Elizabeth I (7 September 1533 – 24 Maret 1603) adalah ratu Kerajaan Inggris dan Irlandia dari 17 November 1558 hingga kematiannya. Ia kadang-kadang dijuluki "The Virgin Queen" (Ratu Perawan), "Gloriana", atau "Good Queen Bess". Elizabeth adalah penguasa monarki kelima dan terakhir dari Dinasti Tudor. Ia merupakan putri dari Henry VIII dan Anne Boleyn, tetapi ibunya dihukum mati dua setengah tahun setelah kelahirannya, dan pernikahan Anne dengan Henry VIII dibatalkan, sehingga Elizabeth dianggap sebagai anak yang tidak sah. Saudara tirinya, Edward VI, menjadi raja hingga kematiannya pada tahun 1553, dan sebelum meninggal ia menyerahkan takhta kepada Lady Jane Grey, yang bertentangan dengan undang-undang yang berlaku saat itu dan menyingkirkan Elizabeth dan Mary. Namun, keinginan Edward diabaikan; Mary menjadi ratu dan Lady Jane Grey dihukum mati. Pada tahun 1558, Elizabeth menggantikan saudara tirinya, walaupun sebelumnya Elizabeth dipenjara hampir selama setahun karena diduga mendukung pemberontak Protestan.
Elizabeth mencoba memerintah berdasarkan nasihat yang baik,[1] sehingga ia sangat bergantung pada penasihat-penasihat tepercayanya yang dipimpin oleh William Cecil, Baron Burghley. Salah satu tindakan pertamanya adalah mendirikan kembali gereja Protestan Inggris, dengan Elizabeth sebagai Gubernur Tertinggi (Supreme Governor). Gereja ini akan berkembang menjadi Gereja Inggris saat ini. Elizabeth diharapkan akan menikah dan menghasilkan keturunan sehingga melanjutkan garis keturunan Tudor. Namun, ia tidak pernah menikah, walaupun pernah beberapa kali berpacaran. Elizabeth kemudian dikenal akan keperawanannya, dan muncul kultus yang dapat dilihat dalam bentuk potret, arak-arakan, dan sastra.
Saat memerintah, Elizabeth lebih moderat dari ayah dan saudara-saudaranya.[2] Salah satu semboyannya adalah "video et taceo" ("Saya melihat dan tidak mengatakan apa-apa").[3] Ia relatif toleran terhadap kepercayaan lain dan tidak melakukan penganiayaan atas dasar tersebut. Setelah tahun 1570, saat paus menyatakan bahwa ia adalah penguasa yang tidak sah dan bawahan-bawahannya tidak harus patuh kepadanya, beberapa konspirasi mengancam nyawanya. Namun, semua upaya untuk menjatuhkan Elizabeth digagalkan berkat agen rahasia menteri-menterinya. Dalam urusan luar negeri, Elizabeth cukup berhati-hati dan berpindah-pindah antara Prancis dan Spanyol. Ia setengah hati dalam mendukung sejumlah kampanye militer yang tidak efektif dan kurang dibiayai di Belanda, Prancis, dan Irlandia. Pada pertengahan tahun 1580-an, perang dengan Spanyol tak dapat lagi dihindari, dan ketika Spanyol memutuskan akan menaklukkan Inggris pada tahun 1588, Armada Spanyol dikalahkan oleh Inggris, dan kemenangan ini menjadi salah satu kemenangan terbesar dalam sejarah Inggris.
Masa kekuasaan Elizabeth disebut era Elizabeth dan dikenal karena perkembangan drama Inggris oleh beberapa pujangga seperti William Shakespeare dan Christopher Marlowe. Selain itu, penjelajah-penjelajah Inggris seperti Francis Drake juga tersohor. Namun, beberapa sejarawan menyatakan bahwa Elizabeth mudah marah, kadang-kadang tidak tegas,[4] dan hanya beruntung saja. Menjelang akhir kekuasaannya, akibat berbagai masalah ekonomi dan militer, popularitasnya berkurang. Namun, ia tetap dikenal sebagai seorang reformis yang karismatik dan berhasil bertahan pada masa ketika pemerintahan Inggris hampir roboh dan saat penguasa di negara-negara tetangga menghadapi masalah internal yang mengancam kekuasaannya. Hal ini terjadi pada musuh Elizabeth, Mary, Ratu Skotlandia, yang dipenjara oleh Elizabeth pada tahun 1568 dan akhirnya dihukum mati pada tahun 1587. Empat puluh empat tahun masa kekuasaan Elizabeth telah membawa stabilitas pada Inggris dan membantu membentuk identitas nasional.[2]
Saat Elizabeth berusia dua tahun dan delapan bulan, ibunya dihukum mati pada tanggal 19 Mei 1536.[8] Elizabeth dinyatakan sebagai anak yang tidak sah dan tidak lagi menjadi calon penerus.[9] Sebelas hari setelah kematian Anne Boleyn, Henry menikahi Jane Seymour, tetapi ia meninggal segera setelah melahirkan anak laki-laki yang bernama Edward pada tahun 1537. Semenjak kelahirannya, Edward menjadi calon penerus takhta yang tak terbantahkan. Elizabeth ditempatkan di rumah tangganya dan membawa chrisom (kain baptis) saat Edward dibaptis.[10]
Pengajar dan pengasuh pertama Elizabeth adalah Margaret Bryan.[11] Pada musim gugur tahun 1537, Elizabeth diurus oleh Blanche Herbert hingga ia pensiun pada akhir tahun 1545 atau awal tahun 1546.[12]Catherine Champernowne, yang lebih dikenal dengan nama Catherine "Kat" Ashley, menjadi pengajar dan pengasuh Elizabeth pada tahun 1537, dan ia tetap menjadi teman Elizabeth hingga kematiannya pada tahun 1565.[13] Champernowne mengajari Elizabeth empat bahasa: bahasa Prancis, Vlaams, Italia, dan Spanyol.[14] Pada saat William Grindal menjadi pengajarnya pada tahun 1544, Elizabeth dapat menulis dalam bahasa Inggris, Latin, dan Italia. Di bawah pengajaran Grindal, kemampuan bahasa Prancis dan Yunani Elizabeth juga mengalami kemajuan.[15] Setelah Grindal meninggal pada tahun 1548, Elizabeth dididik oleh Roger Ascham.[16] Pada saat pendidikan resminya berakhir pada tahun 1550, ia adalah salah satu perempuan paling terdidik pada generasinya.[17] Pada akhir hayatnya, Elizabeth juga diketahui dapat menuturkan bahasa Welsh, Kernowek, Scots,[18] dan Irlandia. Duta besar Venesia pada tahun 1603 menyatakan bahwa ia menguasai bahasa-bahasa tersebut hingga seolah bahasa tersebut merupakan bahasa aslinya.[19] Sejarawan Mark Stoyle menyatakan bahwa ia mungkin mempelajari bahasa Kernowek dari William Killigrew.[20]
Thomas Seymour
Henry VIII meninggal pada tahun 1547; saudara tiri Elizabeth, Edward VI, menjadi raja pada usia sembilan tahun. Catherine Parr, istri Henry yang akhirnya menjadi janda, kemudian menikahi Thomas Seymour dari Sudeley, paman Edward VI dan saudara dari Edward Seymour, Adipati Somerset. Mereka membawa Elizabeth ke rumah tangga mereka di Chelsea. Di situ Elizabeth mengalami krisis emosional yang diyakini memengaruhi hidupnya untuk selamanya.[22] Seymour, yang umurnya sudah mendekati 40 tahun namun masih memiliki "daya tarik seks yang kuat",[22] bermain-main dengan Elizabeth yang masih berusia 14 tahun, seperti memasuki kamar tidurnya, menggelitikinya, dan memukuli pantatnya. Parr tidak melarang suaminya melakukan hal tersebut dan malah turut serta. Dua kali ia ikut menggelitiki Elizabeth, dan pernah ia menahannya sementara Seymour memotong gaun hitam Elizabeth "menjadi seribu potongan."[23] Namun, setelah Parr memergoki Elizabeth dan Seymour sedang berpelukan, ia segera menghentikannya.[24] Pada Mei 1548, Elizabeth dikirim ke tempat lain.
Namun, Thomas Seymour sedang berencana menguasai keluarga kerajaan dan mencoba menjadikan dirinya gubernur raja.[25][26] Ketika Parr meninggal setelah melahirkan pada tanggal 5 September 1548, Seymour kembali tertarik pada Elizabeth dan berminat menikahinya.[27] Kabar mengenai tingkah lakunya terhadap Elizabeth terdengar,[28] dan saudaranya dan dewan-dewan merasa tidak tahan lagi akan kelakuannya.[29] Pada Januari 1549, Seymour ditangkap karena diduga berencana menikahi Elizabeth dan menjatuhkan saudaranya. Elizabeth yang tinggal di Hatfield House tidak mengakui apa-apa. Kekeraskepalaannya menggusarkan orang yang menginterogasinya, Sir Robert Tyrwhitt, yang melaporkan "saya lihat di wajahnya bahwa ia bersalah".[29] Seymour kemudian dipancung pada tanggal 20 Maret 1549.
Masa kekuasaan Mary I
Edward VI meninggal pada tanggal 6 Juli 1553 pada usia 15 tahun. Kehendak terakhirnya adalah menjadikan Lady Jane Grey, cucu dari saudara perempuan Henry VIII Mary Tudor, sebagai penggantinya. Kehendak yang menyingkirkan Mary dan Elizabeth ini bertentangan dengan Succession to the Crown Act 1543. Lady Jane kemudian dinyatakan sebagai ratu oleh Privy Council, tetapi setelah sembilan hari ia dijatuhkan. Mary memasuki London dengan Elizabeth di sisinya.[30]
Solidaritas antar dua bersaudara ini tidak berlangsung lama. Mary adalah seorang penganut Katolik yang taat dan hendak menghancurkan iman Protestan yang merupakan latar belakang pendidikan Elizabeth. Mary memerintahkan semua orang wajib menghadiri misa Katolik, dan Elizabeth mau tidak mau harus patuh. Kepopuleran Mary menurun pada tahun 1554 setelah ia mengumumkan akan menikahi Raja Felipe dari Spanyol, yang merupakan putra dari Kaisar Karl V dan penganut Katolik yang taat.[31] Orang-orang yang tidak senang akan hal ini melirik Elizabeth untuk melawan kebijakan-kebijakan religius Mary.
Pada Januari dan Februari 1554, pemberontakan Wyatt meletus, tetapi segera dipadamkan.[32] Elizabeth dibawa ke pengadilan dan diinterogasi. Pada tanggal 18 Maret, ia dipenjarakan di Menara London. Elizabeth bersikeras bahwa ia tak bersalah.[33] Walaupun kemungkinan besar ia tidak bersekongkol dengan para pemberontak, beberapa pemberontak pernah mendekatinya. Orang kepercayaan terdekat Mary, yaitu Simon Renard yang merupakan duta Karl V, menyatakan bahwa takhta Mary tidak akan pernah aman selama Elizabeth masih hidup. Sementara itu, Kanselir Stephen Gardiner mencoba membawa Elizabeth ke pengadilan.[34] Pendukung Elizabeth di pemerintahan seperti William Paget meyakinkan Mary untuk mengampuni Elizabeth karena tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa ia bersekongkol. Malahan, pada 22 Mei, Elizabeth dipindah dari Menara London ke Woodstock dan ia berada dalam tahanan rumah selama hampir setahun. Kerumunan massa menyorakinya di sepanjang jalan.[35][36]
Pada 17 April 1555, Elizabeth dipanggil kembali ke istana karena Mary diduga hamil. Jika Mary dan anaknya meninggal, Elizabeth akan menjadi ratu. Namun, bila Mary melahirkan anak yang sehat, kesempatan Elizabeth menjadi ratu akan hilang. Ternyata Mary tidak hamil, sehingga tidak ada lagi yang percaya bahwa ia dapat melahirkan seorang anak.[37] Posisi Elizabeth sebagai penerus tampaknya telah terjamin.[38]
Raja Felipe mulai berkuasa di Spanyol pada tahun 1556. Ia menyadari bahwa situasi politik di Inggris sudah berubah, sehingga ia mencoba memperkuat hubungannya dengan Elizabeth. Elizabeth lebih dapat dijadikan sekutu daripada Mary, Ratu Skotlandia, yang dibesarkan di Prancis dan ditunangkan dengan Dauphin dari Prancis.[39] Ketika istrinya jatuh sakit pada tahun 1558, Raja Felipe mengirim Count Feria untuk berkonsultasi dengan Elizabeth.[40] Tanya jawab ini dilakukan di Hatfield House, yang kembali menjadi tempat tinggal Elizabeth pada Oktober 1555. Pada Oktober 1558, Elizabeth sudah mulai merencanakan pemerintahannya. Pada 6 November, Mary mengakui Elizabeth sebagai penerusnya.[41] Mary meninggal pada tanggal 17 November 1558, dan Elizabeth akhirnya naik takhta.
Naik takhta
Elizabeth menjadi ratu pada umur 25 tahun dan mengutarakan niatan-niatannya kepada dewan dan rekan-rekan sejawatnya yang datang ke Hatfield untuk melakukan sumpah kesetiaan. Substansi pidatonya mengandung teologi politik abad pertengahan mengenai "dua badan" yang berdaulat, yaitu badan alami dan badan politik:[42]
Tuan-tuan, hukum alam menggerakkan saya untuk berduka untuk saudara perempuan saya; beban yang menimpa saya membuat saya takjub, dan tetapi, mengingat saya adalah makhluk Tuhan, yang ditahbiskan untuk mematuhi penunjukan-Nya, saya akan berserah, menginginkan dari lubuk hati terdalam agar saya memperoleh bantuan dari kasih karunia-Nya agar dapat menjadi pelaksana kehendak surgawi-Nya dalam jabatan yang kini dipercayakan kepada saya ini. Dan karena saya hanya satu badan alamiah, walau melalui izin-Nya memerintah satu badan politik, maka saya ingin kalian semua ... agar membantu saya, agar saya dengan kekuasaan saya dan kalian dengan pelayanan kalian dapat melaksanakan tugas dengan baik untuk Tuhan yang maha kuasa dan mewariskan beberapa kenyamanan untuk keturunan kita di Bumi. Saya bermaksud mengarahkan tindakan saya berdasarkan anjuran dan nasihat yang baik.[43]
Saat ia diarak-arak di kota pada malam upacara pemahkotaan, ia disambut oleh rakyat beserta orasi dan arak-arakan dengan unsur Protestan yang kuat. Tanggapan Elizabeth yang terbuka dan ramah menyenangkan para penontonnya yang "amat terpesona".[44] Pada hari berikutnya (15 Januari 1559), Elizabeth dimahkotai dan diurapi oleh Owen Oglethorpe, Uskup Carlisle yang beragama Katolik, di Biara Westminster. Ia kemudian dipersembahkan kepada rakyat untuk diterima, sementara suara organ, seruling, drum, dan lonceng memekakkan telinga.[45]
Keyakinan agama Elizabeth telah diperdebatkan oleh para ahli. Ia adalah seorang Protestan, tetapi tetap menyimpan simbol-simbol Katolik (seperti salib) dan mengecilkan peranan khotbah (yang bertentangan dengan keyakinan utama Protestan).[46]
Terkait dengan kebijakan publik, ia cenderung pragmatis dalam masalah-masalah agama. Pertanyaan mengenai keabsahannya sebagai penguasa menjadi perhatian utama: walaupun secara teknis berdasarkan hukum Protestan dan Katolik ia dianggap tidak absah, ketidakabsahannya yang dinyatakan secara retroaktif oleh gereja Inggris tidak menjadi hambatan yang serius bila dibandingkan dengan ketidakabsahannya dari awal menurut klaim orang-orang Katolik. Maka dari itu, tidak diragukan lagi bahwa Elizabeth menganut iman Protestan.
Elizabeth dan penasihat-penasihatnya melihat adanya ancaman perang suci Katolik terhadap Inggris yang dianggap bidaah. Maka Elizabeth mencoba mencari solusi Protestan yang tidak akan terlalu menyinggung orang Katolik, tetapi pada saat yang sama juga memenuhi keinginan orang-orang Protestan Inggris. Namun, ia tidak menoleransi orang-orang Puritan yang lebih radikal dan meminta reformasi yang lebih besar pengaruhnya.[47] Maka dari itu, parlemen pada tahun 1559 mulai membuat undang-undang mengenai gereja berdasarkan penyelesaian Protestan Edward VI, dengan sang penguasa monarki sebagai kepalanya, tetapi dengan banyak unsur Katolik seperti jubah keimaman.[48]
House of Commons sangat mendukung usulan ini, tetapi undang-undang supremasi tersebut ditentang House of Lords, terutama dari golongan para uskup. Elizabeth beruntung karena banyak jabatan uskup yang sedang lowong saat itu, termasuk jabatan Uskup Agung Canterbury.[49][50] Akibatnya, pendukung undang-undang tersebut dapat mengalahkan suara para uskup dan kaum konservatif. Namun, Elizabeth terpaksa menerima gelar Gubernur Tertinggi Gereja Inggris dan tidak dapat memperoleh gelar Kepala Tertinggi, karena gelar tersebut dianggap tidak dapat dijabat oleh seorang perempuan. Undang-Undang Supremasi ditetapkan sebagai hukum pada tanggal 8 Mei 1559. Semua pejabat publik harus melakukan sumpah kesetiaan kepada gubernur tertinggi dan bila tidak berisiko diberhentikan dari jabatan. Undang-undang mengenai bidaah juga dicabut untuk menghindari terulangnya peristiwa penganiayaan yang dilancarkan oleh pendahulu Elizabeth, Mary. Pada saat yang sama, Undang-Undang Keseragaman diberlakukan, yang mewajibkan kehadiran di gereja dan penggunaan Book of Common Prayer versi 1552, walaupun sanksi untuk yang melanggar tidak berat.[51]
Permasalahan pernikahan
Dari awal masa kekuasaan Elizabeth, ia diharapkan untuk segera menikah dan muncul pertanyaan mengenai siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya. Namun, ia tidak pernah menikah, walaupun ia menerima banyak tawaran. Alasan mengapa sang ratu tidak menikah masih belum jelas. Sejarawan memperkirakan bahwa Thomas Seymour membuatnya tidak menginginkan hubungan seksual lagi, atau mungkin Elizabeth tahu kalau dirinya mandul.[53][54] Ia mempertimbangkan beberapa peminang hingga ia berusia sekitar lima puluh tahun. Pacar terakhirnya adalah François, Adipati Anjou, yang lebih muda 22 tahun. Walaupun terdapat risiko kehilangan kekuasaan seperti yang terjadi pada saudara perempuan Elizabeth yang dijebak oleh Raja Felipe II dari Spanyol, pernikahan dapat memberikan keturunan yang dapat menjadi calon penerus.[55] Namun, pilihan suami yang tidak tepat dapat memicu ketidakstabilan politik atau bahkan pemberontakan.[56]
Robert Dudley
Pada musim semi tahun 1559, tampak jelas bahwa Elizabeth jatuh cinta kepada teman masa kecilnya, Robert Dudley.[57] Konon Amy Robsart yang merupakan istri Robert mengidap "penyakit di salah satu payudaranya", dan sang ratu hendak menikahi Dudley bila istrinya meninggal.[58] Pada musim gugur tahun 1559, beberapa pelamar dari luar negeri ingin meminang Elizabeth; beberapa utusan yang tidak sabar terlibat dalam perbincangan yang menimbulkan skandal dan melaporkan bahwa pernikahan dengan orang tersayang Elizabeth tidak disambut di Inggris:[59] "Tidak ada satupun laki-laki yang tidak berteriak pada mereka dengan kemarahan ... ia tidak akan menikahi siapapun selain Robert yang tersayang".[60] Amy Dudley kemudian meninggal pada September 1560 karena jatuh dari tangga. Walaupun pemeriksaan menunjukkan bahwa peristiwa tersebut merupakan kecelakaan, banyak yang curiga bahwa Dudley adalah dalangnya.[61] Elizabeth kadang-kadang sungguh mempertimbangkan pernikahan dengan Dudley. Namun, William Cecil, Nicholas Throckmorton, dan beberapa bangsawan konservatif lainnya menyatakan ketidaksetujuan mereka.[62] Bahkan terdapat rumor bahwa para bangsawan akan memberontak bila pernikahan tersebut berlangsung.[63]
Di antara pernikahan-pernikahan lain yang dipertimbangkan oleh sang ratu, Robert Dudley dianggap sebagai kandidat yang mungkin selama satu dasawarsa berikutnya.[64] Elizabeth sangat cemburu akan kasih sayangnya, bahkan saat ia sudah tidak ingin lagi menikahinya.[65] Pada tahun 1564, Elizabeth mengangkat Dudley menjadi Earl Leicester. Ia kemudian menikah lagi pada tahun 1578, sehingga sang ratu tidak senang dan bahkan membenci istri Dudley, Lettice Knollys.[66] Namun, seperti yang dideskripsikan oleh sejarawan Susan Doran, Dudley tetap "berada di tengah kehidupan emosional [Elizabeth]".[67] Dudley meninggal tidak lama setelah Armada Spanyol dikalahkan. Setelah Elizabeth sendiri mangkat, catatan dari Dudley ditemukan di antara barang-barang pribadi Elizabeth, dan surat itu sendiri ditandai dengan tulisan tangan Elizabeth yang bertuliskan "surat terakhirnya".[68]
Aspek politik
Negosiasi pernikahan merupakan salah satu unsur utama dalam kebijakan luar negeri Elizabeth.[70] Ia menolak pinangan Felipe II pada tahun 1559, dan melakukan negosiasi selama beberapa tahun untuk menikahi sepupunya Karl dari Austria. Pada tahun 1569, hubungan dengan Wangsa Habsburg memburuk, sehingga Elizabeth mempertimbangkan pernikahan dengan dua orang Prancis dari Wangsa Valois, yaitu Henri, Adipati Anjou dan nantinya (dari tahun 1572 hingga 1581) saudara laki-laki Henri, François, Adipati Anjou, yang sebelumnya memiliki gelar Adipati Alençon.[71] Usulan terakhir ini terkait dengan rencana persekutuan melawan kekuasaan Spanyol di Belanda Selatan.[72] Elizabeth tampaknya mempertimbangkan François dengan serius selama beberapa waktu dan mengenakan anting berbentuk katak yang dikirim oleh Anjou.[73]
Pada tahun 1563, Elizabeth memberitahu seorang utusan imperial: "Jika saya mengikuti kecenderungan watak saya, itu adalah: wanita pengemis dan lajang, jauh dari [watak] ratu dan menikah".[70] Pada akhir tahun, karena Elizabeth mengidap penyakit variola, perbincangan mengenai calon penerus Elizabeth memanas di Parlemen. Mereka meminta agar sang ratu menikah atau menunjuk seorang penerus untuk mencegah perang saudara setelah kematiannya. Ia menolak untuk melakukan keduanya. Pada bulan April, ia menggunakan hak prorogasi, sehingga Parlemen tidak berkumpul kembali hingga Elizabeth membutuhkannya untuk memungut pajak pada tahun 1566. Karena sebelumnya telah berjanji untuk menikah, ia menyatakan bahwa:
Saya tidak pernah melanggar kata-kata yang diucapkan seorang pangeran di muka umum, demi kehormatan saya. Dan maka saya katakan sekali lagi, saya akan menikah sesegera mungkin bila saya dapat dengan mudah melakukannya, jika Tuhan tidak mengambil orang yang ingin saya nikahi, atau diri saya sendiri, atau mungkin hal lain yang biarlah terjadi.[74]
Pada tahun 1570, tokoh-tokoh senior dalam pemerintahan secara pribadi menerima fakta bahwa Elizabeth tidak akan pernah menikah atau menamai seorang penerus. William Cecil sudah mencoba mencari solusi untuk masalah penerus.[70] Akibat kegagalannya dalam menikah, Elizabeth sering kali dituduh tidak bertanggung jawab.[75] Namun, kebungkamannya memperkuat keamanan politiknya: ia tahu bahwa bila ia menamai seorang penerus, ia dapat dikudeta kapanpun; ia mengingat bagaimana "orang kedua seperti saya sebelumnya" telah digunakan untuk bersekongkol melawan pendahulunya.[76]
Status Elizabeth yang masih lajang memicu tumbuhnya kultus keperawanan. Dalam puisi dan potret, ia digambarkan sebagai seorang perawan atau dewi atau keduanya, bukan sebagai perempuan biasa.[78] Pada awalnya, hanya Elizabeth yang memanfaatkan keperawanannya: pada tahun 1559, ia memberitahu House of Commons, "Dan, pada akhirnya, ini cukup bagi saya, bahwa sebuah batu marmer akan mendeklarasikan bahwa seorang ratu, yang telah berkuasa begitu lama, hidup dan meninggal sebagai seorang perawan".[79] Nantinya, penulis dan pujangga menggunakan tema tersebut dan mengubahnya menjadi ikonografi yang mengagungkan Elizabeth. Penghargaan publik terhadap sang Perawan pada tahun 1578 menunjukkan perlawanan terhadap negosiasi pernikahan sang ratu dengan Adipati Alençon.[80]
Untuk memberi makna positif pada status pernikahannya, Elizabeth bersikeras bahwa ia telah menikah dengan kerajaan dan bawahan-bawahannya, di bawah perlindungan ilahi. Pada tahun 1599, ia pernah mengatakan "semua suami saya, rakyatku yang baik".[81]
Mary, Ratu Skotlandia
Kebijakan pertama Elizabeth untuk Skotlandia adalah menentang keberadaan Prancis di sana.[82] Ia khawatir bahwa Prancis berencana menyerang Inggris dan menjadikan Mary, Ratu Skotlandia, sebagai ratu,[83] karena ia dianggap sebagai penerus takhta Inggris oleh banyak orang.[84] Elizabeth dibujuk untuk mengirim pasukan ke Skotlandia agar dapat membantu pemberontak Protestan. Walaupun kampanye militer yang berlangsung cukup ganjil, Traktat Edinburgh pada Juli 1560 dapat menghilangkan ancaman dari Prancis di utara.[85] Saat Mary kembali ke Skotlandia pada tahun 1561 untuk berkuasa, gereja Protestan telah didirikan dan dijalankan oleh dewan bangsawan-bangsawan Protestan yang didukung oleh Elizabeth.[86] Mary menolak meratifikasi traktat tersebut.[87]
Pada tahun 1563, Elizabeth mengusulkan agar Robert Dudley menjadi suami Mary, tanpa meminta persetujuan kedua orang tersebut. Keduanya tampak tidak antusias,[88] dan pada tahun 1565 Mary menikahi Henry Stuart, Lord Darnley, yang juga memiliki klaim atas takhta Inggris. Pernikahan tersebut merupakan kesalahan pertama Mary yang membuatnya dikalahkan oleh Protestan Skotlandia dan Elizabeth. Darnley tidak populer di Skotlandia dan bernama buruk karena mendalangi pembunuhan sekretaris Italia Mary, David Rizzio. Pada Februari 1567, Darnley dibunuh oleh para konspirator yang hampir pasti dipimpin oleh James Hepburn, Earl Bothwell. Segera setelah itu, pada 15 Mei 1567, Mary menikahi Bothwell, sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa ia terlibat dalam pembunuhan suaminya. Elizabeth menulis kepadanya:
Seburuk-buruknya pilihan bagi kehormatanmu adalah menikahi secara terburu-buru bawahan semacam itu, yang selain memiliki kekurangan yang terkenal buruk dan lainnya juga dituduh publik atas pembunuhan suamimu yang telah wafat, selain juga menyentuh dirimu di beberapa bagian, walaupun kami salah dalam memercayai hal tersebut.[89]
Kejadian-kejadian ini membuat Mary dikalahkan dan dipenjara di Istana Loch Leven. Bangsawan-bangsawan Skotlandia memaksanya untuk mengundurkan diri dan membiarkan putranya James (yang lahir pada Juni 1566) naik takhta. James dibawa ke Istana Stirling untuk dibesarkan sebagai seorang Protestan. Mary melarikan diri dari Loch Leven pada tahun 1568, tetapi ia dikalahkan lagi sehingga melarikan diri ke Inggris karena Elizabeth pernah menjanjikan dukungannya. Insting Elizabeth mengarahkannya untuk mengembalikan Mary ke takhta; namun, ia dan penasihatnya malah memilih bermain aman. Daripada berisiko mengembalikan Mary ke Skotlandia dengan tentara Inggris atau mengirimnya ke Prancis dan musuh-musuh Inggris yang beragama Katolik, mereka menahannya di Inggris dan memenjarakannya selama sembilan belas tahun berikutnya.[90]
Mary dan persekongkolan Katolik
Mary segera menjadi sasaran pemberontakan. Pada tahun 1569, meletus pemberontakan Katolik di Utara; tujuannya adalah untuk membebaskan Mary, menikahkannya dengan Thomas Howard, Adipati Norfolk Keempat, dan menjadikannya Ratu Inggris.[91] Setelah para pemberontak dikalahkan, lebih dari 750 di antaranya dihukum mati atas perintah Elizabeth.[92] Karena percaya pemberontakan tersebut berhasil, Paus Pius V mengeluarkan bulla kepausan pada tahun 1570 yang berjudul Regnans in Excelsis, yang menyatakan bahwa "Elizabeth, Ratu Inggris palsu dan budak kejahatan" diekskomunikasi dan merupakan seorang pengikut ajaran sesat, sehingga semua bawahannya tidak harus patuh kepadanya.[93][94] Orang Katolik yang mematuhi perintahnya diancam akan diekskomunikasi.[93] Bulla kepausan tersebut memprovokasi Parlemen untuk melancarkan inisiatif-inisiatif legislatif terhadap orang Katolik, yang kemudian dikurangi berkat campur tangan Elizabeth.[95] Pada tahun 1581, upaya untuk membuat orang-orang Inggris menjadi Katolik dengan "maksud" untuk membuat mereka tidak patuh kepada Elizabeth dijadikan kejahatan yang dapat diganjar hukuman mati.[96] Dari tahun 1570-an, misionaris-misionaris dari seminari kontinental datang ke Inggris untuk "mengembalikan" Inggris ke iman Katolik secara rahasia.[94] Banyak yang dihukum mati, sehingga memicu kultus kemartiran.[94]
Regnans in Excelsis memberi insentif yang kuat bagi orang Katolik di Inggris untuk menganggap Mary Stuart sebagai penguasa Inggris yang sesungguhnya. Mungkin tidak semua persekongkolan Katolik diberitahukan kepada Mary, tetapi dari Persekongkolan Ridolfi pada tahun 1571 (yang membuat Adipati Norfolk kehilangan kepalanya) hingga Persekongkolan Babington pada tahun 1586, kepala mata-mata Elizabeth Sir Francis Walsingham dan dewan kerajaan mengumpulkan bukti keterlibatannya.[97] Awalnya, Elizabeth enggan menghukum mati Mary. Pada akhir tahun 1586, Elizabeth telah diyakinkan untuk menyetujui pengadilan dan penghukuman mati Mary berdasarkan bukti surat-surat yang ditulis selama Persekongkolan Babington.[98] Berikut adalah proklamasi dakwaan Elizabeth: "Mary, yang mengklaim gelar takhta yang sama, telah merencanakan dan membayangkan (...) hal-hal yang condong pada luka, kematian, dan kehancuran tokoh kerajaan kita."[99] Maka, pada 8 Februari 1587, Mary dipancung di Istana Fotheringhay, Northamptonshire.[100] Setelah Mary dihukum mati, Elizabeth mengklaim bahwa ia tidak memerintahkan hal tersebut dan sebagian besar catatan menunjukkan bahwa ia memberitahu Sekretaris Davidson, yang memberinya surat perintah untuk ditandatangani, agar tidak mengirim surat perintah tersebut meskipun ia telah menandatanganinya. Kesungguhan penyesalan Elizabeth dan alasannya memberitahu Davidson untuk tidak melaksanakan surat perintah tersebut telah dipertanyakan oleh orang-orang semasanya dan sejarawan-sejarawan.
Peperangan dan perdagangan luar negeri
Kebijakan luar negeri Elizabeth sebagian besar bersifat defensif. Pengecualiannya adalah pendudukan Inggris di Le Havre dari Oktober 1562 hingga Juni 1563, yang berakhir dengan kegagalan karena sekutu Huguenot Elizabeth bergabung dengan orang Katolik untuk merebut kembali kota pelabuhan tersebut. Elizabeth sebelumnya bermaksud menukar Le Havre dengan Calais, yang direbut Prancis pada Januari 1558.[101] Elizabeth hanya melancarkan kebijakan agresif melalui armadanya, yang digunakan dalam perang melawan Spanyol, dengan 80% pertempuran berlangsung di laut.[102] Ia memberikan gelar kesatria kepada Francis Drake setelah ia berhasil mengelilingi dunia dari tahun 1577 hingga 1580, dan Drake menjadi terkenal karena menyerang pelabuhan dan armada Spanyol. Pembajakan dan pemerkayaan diri pun menjadi pendorong bagi para pelaut pada masa Elizabeth, dan sang ratu hanya memiliki sedikit kendali atas mereka.[103][104]
Ekspedisi Belanda
Setelah pendudukan dan lepasnya Le Havre pada 1562–1563, Elizabeth tidak melakukan ekspedisi militer di Benua Eropa hingga tahun 1585, ketika ia mengirim tentara Inggris untuk membantu pemberontak Belanda yang beragama Protestan dalam peperangan melawan Felipe II.[105] Hal ini dilakukan setelah kematian Willem van Oranje dan François, Adipati Anjou, pada tahun 1584, dan diserahkannya beberapa kota Belanda kepada Alessandro Farnese, Adipati Parma, yang merupakan gubernur Felipe di Belanda Spanyol. Pada Desember 1584, persekutuan antara Felipe II dengan Liga Katolik Prancis di Joinville menjatuhkan kemampuan saudara Anjou, Henri III dari Prancis, dalam mengimbangi dominasi Spanyol di Belanda. Persekutuan tersebut juga menyebarkan pengaruh Spanyol di pesisir utara Prancis, yang merupakan tempat kekuatan Liga Katolik, sehingga Inggris rentan terhadap invasi.[105] Pengepungan Antwerpen pada musim panas tahun 1585 oleh Adipati Parma juga mengharuskan adanya tanggapan dari Inggris dan Belanda. Maka ditandatanganilah Traktat Nonsuch pada Agustus 1585, dan dalam traktat tersebut Elizabeth menjanjikan dukungan militer kepada Belanda.[106] Traktat tersebut menandai dimulainya Perang Inggris-Spanyol, yang berlangsung hingga ditandatanganinya Traktat London pada tahun 1604.
Ekspedisi Inggris di Belanda dipimpin oleh Robert Dudley, Earl Leicester. Elizabeth dari awal tidak terlalu mendukung kebijakan ini. Strateginya yang tampak mendukung Belanda dengan mengirim tentara Inggris sementara secara rahasia memulai negosiasi perdamaian dengan Spanyol beberapa hari setelah Leicester tiba di Belanda[107] bertentangan dengan Leicester yang menginginkan dan mengharapkan agar orang Belanda bertempur secara aktif. Di sisi lain, Elizabeth ingin agar Leicester "sebisa mungkin menghindari tindakan mutlak terhadap musuh".[108] Ia membuat Elizabeth marah dengan menerima jabatan Gubernur-Jenderal dari Dewan Negara Belanda. Elizabeth melihat hal tersebut sebagai rencana Belanda untuk memaksanya menerima kedaulatannya atas Belanda,[109] yang sejauh ini selalu ia tolak. Ia menulis kepada Leicester:
Kami tidak pernah membayangkan (bila kita tidak melihatnya berlangsung) bahwa seseorang yang dibesarkan oleh kami sendiri dan sangat diistimewakan oleh kami, di atas bawahan-bawahan lain di negeri ini, akan dengan amat hina melanggar perintah kami dalam kepentingan yang sangat menyentuh kehormatan kami ... Dan maka kesenangan dan perintah singkat kami adalah, dengan mengesampingkan semua penundaan dan dalih, agar anda segera berdasarkan kewajiban kepatuhan anda mematuhi dan memenuhi apapun yang diarahkan oleh pemegang jabatan atas nama kami. Agar anda tidak gagal, karena anda akan menjawab yang bertentangan atas risiko anda sendiri.[110]
"Perintah" Elizabeth adalah agar utusannya membacakan surat-surat ketidaksetujuannya secara terbuka di hadapan Staten-Generaal der Nederlanden, dan Leicester harus berdiri di dekatnya.[111] Permaluan "Letnan Jenderal" Elizabeth di muka umum diperburuk dengan dilanjutkannya negosiasi perdamaian dengan Spanyol,[112] yang sangat menjatuhkan posisinya di mata orang Belanda. Kampanye militer di Belanda sendiri amat terhambat karena Elizabeth terus menolak mengirim dana yang telah dijanjikan untuk tentaranya yang kelaparan. Keengganannya untuk berkomitmen, keterbatasan Licester sebagai pemimpin politik dan militer, serta situasi politik Belanda yang kacau dan terpecah menjadi sebab kegagalan kampanye militer Inggris di Belanda.[113] Leicester akhirnya mengundurkan diri pada Desember 1587.
Armada Spanyol
Sementara itu, Sir Francis Drake melancarkan serangan terhadap pelabuhan dan kapal Spanyol di Karibia pada tahun 1585 dan 1586, dan pada tahun 1587 ia berhasil menyerangCadiz dan menghancurkan kapal-kapal Spanyol yang bermaksud menyerang Inggris[114] (Felipe II telah memutuskan untuk berperang melawan Inggris).[115]
Pada 12 Juli 1588, Armada Spanyol berlayar ke Selat Inggris untuk mengangkut tentara Spanyol yang dipimpin oleh Adipati Parma dari Belanda ke pesisir tenggara Inggris. Akibat kesalahan perhitungan,[116] ketidakberuntungan, dan serangan kapal api Inggris pada 29 Juli di Gravelines yang memencarkan kapal-kapal Spanyol ke timur laut, Armada Spanyol dikalahkan.[117] Kapal-kapal Spanyol yang terpencar berjuang untuk kembali ke Spanyol; beberapa kapal mencoba kembali melalui Laut Utara dan kemudian melewati pesisir barat Irlandia, tetapi banyak yang karam.[118] Karena belum mengetahui nasib Armada Spanyol, milisi Inggris dikerahkan untuk mempertahankan negara di bawah komando Earl Leicester. Ia mengundang Elizabeth untuk menginspeksi tentaranya di Tilbury, Essex, pada tanggal 8 Agustus. Dengan mengenakan plastron perak di atas gaun beludru putih, ia berpidato:
Rakyatku yang tercinta, kami telah diyakinkan oleh beberapa orang yang berhati-hati dalam menjaga keamanan kita, agar memperhatikan bagaimana kita memercayai pasukan-pasukan dalam jumlah besar karena ketakutan akan pengkhianatan; namun saya pastikan kepada kalian, saya tidak bermaksud untuk tidak memercayai rakyatku yang setia dan tercinta ... Saya tahu saya memiliki tubuh perempuan yang lemah, tetapi saya memiliki hati dan perut seorang raja, dan Raja Inggris juga, dan memikirkan cemoohan busuk bila Parma atau Spanyol atau Pangeran Eropa manapun berani menyerang perbatasan kerajaanku.[119]
Saat invasi tidak terjadi, rakyat bersuka cita. Prosesi Elizabeth ke misa syukur di Katedral Santo Paulus menyaingi upacara pemahkotaannya.[118] Dikalahkannya Armada Spanyol menjadi propaganda kemenangan yang ampuh, baik untuk Elizabeth maupun kaum Protestan di Inggris. Inggris memandangnya sebagai lambang kemurahan hati Tuhan dan inviolabilitas Inggris di bawah seorang ratu perawan.[102] Namun, kemenangan ini tidak menjadi titik balik perang karena Spanyol tetap unggul.[120] Spanyol masih menguasai Belanda dan ancaman invasi masih ada.[115] Sir Walter Raleigh mengklaim setelah kematian Elizabeth bahwa sifat Elizabeth yang berhati-hati menghalangi perang melawan Spanyol:
Bila ratu yang telah meninggal memercayai tentaranya seperti ia memercayai penulisnya, pada masanya kita akan mengalahkan imperium besar itu menjadi kepingan-kepingan dan membuat raja-raja mereka menjadi raja-raja ara dan jeruk seperti pada masa lampau. Tetapi yang Mulia melakukan semuanya setengah hati, dan melalui invasi kecil-kecilan mengajarkan orang Spanyol bagaimana mempertahankan diri dan melihat kelemahan mereka sendiri.[121]
Walaupun beberaja sejarawan juga mengkritik Elizabeth dengan alasan yang serupa,[122] pernyataan Raleigh dianggap tidak adil. Elizabeth memiliki alasan yang baik dalam keputusannya untuk tidak terlalu memercayai komandan-komandannya, yang, seperti yang dikatakan oleh Elizabeth sendiri, cenderung "berperilaku sombong" dalam pertempuran.[123]
Mendukung Henri IV dari Prancis
Saat Henri IV yang beragama Protestan mewarisi takhta Prancis pada tahun 1589, Elizabeth memberinya dukungan militer. Kampanye militer ini merupakan kampanye militer pertama di Prancis setelah mundurnya tentara Inggris dari Le Havre pada tahun 1563. Kekuasaan Henri ditentang oleh Liga Katolik dan Felipe II, sehingga Elizabeth takut bahwa Spanyol akan mengambilalih pelabuhan-pelabuhan di selat. Namun, kampanye militer Inggris di Prancis tidak terorganisir dan tidak efektif.[124]Lord Willoughby yang cenderung mengabaikan perintah Elizabeth berkelana di Prancis Utara dengan 4.000 tentara tanpa memberikan banyak dampak. Ia mengundurkan diri dengan kacau pada Desember 1589 setelah kehilangan setengah tentaranya. Pada tahun 1591, kampanye militer John Norreys ke Bretagne yang terdiri dari 3.000 tentara malah berakhir lebih buruk. Elizabeth tidak mau memberi persediaan dan bantuan yang diminta oleh komandan ekspedisi militer tersebut, sehingga Norreys secara pribadi kembali ke London untuk memohon lebih banyak dukungan. Saat ia tidak ada, Liga Katolik hampir menghancurkan sisa tentaranya di Craon, Prancis barat laut, pada Mei 1591. Pada bulan Juli, Elizabeth mengirim ekspedisi lain di bawah pimpinan Robert Devereux, Earl Essex untuk membantu Henri IV mengepung Rouen. Hasilnya juga menyedihkan. Essex tidak berhasil mencapai apa-apa dan kembali pada Januari 1592, sementara Henri menghentikan pengepungan pada bulan April.[125] Seperti biasa, Elizabeth tidak memiliki kendali atas komandan-komandannya saat mereka berada di luar negeri. Elizabeth menulis mengenai Essex, "di mana dia, atau apa yang ia lakukan, atau apa yang akan ia lakukan, kami tidak tahu".[126]
Walaupun Irlandia adalah salah satu dari dua kerajaannya, Elizabeth menghadapi penduduk Irlandia yang bermusuhan, otonom,[127] menganut Katolik, serta bersedia menentang kekuasaannya dan berkomplot dengan musuh. Kebijakan Elizabeth di Irlandia adalah memberi tanah kepada orang-orang istananya dan memastikan agar pemberontak tidak memberi Spanyol basis untuk menyerang Inggris.[128] Dalam serangkaian pemberontakan, tentara kerajaan melancarkan taktik bumi hangus yang membakar tanah dan membunuh laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Selama pemberontakan di Munster yang dipimpin oleh Gerald FitzGerald, Earl Desmond pada tahun 1582, kurang lebih 30.000 orang Irlandia tewas karena kelaparan. Penyair dan kolonis Edmund Spenser menulis bahwa korban jiwa "dibawa ke keadaan yang amat menyedihkan seperti itu hingga siapapun yang berhati batu juga akan menyesalinya".[129] Elizabeth menasihati komandannya agar Irlandia, "bangsa kasar dan barbar itu", diperlakukan dengan baik; namun, ia tidak menyesal ketika kekerasan dan pertumpahan darah dianggap perlu.[130]
Antara tahun 1594 hingga 1603, Elizabeth mengalami ujian terberat di Irlandia karena Perang Sembilan Tahun, pemberontakan yang berlangsung selama perang dengan Spanyol, yang mendukung pemimpin pemberontakan, Hugh O'Neill, Earl Tyrone.[131] Pada musim semi tahun 1599, Elizabeth mengirim Robert Devereux, Earl Essex Kedua, untuk memadamkan pemberontakan. Ia tidak membuat banyak kemajuan dan menentang perintah Elizabeth dengan kembali ke Inggris, sehingga Elizabeth frustrasi.[132] Essex kemudian digantikan oleh Charles Blount, Lord Mountjoy, yang membutuhkan tiga tahun untuk memadmkan pemberontakan. O'Neill akhirnya menyerah pada tahun 1603, beberapa hari setelah kematian Elizabeth.[133] Segera setelah itu, perjanjian perdamaian antara Inggris dengan Spanyol ditandatangani.
Rusia
Elizabeth tetap melanjutkan hubungan diplomatik dengan Ketsaran Rusia yang dirintis oleh saudara laki-lakinya yang sudah meninggal. Ia sering kali menulis surat kepada Tsar RusiaIvan IV Vasilyevich, walaupun Ivan sering merasa kesal karena Elizabeth lebih fokus pada perdagangan daripada persekutuan militer. Tsar bahkan pernah melamarnya, dan menjelang akhir masa kekuasaannya sempat meminta jaminan suaka di Inggris bila kekuasaannya terancam.
Setelah Ivan meninggal, ia digantikan oleh putranya Feodor. Tidak seperti ayahnya, Feodor tidak tertarik meneruskan hak perdagangan eksklusif Inggris. Feodor menyatakan bahwa kerajaannya terbuka bagi semua orang asing, dan menolak duta besar Inggris Sir Jerome Bowes, yang sebelumnya ditoleransi keangkuhannya oleh Ivan. Elizabeth mengirim duta besar baru Dr. Giles Fletcher untuk meminta kepada wali Boris Godunov agar ia meyakinkan Tsar untuk mempertimbangkannya kembali. Negosiasi tersebut gagal karena Fletcher menyapa Feodor tanpa menyebut dua gelarnya. Elizabeth terus mengirim surat yang setengah memohon, setengah mencela. Ia mengusulkan persekutuan, tetapi Feodor menolak.[134]
Negara-negara Berber dan Kesultanan Utsmaniyah
Di bawah pemerintahan Elizabeth, perdagangan dan hubungan diplomatik dengan negara-negara Berber berkembang.[136][137] Walaupun dilarang paus, Inggris merintis hubungan perdagangan dengan Maroko untuk menentang Spanyol; Inggris menjual baju baja, amunisi, kayu, dan logam, sementara Maroko mengirim gula.[138] Pada tahun 1600, Abdul Wahid bin Mas'ud, sekretaris utama penguasa Maroko Mulai Ahmad al-Mansur, mengunjungi Inggris sebagai duta besar untuk istana Ratu Elizabeth I,[136][139] untuk merundingkan Persekutuan Inggris-Maroko untuk melawan Spanyol.[135][136] Elizabeth "setuju untuk menjual persediaan munisi kepada Maroko, dan ia dan Mulai Ahmad al-Mansur terus membincangkan operasi gabungan melawan Spanyol".[140] Namun, diskusi tidak mencapai kesimpulan, dan kedua penguasa meninggal dalam kurun waktu dua tahun setelah duta dikirim.[141]
Hubungan diplomatik dengan Kesultanan Utsmaniyah juga dirintis dengan didirikannya Levant Company dan dikirimnya duta besar Inggris untuk Utsmaniyah pertama, William Harborne, pada tahun 1578.[140] Untuk pertama kalinya, Traktat Perdagangan ditandatangani pada tahun 1580.[142] Beberapa utusan dikirim dari kedua belah pihak, sementara Elizabeth dan Sultan Murad III saling bertukar surat.[140] Dalam satu surat, Murad menyatakan bahwa Islam dan Protestan memiliki "lebih banyak kesamaan daripada dengan Gereja Katolik Roma, karena keduanya menolak penyembahan berhala", dan mengajak Inggris bersekutu dengan Utsmaniyah.[143] Inggris mengekspor timah dan timbal (untuk meriam) dan amunisi kepada Kesultanan Utsmaniyah, yang membuat cemas Eropa. Elizabeth juga secara serius mendiskusikan operasi militer gabungan dengan Murad III selama perang melawan Spanyol pada tahun 1585, sementara sekretaris utama Elizabeth Francis Walsingham melobi Utsmaniyah agar turut serta dalam perang melawan Spanyol yang merupakan musuh bersama.[144]
Tahun-tahun akhir
Periode setelah kekalahan Armada Spanyol pada tahun 1588 merupakan periode yang sulit bagi Elizabeth.[120] Konflik dengan Spanyol dan Irlandia masih berlanjut, beban pajak semakin berat, dan ekonomi lesu akibat panen yang buruk dan biaya perang. Harga naik dan standar hidup jatuh.[145][146] Pada masa ini, penindasan umat Katolik semakin intens, dan Elizabeth pada tahun 1591 mengizinkan komisi untuk menginterogasi dan mengawasi rumah tangga Katolik.[147] Untuk mempertahankan ilusi perdamaian dan kesejahteraan, ia semakin bergantung pada mata-mata internal dan propaganda.[145] Pada tahun-tahun akhirnya, menguatnya kritik menunjukkan merosotnya kesukaan publik terhadapnya.[148]
Salah satu penyebab "masa kekuasaan kedua"[149] Elizabeth ini adalah berubahnya karakter badan pemerintahan Elizabeth pada tahun 1590-an. Generasi baru saat itu telah berkuasa. Kecuali Lord Burghley, sebagian besar politikus penting telah meninggal pada tahun 1590: Earl Leicester pada tahun 1588; Sir Francis Walsingham pada tahun 1590; dan Sir Christopher Hatton pada tahun 1591.[150] Perseteruan antar faksi di pemerintahan, yang tidak perlu diperhatikan sebelum tahun 1590-an,[151] kini menjadi masalah serius.[152] Terjadi perselisihan antara Earl Essex dengan Robert Cecil (putra Lord Burghley), sementara persaingan memperebutkan kekuasaan di pemerintahan mengotori politik.[153] Otoritas pribadi sang ratu berkurang,[154] seperti yang terjadi pada kasus Dr. Lopez (yang merupakan dokter pribadi Elizabeth) pada tahun 1594. Ketika Dr. Lopez dituduh berkhianat oleh Earl Essex (yang sebenarnya disebabkan oleh kekesalan pribadi), Elizabeth tidak dapat menyelamatkannya dari hukuman mati, walaupun ia marah atas penangkapannya dan tidak percaya bahwa ia bersalah.[155]
Pada tahun-tahun terakhir Elizabeth, ia memberikan hak monopoli sebagai sistem perlindungan yang bebas biaya, daripada meminta lebih banyak subsidi dari Parlemen pada masa perang.[156] Praktik ini segera menimbulkan penetapan harga, semakin kayanya orang istana sehingga merugikan rakyat, dan kemarahan publik.[157] Hal ini menyebabkan pergolakan di House of Commons pada tahun 1601.[158] Dalam Pidato Emasnya pada tanggal 30 November 1601 di Istana Whitehall, ia mengatakan kepada 140 anggota perutusan bahwa ia tidak tahu akan adanya praktik penyalahgunaan, dan berhasil memperoleh dukungan mereka dengan janji-janji dan penggunaan emosi:[159]
Dan karena bagi kami tidak ada yang lebih berharga dari menjaga hati bawahan-bawahan kami, betapa tidak layak keraguan yang mungkin telah kami buat bila penyalahguna kemurahan hati kami, pemerbudak rakyat kami, pemeras orang miskin, tidak diberitahu kepada kami![160]
Namun, periode ketidakpastian ekonomi dan politik ini juga dibarengi dengan perkembangan sastra Inggris.[161] Tanda-tanda pergerakan kesusasteraan baru telah muncul pada akhir dasawarsa kedua masa kekuasaan Elizabeth, dengan munculnya Euphues karya John Lyly dan The Shepheardes Calender karya Edmund Spenser pada tahun 1578. Selama tahun 1590-an, beberapa pujangga besar telah mencapai kematangan, termasuk William Shakespeare dan Christopher Marlowe. Pada periode ini dan menjelang masa kekuasaan James I, teater Inggris mencapai puncak kejayaannya.[162] Kemasyhuran kesusasteraan pada Era Elizabeth bergantung pada pembangun, penulis drama, penyair, dan musisi yang aktif pada masa tersebut. Sang ratu tidak berpengaruh banyak karena ia tidak pernah menjadi penyokong seni.[163]
Dengan menuanya Elizabeth, citranya secara perlahan berubah. Ia digambarkan sebagai Belphoebe atau Astraea, dan setelah kekalahan Armada Spanyol sebagai Gloriana, yang merupakan Faerie Queene yang selamanya muda dalam puisi Edmund Spenser. Lukisan-lukisan potretnya menjadi kurang realistis dan lebih menjadi ikon yang membuatnya tampak lebih muda. Nyatanya, kulitnya dipenuhi oleh cacar pada tahun 1562, sehingga ia setengah botak dan bergantung pada rambut palsu dan kosmetik.[164] Sir Walter Raleigh menyebutnya "seorang perempuan yang dikejutkan oleh waktu".[165] Namun, walaupun kecantikan Elizabeth sirna, orang istana semakin memujinya.[164]
Elizabeth dengan senang hati memainkan perannya,[166] namun kemungkinan pada akhir masa hidupnya ia mulai meyakini performanya sendiri. Ia mulai menyukai Robert Devereux (yang muda tetapi mempesona) dan menjadi sangat pemurah kepadanya. Robert yang merupakan anak tiri Leicester itu pun mulai menjadi terlalu bersahabat dengan Elizabeth hingga kurang menunjukkan hormat, terutama dalam hal seksual; namun, Elizabeth memaafkannya.[167] Ia beberapa kali memberinya jabatan militer meskipun ia terus menunjukkan ketidakbertanggungjawabannya. Setelah Essex meninggalkan tugasnya di Irlandia pada tahun 1599, Elizabeth menjadikannya tahanan rumah dan pada tahun berikutnya mencabut hak monopolinya.[168] Pada February 1601, Earl Essex mencoba memicu pemberontakan di London. Ia bermaksud menahan sang ratu, tetapi tidak banyak yang mendukungnya, sehingga ia dipancung pada tanggal 25 Februari. Elizabeth sadar bahwa kesalahannya turut andil dalam peristiwa ini. Seorang pengamat melaporkan pada tahun 1602 bahwa "Kegemarannya adalah duduk dalam kegelapan, dan kadang-kadang meneteskan air mata karena menangisi Essex".[169]
Kematian
Penasihat senior Elizabeth, Burghley, meninggal pada tanggal 4 Agustus 1598. Pengaruh politiknya diwariskan ke putranya, Robert Cecil, yang segera menjadi pemimpin pemerintahan.[170] Salah satu tugasnya adalah menyiapkan penerus. Karena Elizabeth tidak akan pernah menamai seorang penerus, Cecil terpaksa melakukannya diam-diam.[171] Maka ia melakukan negosiasi rahasia dengan James VI dari Skotlandia, yang memiliki klaim yang kuat walaupun tidak diakui.[172] Cecil menyarankan kepada James yang tidak sabaran agar memperlakukan Elizabeth dengan baik dan tidak menyinggung mengenai siapa yang akan menjadi penerus.[173] Saran tersebut berhasil dan James berhasil menyenangkan Elizabeth.[174]
Kesehatan ratu baik-baik saja hingga musim gugur tahun 1602, ketika kematian teman-temannya membuat Elizabeth depresi. Pada Februari 1603, kematian Catherine Howard, keponakan sepupunya dan teman dekat Catherine, Lady Knollys, sangat berdampak pada Elizabeth. Pada bulan Maret, Elizabeth jatuh sakit dan tetap berada dalam "pilu yang tetap dan tak dapat dihilangkan".[175] Ia meninggal pada tanggal 24 Maret 1603 di Istana Richmond antara pukul dua atau tiga pada pagi hari. Beberapa jam kemudian, Cecil dan dewan melancarkan rencananya dan menyatakan James VI dari Skotlandia sebagai James I dari Inggris.[176]
Peti mati Elizabeth dibawa pada malam hari ke Istana Whitehall dengan menggunakan kapal yang diterangi oleh obor. Pada prosesi pemakamannya pada tanggal 28 April, peti matinya dibawa ke Biara Westminster oleh kereta jenazah yang ditarik oleh empat kuda yang mengenakan beludru hitam. Menurut penulis kronik John Stow yang menghadiri pemakaman tersebut:
Westminster dipenuhi oleh berbagai macam orang di jalan, rumah, jendela, atap, dan selokan mereka, yang datang untuk melihat pemakaman, dan ketika mereka melihat patungnya terbaring di atas peti matinya, terdapat napas panjang, rintihan, dan tangisan yang belum pernah terlihat atau diketahui dalam ingatan manusia.[177]
Elizabeth dimakamkan di Biara Westminster di bilik yang sama dengan Mary. Tulisan Latin di makam mereka, "Regno consortes & urna, hic obdormimus Elizabetha et Maria sorores, in spe resurrectionis", berarti "Mitra di takhta maupun di makam, di sini kami bersemayam, Elizabeth dan Mary, dua bersaudara, mengharapkan kebangkitan".[178]
Peninggalan sejarah dan kenangan
Banyak bawahan Elizabeth yang berkabung atas kematiannya, tetapi ada juga yang merasa lega.[180] Ekspektasi terhadap Raja James awalnya tinggi, tetapi kemudian menurun, sehingga pada tahun 1620-an muncul kultus Elizabeth yang bersifat nostalgik.[181] Elizabeth dipuji sebagai pahlawan Protestan dan penguasa pada masa keemasan, sementara James digambarkan sebagai simpatisan Katolik yang memimpin istana yang korup.[182] Citra triumfalis yang didapat Elizabeth menjelang akhir masa kekuasaannya, yang berlawanan dengan faksionalisme dan kesulitan ekonomi dan militer,[183] diterima apa adanya dan reputasinya meningkat. Godfrey Goodman, Uskup Gloucester, mengingkat: "Ketika kami mengalami pemerintahan Skotlandia, sang ratu tampaknya hidup kembali. Kemudian kenangannya semakin diperbesar."[184] Masa kekuasaan Elizabeth pun diidealisasikan sebagai masa ketika penguasa, gereja, dan parlemen berada pada keseimbangan konstitusional.[185]
Gambar Elizabeth yang dilukis oleh pengagum-pengagum Protestannya pada awal abad ke-17 terbukti awet dan berpengaruh.[186] Kenangan akan Elizabeth juga muncul kembali pada masa peperangan era Napoleon, ketika Inggris sekali lagi hampir diserang.[187] Pada era Victoria, legenda Elizabeth diadaptasi menjadi ideologi imperial harian,[180][188] dan pada pertengahan abad ke-20, Elizabeth merupakan simbol romantik perlawanan nasional terhadap ancaman asing.[189][190] Sejarawan pada masa itu, seperti J. E. Neale (1934) dan A. L. Rowse (1950), menginterpretasi masa kekuasaan Elizabeth sebagai abad keemasan dan kemajuan.[191] Neale dan Rowse secara pribadi juga mengidealisasikan sang ratu: Elizabeth selalu melakukan semuanya dengan benar; sifat-sifatnya yang kurang menyenangkan diabaikan atau dianggap sebagai tanda-tanda stress.[192]
Namun, sejarawan saat ini memiliki pandangan yang lebih rumit.[193] Masa kekuasaannya terkenal karena berhasil mengalahkan Armada dan menyerang Spanyol (seperti di Cádiz pada tahun 1587 dan 1596); namun, beberapa sejarawan menunjukkan kegagalan-kegagalan militer di darat dan laut.[124] Di Irlandia, tentara Elizabeth berhasil menang, tetapi taktiknya mengotori rekam jejaknya.[194] Daripada menjadi pelindung negara Protestan yang berani, ia sering kali berhati-hati dalam melancarkan kebijakan luar negerinya. Ia tidak memberi banyak bantuan kepada orang Protestan di luar negeri dan gagal memberi dana kepada komandannya agar dapat memenangkan kampanye militer di luar negeri.[195]
Elizabeth mendirikan gereja Inggris yang membantu membentuk identitas nasional dan masih ada hingga kini.[196][197][198] Mereka yang menyanjungnya sebagai pahlawan Protestan mengabaikan penolakannya untuk menghilangkan semua praktik Katolik dari Gereja Inggris.[199] Sejarawan mencatat bahwa pada masanya, Protestan yang taat memandang penyelesaian keagamaan Elizabeth sebagai kompromi.[200][201] Nyatanya, Elizabeth meyakini bahwa iman itu personal dan tidak ingin (seperti yang diungkapkan oleh Francis Bacon) "membuat jendela pada hati dan pikiran rahasia orang-orang".[202][203]
Walaupun Elizabeth memiliki kebijakan luar negeri yang cenderung defensif, ia berhasil meningkatkan status Inggris di luar negeri. Menurut Paus Siktus V, "ia hanya seorang perempuan, hanya memiliki kekuasaan atas setengah pulau, tetapi ia ditakuti oleh Spanyol, Prancis, Kekaisaran, oleh semua".[204] Di bawah kekuasaan Elizabeth, Inggris memperoleh kepercayaan diri dan rasa kedaulatan (sense of sovereignty), sementara Kekristenan terpecah belah.[181][205][206] Elizabeth adalah penguasa Tudor pertama yang mengakui bahwa penguasa berkuasa berdasarkan persetujuan rakyat.[207] Maka dari itu ia selalu memperoleh informasi dari parlemen dan penasihat-penasihat yang ia percayai; gaya pemerintahan semacam ini tidak dilanjutkan oleh penerus-penerus dari Wangsa Stuart. Beberapa sejarawan menganggapnya beruntung;[204] Elizabeth sendiri percaya bahwa Tuhan melindunginya.[208] Ia membanggakan diriya sebagai "orang Inggris belaka",[209] dan Elizabeth percaya bahwa Tuhan, nasihat yang benar, dan kecintaan dari bawahan-bawahannya merupakan kunci keberhasilan kekuasaannya.[210] Dalam salah satu doa yang ia panjatkan, ia berterima kasih kepada Tuhan karena:
[Pada masa] ketika peperangan dan hasutan dengan penganiayaan yang pedih telah menjengkelkan semua raja dan negara di sekitar saya, masa kekuasaan saya damai, dan kerajaan saya menjadi wadah Gereja-Mu yang menderita. Kecintaan rakyatku tampak kokoh, dan akal muslihat musuhku gagal.[204]
^"Saya bermaksud mengarahkan tindakan saya berdasarkan anjuran dan nasihat yang baik." Pidato pertama Elizabeth sebagai seorang ratu, Hatfield House, 20 November 1558. Loades, 35.
^Undang-Undang Juli 1536 menyatakan bahwa Elizabeth "tidak sah ... dan sama sekali tertutup, dikecualikan, dan dilarang dari klaim, keberatan, atau permintaan warisan sebagai pewaris yang sah...kepada [sang Raja] berdasarkan garis keturunan". Somerset, 10.
^Informasi mengenai pendidikan dan kematangan awal Elizabeth kebanyakan berasal dari memoir Roger Ascham, yang juga menjadi pendidik Pangeran Edward. Loades, 8–10.
^contributor: Dr. Ivan Herbison (18 August 2013). "Episode 2". A Kist o Wurds. Seri ke-33. Episode ke-2. 9.10 menit berlalu. BBC Radio Ulster.
^"Venice: April 1603"Diarsipkan 2014-04-13 di Wayback Machine., Calendar of State Papers Relating to English Affairs in the Archives of Venice, Volume 9: 1592–1603 (1897), 562–570. Diakses 22 Maret 2012.
^Stoyle, Mark. West Britons, Cornish Identities and the Early Modern British State, University of Exeter Press, 2002, hal. 220.
^"It was fortunate that ten out of twenty-six bishoprics were vacant, for of late there had been a high rate of mortality among the episcopate, and a fever had conveniently carried off Mary's Archbishop of Canterbury, Reginald Pole, less than twenty-four hours after her own death". Somerset, 98.
^"There were no less than ten sees unrepresented through death or illness and the carelessness of 'the accursed cardinal' [Pole]". Black, 10.
^Somerset, 166–167. Sebagian besar sejarawan modern menganggap bahwa pembunuhan tidak mungkin menjadi penyebabnya; kanker payudara dan bunuh diri merupakan penjelasan yang paling diterima (Doran Monarchy, 44). Laporan koroner yang diyakini hilang terungkap di Arsip Nasional pada tahun 2000-an dan sesuai dengan laporan bahwa ia jatuh dari tangga dan kekerasan lainnya (Skidmore, 230–233).
^Susan Doran, "Juno Versus Diana: The Treatment of Elizabeth I's Marriage in Plays and Entertainments, 1561–1581," Historical Journal 38 (1995): 257–74 in JSTOR
^On Elizabeth's accession, Mary's Guise relatives had pronounced her Queen of England and had the English arms emblazoned with those of Scotland and France on her plate and furniture. Guy, 96–97.
^Posisi Mary sebagai penerus berasal dari kakek buyutnya Henry VII dari Inggris melalui putrinya Margaret Tudor. Menurut Mary sendiri, "I am the nearest kinswoman she hath, being both of us of one house and stock, the Queen my good sister coming of the brother, and I of the sister". Guy, 115.
^Berdasarkan isi traktat, tentara Inggris dan Prancis harus mundur dari Skotlandia. Haigh, 132.
^Elizabeth's ambassador in France was actively misleading her as to the true intentions of the Spanish king, who only tried to buy time for his great assault upon England: Parker, 193.
^Ketika komandan Spanyol Adipati Medina Sidonia mencapai pesisir di dekat Calais, ternyata pasukan Adipati Parma belum siap, sehingga ia terpaksa menunggu. Akibatnya, tentara Inggris mendapat kesempatan untuk melancarkan serangannya. Loades, 64.
^In a letter of 19 July 1599 to Essex, Elizabeth wrote: "For what can be more true (if things be rightly examined) than that your two month's journey has brought in never a capital rebel against whom it had been worthy to have adventured one thousand men". Loades, 98.
^Kritik terhadap Elizabeth ini dicatat oleh penulis biografi Elizabeth seperti William Camden dan John Clapham. Untuk melihat catatan mengenai kritik tersebut dan "pemerintahan oleh ilusi" Elizabeth secara lebih detail, lihat bab 8, "The Queen and the People", Haigh, 149–169.
^"The metaphor of drama is an appropriate one for Elizabeth's reign, for her power was an illusion—and an illusion was her power. Like Henry IV of France, she projected an image of herself which brought stability and prestige to her country. By constant attention to the details of her total performance, she kept the rest of the cast on their toes and kept her own part as queen." Haigh, 179.
^Setelah Essex dihukum mati, James VI dari Skotlandia menyebut Cecil sebagai "raja sebenarnya". Croft, 48.
^Cecil menulis kepada James, "The subject itself is so perilous to touch amongst us as it setteth a mark upon his head forever that hatcheth such a bird". Willson, 154.
^James VI dari Skotlandia merupakan keturunan Henry VII dari Inggris, sehingga memiliki hubungan darah dengan Elizabeth karena Henry VII adalah kakek Elizabeth.
^Cecil menyarankan agar James "mengamankan hati orang tertinggi, yang baginya tidak ada yang lebih tidak senonoh dari bujukan yang tidak perlu atau terlalu banyak ingin tahu atas tindakan-tindakannya". Willson, 154.
^The age of Elizabeth was redrawn as one of chivalry, epitomised by courtly encounters between the queen and sea-dog "heroes" such as Drake and Raleigh. Some Victorian narratives, such as Raleigh laying his cloak before the queen or presenting her with a potato, remain part of the myth. Dobson and Watson, 258.
^Dalam kata pengantarnya untuk buku Queen Elizabeth I cetakan tahun 1952, J. E. Neale menyatakan: "The book was written before such words as "ideological", "fifth column", and "cold war" became current; and it is perhaps as well that they are not there. But the ideas are present, as is the idea of romantic leadership of a nation in peril, because they were present in Elizabethan times".
^As Elizabeth's Lord Keeper, Sir Nicholas Bacon, put it on her behalf to parliament in 1559, the queen "is not, nor ever meaneth to be, so wedded to her own will and fantasy that for the satisfaction thereof she will do anything ... to bring any bondage or servitude to her people, or give any just occasion to them of any inward grudge whereby any tumults or stirs might arise as hath done of late days". Starkey Elizabeth: Woman, 7.
Croft, Pauline (2003), King James, Basingstoke and New York: Palgrave Macmillan, ISBN978-0-333-61395-5.
Davenport, Cyril (1899), Pollard, Alfred, ed., English Embroidered Bookbindings, London: Kegan Paul, Trench, Trübner and Co., OCLC705685.
Dobson, Michael & Watson, Nicola (2003), "Elizabeth's Legacy", dalam Doran, Susan, Elizabeth: The Exhibition at the National Maritime Museum, London: Chatto and Windus, ISBN978-0-7011-7476-7.
Doran, Susan (2003), Queen Elizabeth I, London: British Library, ISBN978-0-7123-4802-7.
Doran, Susan (2003), "The Queen's Suitors and the Problem of the Succession", dalam Doran, Susan, Elizabeth: The Exhibition at the National Maritime Museum, London: Chatto and Windus, ISBN978-0-7011-7476-7.
Edwards, Philip (2004), The Making of the Modern English State: 1460–1660, Basingstoke and New York: Palgrave Macmillan, ISBN978-0-312-23614-4.
Flynn, Sian & Spence, David (2003), "Elizabeth's Adventurers", dalam Doran, Susan, Elizabeth: The Exhibition at the National Maritime Museum, London: Chatto and Windus, ISBN978-0-7011-7476-7.
Hammer, P. E. J. (1999), The Polarisation of Elizabethan Politics: The Political Career of Robert Devereux, 2nd Earl of Essex, 1585–1597, Cambridge University Press, ISBN978-0-521-01941-5.
Haynes, Alan (1987), The White Bear: The Elizabethan Earl of Leicester, Peter Owen, ISBN978-0-7206-0672-0.
Hogge, Alice (2005), God's Secret Agents: Queen Elizabeth's Forbidden Priests and the Hatching of the Gunpowder Plot, London: HarperCollins, ISBN0-00-715637-5.
Kenyon, John P. (1983), The History Men: The Historical Profession in England since the Renaissance, London: Weidenfeld & Nicolson, ISBN978-0-297-78254-4.
Skidmore, Chris (2010), Death and the Virgin: Elizabeth, Dudley and the Mysterious Fate of Amy Robsart, London: Weidenfeld & Nicolson, ISBN978-0-297-84650-5.
Somerset, Anne (2003), Elizabeth I. (edisi ke-1st Anchor Books), London: Anchor Books, ISBN978-0-385-72157-8.
Starkey, David (2003), "Elizabeth: Woman, Monarch, Mission", dalam Doran, Susan, Elizabeth: The Exhibition at the National Maritime Museum, London: Chatto and Windus, ISBN978-0-7011-7476-7.
Williams, Neville (1964), Thomas Howard, Fourth Duke of Norfolk, London: Barrie & Rockliff.
Williams, Neville (1972), The Life and Times of Elizabeth I, London: Weidenfeld & Nicolson, ISBN978-0-297-83168-6.
Willson, David Harris (1963) [1956], King James VI & I, London: Jonathan Cape, ISBN978-0-224-60572-4.
Wilson, Derek (1981), Sweet Robin: A Biography of Robert Dudley Earl of Leicester 1533–1588, London: Hamish Hamilton, ISBN978-0-241-10149-0.
Woodward, Jennifer (1997), The Theatre of Death: The Ritual Management of Royal Funerals in Renaissance England, 1570–1625, Boydell & Brewer, ISBN978-0-85115-704-7
Hodges, J. P. The Nature of the Lion: Elizabeth I and Our Anglican Heritage (London: Faith Press, 1962). 153 p.
Jones, Norman. The Birth of the Elizabethan Age: England in the 1560s (Blackwell, 1993)
MacCaffrey Wallace T. Elizabeth I (1993), political biography summarising his multivolume study:
MacCaffrey Wallace T. The Shaping of the Elizabethan Regime: Elizabethan Politics, 1558–1572 (1969)
MacCaffrey Wallace T. Queen Elizabeth and the Making of Policy, 1572–1588 (1988)
MacCaffrey Wallace T. Elizabeth I: War and Politics, 1588–1603 (1994)
McLaren, A. N. Political Culture in the Reign of Elizabeth I: Queen and Commonwealth, 1558–1585 (Cambridge University Press, 1999) excerpt and text search
Palliser, D. M. The Age of Elizabeth: England Under the Later Tudors, 1547–1603 (1983) survei of social and economic history
Elizabeth I (2002). Elizabeth I: Collected Works. University of Chicago Press. ISBN978-0-226-50465-0.
Susan M. Felch, ed. Elizabeth I and Her Age (Norton Critical Editions) (2009); 700pp; primary and secondary sources, with an emphasis on literature
Camden, William.History of the Most Renowned and Victorious Princess Elizabeth. Wallace T. MacCaffrey (ed). Chicago: University of Chicago Press, selected chapters, Edisi 1970. OCLC 59210072.
Clapham, John. Elizabeth of England. E. P. Read dan Conyers Read (eds). Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1951. OCLC 1350639.
Historiografi dan memori
Carlson, Eric Josef. "Teaching Elizabeth Tudor with Movies: Film, Historical Thinking, and the Classroom," Sixteenth Century Journal, Summer 2007, Vol. 38 Issue 2, pp 419–440
Collinson, Patrick. "Elizabeth I and the verdicts of history," Historical Research, Nov 2003, Vol. 76 Issue 194, pp 469–91
Doran, Susan, and Thomas S. Freeman, eds. The Myth of Elizabeth.(2003). 280 pp.
Greaves, Richard L., ed. Elizabeth I, Queen of England (1974), excerpts from historians
Haigh, Christopher, ed. The Reign of Elizabeth I (1984), essays by scholars
Howard, Maurice. "Elizabeth I: A Sense Of Place In Stone, Print And Paint," Transactions of the Royal Historical Society, Dec 2004, Vol. 14 Issue 1, pp 261–268
Hulme, Harold. "Elizabeth I and Her Parliaments: The Work of Sir John Neale," Journal of Modern History Vol. 30, No. 3 (Sept. 1958), pp. 236–240 in JSTOR
Montrose, Louis. The Subject of Elizabeth: Authority, Gender, and Representation. (2006). 341 pp.
Watkins, John. Representing Elizabeth in Stuart England: Literature, History, Sovereignty (2002) 264pp