Sejarah Pemerintahan Daerah di Republik Indonesia tidaklah berusia pendek. Lebih dari setengah abad lembaga pemerintah lokal ini telah mengisi perjalanan bangsa. Dari waktu ke waktu pemerintahan daerah telah mengalami perubahan bentuknya. Setidaknya ada tujuh tahapan hingga bentuk pemerintahan daerah seperti sekarang ini (2009). Pembagian tahapan ini didasarkan pada masa berlakunya Undang-Undang yang mengatur pemerintahan lokal secara umum.
Tiap-tiap periode pemerintahan daerah memiliki bentuk dan susunan yang berbeda-beda berdasarkan aturan umum yang ditetapkan melalui undang-undang. Patut juga dicatat bahwa konstitusi yang digunakan juga turut memengaruhi corak dari undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah. Dalam artikel ini tidak semua hal yang ada pada pemerintahan daerah dikemukakan. Dalam artikel ini hanya akan dibahas mengenai susunan daerah otonom dan pemegang kekuasaan pemerintahan daerah di bidang legislatif dan eksekutif serta beberapa kejadian yang khas untuk masing-masing periode pemerintahan daerah.
Periode I (1945-1948)
Pada periode ini belum terdapat sebuah undang-undang yang mengatur Pemerintahan Daerah secara khusus. Aturan yang digunakan adalah aturan yang ditetapkan oleh PPKI. Selain itu digunakan pula aturan UU No 1 Tahun 1945 yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari oleh Komite Nasional Daerah. PPKI dalam rapatnya pada 19 Agustus1945 menetapkan pembagian daerah dan pelaksanaan pemerintahan secara umum dengan melanjutkan pelaksanaan yang sudah ada. PPKI hanya menetapkan adanya Komite Nasional di Daerah untuk membantu pekerjaan kepala daerah seperti yang dilakukan di pusat dengan adanya KNI Pusat.
Oleh PPKI, secara umum, wilayah Indonesia dibagi menjadi provinsi-provinsi. Tiap-tiap provinsi dibagi lagi menjadi karesidenan-karesidenan. Masing-masing provinsi dikepalai oleh Gubernur. Sedangkan karesidenan dikepalai oleh Residen. Gubernur dan Residen dalam melaksanakan pemerintahan dibantu oleh Komite Nasional Daerah. Selebihnya susunan dan bentuk pemerintahan daerah dilanjutkan menurut kondisi yang sudah ada. Dengan demikian provinsi dan karesidenan hanya sebagai daerah administratif dan belum mendapat otonomi.
Selain itu PPKI juga memutuskan disamping adanya provinsi terdapat pula 公地 Kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Kerajaan) dan Kota (Gemeente/Haminte) yang kedudukan dan pemerintahan lokalnya tetap diteruskan sampai diatur lebih lanjut. Wilayah-wilayah Provinsi yang ada tersebut tidak mencakup wilayah-wilayah kooti (Zelfbestuurende Landschappen/Kerajaan). Wilayah-wilayah kooti berada di bawah pemerintahan pusat baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang disebut dengan Komisaris.
Perbandingan Pemerintahan Daerah Indonesia Periode I, Pendudukan Jepang, dan Hindia Belanda
Otonomi bagi daerah baru dirintis dengan keluarnya UU No. 1 Tahun 1945 tentang Kedudukan Komite Nasional Daerah. UU No. 1 Tahun 1945 menyebutkan setidaknya ada tiga jenis daerah yang memiliki otonomi yaitu: Karesidenan, Kota otonom dan Kabupaten serta lain-lain daerah yang dianggap perlu (kecuali daerah Surakarta dan Yogyakarta). Pemberian otonomi itu dilakukan dengan membentuk Komite Nasional Daerah sebagai Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebagai penyelenggara pemerintahan daerah adalah Komite Nasional Daerah bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah. Untuk pemerintahan sehari-hari dibentuk Badan Eksekutif dari dan oleh Komite Nasional Daerah dan dipimpin oleh Kepala Daerah.
Pada periode ini berlaku Undang-Undang Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini adalah UU pertama kalinya yang mengatur susunan dan kedudukan pemerintahan daerah di Indonesia. Secara umum Indonesia memiliki dua jenis daerah berotonomi yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom khusus yang disebut dengan daerah istimewa. Daerah otonom khusus yang diberi nomenklatur "Daerah Istimewa" adalah daerah kerajaan/kesultanan dengan kedudukan zelfbesturende landschappen/kooti/daerah swapraja yang telah ada sebelum Indonesiamerdeka dan masih dikuasai oleh dinasti pemerintahannya. Masing-masing daerah berotonomi tersebut memiliki tiga tingkatan dan nomenklatur yang berbeda-beda yaitu:
Tingkatan Daerah Otonom
Nomenklatur Daerah Otonom Biasa
Nomenklatur Daerah Otonom Khusus
Tingkat I
Provinsi
Daerah Istimewa Setingkat Provinsi
Tingkat II
Kabupaten/Kota Besar
Daerah Istimewa Setingkat Kabupaten
Tingkat III
Desa, Negeri, Marga, atau nama lain/Kota Kecil
Daerah Istimewa Setingkat Desa
Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintahan lokal terdiri dari:
DPRD mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya. Anggota DPRD dipilih dalam sebuah pemilihan yang diatur oleh UU pembentukan daerah. Masa jabatan Anggota DPRD adalah lima tahun. Jumlah anggota DPRD juga diatur dalam UU pembentukan daerah yang bersangkutan. Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan dari anggota DPRD yang bersangkutan.
DPD menjalankan pemerintahan sehari-hari. Anggota DPD secara bersama-sama atau masing-masing bertanggung jawab terhadap DPRD dan diwajibkan memberi keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD. DPD dipilih oleh dan dari DPRD dengan memperhatikan perimbangan komposisi kekuatan politik dalam DPRD. Masa jabatan anggota DPD sama seperti masa jabatan DPRD yang bersangkutan. Jumlah anggota DPD ditetapkan dalam UU pembentukan daerah yang bersangkutan.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 disusun berdasarkan pada konstitusi Republik I[2] pasal 18.[3] Pada mulanya UU ini mengatur pokok-pokok pemerintahan daerah di wilayah Indonesia yang tersisa yaitu:
DPRD mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga daerahnya kecuali ditentukan lain dengan UU. Pemilihan dan penggantian anggota DPRD diatur dengan undang-undang tersendiri. Masa jabatan anggota DPRD adalah empat tahun. Masa jabatan anggota pengganti antar waktu hanya untuk sisa masa empat tahun tersebut. Jumlah anggota DPRD ditetapkan dalam UU pembentukan, dengan dasar perhitungan jumlah penduduk tertentu. Ketua dan Wakil Ketua DPRD dipilih oleh dan dari anggota DPRD.
Pimpinan sehari-hari Pemerintahan Daerah dijalankan oleh DPD. DPD menjalankan keputusan-keputusan DPRD. Anggota DPD dalam menjalankan tugasnya secara bersama-sama bertanggung jawab kepada DPRD dan wajib memberi keterangan-keterangan yang diminta oleh DPRD. DPD dipilih oleh dan dari DPRD dengan memperhatikan perimbangan komposisi kekuatan politik dalam DPRD. Masa jabatan anggota DPD sama seperti masa jabatan DPRD yang bersangkutan. Anggota DPD antar waktu yang dipilih memiliki masa jabatan hanya untuk sisa masa jabatan DPD yang ada. Jumlah anggota DPD ditetapkan dalam peraturan pembentukan daerah yang bersangkutan. Kepala Daerah karena jabatannya menjadi ketua dan anggota DPD. Wakil Ketua DPD dipilih oleh dan dari, anggota DPD bersangkutan.
Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu pada zaman sebelum Republik dengan memperhatikan syarat tertentu dan diangkat serta diberhentikan oleh Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I atau Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya bagi Daerah Istimewa tingkat II dan III. Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan tata cara seperti Kepala Daerah Istimewa. Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota dari Dewan Pemerintah Daerah.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 disusun berdasarkan aturan Konstitusi Republik III[4] pasal 131, 132, dan 133.[5] Namun dalam perjalanan waktu, peraturan tersebut mengalami perubahan pada 1959 dan 1960 karena menyesuaikan dengan sistem ketata negaraan Republik IV.[6] Penyesuaian pada tahun 1959 dilaksanakan dengan Penetapan Presiden No. 6 Tahun 1959. Menurut peraturan itu pemerintahan daerah terdiri dari:
BPH terdiri dari 3 sampai 5 anggota kecuali yang berasal dari anggota DPD sebelumnya. Anggota BPH diangkat dan diberhentikan menurut aturan yang ditetapkan Mendagri dan Otda.
Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden No. 6 tahun 1959; Penetapan Presiden No. 2 tahun 1960; Penetapan Presiden No. 5 tahun 1960 jo Penetapan Presiden No. 7 tahun 1965. Menurut UU ini secara umum Indonesia hanya mengenal satu jenis daerah otonomi. Daerah otonomi tersebut dibagi menjadi tiga tingkatan daerah.
Tingkatan
Nomenklatur Daerah Otonom
Tingkat I
Provinsi/Kotaraya
Tingkat II
Kabupaten/Kotamadya
Tingkat III
Kecamatan/Kotapraja
Daerah-daerah yang memiliki otonomi khusus menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 boleh dikatakan dihapus secara sistematis dan diseragamkan dengan daerah otonomi biasa. Selain itu untuk mempersiapkan pembentukan daerah otonom tingkat III maka dikeluarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh Wilayah Indonesia yang dalam artikel ini disingkat menjadi "UU Desapraja".
Undang-undang menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintah Daerah". Pemerintah Daerah berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah-tangga daerahnya. Pemerintahan lokal terdiri dari:
Jumlah anggota DPRD ditetapkan dalam UU pembentukan daerah dengan dasar perhitungan jumlah penduduk tertentu. Masa jabatan anggota DPRD adalah 5 tahun. Anggota DPRD antar waktu masa jabatannya hanya untuk sisa masa lima tahun tersebut. Pemilihan, pengangkatan dan penggantian anggota DPRD diatur dengan UU tersendiri. Pimpinan DPRD terdiri dari seorang Ketua dan beberapa orang Wakil Ketua yang mencerminkan poros Nasakom. Pimpinan DPRD dalam menjalankan tugasnya mempertanggung-jawabkan kepada Kepala Daerah.
Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 disusun berdasar pasal 18 Konstitusi Republik IV.[7] Namun berbeda dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948, UU ini secara tegas tidak lagi mengakomodasi daerah-daerah dengan otonomi khusus dan secara sistematis berusaha menghapuskan daerah otonomi khusus tersebut sebagaimana yang tercantum dalam pasal 88.[8] Hal tersebut juga diterangkan dengan lebih gamblang dalam penjelasan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 pasal 1-2 serta pasal 88. Akan tetapi, badai politik tahun 1965, yang terjadi hanya 29 hari setelah Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 disahkan, menyebabkan UU pemerintahan daerah ini tidak dapat diberlakukan secara mulus. Perubahan konstelasi politik yang terjadi sepanjang akhir 1965 sampai dengan tahun 1968 mengakibatkan UU Pemerintahan Daerah dan UU Desapraja tidak dapat diberlakukan.[9]
Periode V (1974-1999)
Pada periode ini berlaku Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. UU ini menggantikan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 yang dinyatakan tidak dapat diterapkan. Menurut UU ini secara umum Indonesia dibagi menjadi satu macam Daerah Otonom sebagai pelaksanaan asas desentralisasi dan Wilayah Administratif sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi.
Susunan, keanggotaan, dan pimpinan DPRD, begitu juga sumpah/janji, masa keanggotaan, dan larangan rangkapan jabatan bagi anggota-anggotanya diatur dengan UU tersendiri.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 disusun berdasarkan pasal 18 Konstitusi Republik IV dan dikembangkan lebih jauh dengan mengadopsi "ide-ide" yang ada dalam penjelasan Konstitusi.[12] UU ini cukup lama bertahan yaitu selama 25 tahun. Dalam perjalanannya Indonesia mengalami penambahan wilayah baru yang berasal dari koloni Portugis[13] pada 1976 dan dibentuk sebagai sebuah provinsi yaitu Provinsi Daerah Tingkat I Timor Timur dengan Undang-Undang No 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor-Timur ke Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Timor-Timur. Pada tahun 1990Kota Jakarta mendapat status Daerah Khusus dengan tingkatan daerah otonom Daerah Tingkat I melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu kota Negara Republik Indonesia Jakarta.[14] Selain itu tidak banyak yang menonjol dari pemerintahan daerah.
DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah. Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak, keanggotaan, pimpinan, dan alat kelengkapan DPRD diatur dengan undang-undang tersendiri.
Daerah indirect gebied adalah daerah yang diperintah secara tidak langsung oleh penguasa Batavia. Daerah ini biasanya berbentuk kerajaan atau kesultanan yang terikat dengan perjanjian politik baik jangka panjang maupun jangka pendek. Perjanjian ini dilakukan oleh raja atau sultan dari kerajaan atau kesultanan lokal dengan residen atau gubernur sebagai wakil gubernur jenderal atas nama raja atau ratu Belanda. Dengan perjanjian tersebut kerajaan atau kesultanan memiliki status "negara semi merdeka" dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Daerah-daerah tersebut diperintah sendiri oleh penguasa pribumi dan memiliki struktur pemerintahan lokal sendiri. Pemerintah Hindia Belanda hanya menempatkan para pengawas dengan pangkat asisten residen, residen, atau gubernur sesuai dengan tingkatan daerah yang didasarkan pada kepentingan Pemerintah Hindia Belanda. Dari sinilah kemudian muncul kedudukan khusus suatu daerah yang dikenal dengan nomenklatur Zelfbesturende Lanschappen (Daerah Swapraja [berpemerintahan sendiri] atau otonom).
Daerah direct gebied adalah yang diperintah secara langsung oleh Batavia secara hirarkis. Pemerintahannya bersifat administratif atau sering disebut "pemerintahan pangreh praja". Pemerintahan ini pun dibedakan antara pemerintahan di wilayah Jawa dan Madura dengan luar Jawa dan Madura.
Gubernur sampai asisten residen untuk Jawa dan kontrolir untuk luar Jawa adalah berkebangsaan Belanda dan disebut Eurpese Bestuurambtenaren. Sedangkan bupati sampai lurah atau kepala desa untuk Jawa dan Demang sampai kepala desa atau nama lain untuk luar Jawa berkebangsaan pribumi dan disebut Inlandse Bestuurambtenaren.
Dengan adanya Decentralisatie Wet 1903 (Stbl 1903 No. 329) prinsip otonomi mulai diperkenalkan. Di beberapa daerah mulai dibentuk Locale Raad (semacam DPRD). Perkembangan selanjutnya muncul Wet Op de Bestuurshervormings 1922 (Stbl 1922 No. 216). Sebagai Badan Pemerintahan Harian di tingkat provinsi terdapat College van Gedeputeerden yang dipimpin oleh gubernur. Di tingkat kabupaten terdapat College van Gecomitteerden yang dipimpin oleh bupati (Regent). Sedang di kotapraja terdapat College van Burgermeester en Wethouders yang dipimpin oleh wali kota).
Khususnya Jawa, pemerintahan tertinggi berada di tangan 最高指揮官 Saikoo Sikikan (Gunsereikan). Nomenkaltur daerah diganti menurut bahasa Jepang. Beberapa tingkatan daerah dihapuskan. Begitu pula dengan Locale Raad-nya dibekukan/dibubarkan. Pada masa pendudukan Jepang tingkatan daerahnya menjadi:
州 Syuu (karesidenan) dipimpin oleh 州長官 Syuutyookan, 市 Si (kota)/ 縣 Ken (kabupaten) dipimpin oleh 市長/縣長 Sityoo/Kentyoo, 郡 Gun (distrik) dipimpin oleh 郡長 Guntyoo, 村 Son (kecamatan) dipimpin oleh 村長 Sontyoo, dan 區 Ku (desa) dipimpin oleh 區長 Kutyoo.
Daerah dengan kedudukan Zelfbesturende Lanschappen diganti nomenklaturnya menjadi 公地 Kooti. Daerah ini masih diperkenankan memiliki pemerintahan sendiri, namun dengan pengawasan yang sangat ketat dari pemerintahan militer dengan menempatkan pejabat 公地事務局長官 Kooti-Zimukyoku-tyookan.
Pada akhir masa pendudukan, Jepang kembali menghidupkan Locale Raad dengan nomenklatur 州参議会 Syuu Sangi-kai bagi Syuu dan 特別市参議会Tokubetsu Si Sangi-kai bagi Si.
Isi UU NIT No. 44 Tahun 1950 sebagian besar mengadopsi isi Undang-Undang RI-Yogyakarta No. 22 Tahun 1948. UU ini tetap berlaku pada masa Republik III di wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku sampai tahun 1957.
^Republik I adalah masa berlakunya konstitusi yang disahkan oleh PPKI yang kemudian dikenal dengan UUD 1945, tepatnya adalah 18 Agustus 1945 – 15 Agustus 1950
^Pasal 18 Konstitusi Republik I berbunyi: "Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa."
^Republik III adalah masa berlakunya konstitusi Negara Kesatuan yang lebih dikenal dengan nama UUD Sementara 1950, tepatnya adalah 15 Agustus 1950 – 5 Juli 1959
Konstitusi Republik III pasal 131, 132, dan 133 selengkapnya berbunyi
Pasal 131
(1)Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonom), dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.
(2) Kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri.
(3) Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya.
Pasal 132
(1) Kedudukan daerah-daerah Swapraja diatur dengan undang-undang dengan ketentuan bahwa dalam bentuk susunan pemerintahannya harus diingat pula ketentuan dalam pasal 131, dasar-dasar permusyawaratan dan perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.
(2) Daerah-daerah Swapraja yang ada tidak dapat dihapuskan atau diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang yang menyatakan bahwa kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengecilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada Pemerintah.
(3) Perselisihan-perselisihan hukum tentang peraturan-peraturan yang dimaksud dalam ayat (1) dan tentang menjalankannya diadili oleh badan pengadilan yang dimaksud dalam pasal 108.
Pasal 133
Sambil menunggu ketentuan-ketentuan sebagai dimaksud dalam pasal 132 maka peraturan-peraturan yang sudah ada tetap berlaku, dengan pengertian bahwa penjabat-pejabat daerah bagian dahulu yang tersebut dalam peraturan-peraturan itu diganti dengan penjabat-pejabat yang demikian pada Republik Indonesia.
^Republik IV adalah masa diberlakukannya kembali konstitusi yang disahkan PPKI yang dikenal dengan UUD 1945, tepatnya adalah 5 Juli 1959 – 19 Oktober 1999
^Pasal 18 konstitusi Republik IV berbunyi: "Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa."
^Pasal 88 ayat (2) sub a berbunyi: "Sifat istimewa sesuatu Daerah yang berdasarkan atas ketentuan mengingat kedudukan dan hak-hak asal usul dalam pasal 18 Undang-undang Dasar yang masih diakui dan berlaku hingga sekarang atau sebutan Daerah Istimewa atas alasan lain, berlaku terus hingga dihapuskan". Pasal 88 ayat (3) paragraf pertama berbunyi: "Daerah-daerah Swapraja yang de facto dan/atau de jure sampai pada saat berlakunya Undang-undang ini masih ada dan wilayahnya telah menjadi wilayah atau bagian wilayah administratif dari sesuatu Daerah, dinyatakan hapus."
^Pencabutan/penarikan/pernyataan tidak berlaku dilakukan dengan UU No. 6 Tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Berbagai Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
^nomenklatur Daerah Khusus Ibu kota dan Daerah Istimewa muncul dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan untuk mengakomodasi kekhususan pemerintahan Ibu kota Negara dan dua Daerah Istimewa yang tersisa. Dalam UU hanya ada nomenklatur Dati I
^Tingkatan Kota Administratif dibentuk di wilayah administratif Kabupaten sesuai dengan perkembangan. Wilayah administratif Kota Administratif terdiri atas wilayah-wilayah administratif Kecamatan. Dalam UU tingkatan yang disebut hanya tingkat I, II, dan III
^Pasal 18 konstitusi Republik IV berbunyi: "Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa". Penjelasan pasal 18 konstitusi berbunyi: "(I). Oleh karena Negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, oleh karena di daerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar permusyawaratan. (II). Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgetneenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut".
^Wilayah Indonesia yang asli hanya meliputi seluruh wilayah koloni Hindia Belanda
^Dalam UU ini Provinsi DKI Jakarta, antara lain, menyelenggarakan pemerintahan yang bersifat khusus sebagai akibat langsung dari kedudukan Jakarta sebagai Ibu kota Negara. Pemerintahan khusus itu berupa Gubernur Kepala Daerah bertanggungjawab kepada Presiden dengan mendapatkan petunjuk dan bimbingan dari Menteri Dalam Negeri. Untuk itu pembiayaan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan yang bersifat khusus dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
^Dalam pasal 118, UU ini secara eksplisit juga menyebutkan Provinsi Timor-Timur dapat diberi otonomi khusus yang diatur dengan UU tersendiri
^teks lengkap silakan lihat di atas pada catatan kaki periode V
^Republik V adalah masa perubahan secara mendasar terhadap konstitusi "UUD 1945" yang dilakukan secara bertahap sebanyak empat kali, tepatnya antara 19 Oktober 1999 – 10 Agustus 2002
^Republik VI adalah masa berlakunya konstitusi "UUD 1945" yang telah diubah sebanyak empat kali, tepatnya mulai 10 Agustus 2002 sampai ada perubahan yang bersifat mendasar atau ada penetapan konstitusi baru
^lengkapnya UU No. 34 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Negara Republik Indonesia Jakarta. Dalam UU ini, antara lain, ditetapkan: Otonomi Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta diletakkan pada lingkup Provinsi berdasarkan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan; Wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta dibagi dalam Kotamadya dan Kabupaten Administrasi; Pemerintah Kotamadya/kabupaten didampingi Dewan Kota/Kabupaten yang anggotanya dari tokoh masyarakat (Dewan bukan badan legislatif); Pemerintah Kelurahan didampingi Dewan Kelurahan yang anggotanya dari tokoh masyarakat (bukan sebagai badan legislatif); dan Nama-nama calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur yang telah ditetapkan oleh Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dikonsultasikan dengan Presiden
^lengkapnya UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Dalam UU ini ditentukan keistimewaan Aceh meliputi: a. penyelenggaraan kehidupan beragama; b. penyelenggaraan kehidupan adat; c. penyelenggaraan pendidikan; dan d. peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah.
^lengkapnya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh. Otonomi khusus Aceh antara lain meliputi: Hal-ihwal keuangan dan pengelolaan sumberdaya alam, Jumlah anggota DPRD Prov NAD, Lembaga Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe, Pemilihan gubernur NAD, bupati dan wali kota di lingkungan Prov NAD secara langsung oleh rakyat yang diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan, Pembentukan Mahkamah Syar’iyah dan nomenkaltur Perda yang disebut dengan Qanun
^lengkapnya UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Otonomi khusus Papua antara lain meliputi: Adanya Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua, Nomenklatur DPRD Provinsi menjadi DPR Papua, Jumlah Anggota DPR Papua, Gubernur adalah orang asli Papua, Adanya Perdasus, Hal-ihwal keuangan dan pengelolaan sumberdaya alam serta kelestarian lingkungan, Peradilan adat, dan Perlindungan hak adat yang meliputi hak ulayat masyarakat hukum adat serta hak perorangan para warga masyarakat hukum adat
^Sebenarnya pada tahun 1999 Provinsi Irian Jaya dijadikan tiga provinsi yaitu: (1) Provinsi Irian Jaya Timur dengan Ibu kota Jayapura, (2) Provinsi Irian Jaya Tengah dengan kedudukan pemerintahan di Timika, dan (3) Irian Jaya Barat dengan kedudukan pemerintahan di Manokwari dan untuk sementara waktu beribu kota di Sorong. Pembentukan provinsi-provinsi ini dilakukan dengan UU No. 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya, dan Kota Sorong. Namun karena ada hal tertentu pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat tertunda sampai tahun 2003 dan Provinsi Irian Jaya Tengah belum dibentuk secara definitif
^Aceh sebenarnya diatur secara khusus melalui UU No. 11 Tahun 2006 dan Papua sebenarnya diatur secara khusus melalui UU No. 21 Tahun 2001; bukan di UU No. 32 Tahun 2004. Namun untuk memudahkan mengenali perbedaan antara Aceh dan Papua dengan daerah lain maka hal tersebut langsung diperbandingkan
^Aceh sebenarnya diatur secara khusus melalui UU No. 11 Tahun 2006; bukan di UU No. 32 Tahun 2004. Namun untuk memudahkan mengenali perbedaan antara Aceh dengan daerah lain maka hal tersebut langsung diperbandingkan
^Sebenarnya Aceh diatur secara khusus melalui UU No. 11 Tahun 2006, Papua diatur secara khusus melalui UU No. 21 Tahun 2001, dan Jakarta diatur secara khusus melalui UU No. 29 Tahun 2007; bukan di UU No. 32 Tahun 2004. Namun untuk memudahkan mengenali perbedaan antara Aceh, Papua, dan Jakarta dengan daerah lain maka hal tersebut langsung diperbandingkan
^Dahulu menggunakan nomenklatur Badan Perwakilan Desa
^Masa jabatan kepala desa ini dapat dikecualikan bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang keberadaannya masih hidup dan diakui yang ditetapkan dengan Perda
^
Pasal 18, 18A, dan 18B konstitusi Republik VI selengkapnya berbunyi:
"Pasal 18
(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
(4) Gubernur, Bupati, dan Wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Pasal 18A
(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.
(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.
Pasal 18B
(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.
(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang."
^Isi UU ini sebagian besar merupakan implementasi dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Ibu kota Finlandia. Isi keistimewaan dan otonomi khusus Aceh yang berasal dari UU sebelumnya mendapat penjabaran lebih lanjut dan perluasan serta tambahan materi berdasarkan MoU Indonesia-GAM. Sebagai contoh ialah mengenai penerapan syariat Islam yang meliputi aqidah, syar’iyah dan akhlak yang ketiganya dirinci menjadi ibadah, ahwal alsyakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam.
^Dalam UU ini antara lain ditetapkan otonomi pada tingkat provinsi, Gubernur harus mendapat suara lebih dari 50% untuk terpilih dalam satu putaran pemilihan, Gubernur dapat menghadiri sidang kabinet yang menyangkut kepentingan Ibu kota Negara, Gubernur mempunyai hak protokoler mendampingi Presiden, Adanya Deputi Gubernur yang membantu Gubernur dalam kapasitasnya sebagai kepala Ibu kota Negara, Pembagian wilayah Jakarta dalam Kota administrasi/kabupaten administrasi, Adanya Dewan Kota/Dewan Kabupaten pada tingkat kota/kabupaten serta Lembaga Musyawarah Kelurahan pada tingkat kelurahan sebagai lembaga musyawarah untuk mengakomodasi peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan dan peningkatan pelayanan masyarakat
^Majelis Rakyat Papua baru dibentuk pada tahun 2004 atau 2005
^Isi otonomi silakan lihat catatan kaki pada periode VI Otsus Papua
^Keputusan ini diambil dengan voting: 55 suara republik, 6 suara kerajaan, 2 suara lain-lain (imamat [teokrasi]), dan 1 suara abstain; jumlah 66 suara
^Keputusan ini diambil dengan voting: 39 suara bekas Hindia Belanda ditambah Malaya, Borneo Utara, Papua (Inggris), Timor Portugis dan pulau sekelilingnya, 19 suara bekas Hindia Belanda tanpa tambahan, 6 suara bekas Hindia Belanda ditambah Malaya dikurangi Papua (Belanda/Inggris/Seluruhnya [?]) (atau bekas Hindia Belanda dikurangi Papua {Belanda/Inggris/Seluruhnya [?]} ), 1 suara lain-lain, 1 suara abstain; jumlah 66 suara
^Keputusan ini diambil dalam rapat panitia penyusun hukum dasar dengan voting: 17 suara unitarianisme, 2 suara federalism; jumlah 19 suara
^mulai dari bagian ini sampai akhir kalimat adalah penjelasan dari Supomo selaku ketua tim perumus dari panitia hukum dasar
^Republik II adalah masa berlakunya konstitusi federal yang dikenal dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat, tepatnya 27 Desember 1949 – 15 Agustus 1950
^Aturan ini terdapat dalam Bab II Republik Indonesia Serikat dan Daerah-daerah Bagian
^misalnya pasal 47 yang berbunyi: "Peraturan-peraturan ketatanegaraan negara-negara haruslah menjamin hak atas kehidupan-rakyat sendiri kepada pelbagai persekutuan-rakyat di dalam lingkungan daerah mereka itu dan harus pula mengadakan kemungkinan untuk mewujudkan hal itu secara kenegaraan dengan aturan-aturan tentang penyusunan persekutuan itu secara demokrasi dalam daerah-daerah otonomi"
^Aturan ini berdasarkan pasal 65 yang berbunyi: "Mengatur kedudukan daerah-daerah Swapraja masuk dalam tugas dan kekuasaan daerah-daerah bagian yang bersangkutan dengan pengertian, bahwa mengatur itu dilakukan dengan kontrak yang diadakan antara daerah bagian dan daerah-daerah Swapraja bersangkutan dan bahwa dalam kontrak itu kedudukan istimewa Swapraja akan diperhatikan dan bahwa tiada suatupun dari daerah-daerah Swapraja yang sudah ada, dapat dihapuskan atau diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang federal yang menyatakan, bahwa, kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengecilan itu, memberi kuasa untuk itu kepada pemerintah daerah-bagian bersangkutan."
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS 1949)
Undang-Undang RIS No. 7 Tahun 1950 (UUD Sementara 1950)
UU Pokok No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah (RI-Yogyakarta)
UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (LN Tahun 1957 No. 6)
UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (LN Tahun 1965 No. 83; TLN No. 2778)
UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (LN Tahun 1974 No. 38; TLN No. 3037)
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN Tahun 1999 No. 60; TLN No. 3839)
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN Tahun 2004 No. 125; TLN No. 4437)
Aries Djaenuri et. al. (2003) Hubungan Pusat dan Daerah. Cet 4. Jakarta* Universitas Terbuka
Hanif Nurcholis. (2002) Administrasi Pemerintahan Daerah. Edisi 1. Cet 1. Jakarta: Universitas Terbuka.
Kartiko Purnomo. (2001) Administrasi Pemerintahan Daerah II. Cet 3. Jakarta: Universitas Terbuka.
Saafroedin Bahar et. al. (Ed). (1993) Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945 – 19 Agustus 1945. Edisi II. Cetakan 4. Jakarta: Sekretariat Negara RI.