Bahasa Banjar Samarinda
Bahasa Banjar Samarinda adalah ragam dialek bahasa Banjar yang dituturkan oleh etnis Banjar di Kota Samarinda, Kalimantan Timur.[5][6] Dialek dan distribusiDi Kalimantan Timur, bahasa Banjar dituturkan di Desa Banua Baru, Kecamatan Sangkulirang, Kabupaten Kutai Timur; Kecamatan Samarinda Kota, Kota Samarinda; Desa Kota Bangun Ulu, Kota Bangun Ilir, Kota Bangun I, Kota Bangun II, Kota Bangun III, Kecamatan Kota Bangun, Kabupaten Kutai Kertanegara; Desa Muara Lesan, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau; Desa Muyub Ulu, Kecamatan Tering, Kabupaten Kutai Barat; dan Desa Kahala, Kecamatan Kenohan, Kabupaten Kutai Kertanegara. Bahasa Banjar di Provinsi Kalimantan Timur terdiri atas tujuh dialek, yaitu:
Berdasarkan hasil penghitungan dialektometri, persentase perbedaan antar dialek menunjukkan beda dialek yang berkisar 51%–80%. Sementara itu, isolek Banjar Samarinda merupakan sebuah bahasa dengan persentase perbedaan berkisar 81%–100% jika dibandingkan dengan bahasa Melayu, bahasa Bayan, dan bahasa Maanyan. SejarahJauh sebelum masa Kesultanan Banjar berhubungan dengan VOC Belanda sekitar 1606, pada saat itu Kesultanan Banjar merupakan negara maritim di mana pedagang-pedagang Banjar sudah melakukan hubungan niaga dengan kawasan selatan Filipina (Banjar Kulan), Brunei, Cochinchine, Champa, sehingga kawasan timur Kalimantan merupakan perlintasan jalur perdagangan orang Banjar sejak berabad-abad yang lalu, yang disebut juga negeri-negeri di atas angin di dalam Hikayat Banjar. Perpindahan suku Banjar ke Kalimantan Timur terjadi tahun 1565, yaitu orang-orang Amuntai yang dipimpin Aria Manau (Sang Pangaruntung Manau) alias Adji Tenggal (ayah Puteri Petung) dari Kerajaan Kuripan yang merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Sadurangas di daerah Paser (Paser Pematang), dari sana selanjutnya suku Banjar juga menyebar di daerah lainnya di Kalimantan Timur.[7] Di Daerah Mahakam Tengah (DMT) ditemukan juga orang Banjar dan Bugis. Di beberapa desa seperti halnya di Muara Muntai dan Muara Kaman, beberapa keluarga orang Banjar bahkan telah bermukim semenjak ratusan tahun yang lalu. Mereka pun banyak yang sudah beranak pinak dan tidak mengetahui lagi kampung asal leluhur mereka di Kalimantan Selatan. Mereka sering disebut atau menyebutkan diri sebagai Banjar Kutai yang artinya orang Banjar yang telah menjadi Kutai, atau Kutai Banjar yang berarti perkampungan di Kutai yang berdialek Banjar.[6][8] Di Kalimantan Timur, eksistensi orang Banjar sudah terjalin semenjak masa pemerintahan Kesultanan Banjar dipimpin Sultan Suriansyah (1520–1546). Dengan bala bantuan dari Kerajaan Demak, Kesultanan Banjar terus melebarkan pengaruhnya ke Paser, Kutai, dan Berau. Hikayat Banjar pada abad XVII juga mencatat adanya pernikahan mangkubumi Kesultanan Banjar Panembahan di Darat dengan putri seorang bangsawan dari Kota Bangun. Perjanjian yang ditandatangani antara Pieter Pietarsz (utusan VOC) dengan Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura, Raja Kutai Kartanegara dalam tahun 1635 memuat antara lain bahwa perdagangan bebas hanya dibolehkan antara Kerajaan Kutai dengan orang-orang Banjar dan Belanda saja.[9] Kekalahan Pangeran Antasari dan jatuhnya Kesultanan Banjar ke tangan Belanda dalam perang Banjar yang berlangsung dari tahun 1859-1863, menyebabkan para pengikut Pangeran Antasari dan bangsawan Kesultanan Banjar lain yang tidak mau tunduk dengan Belanda memilih pergi dan menetap di daerah lain termasuk Kesultanan Kutai, Paser dan Berau. Selain melalui pesisir pantai, mereka juga menembus jalan darat dan bermukim di sekitar danau-danau besar di bagian tengah Sungai Mahakam. Atas izin Sultan Aji Muhammad Sulaiman, empat bangsawan dari Banjar yaitu Pangeran Perbatasari, Pangeran Singa Menteri, Pangeran Nata dan Pangeran Surya Nata bersama pengikutnya diperkenankan menetap di Tenggarong. Selanjutnya Pangeran Nata lebih memilih bermukim di Muara Pahu yang saat itu diperintah oleh Raden Mara Jelau turunan dari Raden Baroh yang dahulunya merupakan kerajaan otonom kecil di Hulu Mahakam. Secara spontan orang-orang Banjar berdatangan untuk berdagang, mencari ikan dan mengumpulkan hasil hutan terutama rotan dan karet di daerah Mahakam. Pada saat Kesultanan Kutai dipimpin Aji Amidin gelar Pangeran Mangku Negoro, orang-orang Banjar dari Amuntai dan Nagara sengaja didatangkan dan disediakan tempat di Danau Jempang dan Melintang. Mereka membawa bibit ikan sepat dan biawan untuk ditaburkan di danau-danau tersebut. Hingga kini kedua jenis ikan tersebut merupakan komoditas penting hasil tangkapan nelayan di Mahakam Tengah. Kepandaian orang Banjar dalam berdagang dan memperkenalkan kebudayaan Islam-Banjar sedikit banyak memberi pengaruh terhadap penyebaran Islam dan perkembangan bahasa Melayu dialek Banjar sebagai bahasa pergaulan dan perdagangan. Melalui kepandaian berdagang ini pula penyebaran orang Banjar terus berkembang dan bahkan hingga membentuk perkampungan-perkampungan Banjar baru yang terus berlanjut hingga kini. Mata pencaharian Orang Banjar di Kalimantan Timur sangat bervariatif. Mereka yang bermukim di desa-desa adalah bertani dan nelayan perairan darat (sungai dan danau). Sebagian lagi hidup sebagai pedagang, pegawai, dan pekerja di perusahaan. Pemanfaatan lahan rawa dan perairan sungai serta danau di Kaltim untuk pertanian sawah dan perikanan banyak dilakukan oleh pemukim Orang Banjar. Mereka ada yang telah menetap permanen selama beberapa generasi dan sebagiannya lagi sebagai pendatang musiman yang datang untuk mencari ikan, berdagang, tambang emas tradisional dan bekerja di sektor lain. Di dalam perdagangan, orang-orang Banjar melakukannnya secara berkelompok sesuai daerah asal. Mereka berdagang hingga daerah pedalaman dengan memperdagangkan berbagai kebutuhan pokok sembako, elektronik, hasil pertanian dan hasil hutan. Pemukiman orang Banjar di sekitar Mahakam Tengah banyak dijumpai di sekitar di Kecamatan Muara Muntai, Muara Kaman, dan beberapa desa Kahala dan Melintang. Di daerah ini Orang Banjar telah bermukim lama dan terus bertambah dengan pendatang pemukim musiman dari Banjar lainnya. Di kecamatan lain mungkin juga terdapat orang Banjar, tetapi jumlahnya sedikit dan kebanyakan sebagai pendatang baru.[10] Di Muara Muntai dan Muara Kaman, pemukim Banjar yang telah lama telah bercampur baur dengan penduduk lokal orang Kutai. Sedangkan pendatang baru atau musiman sering kali mengelompok tersendiri dalam pemukiman yang terkonsentrasi. Di daerah ini dan di sekitar danau Jempang dan danau Melintang, Orang Banjar bukan saja memperkenalkan budi daya ikan model keramba dan jaring apung, tetapi juga memperkenalkan teknik penangkapan ikan modern lainnya yang destruktif seperti alat setrum, potasium, dan pukat harimau.[11] Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda tahun 1930 di Kota Samarinda, suku Banjar (54,93 %) merupakan suku asal Kalimantan terbanyak di kota tersebut.[12] Populasi Samarinda tahun 1930 berdasarkan Kelompok Etnik.[12]
Kosakata
TokohCerpen
Kepustakaan
Referensi
Pranala luar
|