Kereta Rel Diesel Indonesia
Kereta Rel Diesel Indonesia (KRDI) adalah kereta rel diesel hidraulik produksi PT INKA, Madiun. KRDI ini diproduksi dari tahun 2007 hingga 2014 dan telah digunakan untuk rangkaian KA komuter di Jawa dan Sumatra. KRDI memiliki beberapa macam variasi dan generasi, baik yang non-AC maupun yang ber-AC, dengan dua jenis lebar sepur, 1.435 dan 1.067 mm. KRDI yang diproduksi tahun 2007-2009 serta KRDI Cut Meutia merupakan KRDI non-AC, sedangkan generasi berikutnya sudah dipasangi AC. Saat ini ada total 13 set yang telah diproduksi. Rangkaian dan fasilitasSatu set KRDI memiliki empat unit kereta. Dua di ujung merupakan kereta berpenggerak, dan sisanya merupakan kereta tak berpenggerak. Khusus untuk KRDI Cut Meutia hanya diproduksi satu set dengan dua unit kereta berpenggerak. Kereta-kereta yang berpenggerak (MeC) memiliki 64 tempat duduk, sedangkan yang tidak berpenggerak (T) memiliki 72 tempat duduk, disusun 2-2 saling berhadapan, meski ada juga yang menggunakan kursi yang arahnya melintang arah perjalanan (khusus generasi pertama). KRDI yang diproduksi pada 2011 ke atas sudah memasang AC.[1] Sejarah dan pengoperasianGenerasi pertama (3 set)Dengan melihat tingginya kebutuhan KA komuter berbasis KRD di wilayah Jawa dan Sumatra, Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (Kemenhub) memutuskan untuk membeli lagi rangkaian kereta rel diesel. Dengan suksesnya KA Prameks yang saat itu masih menggunakan rangkaian bekas KRL Holec yang kemudian dimodifikasi menjadi KRDE, Kemenhub memutuskan membeli lagi KRD baru. KRD baru ini diberi nama Kereta Rel Diesel Indonesia. Meski komponen mesinnya masih menyuplai dari luar negeri, desain bodi dan interiornya adalah murni hasil pemikiran orang Indonesia. KRDI memiliki desain hidung yang lebih aerodinamis serta memiliki jendela yang lebih pendek daripada produk sebelumnya. Ciri-ciri KRDI generasi pertama adalah kursinya yang keras, terbuat dari plastik, serta memanjang mengikuti panjang bodi (seperti KRDE Prameks). KRDI generasi pertama ini dibuat pada tahun 2007-2008 sebanyak tiga set dan menghabiskan biaya sebesar Rp30 miliar per set bersumber dari APBN.[2] KRDI generasi pertama ini memiliki interior non-AC serta tidak memiliki toilet, meski kelak diadakan modifikasi sedikit untuk menambahkan toilet. Ada dua kereta api yang beroperasi menggunakan KRDI generasi pertama di Jawa, yaitu:
Dari 3 set pengadaan KRDI, ada satu set yang didesain khusus untuk Aceh KA Cut Meutia. KRDI dengan sepur 1.435 mm ini pengadaannya juga dalam generasi pertama, tetapi baru diluncurkan pada 9 Desember 2013 bersamaan dengan pengoperasian jalur KA Krueng Mane–Krueng Geukueh.[5] Generasi kedua (5 set)Dengan melihat suksesnya peluncuran dua KRDI tersebut, Kemenhub memutuskan untuk menambah lagi set KRDI non-AC menjadi 4 set di Jawa dan 4 set di Sumatra (1 set yang sudah ada adalah KA Perintis Aceh/Cut Meutia). Pada generasi kedua ini, kursi sudah dibuat berhadap-hadapan menurut arah perjalanan KA, serta sudah diberi toilet. Di Jawa, KA yang beroperasi menggunakan KRDI generasi kedua adalah:
KRDI generasi kedua yang pertama dikirim ke Sumatra adalah KA Seminung, beroperasi di Lampung pada tanggal 13 Januari 2010 dengan relasi Tanjungkarang–Kotabumi pp.[8] Di Sumatera Utara, ada dua set KRDI yang dioperasikan. KRDI ini diberi nama Sri Lelawangsa, beroperasi mulai tanggal 16 Februari 2010.[9] Generasi ketiga (3 set)Seiring kebijakan PT KAI untuk memasang AC pada armada KA barunya, pada tahun 2010-2011 telah lahir dua KA ekonomi pertama yang diberi AC yaitu KA Bogowonto dan KA Gajahwong. Selain mengadakan KA ekonomi AC, Kemenhub juga mengadakan unit KRDI generasi ketiga, yang kemudian sudah memasang AC serta menggunakan livery biru. Alokasi KRDI generasi ketiga di Jawa sebanyak 2 unit di Jawa dan 1 unit di Sumatra, antara lain:
Generasi keempat (2 set)Pada generasi keempat ini, wajah KRDI menjadi lebih tegas dengan tambahan dua kaca samping. KRDI ini khusus untuk operasi kereta api Jenggala yang beroperasi di jalur KA Tarik–Sidoarjo. KA ini diluncurkan pada 12 November 2014.[13]
OperasionalMeski KRDI menjadi primadona, bukan berarti karier operasi KRDI ini selalu berjalan mulus. Banyak dari set KRDI ini harus mogok; selain perawatan yang mahal, banyak KRDI ini yang harus keluar-masuk Balai Yasa bahkan dibawa ke PT INKA karena perawatannya yang cukup kompleks. Di samping itu buku petunjuk perawatannya sangat kurang jelas menerangkan hal itu.[14] AC-nisasi kereta juga menjadi salah satu faktor lain yang menyebabkan banyak KRDI non-AC tidak beroperasi. KA Banyubiru pun menjadi korban atas sering mogoknya KRDI serta ditambah dengan minimnya okupansi. KRDI dengan relasi Semarang–Solo pp ini mangkrak total pada 31 Maret 2011 dan akhirnya benar-benar wafat pada saat itu juga.[15][16] Banyubiru pun bisa dihidupkan lagi pada 1 Juni 2023, bertepatan dengan pengoperasian Gapeka 2023, tetapi menggunakan rangkaian kelas eksekutif dan ekonomi.[17] Ada dua KA bernama Arjuna Ekspres (Madiun–Surabaya pp) dan Kelud Ekspres (Blitar–Surabaya pp) yang beroperasi 13 Agustus 2012,[18] kedua-duanya menggunakan C-KRDE eks-Holec, tetapi Arjuna Ekspres dihentikan per 27 November 2012 karena okupansi yang juga minim.[19] Arjuna Ekspres pun bisa dihidupkan kembali menggunakan KRDI non-AC (bekas Madiun Jaya) pada 4 November 2013.[20] Sayangnya, Arjuna Ekspres pada tahapan ini sering mengalami pembatalan operasi seperti pada pertengahan 2014 dan akhir 2015 karena sarana yang sering mogok untuk dijalankan dengan jarak demikian. Dengan banyaknya evaluasi terkait sering mogoknya Arjuna ini, KA tersebut dihentikan operasinya mulai Januari 2016.[21] Begitu selesai diperbaiki, Arjuna Ekspres dimutasi ke Depo Solo Balapan dan dijadikan sebagai rangkaian cadangan KA Prameks. KRDI AC juga tidak luput dari permasalahan ini. Madiun Jaya Ekspres dihentikan operasi per pertengahan Maret 2016 karena sarana yang rusak.[22] Sementara itu, KRDI Cepu Ekspres dan Blora Jaya Ekspres (untuk relasi ke Bojonegoro) dihapus dan digantikan dengan KA Ambarawa Ekspres per 4 Oktober 2016.[23] Kini Blora Jaya Ekspres beroperasi lagi per 5 Juli 2017, tetapi menggunakan rangkaian idle dari Ambarawa Ekspres.[24] KRDI kemudian direncanakan untuk membantu layanan KA Komuter SuPor (sekarang SuPas) dan Komuter SuLam, tetapi akhirnya yang siap operasi hanya satu set (Madiun Jaya) dan satu set lainnya KRDI AC (Cepu Ekspres) kini mangkrak di Balai Yasa Yogyakarta. Di Divre IV, PT KAI sempat menggabungkan dua KRDI menjadi satu sebagai "Seminung + Way Umpu" untuk menyambut musim mudik lebaran 2018.[25] Semasa di Lampung, KRDI ini juga tidak luput dari masalah mogok atau bahkan ditarik lokomotif. KRDI Way Umpu (warna biru) akhirnya dipulangkan ke Jawa, diboyong ke Yogyakarta untuk operasional KA Bandara YIA.[26] Pasca perbaikan, KRDI eks-Way Umpu ini menggunakan livery hijau dengan motif batik. KRDI eks-Arjuna pun tidak luput untuk dipasangi AC, juga dicat dengan skema yang sama. Per 1 Desember 2019, KA Seminung dan Way Umpu resmi dihentikan operasinya setelah PT KAI mengoperasikan KA tersebut dengan rangkaian kelas bisnis.[27] Di Sumatera Utara, jika unit KRDI Sri Lelawangsa mogok, KA ini berubah menjadi KA bisnis yang ditarik lokomotif.[28] Saat ini, satu-satunya KRDI generasi pertama yang tidak dimodifikasi menggunakan AC dioperasikan untuk KA Komuter relasi Sidoarjo - Indro PP. Ketika KRDI ini mengalami perawatan (seperti misalnya perawatan di Balai Yasa Yogyakarta akibat kecelakaan), maka KA ini akan menggunakan rangkaian ekonomi AC (kursi 2-2 saling berhadapan) sebagai rangkaian darurat dengan stamformasi 4 kereta ekonomi dan 1 kereta makan-pembangkit. Referensi
|