Partai Persatuan Dayak (disingkat PPD) adalah sebuah partai politik berbasis adat lokal di Indonesia. Dibentuk untuk mewakili 'primodial' kepentingan masyarakat Dayak, partai ini adalah salah satu partai politik di Indonesia yang beberapa waktu terbentuk sepanjang garis etnis.[1][2]Oevaang Oeray, Gubernur pertama Kalimantan Barat dan salah satu pendiri PPD, adalah tokoh partai.[2][3]
Periode awal
Pada tanggal 30 Oktober 1945, asosiasi Daya in Action telah dibentuk di Putussibau. Banyak dari pendiri gerakan ini adalah guru, dan pemimpinnya F.C. Palaunsoeka adalah seorang guru sekolah sendiri. Pastor Jawa A. Adikardjana memainkan peran penting dalam landasan gerakan. Setahun setelah berdirinya, asosiasi berevolusi menjadi PPD. Pada bulan Oktober 1946, Netherlands Indies Civil Administration (NICA) menunjuk tujuh PPD anggota Dewan Kalimantan Barat (yang memiliki 40 kursi pada total). Setengah dari anggota dewan administratif Daerah Khusus Kalimantan Barat berasal dari PPD; Oevaang Oeray, Lim Bak Meng (orang Tionghoa Katolik) dan A.F. Korak.[4]
Pada saat itu, PPD mengambil posisi ambivalen terhadap Belanda. Ini dicari kerjasama dengan NICA dalam rangka memperkuat posisinya, tapi pada kesempatan menggunakan waktu yang sama untuk mengkritik 'gangguan' Belanda dalam urusan Dayak.[4]
Pada tahun 1950, Partai Dayak kekurangan dana untuk kongres partai. Lim Bak Meng membuat sebuah perusahaan perdagangan kecil, tapi perusahaan ini tidak sukses yang namanya NV Tjemara. Perusahaan ini ia buat untuk mendanai kongres Partai Dayak pada tahun itu.[5] Partai ini sudah melakukan 2 upaya lain, yakni mengharapkan bantuan relawan dan membuat suatu kebijakan lain, yakni 3 persen PNS Dayak disuruh untuk memberikan 3% gaji mereka untuk pendanaan ini.[5]
Pemilu 1955
Pada Pemilu parlemen 1955, PPD mendapat 146.054 suara (0,4% suara nasional), dan mendapat satu kursi di Dewan Perwakilan Rakyat dari Kalimantan Barat.[6][7] Partai ini memperoleh 33,1% suara pada Kalimantan Barat, menjadi partai terbesar kedua di daerah (setelah Masjumi). Namun di Kalimantan Selatan (waktu itu masih bersama Kalimantan Tengah sebelum pemekaran tahun 1957), partai ini hanya mendapat 1,5% dari suara populer (di daerah Kalimantan Tengah yang didominasi Dayak partai menerima 6,2% suara).[1] Dalam pemilihan dewan provinsi Kalimantan Barat pada tahun yang sama, PPD memenangkan sembilan dari 29 kursi.[2]
Pembubaran
Pada tahun 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan larangan terhadap partai politik yang bersifat etnis, dan PPD dibubarkan setelah adanya larangan tersebut. Beberapa politisi PPD melanjutkan karier mereka pada partai lain setelah larangan itu.[2] Oevaang Oeray bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), sementara beberapa yang lain bergabung dengan Partai Katolik.[2][3]
Selain itu, Partai Dayak mengalami kemunduran. Yang mana, ini disebabkan oleh kebijakan dari pemerintah pusat untuk mengurangi partai politik daerah dan akibat adanya konflik di tubuh internal partai.[8] Pada tahun 1960-an, PPD mengalami perpecahan dan menjadi dua faksi. Faksi pertama dikomandoi oleh Gubernur Oevaang Oeray yang didukung oleh Partindo (partai nasionalis sayap kiri). Faksi kedua dipimpin oleh Palaoensoeka dan didukung mayoritas guru Katolik dan bergabung dengan Partai Katolik.[8]