Sejarah Myanmar atau Sejarah Birma meliputi kurun waktu sejak berdirinya pemukiman-pemukiman pertama manusia yang telah diketahui pada 13.000 tahun yang lampau sampai sekarang. Menurut catatan sejarah, para pemukim pertama di negeri ini adalah orang-orang Pyu, suku bangsa penutur bahasa Tibeto-Birma dan pemeluk agama Buddha Theravada yang mendirikan sejumlah negara kota sampai jauh ke Pyay di kawasan selatan Birma.
Suku bangsa lain, yakni orang Bamar, memasuki daerah hulu Sungai Irawadi pada permulaan abad ke-9. Kelompok ini kelak mendirikan Kerajaan Pagan (1044–1287) yang pertama kali mempersatukan kawasan Lembah Sungai Irawadi dan sekitarnya. Selama kurun waktu ini, bahasa Birma dan budaya Bamar lambat laun menggantikan bahasa dan budaya Pyu. Seusai invasi Monggol pertama atas Birma pada 1287, sejumlah kerajaan kecil bermunculan di negeri ini, yang paling menonjol di antaranya adalah Kerajaan Awa, Kerajaan Hanthawadi, Kerajaan Mrauk U, dan negara-negara orang Shan. Kerajaan-kerajaan kecil ini tak henti-hentinya bergonta-ganti sekutu dan saling memerangi.
Pada paruh kedua abad ke-16, raja-raja wangsa Taungu (1510–1752) mempersatukan kembali negeri ini, dan membangun kemaharajaan terbesar dalam sejarah Asia Tenggara yang berdiri selama kurun waktu yang singkat. Raja-raja wangsa Taungu memprakarsai pembaharuan-pembaharuan penting di bidang administrasi dan perekonomian yang menghasilkan sebuah kerajaan yang lebih kecil namun lebih tenteram dan makmur pada abad ke-17 dan permulaan abad ke-18. Pada paruh kedua abad ke-18, raja-raja wangsa Konbaung (1752–1885) memulihkan kebesaran kerajaan ini, serta melanjutkan karya pembaharuan raja-raja wangsa Taungu yang membuat kerajaan ini menjadi pusat mandala kekuasaan bagi negeri-negeri di sekitarnya dan menjadi salah satu negara yang paling melek aksara di Asia. Raja-raja wangsa Konbaung juga berperang melawan semua negara tetangganya. Perang Inggris-Birma (1824–1885) akhirnya menundukkan negeri ini di bawah penjajahan Britania.
Penjajahan Britania menimbulkan sejumlah perubahan mendalam di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan administrasi yang sepenuhnya mentransformasi masyarakat yang mula-mula bersifat agraris ini. Selain itu, pemerintah penjajah Britania menonjol-nonjolkan perbedaan-perbedaan antarsuku bangsa yang sangat beragam di Birma. Sejak merdeka pada 1948, Birma harus berkutat dengan salah satu perang saudara terlama yang tak kunjung terselesaikan. Negara ini dikuasai pemerintahan militer dalam berbagai samarannya sejak 1962 sampai 2010, dan sepanjang kurun waktu itu lambat laun merosot menjadi salah satu negara terbelakang di dunia.
Bukti arkeologi tertua menyiratkan bahwa peradaban telah hadir di Birma semenjak 11.000 SM. Sebagian besar bekas pemukiman terawal di Birma telah ditemukan di zona kering tengah, kawasan sebaran situs-situs yang berdekatan dengan Sungai Irawadi. Anyatha, peradaban Zaman Batu Birma, diduga berkembang pada kurun waktu yang sama dengan peradaban-peradaban permulaan dan pertengahan Zaman Batu Tua di Eropa. Peradaban manusia pada Zaman Batu Muda, manakala tumbuhan dan hewan mulai dibudidayakan dan alat-alat batu terupam mulai dihasilkan, dibuktikan keberadaannya di Birma oleh temuan-temuan dari tiga gua dekat Taunggyi di ujung dataran tinggi Shan yang diperkirakan bertarikh antara 10000 sampai 6000 SM.[1]
Sekitar 1500 SM, masyarakat di kawasan ini sudah pandai mengolah tembaga menjadi perunggu, bertanam padi, serta beternak ayam dan babi; mereka bahkan tergolong orang-orang pertama di dunia yang melakukannya. Pada 500 SM, pemukiman-pemukiman masyarakat berkepandaian mengolah besi muncul di sebuah kawasan yang terletak di sebelah selatan Mandalay sekarang ini. Peti-peti mati berhiasan perunggu dan situs-situs pekuburan yang penuh dengan pecahan gerabah telah berhasil diekskavasi.[2] Bukti arkeologi dari Lembah Samon di sebelah selatan Mandalay menyiratkan keberadaan pemukiman-pemukiman masyarakat penanam padi yang berniaga dengan Tiongkok antara 500 SM sampai 200 M.[3] Bukti-bukti peradaban Zaman Besi, yang juga berasal dari Lembah Samon, menyingkap perubahan-perubahan praktik penguburan bayi yang sangat dipengaruhi oleh budaya India. Perubahan-perubahan ini meliputi praktik penguburan bayi dalam bejana-bejana dengan ukuran yang menandakan status sosial dari keluarga si bayi.[4]
Orang Pyu memasuki kawasan Lembah Sungai Irawadi dari Yunnan pada ca. abad ke-2 SM, dan mendirikan negara-negara kota di sepanjang Lembah Sungai Irawadi. Menurut hasil rekonstruksi, kampung halaman orang Pyu adalah kawasan sekitar Danau Qinghai yang kini termasuk dalam wilayah provinsi Qinghai dan provinsi Gansu di Republik Rakyat Tiongkok.[5] Orang Pyu adalah suku bangsa pertama yang mendiami wilayah Birma menurut catatan-catatan sejarah Birma yang sintas.[6] Kala itu Birma merupakan bagian dari jalur niaga lintas darat yang menghubungkan Tiongkok dan India. Perniagaan dengan India membawa masuk agama Buddha dari India Selatan. Pada abad ke-4, banyak dari penduduk kawasan Lembah Sungai Irawadi telah memeluk agama Buddha.[7] Di antara sekian banyak negara kota orang Pyu, Kerajaan Sri Ksetra, yang terletak di sebelah tenggara Pyay sekarang ini, tampil sebagai negara kota yang terbesar dan terpenting. Negara kota ini diduga pernah menjadi ibu kota orang Pyu.[8] Pada bulan Maret 638, orang-orang Pyu di Kerajaan Sri Ksetra mulai menerapkan sebuah sistem penanggalan baru yang kelak menjadi Kalender Birma.[6]
Catatan-catatan Tiongkok abad ke-8 menyebut-nyebut keberadaan 18 negara kota orang Pyu di kawasan Lembah Sungai Irawadi, dan menggambarkan orang Pyu sebagai suatu masyarakat yang berperikemanusiaan, cinta damai, nyaris tak mengenal perang, serta mengenakan pakaian sutra tiruan yang ditenun dari benang kapuk randu ketimbang pakaian sutra asli agar tidak perlu membunuh ulat sutra. Catatan-catatan Tiongkok melaporkan pula bahwa orang Pyu mengetahui perhitungan-perhitungan ilmu falak, dan banyak kanak-kanak lelaki orang Pyu yang menjalani hidup membiara sejak berumur tujuh tahun sampai genap berumur 20 tahun.[6]
Negara-negara kota orang Pyu merupakan peradaban yang berumur panjang, bertahan selama hampir satu milenium sampai permulaan abad ke-9, ketika suku bangsa baru, "para penunggang kuda yang gesit" dari utara, yakni orang Bamar, memasuki kawasan hulu Sungai Irawadi. Pada permulaan abad ke-9, negara-negara kota orang Pyu di Birma Hulu terus-menerus diserang oleh orang-orang Nanzhao (di Yunnan sekarang). Pada 832, orang-orang Nanzhao menjarah rayah Halingyi, yang kala itu telah menggantikan Pyay sebagai negara kota terkemuka sekaligus ibu kota tak resmi orang Pyu. Menurut hasil tafsir para arkeolog atas riwayat penjarahan Halingyi pada 832 yang tercantum dalam catatan-catatan Tiongkok terdahulu, ada 3000 orang Pyu yang ditawan dan kelak diperbudak oleh orang-orang Nanzhao di Kunming.
Meskipun pemukiman-pemukiman orang Pyu masih tetap berdiri di kawasan Birma Hulu sampai dengan berdirinya Kemaharajaan Pagan pada pertengahan abad ke-11, masyarakat Pyu sendiri lambat laun membaur dan menyatu dengan rakyat Kerajaan Pagan bentukan orang Bamar yang lama-kelamaan semakin besar selama empat abad berikutnya. Bahasa Pyu terus bertahan sampai pada penghujung abad ke-12. Pada abad ke-13, orang Pyu sudah menganggap dirinya adalah orang Bamar. Sejarah dan legenda-legenda orang Pyu turut pula menyatu dengan sejarah dan legenda-legenda orang Bamar.[7]
Menurut hasil kajian ilmiah dari zaman penjajahan Britania, semenjak abad ke-6, suku bangsa lain yang disebut orang Mon mulai memasuki kawasan Birma Hilir dari wilayah kerajaan-kerajaan orang Mon, yakni Haripunjaya dan Dwarawati yang kini termasuk dalam wilayah negara Muangthai. Pada pertengahan abad ke-9, orang Mon sekurang-kurangnya telah berhasil mendirikan dua kerajaan kecil (atau negara kota besar) yang berpusat di sekitar Bago dan Thaton di Birma. Sumber keterangan tertua dari luar Birma mengenai keberadaan sebuah kerajaan orang Mon di kawasan Birma Hilir adalah catatan para ahli geografi Arab dari kurun waktu 844–848.[9] Meskipun demikian, menurut hasil kajian-kajian mutakhir, tidak ada bukti (baik arkeologis maupun nonarkeologis) yang mendukung teori dari zaman penjajahan tentang keberadaan negara orang Mon di kawasan Birma Hilir sebelum akhir abad ke-13. Selain itu, catatan pertama yang mengungkap keberadaan Kerajaan Thaton baru muncul pada 1479.[10]
Orang Bamar, yang datang sewaktu orang Nanzhao menyerbu negara-negara kota orang Pyu pada permulaan abad ke-9, menetap di kawasan Birma Hulu (perpindahan orang Bamar ke daerah hulu Lembah Sungai Irawadi diperkirakan bermula pada abad ke-7[11]). Pada pertengahan sampai penghujung abad ke-9, orang Bamar mendirikan Pagan sebagai sebuah pemukiman berbenteng di lokasi yang stategis, dekat pertemuan arus sungai Irawadi dan arus anak sungai utamanya, Sungai Chindwin.[12]
Mungkin pula kota Pagan didirikan untuk membantu orang Nanzhao menundukkan desa-desa di sekitarnya.[13] Selama 200 tahun setelah didirikan, mandala kekuasaan praja kecil itu perlahan-lahan meluas ke daerah-daerah di sekelilingnya hingga meliputi kawasan seluas kira-kira 200 mil dari utara ke selatan dan 80 mil dari timur ke barat ketika Anawrahta naik takhta pada 1044.[14]
Kemaharajaan Pagan (1044–1287)
Selama 30 tahun sejak naik takhta, Anawrahta membangun Kerajaan Pagan, dan untuk pertama kalinya berhasil mempersatukan daerah-daerah yang kelak membentuk wilayah negara Birma modern. Pada penghujung abad ke-12, raja-raja penerus Anawrahta telah berhasil memperluas mandala kekuasaan mereka lebih jauh lagi ke arah selatan sampai ke kawasan utara Semenanjung Malaya, ke arah timur sekurang-kurangnya sampai ke Sungai Salwin, ke arah utara sampai mendekati garis perbatasan dengan negara Tiongkok sekarang, dan ke arah barat sampai ke kawasan utara Arakan dan Perbukitan Chin.[15] Menurut kronik-kronik Birma, seluruh Lembah Sungai Chao Phraya adalah wilayah suzerenitas Kerajaan Pagan, dan menurut kronik-kronik Siam, kawasan selatan Semenanjung Malaya sampai ke Selat Malaka juga tercakup dalam wilayah Kerajaan Pagan.[13][16]
Pada permulaan abad ke-12, Kerajaan Pagan telah tumbuh menjadi sebuah kekuatan besar yang setara dengan Kemaharajaan Khmer di Asia Tenggara, serta diakui kedaulatannya oleh raja-raja wangsa Song di Tiongkok dan raja-raja wangsa Chola di India. Sampai dengan pertengahan abad ke-13, sebagian besar daratan Asia Tenggara — dalam taraf-taraf tertentu — berada di bawah kendali Kemaharajaan Pagan atau Kemaharajaan Khmer.[17]
Anawrahta juga melakukan sejumlah karya pembaharuan penting di bidang sosial, agama, dan ekonomi yang sangat lama membekas dalam sejarah Birma. Karya pembaharuannya di bidang sosial dan agama kelak menghasilkan budaya Birma modern. Perubahan yang terpenting adalah masuknya agama Buddha Theravada di kawasan Birma Hulu sesudah Kerajaan Thaton ditaklukkan oleh Kerajaan Pagan pada 1057. Berkat dukungan kerajaan, sekolah-sekolah agama Buddha lambat laun menyebar sampai ke pelosok-pelosok pedesaan Birma dalam tiga abad berikutnya, meskipun agama Buddha Vajrayana, agama Buddha Mahayana, Agama Hindu, dan kepercayaan animisme masih kokoh berakar di segenap lapisan masyarakat.[18]
Pangkalan utama perekonomian Pagan adalah lembah pertanian Kyaukse di sebelah utara ibu kota, dan Minbu di sebelah selatan kota Pagan, tempat orang-orang Bamar mendirikan banyak tanggul baru dan menggali terusan-terusan pengalih air. Perekonomian Pagan juga memetik manfaat dari perniagaan dengan orang-orang asing melalui bandar-bandarnya di daerah pesisir. Kerajaan Pagan mendermakan kekayaannya bagi pembangunan lebih dari 10.000 kuil Buddha di lingkungan ibu kota kerajaan antara abad ke-11 sampai abad ke-13 (3000 kuil masih berdiri sampai sekarang). Orang-orang kaya mendermakan tanah bebas pajak kepada para pemuka agama.
Bahasa dan budaya Birma lambat laun menjadi bahasa utama di kawasan hulu Sungai Irawadi, menggeser bahasa dan budaya Pyu serta bahasa Pali pada penghujung abad ke-12. Kala itu, kepemimpinan orang Bamar dalam Kerajaan Pagan sudah tak dapat dipungkiri lagi. Dalam berbagai hal, orang Pyu di kawasan Birma Hulu telah menyesuaikan diri dengan adat-istiadat Bamar. Bahasa Birma, yang mula-mula adalah sebuah bahasa asing, kala itu telah menjadi lingua franca Kerajaan Pagan.
Kerajaan Pagan terpuruk pada abad ke-13 akibat semakin banyaknya tanah bebas pajak yang didermakan — pada era 1280-an, dua pertiga lahan subur di kawasan Birma Hulu telah didermakan bagi kepentingan agama, sehingga berdampak buruk bagi kemampuan kerajaan dalam mempertahankan kesetiaan para pejabat dan prajuritnya. Keadaan ini memicu kekacauan di dalam negeri dan memancing tantangan dari luar negeri, yakni serbuan-serbuan dari orang Mon, orang Monggol, dan orang Shan.[19]
Sejak permulaan abad ke-13, orang-orang Shan mulai mengepung wilayah Kemaharajaan Pagan dari arah utara dan timur. Orang Monggol yang telah menaklukkan Yunnan, kampung halaman orang Bamar, pada 1253, mulai melancarkan serangannya pada 1277. Pada 1287, orang Moggol menjarah rayah Pagan, mengakhiri kurun waktu pemerintahan Kerajaan Pagan selama 250 tahun di kawasan Lembah Sungai Irawadi dan sekitarnya. Pemerintahan Kerajaan Pagan di kawasan Birma Tengah berakhir sepuluh tahun kemudian, ditumbangkan oleh Kerajaan Myinsaing pada 1297.
Kerajaan-kerajaan kecil
Sesudah menumbangkan Pagan, orang-orang Monggol segera meninggalkan Lembah Sungai Irawadi dalam keadaan porak-poranda, tetapi Kerajaan Pagan tidak sanggup pulih seperti sediakala dan pecah menjadi beberapa kerajaan kecil. Pada pertengahan abad ke-14, negeri ini telah terbagi-bagi menurut empat pusat kekuasaan utama: Birma Hulu, Birma Hilir, negara-negara Shan, dan Arakan. Banyak di antaranya terbentuk dari persekutuan (yang sering kali renggang) kerajaan-kerajaan kecil atau negara-wilayah kerajaan. Kurun waktu ini ditandai oleh serangkaian perang dan gonta-ganti persekutuan. Kerajaan-kerajaan kecil memainkan suatu permainan berbahaya dengan bersetia pada negara-negara yang lebih kuat, kadang-kadang pada beberapa negara sekaligus pada waktu yang sama.
Kerajaan Awa (Angwa atau Inwa) didirikan pada 1364 sebagai ganti kerajaan-kerajaan kecil yang sebelumnya berdiri di Birma Tengah, yakni Kerajaan Taungu (1287–1318), Kerajaan Myinsaing–Pinya (1297–1364), dan Kerajaan Sagaing (1315–1364). Pada tahun pertama kekuasaannya, Awa, yang memandang diri sebagai pewaris sah Kerajaan Pagan, berusaha mempersatukan kembali pecahan-pecahan dari kemaharajaan itu. Kerajaan Awa berhasil memasukkan wilayah kekuasaan Wangsa Taungu dan negara-negara Shan di sekelilingnya (Kalay, Mohnyin, Mogaung, Hsipaw) ke dalam mandala kekuasaannya, tetapi gagal menaklukkan yang lain.
Perang Empat Puluh Tahun (1385–1424) dengan Hanthawadi menguras sumber daya Awa dan menjadikan kekuasaannya mencapai titik jenuh. Raja-rajanya terus-menerus dihadapkan dengan pemberontakan daerah-daerah jajahan tetapi tiada kuasa untuk memadamkannya sampai pada era 1480-an. Pada penghujung abad ke-15, Kerajaan Prome dan negara-negara Shan berhasil memerdekakan diri, dan pada permulaan abad ke-16, Awa diserang oleh daerah-daerah bekas jajahannya. Pada 1510, Taungu ikut memerdekakan diri. Pada 1527, serikat negara-negara Shan di bawah pimpinan Mohnyin merebut Awa. Pemerintahan serikat negara-negara Shan di Birma Hulu, meskipun sanggup bertahan hingga 1555, dinodai pertikaian internal antara Wangsa Mohnyin dan Wangsa Thibaw. Kerajaan ini akhirnya ditaklukkan oleh bala tentara Taungu pada 1555.
Bahasa dan budaya Birma mencapai kemandiriannya selama kurun waktu kekuasaan Awa.
Kerajaan penutur bahasa Mon ini didirikan dengan nama Ramannadesa, tepat sesudah keruntuhan Pagan pada 1287. Mula-mula kerajaan yang berpangkalan di Birma Hilir ini merupakan sebuah perserikatan renggang dari pusat-pusat kekuasaan regional di Mottama, Bago, dan Delta Irawadi. Masa pemerintahan Razadarit yang penuh gejolak (1384–1421) mengukuhkan keberadaan kerajaan ini. Razadarit mempersatupadukan tiga daerah penutur bahasa Mon itu, dan mampu membendung gempuran Awa dalam Perang Empat Puluh Tahun (1385–1424).
Seusai perang, Hanthawadi memasuki zaman keemasannya sementara seterunya, Awa, semakin lama semakin merosot. Sejak 1420-an hingga 1530-an, Hanthawadi menjadi kerajaan yang terkuat dan termakmur di antara semua kerajaan pasca-Pagan. Di bawah pemerintahan serentetan raja yang sangat cakap, kerajaan ini mengalami zaman keemasan yang panjang, berkat perniagaan dengan bangsa asing. Kerajaan berbahasa dan berbudaya Mon yang makmur ini berkembang menjadi sebuah pusat niaga dan Agama Buddha Theravada.
Akibat diperintah oleh raja terakhir yang tidak berpengalaman, kerajaan besar ini ditaklukkan pada 1539 oleh Wangsa Taungu yang baru terbentuk. Kerajaan ini sempat bangkit kembali selama jangka waktu yang singkat antara 1550 sampai 1552, dan secara efektif hanya berkuasa atas Pegu sebelum akhirnya dihancurleburkan oleh Bayinnaung pada 1552.
Orang Shan, suku bangsa Tai yang datang bersama orang Monggol, menetap dan dengan cepat mendominasi sebagian besar wilayah utara sampai ke batas timur Birma, dari Divisi Sagaing di barat laut ke Perbukitan Kachin sampai di Perbukitan Shan sekarang ini.
Negara-negara Shan yang kecil-kecil adalah Kalay, Bhamo (Wanmaw atau Manmaw), Hkamti Long (Kantigyi), Hopong (Hopon), Hsahtung (Thaton), Hsamönghkam (Thamaingkan), Hsawnghsup (Thaungdut), Hsihkip (Thigyit), Hsumhsai (Hsum Hsai), Kehsi Mangam (Kyithi Bansan), Kengcheng (Kyaingchaing), Kenghkam (Kyaingkan), Kenglön (Kyainglon), Kengtawng, Kengtung (Kyaington), Kokang (Kho Kan), Kyawkku Hsiwan (Kyaukku), Kyong (Kyon), Laihka (Legya), Lawksawk (Yatsauk), Loi-ai (Lwe-e), Loilong (Lwelong), Loimaw (Lwemaw), Nyaung Shwe, dan masih masih banyak lagi yang lain.
Mohnyin, secara khusus, terus-menerus menggerayangi wilayah Awa pada permulaan abad ke-16. Serikat negara-negara Shan yang dipimpin oleh Monhyin, bersekutu dengan Kerajaan Prome, berhasil merebut Awa pada 1527. Serikat negara-negara Shan melibas sekutunya, Kerajaan Prome, pada 1532, dan menguasai seluruh Birma Hulu kecuali Taungu. Akan tetapi perserikatan ini dicemari oleh pertikaian internal, dan tidak sanggup membendung serangan Taungu yang akhirnya berhasil menaklukkan Awa pada 1555, dan seluruh negara-negara Shan pada 1563.
Meskipun secara de facto Arakan telah merdeka sejak penghujung zaman kekuasaan Pagan, Wangsa Laungkyet dari Arakan tidak mampu mengukuhkan kemerdekaannya. Sampai dengan berdirinya Kerajaan Mrauk-U pada 1429, Arakan sering kali terperangkap di tengah-tengah pertarungan para jirannya yang lebih besar, dan menjadi ajang pertempuran selama berlangsungnya Perang Empat Puluh Tahun antara Awa dan Pegu. Mrauk-U kelak menjadi kerajaan yang kuat berkat usaha sendiri antara abad ke-15 sampai abad ke-17, dan wilayahnya meliputi Benggala Timur antara 1459 sampai 1666. Arakan adalah satu-satunya kerajaan pasca-Pagan yang tidak dianeksasi oleh Wangsa Taungu.
Semenjak era 1480-an, Awa terus-menerus menghadapi pemberontakan internal dan serangan-serangan eksternal dari negara-negara Shan, sehingga mengalami keretakan. Pada 1510, Taungu, di pelosok tenggara Kerajaan Awa, ikut pula menyatakan kemerdekaannya.[20] Ketika serikat negara-negara Shan menaklukkan Awa pada 1527, banyak di antara warganya yang mengungsi ke negeri Taungu, satu-satunya kerajaan yang tidak ikut berperang sekaligus dikelilingi kerajaan-kerajaan tetangga yang lebih besar dan saling berseteru.
Taungu, dipimpin rajanya yang bercita-cita tinggi, Tabinsweti, bersama naib panglimanya, Bayinnaung, kelak berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil yang bermunculan sejak runtuhnya Kemaharajaan Pagan, dan membentuk kemaharajaan terbesar dalam sejarah Asia Tenggara. Pertama-tama, kerajaan baru ini menaklukkan Hanthawadi yang lebih kuat dalam Perang Taungu–Hanthawadi (1534–1541). Tabinsweti memindahkan ibu kota kerajaan Taungu ke Bago sesudah direbutnya pada 1539.
Taungu meluaskan kekuasaannya sampai ke Pagan pada 1544 tetapi gagal dalam usahanya menaklukkan Arakan (1545–1547) dan Siam (1547–1549). Penggantinya, Bayinnaung, melanjutkan kebijakan ekspansi Tabinsweti dan berhasil menaklukkan Awa pada 1555, negara-negara Shan Cis-Salwin (1557), Lan Na (1558), Manipur (1560), negara-negara Shan Seberang-Salwin (1562–1563), Siam (1564, 1569), Lan Xang (1565–1574), dan menundukkan banyak negeri di daratan barat dan tengah Asia Tenggara di bawah pemerintahannya.
Bayinnaung menetapkan suatu tatanan administrasi negara yang kokoh dan bertahan lama. Tatanan administrasi negara ini membatasi kekuasaan para kepala suku Shan yang menjabat turun-temurun, dan menyelaraskan adat-istiadat Shan dengan norma-norma yang berlaku di dataran rendah Birma.[21] Akan tetapi Bayinnaung tidak dapat menerapkan tatanan administrasi yang sama di seluruh wilayah kemaharajaan yang begitu luas. Kemaharajaan merupakan sekumpulan bekas kerajaan berdaulat, yang raja-rajanya bersumpah setia kepada Bayinnaung selaku seorang cakrawati (စကြဝတေးမင်း, [sɛʔtɕàwədémɪ́ɴ]; Penguasa Alam), bukan kepada kerajaan Taungu.
Kemaharajaan yang terlampau luas ini terpecah-belah segera sesudah Bayinnaung mangkat pada 1581. Siam memerdekakan diri pada 1584 dan kelak berperang melawan Birma sampai 1605. Pada 1597, kemaharajaan ini telah kehilangan seluruh wilayahnya, termasuk Taungu, kampung-halaman leluhur wangsa ini. Pada 1599, bala tentara Arakan dibantu prajurit-prajurit bayaran Portugis, dan bersekutu dengan pasukan-pasukan pemberontak Taungu, menjarah-rayah kota Pegu. Birma menjadi kacau-balau, karena masing-masing daerah melantik rajanya sendiri. Seorang prajurit bayaran Portugis, Filipe de Brito e Nicote, tak lama kemudian bangkit memberontak melawan majikan-majikan Arakannya, dan membentuk pemerintahan Portugis yang didukung Goa di Thanlyin pada 1603.
Kerajaan Taungu terpulihkan (Restorasi Nyaungyan) (1599–1752)
Jika masa interegnum yang menyusul runtuhnya Kemaharajaan Pagan berlangsung lebih dari 250 tahun (1287–1555), maka masa interegnum yang menyusul runtuhnya Kemaharajaan Taungu Pertama berlangsung cukup singkat. Salah seorang putra Bayinnaung, Nyaungyan Min, segera melakukan upaya penyatuan kembali, dan berhasil memulihkan martabat Taungu sebagai pusat kekuasaan atas Birma Hulu dan negara-negara Shan terdekat pada 1606.
Penggantinya, Anaukpetlun, mengalahkan Portugis di Thanlyin pada 1613. Ia merebut kembali daerah pesisir atas Tanintharyi sampai ke Dawei dan Lan Na dari Siam pada 1614. Ia juga merebut negara-negara Shan seberang-Salwin Shan (Kengtung dan Sipsongpanna) pada 1622–26.
Saudaranya, Thalun, membangun kembali negara Birma yang porak-poranda akibat perang. Ia memerintahkan pelaksanaan cacah jiwa untuk pertama kalinya dalam sejarah Birma pada 1635. Hasil cacah jiwa menunjukkan bahwa warga kerajaan itu kurang-lebih berjumlah dua juta jiwa. Pada 1650, tiga raja bijak–Nyaungyan, Anaukpetlun, dan Thalun–berhasil membangun kembali sebuah kerajaan yang lebih kecil ukurannya tetapi lebih mudah diatur.
Yang jauh lebih penting, rajawangsa baru ini menciptakan pula suatu tatanan hukum dan politik yang bentuk dasarnya tidak berubah sepanjang masa pemerintahan Wangsa Konbaung sampai dengan abad ke-19. Kerajaan menggantikan jabatan kepala suku yang turun-temurun dengan jabatan gubernur yang berdasarkan penunjukan kerajaan di seluruh Lembah Sungai Irawadi, dan menghapus sejumlah besar hak turun-temurun para kepala suku Shan. Kerajaan juga membendung laju peningkatan kekayaan dan otonomi biara dengan menetapkan dasar pengenaan pajak yang lebih besar. Perombakan-perombakan di bidang niaga dan administrasi sekuler berhasil menciptakan kemakmuran ekonomi yang bertahan sampai lebih dari 80 tahun.[22] Selain pemberontakan yang sesekali muncul dan satu perang dengan pihak eksternal—Birma menggagalkan upaya Siam merebut Lan Na dan Mottama pada 1662–64—kerajaan ini hidup tenteram hampir sepanjang abad ke-17.
Kerajaan Taungu terpulihkan ini sedikit demi sedikit mengalami kemerosotan, dan kekuasaan "raja-raja istana" menurun drastis pada era 1720-an. Sejak 1724, orang-orang Meitei mulai menyerang daerah hulu Sungai Chindwin. Pada 1727, kawasan selatan Lan Na (Chiang Mai) memberontak dan berhasil melepaskan diri, menyisakan kawasan utara Lan Na (Chiang Saen) dalam kekuasaan Birma yang lama-kelamaan pun tinggal nama saja. Serangan orang-orang Meitei bertambah gencar pada era 1730-an, dan semakin jauh menerobos ke Birma Tengah.
Pada 1740, orang-orang Mon di Birma Hilir bangkit memberontak dan mendirikan Kerajaan Hanthawadi terpulihkan yang berhasil menguasai sebagian besar daerah Birma Hilir pada 1745. Orang-orang Siam juga melebarkan mandala kekuasaan mereka sampai ke pesisir Tanintharyi pada 1752. Hanthawadi menginvasi Birma Hulu pada November 1751 dan merebut Awa pada 23 Maret 1752, mengakhiri kekuasaan Wangsa Taungu yang sudah berumur 266 tahun.
Tidak lama sesudah keruntuhan Awa, sebuah wangsa baru muncul di Shwebo menentang kekuasaan Hanthawadi. Selama 70 berikutnya, Wangsa Konbaung yang sangat bercorak militer membangun salah satu kemaharajaan Birma yang terbesar, setingkat di bawah kemaharajaan yang pernah didirikan Bayinnaung. Pada 1759, bala tentara Konbaung yang dikerahkan Raja Alaungpaya berhasil mempersatukan kembali seluruh Birma (dan Manipur), mengakhiri kekuasaan Wangsa Hanthawadi bentukan Mon untuk selama-lamanya, menghalau kekuatan-kekuatan Eropa yang memasok senjata bagi Hanthawadi—orang Prancis dari Thanlyin dan orang Inggris dari Tanjung Negrais.[23]
Kerajaan Birma berperang melawan Kerajaan Ayutthaya, yang telah menduduki wilayah dari pesisir Tanintharyi sampai ke Mottama selama perang saudara Birma (1740–1757), dan telah memberi suaka bagi para pengungsi Mon. Pada 1767, bala tentara Konbaung berhasil menaklukkan sebagian besar Laos dan mengalahkan Siam. Meskipun demikian, Birma tidak mampu memberantas sampai tuntas sisa-sisa pejuang Siam karena disibukkan oleh empat kali invasi Wangsa Qing dari Tiongkok (1765–1769).[24] Meskipun sanggup bertahan dalam "perang perbatasan terparah melawan Wangsa Qing" itu, Birma masih harus waspada menghadapi ancaman invasi baru dari kemaharajaan terbesar di dunia itu selama bertahun-tahun. Wangsa Qing menempatkan sepasukan besar bala tentara di daerah perbatasan selama kira-kira satu dasawarsa sebagai persiapan untuk mengobarkan perang baru, dan memberlakukan larangan atas kegiatan niaga lintas perbatasan selama dua dasawarsa.[25]
Kerajaan Ayutthaya memanfaatkan kesukaran yang sedang dihadapi Birma ini untuk merebut kembali wilayah-wilayahnya yang hilang pada 1770, bahkan merebut pula sebagian besar Lan Na pada 1776, mengakhiri dua abad lebih suzerenitas Birma atas negeri itu.[26] Siam kembali memerangi Birma pada 1785–1786, 1787, 1792, 1803–1808, 1809–1812, dan 1849–1855, tetapi semuanya berakhir dengan hasil imbang. Setelah berpuluh-puluh tahun berperang, kedua belah pihak akhirnya saling bertukar wilayah. Tanintharyi diserahkan oleh Siam kepada Birma dan Lan Na diserahkan oleh Birma kepada Siam.
Perluasan ke barat dan perang dengan Imperium Britania
Dihadapkan pada kekuatan besar Tiongkok di timur laut dan bangkitnya Siam di tenggara, Raja Bodawpaya beralih ke barat untuk berekspansi.[27] Ia menaklukkan Arakan pada 1785, menganeksasi Manipur pada 1814, dan merebut Assam pada 1817–1819, yang menimbulkan pertikaian panjang mengenai garis perbatasan dengan India Britania. Pengganti Bodawpaya, Raja Bagyidaw harus memadamkan pemberontakan-pemberontakan yang diprakarsai Inggris di Manipur pada 1819 dan di Assam pada 1821–1822. Serangan-serangan lintas perbatasan yang dilancarkan kaum pemberontak dari wilayah-wilayah yang dilindungi Britania, dan serangan-serangan lintas perbatasan yang dilancarkan Birma sebagai tindakan balasan mengakibatkan pecahnya Perang Inggris-Birma Pertama (1824–26).[28]
Perang Inggris-Birma Pertama, yang berkecamuk selama 2 tahun dan menghabiskan dana sebesar 13 juta pound, merupakan perang terlama dan termahal dalam sejarah India Britania,[29] tetapi berakhir dengan kemenangan telak bagi pihak Britania. Birma harus melepaskan seluruh wilayah barat yang telah direbut Bodawpaya (Arakan, Manipur, dan Assam) ditambah pula dengan Tenasserim. Birma digerogoti selama bertahun-tahun oleh besarnya tuntutan ganti-rugi yang mencapai satu juta pound (kala itu setara dengan 5 juta dolar Amerika Serikat).[30] Pada 1852, Inggris secara sepihak dan tanpa kesulitan merebut Provinsi Pegu dalam Perang Inggris-Birma Kedua.[28][31]
Seusai perang, Raja Mindon berupaya memoderenisasi negara dan perekonomian Birma, serta memberi konsesi-konsesi niaga dan teritorial guna membendung campur tangan Britania, termasuk menyerahkan Negara-Negara Bagian Karenni kepada Britania pada 1875. Meskipun demikian, pihak Britania yang khawatir melihat konsolidasi Indochina Prancis, menganeksasi seluruh Birma dalam Perang Inggris-Birma Ketiga pada 1885,[32] dan memberangkatkan Raja Birma Terakhir, Thibaw, beserta keluarganya ke pembuangan di India.
Reformasi administrasi dan ekonomi
Raja-raja Konbaung melanjutkan pembaruan administrasi yang dimulai sejak masa pemerintahan Wangsa Taungu terpulihkan (1599–1752), dan mencapai taraf yang belum pernah diraih sebelumnya di bidang pengendalian internal dan ekspansi eksternal. Raja-raja Konbaung memperketat pengendalian daerah-daerah dataran rendah dan mengurangi hak-hak istimewa turun-temurun para Saopha (kepala suku) Shan. Pejabat-pejabat Konbaung, teristimewa sesudah 1780, mulai melaksanakan pembaruan di bidang perniagaan yang meningkatkan pendapatan pemerintah dan menjadikannya lebih terprediksi. Perekonomian uang semakin lama semakin kuat berakar. Pada 1857, pemerintah menetapkan suatu tatanan perpajakan dan penggajian yang paripurna, didukung dengan pengeluaran standar mata uang perak Birma yang pertama.[24]
Budaya
Intergrasi budaya terus berjalan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, bahasa dan budaya Birma digunakan secara luas di seluruh Lembah Sungai Irawadi, dan sepenuhnya menggantikan bahasa dan budaya Mon pada 1830. Daerah-daerah kepangeranan Shan terdekat mengadopsi lebih banyak adat-istiadat masyarakat dataran rendah. Evolusi dan pertumbuhan sastra dan teater Birma juga terus berjalan, didukung tingginya tingkat melek aksara di kalangan pria dewasa kala itu (separuh dari seluruh pria dan 5% dari seluruh wanita).[33] Para pemuka agama dan pembesar kerajaan di sekeliling raja-raja Konbaung, terutama yang menjabat pada masa pemerintahan Bodawpaya, juga melaksanakan pembaruan besar di bidang kehidupan intelektual serta organisasi dan praktik kehidupan membiara di Birma yang dikenal sebagai Reformasi Sudhamma. Salah satu hasil dari karya pembaruan ini adalah terbitnya catatan sejarah Birma pertama yang disusun dengan baik.[34]
Britania menjadikan Birma sebagai salah satu provinsi dari negara India Britania pada 1886 dengan Yangon sebagai ibu kotanya. Masyarakat Birma tradisional mengalami perubahan drastis akibat lengsernya monarki serta pemisahan antara agama dan negara. Sekalipun perang secara resmi telah usai selepas berlangsung selama dua pekan, para pejuang Birma masih melakukan perlawanan di daerah Birma Utara sampai 1890, setelah pihak Britania akhirnya memutuskan untuk secara sistematis menghancurkan desa-desa dan melantik pejabat-pejabat baru untuk mengakhiri segala aktivitas gerilya. Keadaan perekonomian masyarakat juga berubah secara dramatis. Sesudah pembukaan Terusan Suez, permintaan akan beras Birma mengalami peningkatan dan lahan-lahan luas diteroka untuk ditanami. Akan tetapi, untuk membuka lahan pertanian baru, para petani terpaksa meminjam uang dari para rentenir India yang disebut cetiar dengan bunga tinggi dan sering kali mengalami penyitaan serta pengusiran yang mengakibatkan mereka kehilangan tanah dan ternak. Sebagian besar lapangan kerja juga diambil alih kuli-kuli kontrak India, dan seisi desa-desa menjadi buronan akibat beralih profesi menjadi kecu. Meskipun ekonomi Birma mengalami pertumbuhan, seluruh kekuasaan dan kemakmuran digenggam oleh segelintir perusahaan Britania, kaum peranakan Inggris, dan kaum pendatang dari India.[35] Sebagian besar pegawai negeri sipil adalah orang-orang peranakan Inggris dan orang India, lagi pula orang-orang Bamar nyaris sepenuhnya disingkirkan dari dinas militer. Sekalipun Birma menjadi makmur, rakyatnya tidak ikut sejahtera. Novel Burmese Days karya George Orwell adalah sebuah cerita fiksi dari masa penjajahan Britania di Birma. Sepanjang masa penjajahan, kaum peranakan Inggris mendominasi Birma sehingga menimbulkan kecemburuan sosial.
Sekitar permulaan abad ke-20, sebuah organisasi pergerakan kebangsaan mulai dibentuk dengan nama Perkumpulan Pemuda Buddhis (Young Men's Buddhist Association) meniru YMCA, karena pembentukan perkumpulan-perkumpulan keagamaan diperbolehkan oleh pemerintah penjajah. Organisasi ini kelak tergantikan oleh Sidang Umum Perkumpulan-Perkumpulan Birma (General Council of Burmese Associations) yang terhubung dengan Wunthanu athin atau Perkumpulan Kebangsaan yang tumbuh subur di desa-desa di seluruh Birma Hulu. Antara 1900 – 1911 "Si Orang Buddha Irlandia", U Dhammaloka, menyuarakan penentangan terhadap Agama Kristen dan Pemerintah Penjajah dengan menggunakan dalil-dalil agama Buddha. Sebuah generasi baru pemimpin-pemimpin Birma muncul pada permulaan abad ke-20 di kalangan cendekiawan yang diizinkan berangkat ke London untuk menimba ilmu hukum. Mereka pulang dengan keyakinan bahwa keadaan Birma dapat diperbaiki melalui reformasi. Reformasi konstitusi yang progresif pada permulaan era 1920-an menghasilkan sebuah lembaga legislatur berkewenangan terbatas, sebuah universitas, dan otonomi yang lebih besar bagi Birma dalam ruang lingkup administrasi negara India Britania. Dilakukan pula upaya-upaya untuk memperbesar keterwakilan rakyat Birma dalam jawatan-jawatan pemerintah. Beberapa orang mulai merasa bahwa perubahan tidak berjalan cukup cepat dan upaya reformasi tidak cukup ekspansif.
Pada 1920, terjadi peristiwa pemogokan mahasiswa untuk pertama kalinya dalam sejarah Birma. Para mahasiswa memprotes dikeluarkannya Undang-Undang Universitas baru yang mereka yakini hanya akan menguntungkan kalangan elit dan mengekalkan kekuasaan pemerintah penjajah. 'Sekolah-sekolah kebangsaan' tumbuh marak di seluruh wilayah Birma sebagai tindakan protes terhadap sistem pendidikan penjajah, dan peristiwa pemogokan mahasiswa itu pun diperingati sebagai 'Hari Kebangsaan'.[36] Beberapa aksi mogok lanjutan dan unjuk rasa anti-pajak juga terjadi menjelang akhir era 1920-an, dipimpin oleh Wunthanu athin. Beberapa aktivis politik terkemuka adalah biarawan Agama Buddha (pongyi), seperti U Ottama dan U Seinda di Arakan yang kelak memimpin pemberontakan bersenjata melawan pihak Britania dan juga kelak melawan pemerintah nasionalis pascakemerdekaan Birma, dan U Wisara, martir perdana gerakan kebangsaan yang tewas setelah lama menjalankan aksi mogok makan di dalam penjara[36] (Sebuah jalan utama di Yangon diberi nama U Wisara). Pada Desember 1930, terjadi unjuk rasa lokal menentang pajak oleh Saya San di Tarawadi dengan cepat berkembang menjadi gerakan kebangkitan yang pertama di tingkat daerah dan kelak menjadi gerakan kebangkitan nasional yang pertama melawan pemerintah penjajah. Selama dua tahun, berlangsung pemberontakan Galon (garuda) – musuh nāga, melambangkan para penjajah Britania – yang terpampang pada panji-panji para pemberontak, menyebabkan dikerahkannya ribuan pasukan Britania untuk memadamkannya diiringi janji-janji reformasi politik. Akhir nasib Saya San, yang disidang dan dieksekusi, membuka jalan bagi beberapa orang yang kelak menjadi pemimpin nasional Birma, termasuk Ba Maw dan U Saw, yang ikut serta dalam pembelaannya, untuk tampil sebagai tokoh-tokoh terkemuka.[36]
Pada Mei 1930, didirikan Dobama Asiayone ("Perkumpulan Kami Orang Bamar"). Para anggota perkumpulan ini menyebut dirinya Thakin (sebuah julukan yang ironis karena thakin berarti "juragan" dalam bahasa Birma, kurang-lebih semakna dengan kata sahib— dijadikan sebagai bentuk pernyataan diri bahwa merekalah majikan sejati di negeri itu, para penyandang sah dari gelar thakin yang telah dirampas oleh para penjajah).[36] Pemogokan mahasiswa kedua pada 1936 dipicu oleh tindakan pemberhentian sebagai mahasiswa terhadap Aung San dan Ko Nu, pemimpin-pemimpin Serikat Mahasiswa Universitas Yangon (Rangoon University Students Union), karena menolak untuk menyingkap nama penulis sebuah artikel dalam majalah kampus yang berisi cercaan terhadap salah seorang pejabat senior di Universitas Yangon. Pemogokan yang menyebar ke Mandalay itu mendorong terbentuknya Serikat Mahasiswa Seluruh Birma (All Burma Students Union, disingkat ABSU). Aung San dan Nu kemudian bergabung dengan gerakan Thakin dan berpindah dari gerakan mahawiswa ke gerakan politik kebangsaan.[36] Pemerintah Imperium Britania memisahkan Birma dari India pada 1937 dan memberi negara jajahannya yang baru itu sebuah konstitusi baru yang mengatur tentang pembentukan sebuah dewan yang sepenuhnya terdiri atas orang-orang yang dipilih rakyat, akan tetapi tindakan ini justru menjadi suatu isu pemecah-belah karena segolongan rakyat Birma merasa bahwa tindakan ini adalah rencana jahat Britania untuk menyingkirkan mereka dari reformasi-reformasi yang dilakukan di India, sementara golongan lain memandang segala tindakan untuk memisahkan Birma dari kendali India sebagai langkah positif. Ba Maw menjabat sebagai Perdana Menteri Birma yang pertama, namun ia digantikan oleh U Saw pada 1939, yang menjabat sebagai perdana menteri sejak 1940 sampai ia ditangkap pada 19 Januari 1942 oleh pemerintah Birma Britania karena berkomunikasi dengan Jepang.
Gelombang pemogokan dan protes yang bermula dari ladang-ladang minyak di Birma Tengah pada 1938 berkembang menjadi pemogokan umum yang berkonsekuensi lebih luas. Di Yangon, para pelajar yang berunjuk rasa setelah berhasil memblokade pintu masuk ke Sekretariat, kantor pemerintah penjajah, diserang oleh polisi berkudaBritania bersenjata pentungan yang mengakibatkan tewasnya seorang mahasiswa Universitas Yangon bernama Aung Kyaw. Di Mandalay, polisi menembaki kerumunan pengunjuk rasa yang dipimpin oleh seorang biarawan Agama Buddha sehingga menewaskan 17 orang. Gerakan ini kelak dikenal dengan nama Htaung thoun ya byei ayeidawbon ('Revolusi 1300', dinamakan berdasarkan tahun tersebut berdasarkan perhitungan kalender Birma),[36] dan tanggal 20 Desember, hari kematian martir perdana Aung Kyaw fell, diperingati oleh para mahasiswa sebagai 'Hari Bo Aung Kyaw'.[37]
Beberapa tokoh nasionalis Birma melihat meletusnya Perang Dunia II sebagai peluang untuk mendapatkan konsesi-konsesi dari Britania sebagai ganti dukungan yang akan mereka berikan kepada Britania demi memenangkan perang. Golongan-golongan lain, seperti gerakan Thakin, menentang segala bentuk keterlibatan Birma dalam perang tanpa terkecuali. Aung San ikut mendirikan Partai Komunis Birma (PKB) bersama tokoh-tokoh gerakan Thakin lainnya pada Agustus 1939.[36] Berbagai pustaka Marxis serta traktat-traktat dari gerakan Sinn Féin di Irlandia sudah beredar dan dibaca secara luas di kalangan para aktivis politik. Aung San juga ikut mendirikan Partai Revolusioner Rakyat (PRR), pengganti Partai Sosialis sesudah Perang Dunia II. Ia juga turut berperan dalam pendirian Blok Kemerdekaan dengan mengupayakan persekutuan antara Dobama, ABSU, para biksu yang aktif di bidang politik, serta Partai Orang Miskin, partai dari Ba Maw .[36] Setelah organisasi Dobama menyerukan pemberontakan national, Britania mengeluarkan sepucuk surat perintah penahanan terhadap sejumlah besar pimpinan organisasi itu termasuk Aung San, yang meloloskan diri ke Tiongkok. Aung San berniat untuk menjalin hubungan dengan pihak Komunis Tiongkok, akan tetapi niatnya itu terdeteksi oleh pemerintah Jepang yang kemudian mendekatinya dengan tawaran dukungan kepada dirinya dalam bentuk satuan intelijen rahasia yang disebut Minami Kikan, dikepalai oleh Kolonel Suzuki dengan tujuan menutup Jalan Raya Birma dan mendukung upaya pemberontakan nasional. Aung San sempat kembali ke Birma selama jangka waktu yang singkat untuk mengumpulkan dua puluh sembilan pemuda yang kelak berangkat bersamanya ke Jepang untuk menjalani pelatihan militer di Pulau Hainan, Tiongkok. Rombongan pemuda Birma ini kelak dikenal dengan julukan "Tiga Puluh Kamerad". Tatkala Jepang menduduki Bangkok pada Desember 1941, Aung San memaklumkan pembentukan Tentara Kemerdekaan Birma (TKB) untuk mengantisipasi invasi Jepang atas Birma pada 1942.[36]
TKB membentuk pemerintahan darurat di beberapa wilayah Birma pada musim semi 1942, akan tetapi timbul selisih pendapat di kalangan petinggi Jepang sehubungan dengan masa depan Birma. Kolonel Suzuki memang mendorong Tiga Puluh Kamerad untuk membentuk pemerintah darurat, tetapi pimpinan militer Jepang tidak pernah secara resmi menyetujui rencana semacam itu. Tentara Jepang akhirnya beralih mendukung Ba Maw untuk membentuk sebuah pemerintahan. Selama perang pada 1942, TKB menjadi kian tak terkendali, dan di banyak distrik para pejabat bahkan pelaku kriminal menyatakan diri sebagai kelompok TKB. Organisasi ini ditata kembali menjadi Tentara Pertahanan Birma (TPB) di bawah Jepang namun tetap dikepalai oleh Aung San. Jika TKB bukan merupakan bala tentara reguler, maka TPB melaksanakan perekrutan melalui seleksi masuk serta dilatih sebagaimana pasukan-pasukan angkatan darat pada umumnya oleh instruktur-instruktur Jepang. Ba Maw kemudian dipermaklumkan sebagai kepala negara; dalam jajaran kabinetnya terdapat pula Aung San sebagai Menteri Perang, serta pemimpin Komunis Birma Thakin Than Tun sebagai menteri Tanah dan Pertanian; ada pula para pemimpin Sosialis Birma, Thakin Nu dan Thakin Mya. Ketika Jepang mempermaklumkan Birma sebagai negara merdeka, secara teori, pada 1943, TPB pun diganti namanya menjadi Tentara Nasional Birma (TNB).[36]
Tak lama kemudian, mulai tampak jelas bahwa janji kemerdekaan dari Jepang hanyalah sebuah pepesan kosong dan Ba Maw telah teperdaya. Ketika mulai kalah dalam perang, Jepang pun menyatakan kemerdekaan Birma sebagai sebuah negara yang berdaulat penuh pada 1 Agustus 1943, tetapi tindakan ini pun hanya dilakukan untuk menyamarkan maksud Jepang yang sebenarnya. Aung San yang sudah tidak lagi mempercayai Jepang pun membuka negosiasi dengan para pemimpin Komunis, Thakin Than Tun dan Thakin Soe, serta para pemimpin Sosialis, Ba Swe and Kyaw Nyein, yang menghasilkan pembentukan Organisasi Anti-Fasis (Anti-Fascist Organisation, AFO) pada Agustus 1944 dalam suatu pertemuan rahasia yang dihadiri oleh PKB, PRR, dan TNB di Pegu. AFO kelak berganti nama menjadi Liga Kemerdekaan Rakyat Anti-Fasis (LKRAF).[36]Thakin Than Tun dan Soe, sewaktu masih mendekam di dalam penjara Insein pada Juli 1941, bersama-sama telah menyusun Manifesto Insein yang, berlawanan dengan opini yang beredar di kalangan pergerakan Dobama, menyatakan fasisme dunia sebagai musuh utama dalam perang yang sudah di depan mata dan menyerukan kerja sama untuk sementara waktu dengan Britania dalam suatu koalisi sekutu yang selayaknya mencakup pula Uni Soviet. Soe secara diam-diam sudah mengatur barisan pertahanan untuk menghadapi pendudukan Jepang, dan Than Tun mampu meneruskan informasi intelijen Jepang kepada Soe, sementara para pemimpin komunis lainnya, Thakin Thein Pe dan Tin Shwe, menjalin kontak dengan pemerintah kolonial dalam pengasingan di Simla, India.[36]
Ada kontak-kontak informal antara AFO dan pihak sekutu pada 1944 dan 1945 melalui organisasi Britania, Force 136. Pada 27 Maret 1945, Angkatan Darat Nasional Birmarose bangkit melakukan perlawanan terhadap Jepang di seluruh wilayah Birma.[36] 27 Maret pernah dijadikan tanggal peringatan 'Hari Perlawanan' sampai militer mengganti namanya menjadi 'Hari Tatmadaw (Angkatan Bersenjata)'. Sesudah peristiwa itu, Aung San dan tokoh-tokoh lain pun mulai bernegosiasi dengan Lord Mountbatten dan secara resmi bergabung dengan pihak sekutu sebagai Angkatan Birma Patriotik (Patriotic Burmese Forces, PBF). Dalam pertemuan pertama, AFO memperkenalkan diri kepada pihak Britania sebagai pemerintah darurat Birma dengan Thakin Soe sebagai ketua dan Aung San sebagai seorang anggota panitia pelaksana pemerintahan. Jepang diusir dari hampir seluruh wilayah Birma pada Mei 1945. Negosiasi pun mulai dilakukan dengan pihak Britania menyangkut pelucutan senjata AFO dan keikutsertaan pasukan-pasukannya dalam Angkatan Darat Birma pascaperang. Beberapa veteran telah dibentuk menjadi sebuah barisan semi militer di bawah kepemimpinan Aung San, dengan nama Pyithu yèbaw tat atau Organisasi Sukarelawan Rakyat (People's Volunteer Organisation, disingkat PVO), dan dilatih secara terang-terangan dalam pakaian seragam.[36] Peleburan PBF berhasil dilaksanakan pada Konferensi Kandi di Sailan pada September 1945.[36]
Selama pendudukan Jepang, 170.000 sampai 250.000 rakyat sipil tewas.[38][39]
Dari menyerahnya Jepang sampai pembunuhan Aung San
Menyerahnya Jepang mengakibatkan masuknya administrasi militer sekutu ke Birma yang menuntut agar Aung San diperiksa sehubungan dengan keterlibatannya dalam sebuah pembunuhan selama operasi-operasi militer pada 1942. Lord Mountbatten menyadari bahwa tuntutan ini sia-sia belaka karena Aung San sangat populer.[36]
Seusai perang, Gubernur Birma Britania, Sir Reginald Dorman-Smith kembali ke Birma. Pemerintahan yang kembali dipulihkan membentuk sebuah program kebijakan yang berfokus pada rekonstruksi fisik negara itu dan menunda-nunda pembicaraan seputar kemerdekaan Birma.
LKRAF bangkit menentang pemerintah dan menimbulkan pergolakan politik di Birma. Timbul pula keretakan di dalam tubuh LKRAF di antara kaum Komunis dan Aung San bersama kaum Sosialis menyangkut strategi, yang menyebabkan Than Tun didesak untuk mengundurkan diri dari jabatan sekretaris jenderal pada Juli 1946, serta pemecatan PKB dari LKRAF pada bulan Oktober.[36]
Dorman-Smith digantikan oleh Hubert Rance sebagai gubernur, dan nyaris segera sesudah penunjukannya Kepolisian Rangoon melakukan pemogokan. Pemogokan yang dimulai pada September 1946 itu meluas dan diikuti pegawai-pegawai negeri dan hampir-hampir menjadi sebuah aksi pemogokan umum.
Rance menenangkan situasi dengan mengadakan pertemuan bersama Aung San dan membujuknya untuk bergabung dengan Dewan Eksekutif Pemerintah bersama-sama dengan anggota-anggota LKRAF lainnya.[36] Dewan eksekutif yang baru itu, yang kini semakin mendapatkan kepercayaan rakyat, mulai menegosiasikan kemerdekaan Birma, yang terselenggara dengan baik di London dan menghasilkan Persetujuan Aung San-Attlee pada 27 Januari 1947.[36] Isi persetujuan itu menimbulkan ketidakpuasan bagi sebagian kalangan di cabang komunis dan konservatif dari LKRAF, akan tetapi membuat golongan Komunis Bendera Merah di bawah pimpinan Thakin Soe tersingkir dari panggung politik dan membuat kaum konservatif tersingkir ke kubu oposisi.
Aung San juga berhasil merumuskan kesepakatan dengan suku-suku minoritas demi mempertahankan kesatuan Birma dalam Konferensi Panglong pada 12 Februari, yang sejak itu diperingati sebagai 'Hari Persatuan'. U Aung Zan Wai, U Pe Khin, Myoma U Than Kywe, Mayor Aung, Sir Maung Gyi, dan Dr. Sein Mya Maung adalah para negosiator dan pemimpin terpenting dalam Konferensi Pinlon (Panglong) yang berunding dengan pemimpin nasional tertinggi Birma, Jenderal Aung San, dan para pucuk pimpinan lainnya pada 1947. Semua pemimpin ini memutuskan untuk bergabung bersama-sama membentuk Perserikatan Birma. Perayaan Hari Persatuan adalah salah satu dari perayaan terbesar dalam sejarah Birma. Besarnya popularitas LKRAF, yang kini dikuasai Aung San dan kaum Sosialis, dibuktikan dengan kemenangan telak yang diperolehnya dalam pemilihan anggota badan konstituante pada April 1947.[36] Tetapi pada Juli 1947, Aung San dan beberapa anggota kabinet dibunuh oleh lawan-lawan politiknya.[36][40] Tak lama kemudian, pemberontakan meletus di Arakan dipimpin oleh rahib veteran, U Seinda, dan menjalar ke distrik-distrik lainnya.[36]
Pada 19 Juli 1947, U Saw, salah seorang Perdana Menteri Birma praperang yang konservatif, merancang pembunuhan atas Aung San dan beberapa anggota kabinetnya ternmasuk abang sulungnya, Ba Win, pada saat melakukan pertemuan di gedung Sekretariat.[36][41] Sejak peristiwa itu, tanggal 19 Juli diperingati sebagai Hari Martir. Thakin Nu, pemimpin kaum Sosialis, kemudian diminta untuk membentuk sebuah kabinet baru. Thakin Nu kelak memimpin upacara penyerahan kemerdekaan kepada Birma pada 4 Januari 1948. Keinginan rakyat untuk melepaskan diri dari Britania sangat kuat kala itu sampai-sampai Birma memutuskan untuk tidak bergabung dalam Persemakmuran Bangsa-Bangsa, bertolak belakang dengan keputusan India dan Pakistan .[36]
Sesudah kemenangan Komunis di Tiongkok pada 1949, pelosok-pelosok terpencil di Birma Utara dikuasai selama bertahun-tahun oleh tentara angkatan darat Kuomintang dipimpin Jenderal Li Mi.[36]
Birma menerima bantuan asing untuk membangun kembali negeri itu pada tahun-tahun permulaan kemerdekaannya, tetapi dukungan terus-menerus dari Amerika atas kehadiran militer Nasionalis Tiongkok di Birma mengakibatkan negara itu akhirnya menolak sebagian besar bantuan asing, menolak untuk bergabung dengan Pakta Pertahanan Asia Tenggara (SEATO) dan mendukung Konferensi Asia–Afrika yang diselenggarakan di Bandung pada 1955.[36] Lazimnya Birma berusaha untuk tidak berpihak dalam percaturan politik dunia serta merupakan salah satu dari negara-negara pertama di dunia yang mengakui berdirinya Israel dan Republik Rakyat Tiongkok.
Pada 1958, Birma mulai pulih di bidang ekonomi, tetapi kembali mengalami kemerosotan di bidang politik akibat pecahnya LKRAF menjadi dua faksi, faksi pertama dipimpin oleh Thakin Nu dan Thakin Tin, sementara faksi yang lain dipimpin oleh Ba Swe dan Kyaw Nyein.[36] Perpecahan ini tidak terelakkan kendati imbauan 'Senjata untuk Demokrasi' dari U Nu di luar dugaan disambut baik oleh U Seinda di Arakan, orang Pa-O, beberapa kelompok orang Mon dan orang Shan, dan terutama oleh PVO dengan menyerahkan persenjataan mereka.[36] Meskipun demikian, situasi menjadi sangat tidak stabil di parlemen, dengan lolosnya U Nu dari pemungutan suara untuk pengajuan mosi tidak percaya kepada pemerintah hanya berkat dukungan dari pihak oposisi Front Persatuan Nasional (National United Front, disingkat NUF) yang diyakini berisi anasir-anasir 'kripto-komunis'.[36] Angkatan darat garis keras yang kini menyadari 'ancaman' dari PKB pun berpakat dengan U Nu melalui NUF, dan pada akhirnya U Nu 'diimbau' oleh Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Ne Win, untuk mengambil alih pemerintahan Birma.[36] Lebih dari 400 'simpatisan komunis' ditahan, 153 orang di antaranya dideportasi ke Pulau Coco di Laut Andaman, termasuk Aung Than, pemimpin NUF dan abang dari Aung San. Surat khabar Botataung, Kyemon dan Rangoon Daily juga diberedel.[36]
Pemerintahan sementara Ne Win berhasil menenangkan situasi dan membuka jalan bagi penyelenggaraan pemilihan umum baru pada 1960 yang mengembalikan Partai Persatuan U Nu ke tampuk pemerintahan dengan kemenangan mayoritas.[36] Situasi stabil tidak bertahan lama, manakala Gerakan FederalShan, yang dirintis oleh Nyaung Shwe Sawbwa Sao Shwe Thaik (Presiden Birma merdeka yang pertama 1948–52) dan menghendaki suatu federasi yang 'longgar', dipandang sebagai gerakan separatis yang menuntut pemerintah untuk menghormati hak melepaskan diri dalam 10 tahun yang diatur dalam Konstitusi 1947. Ne Win telah berhasil melucuti kekuasaan feodal para Sawbwa Shan dengan ganti pemberian pensiun seumur hidup dalam jumlah yang memuaskan pada 1959.
Pada 2 Maret 1962, Ne Win bersama enam belas perwira senior lain melakukan kudeta. Mereka menahan U Nu, Sao Shwe Thaik serta beberapa tokoh lain, dan memaklumkan berdirinya sebuah negara sosialis yang akan diperintah oleh Majelis Revolusioner Bersatu bentukan mereka. Putra Sao Shwe Thaik, Sao Mye Thaik, tewas tertembak dalam peristiwa yang lazimnya digambarkan sebagai sebuah kudeta 'tanpa pertumpahan darah' itu. Thibaw Sawbwa Sao Kya Seng juga menghilang secara misterius setelah dihentikan di sebuah pos pemeriksaan dekat Taunggyi.[36]
Sejumlah aksi protes bermunculan menentang kudeta, dan mula-mula ditanggapi secara lunak oleh militer.[42] Akan tetapi pada 7 Juli 1962, aksi protes secara damai yang dilakukan oleh mahasiswa di kampus Universitas Rangoon ditindak keras oleh militer sehingga menyebabkan sekitar 100 mahasiswa tewas terbunuh. Sehari sesudahnya, angkatan darat meledakkan gedung organisasi Persatuan Mahasiswa.[36] Perundingan damai yang mempertemukan Majelis Revolusioner dan berbagai kelompok bersenjata yang menentang pemerintah diadakan pada 1963, namun tidak berhasil mencapai kata sepakat, dan selama perundingan berlangsung maupun setelah gagal menghasilkan kesepakatan, ratusan orang ditahan di Rangoon dan tempat-tempat lain, baik yang berhaluan kanan maupun yang berhaluan kiri dalam pandangan poliknya. Seluruh partai oposisi dinyatakan terlarang pada 28 Maret 1964.[36] Kaum pemberontak Kachin yang tergabung dalam Organisasi Kemerdekaan Kachin sudah lebih dahulu beraksi pada 1961 dipicu oleh maklumat U Nu yang menjadikan agama Buddha sebagai agama negara, dan Angkatan Bersenjata Negara Bagian Shan, dipimpin istri Sao Shwe Thaik, Mahadevi, dan putranya, Chao Tzang Yaunghwe, mengobarkan pemberontakan pada 1964 sebagai wujud penentangan terhadap kudeta militer 1962.[36]
Ne Win bergegas mengambil langkah-langkah kebijakan untuk mentransformasi Birma menjadi sebuah "negara sosialis" yang dicita-citakannya dan untuk mengisolasi negara ini dari hubungan dengan negara-negara lain di dunia. Ne Win memberlakukan sistem satu partai, dan Partai Program Sosialis Birma bentukannya mengendalikan pemerintahan Birma.[36] Niaga dan industri di seluruh wilayah Birma dinasionalisasi, namun perekonomian mula-mula tidak mengalami pertumbuhan karena pemerintah terlalu mengutamakan pengembangan sektor industri sehingga melalaikan sektor pertanian. Pada bulan April 1972, Jenderal Ne Win beserta seluruh anggota Majelis Revolusioner Bersatu melepaskan jabatan militernya, namun kini sebagai U Ne Win, ia terus mengendalikan pemerintahan Birma melalui Partai Program Sosialis Birma. Sebuah undang-undang dasar yang baru dikeluarkan pada bulan Januari 1974. Berdasarkan undang-undang dasar yang baru, dibentuk lembaga Sidang Rakyat (Pyithu Hluttaw) yang memegang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif tertinggi, serta lembaga-lembaga Majelis Rakyat di daerah-daerah. Ne Win menjadi presiden dari pemerintah yang baru.[36]
Sejak bulan Mei 1974, terjadi suatu gelombang pemogokan di Rangoon dan kota-kota lain di Birma yang dilatarbelakangi oleh permasalahan korupsi, inflasi, dan keterbatasan pangan, khususnya beras. Di Rangoon para buruh ditangkap di persimpangan jalur kereta api Insein, dan pasukan-pasukan tentara menembaki para buruh di pabrik tekstil Thamaing dan galangan kapal Simmalaik.[36] Pada bulan Desember 1974, demonstrasi-demonstrasi anti pemerintah yang terbesar sampai dengan saat itu terjadi dalam upacara pemakaman mantan Sekretaris Jenderal PBBU Than.[36] U Than pernah menjadi penasihat terdekat Perdana Menteri U Nu pada era 1950-an dan dianggap sebagai lambang penentangan terhadap rezim militer. Rakyat Birma merasa bahwa U Than tidak dihormati dengan upacara pemakaman kenegaraan selayaknya seorang negarawan bertaraf internasional akibat hubungan dekatnya dengan U Nu.
Pada 23 Maret 1976, lebih dari 100 mahasiswa ditahan karena menggelar sebuah upacara yang berlangsung damai (Hmaing yabyei) untuk memperingati 100 tahun lahirnya Thakin Kodaw Hmaing, penyair dan pujangga terbesar sekaligus pemimpin nasionalis Birma pada abad ke-20. Ia telah menginspirasi segenerasi tokoh nasionalis dan penulis Birma dengan karya tulisnya yang lebih banyak berbentuk syair, menanamkan rasa bangga yang mendalam akan sejarah, bahasa, dan budaya mereka, dan mendesak mereka untuk melakukan tindakan nyata seperti pemogokan buruh dan mahasiswa. Hmaing, selaku pemimpin Dobama, adalah orang yang telah berjasa mengirim Ketiga Puluh Kamerad ke luar negeri untuk mendapatkan latihan militer, dan sesudah Birma merdeka, ia pula yang telah membaktikan hidup demi perdamaian di dalam negeri dan rekonsiliasi nasional sampai menghembuskan nafas terakhir dalam usia 88 tahun pada 1964. Jenazah Hmaing disemayamkan dalam sebuah musoleum di kaki Pagoda Shwedagon.[43]
Pada 1976, seorang perwira muda bernama Kapten Ohn Kyaw Myint bersama beberapa rekannya sesama perwira berkomplot untuk membunuh Ne Win dan San Yu, namun rencana ini bocor dan si perwira pun diadili serta dihukum gantung.[36][44]
Setelah dibebaskan pada 1966, U Nu meninggalkan Birma pada pada bulan April 1969, dan membentuk Partai Demokrasi Parlementer (PDP) pada bulan Agustus tahun yang sama di Bangkok, Muangthai, bersama salah satu anggota Ketiga Puluh Kamerad, Bo Let Ya, salah seorang tokoh pendiri PKB dan mantan Menteri Pertahanan dan deputi Perdana Menteri, Bo Yan Naing, dan U Thwin, mantan TKB dan mantan Menteri Perdagangan. Seorang lagi anggota Ketiga Puluh Kamerad, Bohmu Aung, mantan Menteri Pertahanan, kelak ikut menggabungkan diri. Yang keempat, Bo Setkya, yang telah bersembunyi selepas kudeta 1962, wafat di Bangkok tak lama sebelum U Nu tiba.[36] PDP melancarkan aksi pemberontakan bersenjata di sepanjang perbatasan Muangthai sejak 1972 sampai 1978 ketika Bo Let Ya terbunuh dalam sebuah serangan yang dilancarkan oleh organisasi Persatuan Kebangsaan Karen (PKK). U Nu, Bohmu Aung, dan Bo Yan Naing pulang ke Rangoon setelah mendapatkan amnesti pada 1980.[36] Ne Win juga kelak diam-diam melakukan perundingan damai pada 1980 dengan KIO dan CPB, yang sekali lagi menemui jalan buntu sebagaimana perundingan yang sebelumnya.[36]
Ne Win berhenti menjabat sebagai presiden pada 1981, tetapi tetap memegang kekuasaan sebagai Ketua BSPP sampai mendadak mengumumkan pengunduran dirinya pada 23 Juli 1988.[36]
Pada era 1980-an, ekonomi Birma mulai tumbuh setelah pemerintah melonggarkan pembatasan-pembatasan terhadap bantuan asing, namun pada penghujung era 1980-an, jatuhnya harga-harga komoditas dan peningkatan jumlah utang menimbulkan krisis ekonomi. Keadaan ini berujung pada upaya-upaya reformasi ekonomi pada 1987–1988 yang melonggarkan kontrol sosialis dan mendorong investasi asing. Meskipun demikian, upaya-upaya ini tidak cukup untuk meredam pergolakan di Birma, ditambah pula dengan 'demonetisasi' secara periodik atas uang kartal asing tertentu ke dalam mata uang Birma. Demonetisasi terakhir yang didekretkan pada bulan September 1987 menyapu bersih dana tabungan mayoritas rakyat Birma.[36]
Pada bulan September 1987, pemimpin de facto Birma, U Ne Win, mendadak membatalkan pecahan-pecahan uang kartal tertentu, sehingga mengakibatkan ekonomi merosot tajam. Alasan utama pembatalan tersebut adalah takhyul yang sangat dipercaya oleh U Ne Win, yang menganggap bahwa angka sembilan adalah angka keberuntungannya—ia hanya mengizinkan peredaran pecahan 45 dan 90 kyat, karena angka-angka ini dapat habis dibagi dengan angka sembilan.[45] Penetapan status Birma sebagai Negara Terbelakang oleh PBB pada bulan Desember pada tahun yang sama adalah bukti dari keterpurukan perekonomiannya.[36]
Dipicu tindakan brutal polisi atas demonstrasi-demonstrasi yang dipimpin para pelajar yang memakan korban jiwa ratusan pelajar dan rakyat sipil pada bulan Maret dan Juni 1988, aksi-aksi protes dan demonstrasi muncul secara besar-besaran di seluruh Birma. Pihak militer menanggapinya dengan menembaki kerumunan massa, dengan dalih bahwa massa telah disusupi unsur-unsur komunis. Kekerasan, keadaan kacau-balau, dan anarki merajalela. Administrasi sipil terhenti sama sekali, dan pada bulan September tahun itu, negeri Birma sudah berada di ambang batas revolusi. Angkatan bersenjata, di bawah kepemimpinan nominal Jenderal Saw Maung melakukan kudeta pada 8 Agustus untuk memulihkan keamanan dan ketertiban. Selama berlangsungnya Pemberontakan 8888, julukan bagi kudeta 8 Agustus, pihak militer menewaskan ribuan orang. Militer mengesampingkan Konstitusi 1974 dan memberlakukan hukum perang di bawah Dewan Pemulihan Hukum dan Ketertiban Negara (DPHKN) dengan Saw Maung selaku ketua merangkap perdana menteri.[36]
Dalam sebuah konferensi pers sepanjang enam jam pada 5 Agustus 1989, Brigjen Khin Nyunt, Sekretaris 1 DPHKN merangkap kepala Badan Intelijen Militer (BIM), mengklaim bahwa gerakan protes besar-besaran itu direkayasa oleh Partai Komunis Birma melalui organisasi bawah tanahnya.[46] Although there had inevitably been some underground PKB presence as well as that of ethnic insurgent groups, there was no evidence of their being in charge to any extent.[36] Justru pada bulan Maret 1989, kepemimpinan PKB ditumbangkan dalam suatu pemberontakan yang dilakukan oleh pasukan-pasukan Kokang dan Wa yang menjadi andalan PKB setelah kehilangan kubu-kubu pertahanan di Birma Tengah dan mendirikan pangkalan-pangkalan baru di kawasan timur laut pada penghujung era 1960-an; para pemimpin komunis tak lama kemudian terpaksa menyingkir ke pengasingan di seberang tapal batas Tiongkok.[36]
Pemerintah militer memaklumkan perubahan nama negara dari Birma menjadi Myanmar pada 1989. Pemerintah militer juga melanjutkan reformasi ekonomi yang dirintis oleh rezim lama, dan mengimbau dibentuknya sebuah Dewan Konstituante untuk merevisi Konstitusi 1974. Kebijakan ini menghasilkan pemilihan umum multipartai pada bulan Mei 1990 yang dimenangkan secara telak oleh Liga Nasional untuk Demokrasi (LND), mengalahkan Partai Persatuan Nasional (PPN, pengganti BSPP) dan sekitar selusin partai kecil.[36]
Militer kembali menetapkan status tahanan rumah bagi Aung San Suu Kyi pada bulan September 2000 sampai dengan bulan Mei 2002, ketika larangan baginya untuk bepergian ke luar kota Rangoon juga dicabut. Pembicaraan-pembicaraan seputar rekonsiliasi dilakukan dengan pemerintah, namun semuanya menemui jalan buntu dan Suu Kyi sekali lagi ditahan pada bulan Mei May 2003 setelah iring-iringan kendaraan yang mengikutinya dilaporkan diserbu oleh massa pro militer. Pemerintah juga melaksanakan penangkapan besar-besaran atas para pemimpin LND dan menutup sebagian besar dari kantor-kantornya. Situasi di Myanmar masih diwarnai ketegangan sampai hari ini.
Pada bulan Agustus 2003, Kyin Nyunt mengumumkan tujuh langkah "petunjuk jalan menuju demokrasi", yang dikalim pemerintah sedang dalam proses implementasi. Tidak ada jadwal dan target waktu sehubungan dengan rencana pemerintah ini, ataupun mekanisme kondisional atau independen untuk mebuktikan bahwa program ini benar-benar berjalan. Karena alasan inilah sebagian besar pemerintah negara-negara barat dan negara-negara tetangga Myanmar bersikap skeptis dan kritis sehubungan dengan petunjuk jalan ini.
Pada 17 Februari 2005, pemerintah menyelenggarakan kembali Konvensi Nasional, untuk pertama kalinya sejak 1993, dalam upaya untuk menulis ulang Konstitusi. Meskipun demikian, organisasi-organisasi dan partai-partai besar yang pro demokrasi, termasuk Liga Nasional untuk Demokrasi, dilarang berpartisipasi, militer hanya memberi iin kepada partai-partai kecil yang dipilih. Konvensi kembali diistirahatkan pada bulan Januari 2006.
Pada bulan November 2005, junta militer mulai memindahkan pemerintahan dari Yangon ke sebuah lokasi yang tidak disebutkan namanya di dekat Kyatpyay tepat di luar Pyinmana, yakni lokasi ibu kota Myanmar yang baru. Aksi publik ini diikuti sebuah kebijakan jangka panjang tidak resmi untuk memindahkan prasarana militer dan pemerintah yang penting keluar dari Yangon guna menghindari berulangnya peristiwa-peristiwa semacam Pemberontakan 8888. Pada Hari Angkatan Bersenjata (27 Maret 2006), ibu kota Myanmar secara resmi diberi nama Naypyidaw Myodaw (secara harfiah berarti Kota Takhta Raja-Raja).
Pada 2005, ibu kota negara dipindahkan dari Yangon ke Naypyidaw.
Pada bulan November 2006, Organisasi Buruh Internasional mengumumkan akan berupaya – di Mahkamah Internasional[47] – "untuk menuntut anggota-anggota junta militer Myanmar yang sementara berkuasa atas dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan" karena mewajibkan berkesinambungan untuk melakukan kerja paksa. Menurut Organisasi Buruh Internasional, diperkirakan ada 800.000 orang yang diwajibkan menjalani kerja paksa di Myanmar.[48]
Protes anti pemerintah Birma 2007 adalah serangkaian protes anti pemerintah di Birma yang bermula pada 15 Agustus 2007. Penyebab utama dari protes-protes ini adalah keputusan yang tidak dipermaklumkan dari pemerintah junta militer, Dewan Perdamaian dan Pembangunan Negara, untuk menghapuskan subsidi bahan bakar minyak yang mengakibatkan harga solar dan bensin melonjak secara mendadak hingga 100%, dan harga CNG untuk kendaraan-kendaraan bus sampai lima kali lipat dalam tempo kurang dari sepekan.[49] Demonstrasi-demonstrasi protes pertama kali diberangus dengan cepat dan kejam oleh pemerintah junta militer. Lusinan pengunjuk rasa ditangkap dan ditahan. Mulai 18 September, protes-protes dipimpin oleh para biarawan Agama Buddha, dan dibiarkan berlangsung sampai diberangus secara lebih kejam oleh pemerintah pada 26 September.[50]
Sewaktu pemberangusan demonstrasi berlangsung, tersebar desas-desus tentang perselisihan pendapat di kalangan militer Birma, tetapi tak satu pun desas-desus itu yang dapat dipastikan kebenarannya. Saat itu, sumber-sumber independen melaporkan, melalui foto-foto dan keterangan-keterangan tertulis, bahwa ada 30 sampai 40 biarawan dan 50 sampai 70 rakyat sipil yang terbunuh serta sekitar 200 orang yang dipukuli. Meskipun demikian, sumber-sumber lain menyingkap jumlah-jumlah yang lebih dramatis lagi. Dalam sebuah pernyataan dari Gedung Putih, Presiden Bush berkata: "Para biarawan telah dipukuli dan dibunuh.... Ribuan pengunjuk rasa pro-demokrasi telah ditangkap". Beberapa laporan berita menyebut gerakan-gerakan protes itu dengan istilah Revolusi Safron.[51][52]
Pada 7 Februari 2008, Dewan Perdamaian dan Pembangunan Negara mengumumkan akan menyelenggarakan suatu referendum untuk konstitusi, dan pemilihan-pemilihan pada 2010. Referendum konstitusi Myanmar, 2008 terselenggara pada 10 Mei dan menjanjikan suatu "demokrasi yang berkembang dengan berdisiplin" bagi negara itu di masa depan.
Siklon Nargis
Pada 3 Mei 2008, Siklon Nargis meluluhlantakkan negara ini tatkala angin dengan kecepatan sampai 215 km/jam (135 mil/jam)[53] melanda daerah berpopulasi padat, yakni delta pertanian padi di Divisi Irawadi.[54] Diperkirakan lebih dari 130.000 orang yang tewas atau hilang dan total kerugian mencecah angka 10 miliar dolar AS; bencana alam ini merupakan yang terburuk dalam sejarah Birma. Program Pangan Dunia melaporkan bahwa, "Beberapa desa nyaris sepenuhnya lenyap dan lahan-lahan yang ditanami padi tersapu habis."[55]
PBB memperkirakan sebanyak 1 juta orang kehilangan tempat tinggal dan Organisasi Kesehatan Dunia "telah menerima laporan-laporan tentang munculnya malaria di daerah-daerah yang paling terkena dampak bencana."[56] Meskipun demikian, pada hari-hari kritis selepas bencana, rezim isolasionis Birma malah memperumit upaya-upaya pemulihan pascabencana dengan menunda pemberian izin masuk bagi pesawat-pesawat terbang PBB yang membawa bantuan obat-obatan, makanan, dan berbagai keperluan lainnya. Kegagalan pemerintah mengeluarkan izin masuk bagi lembaga-lembaga bantuan internasional berskala besar telah dideskripsikan oleh PBB sebagai suatu hal "tidak pernah terjadi sebelumnya."[57]
Reformasi-reformasi demokratis Myanmar 2011–2012 adalah serangkaian reformasi berkelanjutan dalam bidang politik, ekonomi, dan administrasi di Myanmar yang dilakukan oleh pemerintah berpendukung militer. Reformasi-reformasi ini meliputi pembebasan pemimpin pro-demokrasi Aung San Suu Kyi dari tahanan rumah disusul dialog-dialog yang dilakukan dengannya, pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pemberian amnesti umum kepada lebih dari 200 tahanan politik, pengesahan aturan-aturan hukum ketenagakerjaan baru yang memperbolehkan pembentukan serikat-serikat buruh dan pemogokan-pemogokan, pelonggaran sensor pers, dan regulasi praktik-praktik keuangan.
Sebagai konsekuensi dari reformasi-reformasi itu, ASEAN telah menyetujui pengajuan diri Myanmar untuk menduduki jabatan kepemimpinannya pada 2014. Sekretaris Negara Amerika SerikatHillary Clinton berkunjung ke Myanmar pada 1 Desember 2011, untuk mendorong langkah-langkah maju selanjutnya; kunjungan ini adalah kunjungan pertama seorang Sekretaris Negara Amerika Serikat setelah lebih dari lima puluh tahun. Presiden Amerika SerikatBarack Obama berkunjung setahun kemudian, dan menjadi presiden Amerika Serikat pertama yang berkunjung ke Myanmar.
Partai Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (LND), berpartisipasi dalam Pemilihan Khusus yang diselenggarakan pada 1 April 2012 selepas pemerintah mengabolisikan aturan-aturan hukum yang pernah membuat LND memboikot Pemilihan Umum 2010. Suu Kyi memimpin LND meraih kemenangan telak, berhasil meraih 41 dari 44 kursi yang diperebutkan, satu kursi dimenangkan oleh Suu Kyi sendiri mewakili konstituen Kota Kawhmu dalam Majelis Rendah di Parlemen Myanmar.
Hasil perhitungan suara dari Pemilihan Umum 2015 menjadikan Liga Nasional untuk Demokrasi sebagai mayoritas absolut baik dalam majelis rendah maupun majelis tinggi di Parlemen Myanmar, memadai untuk memastikan calon yang diusungnya dijadikan presiden, sementara pemimpin LND, Aung San Suu Kyi, berdasarkan konstitusi tidak dapat menduduki jabatan presiden.[58] Meskipun demikian, ketidakpastian masih membayang-bayangi, karena bentrok antara pasukan-pasukan militer Myanmar dan kelompok-kelompok pemberontak setempat terus berlanjut.
2016–sekarang
Parlemen yang baru bersidang pada 1 Februari 2016, dan pada 15 Maret 2016, Htin Kyaw terpilih menjadi Presiden Myanmar pertama yang bukan dari kalangan militer sejak kudeta militer 1962.[59][60]Aung San Suu Kyi memegang sebuah jabatan yang baru dibentuk, yakni jabatan Kanselir Negara yang setara dengan jabatan Perdana Menteri, pada 6 April 2016.
Kemenangan besar yang diraih Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi dalam pemilihan umum 2015 telah menerbitkan harapan akan terjadinya peralihan yang lancar di Myanmar dari pemerintahan militer menuju suatu sistem demokrasi yang bebas. Akan tetapi pergolakan politik dalam negeri, hancurnya perekonomian dan pertikaian antar etnis terus-menerus mempersukar transisi menuju demokrasi.
^Coupey, A. S. (2008). Infant and child burials in the Samon valley, Myanmar. Dalam Archaeology in Southeast Asia, from Homo Erectus to the living traditions: makalah-makalah pilihan dari Konferensi Internasional Asosiasi Eropa dari Arkeolog Asia Tenggara ke-11, 25–29 September 2006, Bougon, Prancis
^Tarun Khanna, Billions entrepreneurs: How China and India Are Reshaping Their Futures and Yours, Harvard Business School Press, 2007, ISBN 978-1-4221-0383-8
^Michael Clodfelter. Warfare and Armed Conflicts: A Statistical Reference to Casualty and Other Figures, 1500–2000. Ed. Ke-2 2002 ISBN 0-7864-1204-6. hal. 556
^Werner Gruhl, Imperial Japan's World War Two, 1931–1945 Transaction 2007 ISBN 978-0-7658-0352-8 (Werner Gruhl adalah mantan kepala Cabang Analisis Biaya dan Ekonomi NASA yang sudah sejak lama meminati kajian mengenai Perang Dunia I dan II.)
^Boudreau, Vincent (2004) Resisting Dictatorship: Repression and Protest in Southeast Asia Cambridge University Press, Cambridge, U.K., hal. 37–39, ISBN0-521-83989-0
^"Archived copy". Archived from the original on 2008-10-10. Diakses tanggal 2008-11-14.Pemeliharaan CS1: Url tak layak (link) CNN (dead link:"Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 10 October 2008. Diakses tanggal 2008-11-14.. archived 10 October 2008)
^Rachel Stevenson, Julian Borger, Ian MacKinnon (9 May 2008). "The UN resumes foreign aid flights". The Guardian. London. Diakses tanggal 9 May 2008.Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)
Charney, Michael W. (2006). Powerful Learning: Buddhist Literati and the Throne in Burma's Last Dynasty, 1752–1885. Ann Arbor: University of Michigan.
Cooler, Richard M. (2002). "The Art and Culture of Burma". Northern Illinois University.Tidak memiliki atau membutuhkan |url= (bantuan); Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)
Fernquest, Jon (Autumn 2005). "Min-gyi-nyo, the Shan Invasions of Ava (1524–27), and the Beginnings of Expansionary Warfare in Toungoo Burma: 1486–1539". SOAS Bulletin of Burma Research, Jil. 3, No. 2. ISSN1479-8484.
Hall, D.G.E. (1960). Burma (edisi ke-ke-3). Hutchinson University Library. ISBN978-1-4067-3503-1.
Harvey, G. E. (1925). History of Burma: From the Earliest Times to 10 March 1824. London: Frank Cass & Co. Ltd.
Htin Aung, Maung (1967). A History of Burma. New York and London: Cambridge University Press.
Mark, Karl (1853). War in Burma—The Russian Question—Curious Diplomatic Correspondence. Collected Works of Karl Marx and Frederick Engels. 12. Clemens Dutt (trans.) (edisi ke-1979). New York: International Publishers.
Moore, Elizabeth H. (2007). Early Landscapes of Myanmar. Bangkok: River Books. ISBN974-9863-31-3.
Artikel-artikel SOAS [https://web.archive.org/web/20090216150441/http://www.lib.washington.edu/asp/myanmar/main.asp Diarsipkan 2009-02-16 di Wayback Machine. Bulletin of Burma Research mengenai sejarah Birma