Hasil penyidikan kasus tujuh yayasan Soeharto menghasilkan berkas setebal 2.000-an halaman. Berkas ini berisi hasil pemeriksaan 134 saksi fakta dan 9 saksi ahli, berikut ratusan dokumen otentik hasil penyitaan dua tim yang pernah dibentuk Kejaksaan Agung, sejak tahun 1999
Uang negara Rp400 miliar mengalir ke Yayasan Dana Mandiri antara tahun 1996 dan 1998. Asalnya dari pos Dana Reboisasi Departemen Kehutanan dan pos bantuan presiden. Dalam berkas kasus Soeharto, terungkap bahwa Haryono Suyono, yang saat itu Menteri Negara Kependudukan dan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, mengalihkan dana itu untuk yayasan. Ketika itu, dia masih menjadi wakil ketua di Dana Mandiri. Bambang Trihatmodjo, yang menjadi bendahara yayasan ini, bersama Haryono, ternyata mengalirkan lagi dana Rp400 miliar yang telah masuk ke yayasan itu ke dua bank miliknya, Bank Alfa dan Bank Andromeda, pada 1996-1997, dalam bentuk deposito.
Dari data dalam berkas Soeharto, Bob Hasan paling besar merugikan keuangan negara, diduga mencapai Rp 3,3 triliun. Hal ini juga terungkap dari pengakuan Ali Affandi, Sekretaris Yayasan Supersemar, ketika diperiksa sebagai saksi kasus Soeharto. Dia membeberkan, Yayasan Supersemar, Dakab, dan Dharmais memiliki saham di 27 perusahaan Grup Nusamba milik Bob Hasan. Sebagian saham itu masih atas nama Bob Hasan pribadi, bukan yayasan.
Hutomo Mandala Putra, putra bungsu Soeharto bersama bersama Tinton Suprapto, pernah memanfaatkan nama Yayasan Supersemar untuk mendapatkan lahan 144 hektare di Citeureup, Bogor, guna pembangunan Sirkuit Sentul. Sebelumnya, Tommy dan Tinton berusaha menguasai tanah itu lewat Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tetapi gagal. Selain itu, dua anak lainnya yakni Bambang Trihatmodjo juga menguasai lahan ribuan hektare melalui PT Bukit Jonggol Asri dan PT Bimantara di wilayah Jonggol, Bogor seperti di desa Singajaya, Sukamaju, Pabuaran, Selawangi, Sukadamai, Sukarasa dan Sukawangi yang di bebaskan oleh Pemprov Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Bogor. Sementara Putri Bungsu Soeharto, Siti Hutami Endang Adiningsih menguasai lahan sekitar 2000 hektare yang tersebar disekitar Cileungsi seperti Klapanunggal, Setusari, Bojong, serta di Jonggol seperti Singasari, dan Cibodas. Soeharto dituduh oleh sebagian orang seperti FerdinandMarcos, mantan Presiden Filipina dan MobotuSeseSeko, mantan Presiden Zaire. Estimasi jumlah nominal yang dituduhkan dikorupsi oleh Soeharto berkisar di $15 miliar sampai $35 miliar.[1] Namun, hal ini akhirnya digugat oleh Presiden Soeharto dan Majalah Time kalah dan dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp1 Triliun.[2] Meskipun akhirnya ganti rugi ini dibatalkan dalam putusan kasasi di Mahkamah Agung.
Catatan dana Yayasan Supersemar yang diselewengkan
12 Juni2006, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan permohonan praperadilan Soeharto yang diajukan oleh berbagai organisasi. Dalam sidang putusan praperadilan, hakim Andi Samsan Nganro menyatakan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) atas nama terdakwa HM Soeharto tanggal 11 Mei 2006 adalah tidak sah menurut hukum, dan menyatakan tuntutan terhadap HM Soeharto tersebut dibuka dan dilanjutkan walaupun sampai saat ini negara tidak dapat membuktikan dasar-dasar pencabutan SKP3 dengan bukti bukti baru.[5][6]
Garis waktu kasus dugaan korupsi H.M Soeharto
1974
16 Mei1974 Presiden Suharto mendirikan Yayasan Supersemar dengan 11 anggota (Ketua: Soeharto, Wakil Ketua I: Dr. Soedjarwo, Wakil Ketua II: Drs. Moerdiono, Sekretaris: Arjodarmoko, Wakil Sekretaris: Prabowo Subianto, Bendahara: H. Ali Affandi, Wakil Bendahara: Pratikto Singgih, S.E., Anggota: Sudharmono S.H., Ali Said S.H., Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, Prof. Dr. Ir. Toyib Hadiwijaya).[7] Tujuan yayasan bermaksud membantu atau membina siswa dan mahasiswa yang cakap dan berbakat, yang kurang mampu membiayai kelangsungan studinya. Yayasan bertujuan membantu Pemerintah di dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.[8][9]
1976
Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 15/1976 yang menentukan 50 persen dari 5 persen sisa bersih laba bank negara disetor ke Yayasan Supersemar. Bermodal PP ini, Yayasan Supersemar sejak 1976 hingga Soeharto lengser, mendapatkan uang sebesar USD 420 juta dan Rp 185 miliar.[10]
Soeharto mengumumkan kekayaannya melalui Televisi Pendidikan Indonesia (TPI). "Saya tidak punya uang satu sen pun...," kata Soeharto. Dalam wawancara dengan TPI, Soeharto menyatakan tak memiliki kekayaan seperti pernah dilansir media massa.
Tim Konsultan Cendana meminta kepada Presiden Habibie serta Menteri Pertahanan dan Keamanan agar memberikan perhatian ekstra ketat dan melindungi Soeharto dari penghinaan, cercaan, dan hujatan.
Soeharto datang ke Kantor Kejaksaan Agung untuk menyerahkan dua konsep surat kuasa untuk mengusut harta kekayaannya, baik di dalam maupun di luar negeri.
Andi M Ghalib menyatakan, keputusan presiden yang diterbitkan mantan presiden Soeharto, sudah sah secara hukum. Kesalahan terletak pada pelaksanaannya.
22 Oktober 1998 Tim Kejaksaan menemukan indikasi penyimpangan penggunaan dana yayasan yang dikelola Suharto.[8]
28 Oktober 1998: Tim Pusat Intelijen Kejaksaan Agung memeriksa data tanah peternakan Tapos milik Soeharto.
Jaksa Agung juga menemukan rekening atas nama Soeharto di 72 bank di dalam negeri dengan nilai deposito Rp 24 miliar, Rp 23 miliar tersimpan di rekening BCA, dan tanah seluas 400 ribu hektare atas nama Keluarga Cendana.
Soeharto diperiksa Tim Kejaksaan Agung menyangkut dugaan penyalahgunaan dana sejumlah yayasan, program Mobil Nasional (mobnas), kekayaan di luar negeri, perkebunan dan peternakan Tapos.
Soeharto diperiksa oleh Tim 13 Kejaksaan Agung diketuai JAM. Pidsus Antonius Sujata selama 4 jam di Gedung Kejaksaan Tinggi Jakarta. Dengan alasan keamanan Soeharto, tempat pemeriksaan tidak jadi dilakukan di Gedung Kejaksaan Agung.
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan NasionalHasan Basri Durin mengungkapkan, keluarga Cendana atas nama pribadi dan badan hukum atau perusahaan menguasai 204.983 hektare tanah bersertifikat hak guna bangunan (HGB) dan hak milik (HM).
Mantan Wakil Sekretaris Kabinet Bambang Kesowo, seusai dimintai keterangan di Kejaksaan Agung, menyatakan pembuatan Keppres dan Inpres tentang proyek mobil nasional Timor adalah perintah langsung dari mantan presiden Soeharto.
Soeharto melalui tujuh yayasan yang dipimpinnya mengembalikan uang negara sebesar Rp 5,7 triliun.
Jaksa Agung Andi M. Ghalib melaporkan hasil investigasi 15 kedutaan besar RI yang menyimpulkan tidak ditemukan harta kekayaan Soeharto di luar negeri. Laporan dari Belanda menyebutkan ada sebuah masjid di daerah Reswijk, Belanda yang dibangun atas sumbangan Probosutedjo, adik tiri Soeharto. Kastorius Sinaga, anggota Gerakan Masyarakat Peduli Harta Negara (Gempita), meragukan laporan Jaksa Agung itu.
Soeharto menyerahkan surat kuasa kepada Kejagung untuk mencari fakta dan data berkaitan dengan simpanan kekayaan di bank-bank luar negeri (Swiss dan Austria) .
Andi Ghalib dan Menteri KehutananMuladi berangkat ke Swiss untuk menyelidiki dugaan transfer uang sebesar US$ 9 miliar dan melacak harta Soeharto lainnya.
Pemerintah menyatakan tuduhan korupsi Soeharto tak terbukti karena minimnya bukti. Kejagung mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap kasus Soeharto. Aset yang ditemukan diserahkan kepada pemerintah.[8]
Soeharto resmi sebagai tersangka penyalahgunaan dana yayasan sosial yang didirikannya dan dinyatakan sebagai terdakwa berbarengan dengan pelimpahan berkas perkara ke Kejaksaan Tinggi Jakarta.
Soeharto tidak hadir dalam sidang pengadilan pertamanya. Tim Dokter menyatakan Soeharto tidak mungkin mengikuti persidangan dan Hakim Ketua Lalu Mariyun memutuskan memanggil tim dokter pribadi Soeharto dan tim dokter RSCM untuk menjelaskan perihal kesehatan Soeharto.
Soeharto menjalani pemeriksaan di RS Pertamina selama sembilan jam oleh 24 dokter yang diketuai Prof dr M Djakaria. Hasil pemeriksaan menunjukkan, Soeharto sehat secara fisik, namun mengalami berbagai gangguan saraf dan mental sehingga sulit diajak komunikasi. Berdasar hasil tes kesehatan ini, pengacara Soeharto menolak menghadirkan kliennya di persidangan.
Majelis Hakim menetapkan penuntutan perkara pidana HM Soeharto tidak dapat diterima dan sidang dihentikan. Tidak ada jaminan Soeharto dapat dihadapkan ke persidangan karena alasan kesehatan. Majelis juga membebaskan Soeharto dari tahanan kota.
9 Juli 2007, Kejaksaan Agung mendaftarkan gugatan terhadap Soeharto, Pembina Yayasan Supersemar dan Yayasan Supersemar sebagai badan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Pak Harto dan Yayasan dituduh menyalahgunakan uang Yayasan senilai US$420 juta dan Rp. 185 miliar ditambah ganti rugi immateriil RP. 10 triliun.[12]
9 Agustus 2007, sidang perdata kasus Soeharto kembali digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kejagung melakukan gugatan perdata terhadap Soeharto dan Yayasan Supersemar atas dugaan perbuatan melawan hukum. Kejagung menuntut ganti rugi materiil sebesar 420 juta US$ dan Rp 185 miliar serta immateriil sebesar Rp 10 triliun.
30 Agustus 2007, majelis hakim kasasi Mahkamah Agung memenangkan gugatan Soeharto terhadap majalah Time Asia. Pihak Time diharuskan membayar ganti rugi sebesar Rp 1 triliun dan meminta maaf kepada publik.
10 September 2007, Proses mediasi antara kedua belah pihak dinyataan gagal.[12]
24 September 2007, Sidang perdana perkara Supersemar di PN Jaksel. Jaksa pengacara negara resmi menggugat Soeharto (tergugat I) dan Yayasan Supersemar (tergugat II) sebesar US$420 juta, Rp. 185 miliar, dan Rp 10 triliun (ganti rugi immateriil).[12]
27 Maret 2008, PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar bersalah karena menyalahkan dana dengan memberikan pinjaman dan penyertaan modal ke berbagai perusahaan Hakim menetapkan Yayasan harus membayar US$105 juta dan 46 miliar pengacara Yayasan Supersemar Juan Felix Tampubolon langsung menyatakan akan mengajukan banding.[12]
27 Maret2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada RI sebesar USD 105 juta dan Rp 46 miliar. PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum.[10][12]
17 September 2008, Berkas banding diterima panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.[12]
2009
19 Februari2009, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar ganti rugi kepada RI sebesar USD 105 juta dan Rp 46 miliar. PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara memberi pinjaman dan penyertaan modal ke berbagai perusahaan. Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta pada 19 Februari 2009.[10][12]
2010
28 Oktober2010, Vonis ini lalu dikuatkan di tingkat kasasi. Majelis kasasi menghukum Yayasan Supersemar membayar kepada Penggugat 75 persen x USD 420 juta atau sama dengan USD 315 juta dan 75 persen x Rp 185.918.904 = Rp 139.229.178 (sebelumnya tertulis USD 420 ribu, demikian sebagai ralat). Namun ternyata putusan kasasi itu salah ketik, seharusnya tertulis Rp 185 miliar, tetapi tertulis Rp 185.918.904. Duduk dalam majelis kasasi yang diketok pada 28 Oktober 2010 ini yaitu hakim agung Dr Harifin Tumpa dengan anggota Rehngena Purba dan Dirwoto.[8][10]
2013
September2013, Kesalahan ketik ini lalu membuat geger karena putusan tidak dapat dieksekusi. Alhasil, jaksa lalu mengakukan peninjauan kembali pada September 2013. Ternyata, di saat yang bersamaan, Yayasan Supersemar juga ikut melakukan (PK).[10]
2015
8 Juli2015, Wakil Ketua MA bidang Nonyudisial hakim agung Suwardi dengan anggota majelis Soltony Mohdally dan Mahdi Soroinda Nasution memvonis Yayasan Supersemar, diketok pada 8 Juli 2015.[10]
10 Agustus2015, Proses hukum selanjutnya dari MA melansir berita dalam web resminya, "Mengabulkan PK I (Negara Republik Indonesia), menolak PK II (Yayasan Supersemar)." Berdasarkan kurs hari ini, Senin (10/8), maka yayasan harus memberikan ganti rugi ke negara Rp 4.309.200.000.000 plus Rp 139 miliar sehingga totalnya menjadi Rp 4,448 triliun.[10]
Pranala luar
(Inggris) Richburg, Keith B. 1998. "Cashing In on Years in Power". The Washington Post Company: Washington Post Foreign Service, Friday, May 22, 1998; Page A40.
^Tempointeraktif.com (Senin, 31 Mei 2004). "Kronologi Kasus Dugaan Korupsi Soeharto". Tempointeraktif.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2006-01-12. Diakses tanggal Senin, 31 Mei 2004.Periksa nilai tanggal di: |accessdate=, |date= (bantuan)Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penulis (link)