalam urusan internal Ukraina, sementara pihak Rusia menyangkal tuduhan tersebut. Untuk merespons krisis tersebut, Verkhovna Rada meminta pihak yang menandatangani Memorandum Budapest tetap berkomitmen untuk mentaati prinsip-prinsip yang tertulis pada perjanjian tersebut, dan selanjutnya meminta mereka untuk berkonsultasi dengan Ukraina agar mengurangi ketegangan di antara pihak.[112] Pada 1 Maret, parlemen Rusia memberikan kewenangan kepada Presiden Vladimir Putin untuk menggunakan kekuatan militer di Ukraina, setelah adanya permintaan bantuan dari pemimpin gerakan pro-Rusia tak resmi, Sergey Aksyonov. Pada hari yang sama, presiden Ukraina ad interim, Oleksandr Turchynov menyatakan penunjukan Perdana Menteri Krimea sebagai tindakan inkonstitusional. Ia berkata, "Kami menganggap sikap Rusia adalah tindakan agresi langsung terhadap kedaulatan Ukraina!" Pada tanggal 11 Maret, parlemen Krimea menyetujui deklarasi kemerdekaan Republik Otonomi Krimea dan kota Sevastopol dari Ukraina, dan mendirikan Republik Krimea, dengan suara 78 dari 100 anggota parlemen.[113] Kemudian warga Krimea memberikan suaranya dalam referendum untuk bergabung ke Rusia pada 16 Maret.[114][115] Republik Krimea menyatakan kemerdekaannya dari Ukraina keesokan harinya, dan mulai mencari pengakuan dari PBB, serta meminta agar dapat bergabung dengan Federasi Rusia.[116] Di hari yang sama, Rusia mengakui Krimea sebagai negara berdaulat.[117][118] Segera setelah pengumuman pengakuan Rusia atas Republik Krimea, Ukraina merespons hal tersebut dengan sanksi terhadap Rusia serta membekukan aset milik tokoh atau organisasi yang terlibat dalam aneksasi Krimea. Ukraina memboikot seluruh barang buatan Rusia. Negara-negara lain yang mendukung tindakan Ukraina dan mengikuti langkah yang serupa (seperti Uni Eropa, Norwegia, Islandia, Swiss, Lichtenstein, Albania, Montenegro, Amerika Serikat, Britania Raya, Kanada, Australia, New Zealand, Jepang, dll.).[119] Rusia merespons hal tersebut dengan langkah serupa seperti sanksi terhadap Ukraina dan pendukungnya tetapi tidak mempublikasikan tokoh atau organisasi yang kena dalam daftar hitam tersebut.[120][121][122] Pada tanggal 27 Maret, Majelis Umum PBB menetapkan Resolusi 68/262 yang menyatakan referendum Krimea tidak sah secara hukum internasional dan penyatuan Krimea ke Rusia adalah tindakan ilegal.[123][124] Dan pada 27 Maret 2016, Dmitry Kozak ditunjuk untuk memperkuat hubungan sosial, politik, dan ekonomi Krimea dengan Rusia.[125][126] Pada 14 April, Vladimir Putin menetapkan Bank Rossiya sebagai bank utama di Krimea yang telah dianeksasi dan memberikan hak untuk memberikan pelayanan pembayaran listrik di Krimea sebesar $36 miliar per tahun - yang akan memberikan bank tersebut komisi sebesar $112 juta setiap tahunnya.[127] Pada sidang Pertemuan Parlemen Majelis Eropa tanggal 26 Juni 2014, Presiden Ukraina Petro Poroshenko menyatakan bahwa hubungan bilateral dengan Rusia tidak dapat kembali normal kecuali Rusia mengembalikan Krimea ke Ukraina.[128] Pada bulan Februari 2015, Ukraina mengakhiri perjanjian pada tahun 1997 yang mengatur warga Rusia dapat masuk ke Ukraina cukup dengan kartu tanda penduduk dan tidak memerlukan paspor.[129] Di bulan Mei 2015, Ukraina menghentikan sementara kerjasama militer dengan Rusia,[130][131] yang telah dilakukan sejak tahun 1993.[132] Setelah berhentinya kerjasama dalam bisnis, Ukraina juga menghentikan pasokan komponen senjata ke Rusia.[133] Pada bulan Agustus, Rusia mengumumkan pelarangan impor dari peralatan pertanian dari Ukraina mulai Januari 2016.[134] Pada Oktober 2015, Ukraina melarang semua penerbangan langsung antara Ukraina dan Rusia.[135] Pada bulan November 2015, Ukraina menutup wilayah udaranya untuk semua pesawat militer dan komersial Rusia.[136] Pada bulan Desember 2015, Verkhovna Rada memutuskan untuk memberikan embargo perdagangan pada Rusia sebagai balasan pembatalan zona perdagangan bebas kedua negara dan larangan impor makanan dari Ukraina karena perjanjian perdagangan bebas antara Uni Eropa dan Ukraina akan berlaku mulai Januari 2016.[137] Rusia memberikan cukai terhadap seluruh barang dari Ukraina mulai Januari 2016, sebagai akibat Ukraina bergabung dengan zona perdagangan bebas Uni Eropa.[138] Wilayah perbatasanRusia dan Ukraina berbatasan sepanjang 2.295 kilometer. Pada tahun 2014, pemerintah Ukraina merencanakan untuk membangun sistem tembok pertahanan di sepanjang perbatasan dengan Rusia, yang bernama "Proyek Tembok". Proyek itu akan memakan biaya hampir $520 juta dan waktu selama empat tahun untuk menyelesaikan. Proyek ini dalam proses pembangunan sejak tahun 2015.[139] Industri senjata dan dirgantaraSektor manufaktur senjata dan dirgantara Ukraina dan Rusia tetap terintegrasi dengan baik walau Uni Soviet telah pecah, hanya saja integrasi ini terancam oleh sengketa politik pada tahun 2014. Ukraina merupakan eksportir senjata terbesar kedelapan di dunia menurut Stockholm International Peace Research Institute, dan menurut analis yang dikutip oleh The Washington Post sekitar 70% dari ekspor bidang pertahanan Ukraina menuju Rusia sebelum tahun 2014, atau hampir US$1 miliar. Potensi ekspor strategis dari Ukraina ke Rusia termasuk 300-350 mesin helikopter per tahun serta beraneka mesin pesawat berasal dari Motor Sich di Zaporizhia, rudal balistik antarbenua dari Yuzhmash di Dnipropetrovsk, sistem pemandu rudal dari pabrik di Kharkiv, 20% dari penggunaan uranium oleh Rusia diperoleh dari tambang di Zhovti Vody, 60% dari roda gigi yang akan digunakan dalam kapal perang Rusia dibuat oleh pabrik di kawasan Mykolaiv, serta minyak dan gas dari Laut Azov.[140] Opini publikDi RusiaDalam jajak pendapat, warga Rusia pada umumnya mempunyai pandangan negatif terhadap Ukraina, hal tersebut dikarenakan pejabat tinggi Rusia membuat pernyataan kontroversial atau mengambil tindakan keras terhadap Ukraina. Isu yang membuat warga Rusia tidak menyukai Ukraina antara lain:
Meskipun sebagian besar warga Ukraina memilih untuk merdeka pada Desember 1991, setahun setelahnya media Rusia menggambarkan referendum dan kemerdekaan tersebut sebagai tindakan dari "kaum nasionalis" yang "memanipulasi" perasaan warga Ukraina.[141] Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 1996 mengatakan bahwa hal tersebut mempengaruhi masyarakat Rusia untuk mempercayai jika elit politik Ukraina adalah satu-satunya penghalang Ukraina agar dapat bersatu dengan Rusia.[141] Beberapa elit politik Rusia terus mengklaim bahwa bahasa Ukraina merupakan dialek Rusia dan Ukraina (serta Belarus) harus menjadi bagian dari Federasi Rusia.[142] Mikhail Zurabov, duta besar Rusia untuk Ukraina terdahulu, menyatakan "Rusia dan Ukraina adalah satu bangsa dengan beberapa perbedaan".[143] Sejarah Ukraina tidak diperlakukan sebagai subyek pembelajaran yang terpisah subjek dalam universitas di Rusia melainkan menjadi bagian dari sejarah Rusia.[144] [[:en:Philip_P._Pan|Philip P. Pan] (kolumnis the Washington Post) berpendapat bahwa media Rusia menggambarkan Pemerintahan Ukraina sebagai anti-Rusia.[145]
Selama tahun 1990-an, hasil jajak pendapat menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Rusia tidak dapat menerima pembubaran Uni Soviet dan kemerdekaan Ukraina.[152] Menurut jajak pendapat oleh VCIOM pada tahun 2006 menunjukkan 66% masyarakat Rusia menyesali runtuhnya Uni Soviet.[153] 50% responden di Ukraina dalam jajak pendapat serupa yang diadakan pada Februari 2005 menyatakan bahwa mereka menyesal atas pembubaran Uni Soviet.[154] Pada jajak pendapat pada tahun 2005 (71%) dan tahun 2007 (48%), Rusia menyatakan keinginan untuk bersatu dengan Ukraina; meskipun penyatuan dengan Belarus lebih didukung.[155][156] Sebuah hasil jajak pendapat yang dirilis pada 5 November 2009 menunjukkan bahwa 55% dari warga Rusia percaya jika hubungan dengan Ukraina harus menjadi persahabatan antara "dua negara merdeka".[149] Jajak pendapat oleh Levada Center di akhir 2011 menunjukkan 53% dari warga Rusia lebih memilih persahabatan dengan Ukraina sebagai negara merdeka, 33% lebih memilih Ukraina berada di bawah kendali ekonomi dan politik Rusia, dan 15% belum memutuskan.[157] Pada hasil jajak pendapat yang diselenggarakan oleh lembaga yang sama pada tahun 2012 menunjukkan 60% warga Rusia lebih memilih Rusia dan Ukraina sebagai negara merdeka tetapi berhubungan baik dengan perbatasan terbuka tanpa visa atau cukai; jumlah pendukung penyatuan Rusia-Ukraina meningkat sebesar 4% menjadi 20% di Rusia.[158] Sebanyak 20 survei yang dilakukan dari Januari 2009 sampai Januari 2015 oleh Levada Center menemukan bahwa kurang dari 10% warga Rusia yang mendukung Rusia dan Ukraina menjadi satu negara.[159] Survei pada bulan Januari 2015 menunjukkan 19% responden ingin Ukraina Timur menjadi bagian dari Rusia dan 43% ingin Ukraina Timur menjadi negara berdaulat.[159] Survei yang dilakukan pada November 2014 oleh Universitas Oslo menemukan bahwa kebanyakan warga Rusia memandang Ukraina bukanlah negara yang sah.[160] Menurut sebuah survei yang dilakukan di April 2015 oleh Levada Center, yang menanyakan "Apa yang harus menjadi tujuan utama pemerintah Rusia pada hubungan Rusia dengan Ukraina?" (jawaban lebih dari satu diperbolehkan), jawaban yang paling umum antara lain: Memulihkan hubungan baik (40%), mempertahankan Krimea (26%), mengembangkan kerjasama ekonomi (21%), mencegah Ukraina bergabung dengan NATO (20%), membuat harga gas untuk Ukraina sama dengan negara Eropa lain (19%), dan melengserkan kepemimpinan Ukraina saat ini (16%).[161] Di Ukraina
Hasil jajak pendapat yang dirilis pada 5 November 2009 menunjukkan bahwa sekitar 67% warga Ukraina meyakini jika hubungan dengan Rusia harus menjadi persahabatan antara "dua negara merdeka".[149] Menurut hasil survei yang dilakukan pada tahun 2012 oleh Kyiv International Institute of Sociology (KIIS), 72% warga Ukraina lebih memilih Ukraina dan Rusia sebagai negara berdaulat dengan hubungan baik dengan perbatasan terbuka tanpa visa atau cukai; jumlah pendukung penyatuan Rusia dan Ukraina menurun sebesar 2% menjadi 14% di Ukraina.[158] Menurut survei yang dilakukan Deutsche Welle di bulan Desember 2014 menunjukkan 85% rakyat Ukraina (81% di wilayah timur) menilai hubungan dengan Rusia sebagai bermusuhan (56%) atau tegang (29%), survei tidak dilakukan di Krimea dan wilayah yang dikendalikan separatis di Donbas.[166] Sebuah survei yang dilakukan di bulan September–Oktober 2014 oleh Gallup menunjukkan hanya 5% rakyat Ukraina (12% di wilayah selatan dan timur) yang mendukung kepemimpinan Rusia, turun dari 43% (57% di wilayah selatan dan timur) pada tahun sebelumnya.[167] Pada bulan September 2014, survei yang dilakukan oleh Alexei Navalny di wilayah berbahasa Rusia seperti kota Odessa dan Kharkiv menunjukkan 87% penduduk ingin wilayah mereka tetap berada di bawah Ukraina, 3% ingin bergabung dengan Rusia, 2% ingin bergabung dengan "Novorossiya," dan 8% belum menentukan.[168] Hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh KIIS di bulan Desember 2014 menunjukkan 88,3% rakyat Ukraina menolak untuk bergabung dengan Rusia.[169] Perjanjian dan kesepakatan
Sengketa wilayahTerdapat beberapa sengketa wilayah sejak aneksasi Krimea oleh Rusia.
Utang Ukraina kepada RusiaPada 18 Desember 2015, Ukraina mengatakan bahwa mereka tidak akan membayar utang sebesar $3 miliar kepada Rusia, dengan alasan Rusia menolak untuk menerima syarat-syarat pembayaran yang ditawarkan ke kreditor internasional lain. Hal ini dapat membawa Ukraina jatuh dalam keadaan gagal bayar utang nasional pada 20 Desember 2015. Selain itu, pembayaran utang komersial Ukraina sebesar $507 juta kepada bank-bank Rusia juga akan dihentikan. Perdana Menteri Ukraina, Arseniy Yatsenyuk mengatakan Ukraina telah memberlakukan moratorium pembayaran obligasi Euro yang dimiliki oleh Rusia sebesar $3 miliar. Ia tidak menyebut berapa lama moratorium akan berlangsung. Moskwa telah mengatakan bahwa mereka akan membawa masalah ini ke pengadilan bila Ukraina tidak membayar tepat pada waktunya Referensi
|