Aloang (Makassar: ᨕᨒᨚᨕ, translit. Aloang, har. 'perintang, penghalang') adalah nama sebuah pulau kecil berpenghuni yang berada di gugusan Kepulauan Tengah, perairan Laut Flores dan secara administratif masuk pada wilayah Desa Tampaang, Kecamatan Liukang Tangaya, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan, Indonesia. Pulau Aloang memiliki wilayah yang luasnya 11,6 km² (termasuk wilayah perairan) atau hanya wilayah daratan seluas 1.414.333,4636200 m2.[1] Secara astronomis, pulau ini terletak di titik koordinat 7°23′55.210″LS,117°48′9.580″BT. Pulau ini di sebelah Utara dan Timur berbatasan dengan perairan Selat Makassar, di sebelah Selatan dengan Pulau Kawassang dan di sebelah Barat dengan Pulau Bako. Pulau Aloang dapat dicapai dari Pelabuhan Paotere Kota Makassar dalam waktu 1 hari 2 malam, dan ± 6 jam dari Sumbawa/Lombok dengan menggunakan kapal motor nelayan. Kebutuhan pangan berupa beras dan kebutuhan lainnya dipenuhi dengan membeli di Sumbawa atau Lombok.
Demografi
Warga yang menetap pada tahun 2007 tercatat berjumlah 368 jiwa yang terdiri atas 178 laki-laki dan 188 perempuan (PMU Coremap II Kabupaten Pangkep 2007). Mereka umumnya beretnis Bugis, Makassar, dan Bajoe. Sebagian kecil warga adalah pendatang dari Lombok, Sumbawa, dan Bima yang telah menetap sekian tahun di Pulau Aloang dan beberapa diantaranya bahkan terikat perkawinan dengan warga asli pulau.
Ekosistem dan sumberdaya hayati
Desa Tampaang terdiri atas 7 pulau dengan pusat pemerintahan berada di Pulau Aloang. Tipe terumbu karang yang ada di Pulau Aloang merupakan terumbu karang tepi (fringing reef). Kondisi terumbu karang tergolong rusak, dimana tutupan karang hidup kurang dari 20 %, Koponen lain yang besar adalah hancuran karang mati dan karang mati tertutupi algae. Hal ini mengindikasikan adanya degradasi terumbu karang di sekitar Pulau Aloang. Sepanjang daerah intertidal hamparan pair dan pecahan karang mati ditumbuhi oleh 3 jenis lamun yakni Enhalus acoroides,Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis. Prosentase tutupan lamun pada substrat pasir maksimum 70%. Tingkat pertumbuhan mangrove tergolong rendah dan didominasi oleh jenis Rhizopora spp dan dalam jumlah yang sedikit.
Kelimpahan ikan karang cukup tinggi sekitar 1380 2 ekor/500m dengan kelimpahan tertinggi adalah famili ikan-ikan betok laut Pomacentridae dan ikan ekor kuning (Caesionidae). Ikan karang yang umum dijumpai seperti ikan bendera (Zanclus), kepe-kepe (Chaetodontidae), kakatua (Scarus) dan baronang (Siganus). Beberapa jenis kerapu sudah mulai sulit ditemukan. Biota laut yang mempunyai nilai ekonomis tetap diburu oleh masyarakat seperti lobster, abalone, teripang, kima dan sebagainya.
Aktivitas pengelolaan sumberdaya
Di Pulau Aloang terdapat areal hutan mangrove yang dimanfaatkan warga untuk menangkap kepiting bakau yang kemudian dijual kepada warga lainnya untuk dikonsumsi. Penjualan kepiting tidak dilakukan dalam jumlah yang banyak. Beberapa tahun lalu, disekitar areal bakau terdapat tambak ikan banding, namun saat ini usaha tersebut tidak lagi berlangsung karena air tambak menjadi asin sehingga ikan bandeng mengalami kematian dan akhirnya merugikan petambak.
Mata pencaharian warga sebagian besar berhubungan dengan sumber daya laut. Hal ini tercermin dari jenis mata pencaharian yang mereka tekuni. Beberapa warga pulau menekuni usaha budidaya rumput laut dengan areal penanaman yang berada di pantai pulau. Pengadaan bibit dilakukan dengan membeli dari petani di Pulau Lilikang Desa Sabalana. Bibit tersebut dibudidayakan dengan menggunakan metode tali bentang. Pengolahan pasca panen dilakukan dengan cara mengeringkan rumput laut dengan beralas terpal di sekitar rumah. Rumput laut yang telah dikeringkan dijual kepada pengumpul dengan harga antara Rp 4.500,- dan Rp 5.000,- /kg yang kemudian memasarkannya di daerah Sumbawa, Lombok atau Bima. Pada bulan September dan Oktober para petani tidak melakukan aktifitas budidaya karena pada saat tersebut rumput laut mengalami kerusakan akibat penyakit sehingga cenderung merugikan petani.
Nelayan pemancing (parinta') adalah nelayan yang menggunakan pancing untuk menangkap ikan di laut. Para parinta' menggunakan jolloro' untuk mencapai lokasi pemancingan yang rata-rata menghabiskan waktu antara 30 dan 60 menit. Areal tempat memancing berupa taka dan karangan yakni Taka Rara, Karang Satunggul, Karang Tampaang, dan Karang Cina. Ikan yang mereka peroleh berupa komoditas ikan hidup (ikan sunu dan kerapu) maupun ikan katambak, rappo-rappo, dan lain-lain. Beberapa karangan telah mengalami kerusakan akibat penggunaan bom, bius dan bubu tindis, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan hasil laut nelayan pemancing. Beberapa areal terumbu karang lainnya relatif masih terjaga karena berada dekat dengan pulau dimana warga berdiam warga. Ikan hasil memancing yang diperoleh kemudian dijual kepada pengumpul. Ikan yang tidak termasuk ikan hidup dikeringkan terlebih dahulu sebelum dijual yang umumnya dilakukan oleh kaum perempuan. Ikan yang sudah dibeli oleh pengumpul kemudian diangkut untuk dijual ke daerah Sumbawa, Lombok atau Bima. Ikan kerapu dan sunu yang mereka dapatkan kadangkadang juga disimpan di karamba penampungan sebelum dijual. Hal ini dilakukan untuk menambah ukuran ikan sehingga harga jualnya juga menjadi lebih tinggi.
Pabubu adalah nelayan yang menggunakan alat tangkap bubu untuk menangkap ikan. Alat bubu ini berupa jaring dari bahan aluminium yang ditepiannya diberi rotan atau kayu. Alat ini berbentuk persegi dengan model lancip pada salah satu sisinya dengan ukuran panjang 1 m dan lebar 0,5 m. Ikan target alat ini adalah komoditas ikan hidup, seperti ikan sunu dan kerapu serta ikan karang lainnya. Bubu ini dipasang di areal terumbu karang.
Beberapa nelayan menggunakan jaring untuk menangkap ikan. Alat ini berupa jaring yang dilengkapi dengan pelampung. Jaring ini dibentangkan memanjang di laut untuk menjerat ikan, terutama ikan yang berenang dikolong dan permukaan air. Ikan tendro dan biawas adalah ikan yang paling banyak didapatkan dengan menggunakan alat tangkap berupa jaring pelampung ini. Ikan hasil tangkapan diolah dengan jalan dikeringkan lalu dijual. Peran kaum perempuan sangat signifikan dalam mata pencaharian ini. Mereka menjahit jaring dan melakukan pengolahan ikan hasil panen.
Pencarian teripang di dasar laut menggunakan alat bantu kompresor penyelaman. Lokasi pencarian terdapat di pulau lain, sehingga kadang memakan waktu berminggu-minggu. Kapal yang digunakan umumnya berukuran besar, sehingga aktifitas pencarian teripang hanya dilakukan oleh ponggawa yang dibantu oleh beberapa orang sawi. Teripang yang mereka dapatkan lalu dikeringkan sebelum dijual ke Sumbawa, Lombok, Bima dan Bali.
Sarana dan prasarana
Sarana pendidikan yang terdapat di Pulau Aloang berupa 1 unit SD dan bagi warga yang ingin melanjutkan pendidikan lanjutan, biasanya ke Makassar atau Lombok, sedangkan sarana kesehatan berupa satu unit Pustu. Pelayanan kesehatan ibu dan anak dilayani oleh satu unit Posyandu yang digerakkan oleh kader-kader kesehatan yang berasal dari pulau setempat. Kebutuhan air tawar untuk keperluan mandi, cuci, dan masak warga terpenuhi dengan adanya sumur yang mereka gali di sekitar rumah tinggalnya. Namun pada musim kemarau, sumur tersebut tidak mampu menyediakan air tawar sehingga warga mengambil air di Pulau Tampaang, sedangkan kebutuhan energi listrik untuk berbagai keperluan seperti penerangan, hiburan dan lain-lain terpenuhi dengan keberadaan mesin generator yang memasok listrik ke rumah-rumah warga mulai pukul 17.30 sampai pukul 22.00 setiap hari. Sarana dan prasarana lain yang terdapat di pulau ini terdiri dari dermaga, jalan, pasar, mesjid dan balai pertemuan desa.[2]
Referensi
Pranala luar