Kebijakan 15 November 1978Kebijakan 15 November 1978 merupakan salah satu kebijakan pemerintah Orde Baru terkait peredaran mata uang asing (valuta asing) di tengah masyarakat.[1] Inti dari kebijakan tersebut adalah mengambangkan secara terkendali kurs rupiah terhadap beberapa mata uang asing dan melepaskan kaitannya dengan Dollar Amerika Serikat sejak hari Kamis, 16 November 1978.[2] Tujuan utama dari kebijakan ini supaya meningkatkan daya saing produk Indonesia di luar negeri melalui perubahan sistem dari nilai tukar tetap (bretton woods) menjadi nilai tukar mengambang (floating).[3][4][5][6] Tujuan lain dari kebijakan ini untuk lebih meningkatkan ketahanan ekonomi Indonesia memasuki Pelita III dan juga ditegaskan bahwa kebijaksanaan lalu lintas devisa tidak berubah. Pemasukan devisa dan pengeluaran devisa dari dan ke Indonesia adalah sepenuhnya bebas. Dengan kebijaksanaan ini diharapkan dapat lebih mendorong lagi kegiatan produksi dan kesempatan kerja. Oleh sebab itu, pemasukan bahan baku dari luar negeri diberikan keringanan bea masuk.[2] Latar BelakangSebelum 15 November 1978Nilai tukar valuta asing Indonesia sebelumnya menggunakan Sistem Nilai Tukar Tetap (bretton woods system). Sistem ini didasarkan bahwa kestabilan mata uang didasarkan pada stabilnya cadangan dolar dan emas yang dimiliki oleh negara. Indonesia menganut sistem ini karena merupakan salah satu anggota Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia dimana kedua lembaga tersebut mengadakan pertemuan di Bretton Woods, New Hampshire yang menghasilkan produk sistem nilai tukar valuta asing tetap.[3] Kelemahan dari sistem ini adalah cadangan devisa harus besar agar tetap dapat selalu intervensi untuk menyerap kelebihan dan kekurangan di pasar valas, kurang fleksibel terhadap perubahan global[7] (terutama terhadap fluktuasi harga minyak bumi sebagai sumber devisa utama saat itu), penetapan kurs yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan mempengaruhi pasar ekspor impor negara bersangkutan.[8] Setelah 15 November 1978Meskipun Indonesia memiliki cadangan devisa yang kuat, pemerintah (Departemen Keuangan) kemudian menganggap bahwa devaluasi merupakan langkah yang baik untuk masa depan ekonomi. Hal ini disebabkan pada saat itu pemerintah takut Indonesia mengidap "Penyakit Belanda", yaitu suatu penyakit ekonomi ketika harga minyak dan gas alam sebagai sumber devisa dalam kondisi sehat baik secara cadangan terbukti dan neraca pembayaran tetapi komoditas di luar minyak dan gas alam terperangkap oleh jebakan harga baik dari biaya maupun pemasaran produk. Sebagai catatan, di akhir dekade 1970-an, harga minyak dan gas alam mengalami peningkatan sebagai efek dari krisis minyak 1973 dan krisis energi 1979. Selain itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar dilihat terlalu tinggi (overvalued) sehingga dapat mengancam pemasaran produk Indonesia di luar negeri.[3][7] Menurut pemerintah, sasaran utama kebijakan tersebut adalah untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia, baik di pasaran dalam negeri maupun di pasaran internasional. Khususnya, kebiakan tersebut ditujukan untuk lebih meningkatkan kemampuan bersaing barang-barang produksi dalam negeri terhadap barang-barang impor, serta untuk lebih meningkatkan kemampuan bersaing barang-barang ekspor Indonesia terhadap barang-barang yang serupa di pasar luar negeri. Peningkatan daya saing barang-barang Indonesia di dalam negeri maupun di pasaran dunia merupakan dorongan yang kuat untuk meningkatkan produksi di dalam negeri sehingga akan lebih mendorong penanaman modal, lebih memperluas lagi lapangan kerja, dan mendorong pemerataan pendapatan. Sehingga, rangkaian langkah-langkah kebijaksanaan ekonomi tersebut diharapkan akan membuka kesempatan yang lebih luas bagi pelaksanaan jalur-jalur pemerataan dalam pembangunan nasional.[1] Kebijakan makro ini sendiri diambil oleh salah satu tokoh Mafia Berkeley, Widjojo Nitisastro yang kala itu menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Perekonomian serta Kepala Bappenas.[4][7] Akibat dari kebijakan ini, nilai 1 US$ yang sebelumnya Rp. 415,00 menjadi Rp. 615,00.[9][10] Sistem Kurs Mengambang Terkendali di Indonesia ditetapkan bersamaan dengan kebijakan devaluasi Rupiah sebesar 33%. Pada sistem ini, nilai tukar Rupiah diambangkan terhadap sekeranjang mata uang (basket currencies) negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Bank Indonesia menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan rentang atau spread tertentu. Maksud dari sistem nilai tukar tersebut adalah bahwa meskipun diarahkan ke sistem nilai tukar mengambang namun tetap masih ada unsur pengendalian.[8] Kebijakan ini dirasa janggal dikarenakan pada saat itu Pemerintah Indonesia memiliki cadangan dollar yang melimpah sebagai dampak dari naiknya harga minyak akibat efek embargo minyak pada tahun 1973 yang dilakukan negara-negara Arab yang mendominasi OPEC.[11] Akan tetapi, kebijakan devaluasi ini tetap dilakukan untuk mendorong kemampuan produksi komoditas non-migas dan mendorong daya saing produk Indonesia di luar negeri. Selain itu, dalih kebijakan ini dilakukan adalah demi melindungi kondisi ekonomi pedesaan dari efek fluktuasi harga minyak bumi.[7][12] Dampak langsungSalah satu dampak langsung dari kebijakan ini adalah naiknya barang-barang impor yang masuk ke Indonesia sebagai akibat dari pembayaran barang-barang impor yang masuk harus melalui dollar dan pembayaran dilakukan setelah kebijakan tersebut diterapkan.[13] Selain itu, pendapatan atau gaji penduduk mengalami penurunan sehingga tidak mampu menandingi kenaikan harga barang sebagai dampak dari kebijakan ini.[14] Salah satu korban dari kebijakan ini adalah perusahaan milik Nasroel Chas, PT. Takarin. Pada saat itu, perusahaan kontraktornya sedang mengerjakan proyek Gedung Ratu Plaza sebagai pihak sub-kontraktor. Akibat dari kebijakan ini, perusahaannya harus membayar barang-barang dengan harga yang lebih mahal dengan nilai proyek yang tidak berubah (tetap). Pasca kebijakanPada akhirnya, pemerintah meninggalkan sistem nilai tukar mengambang terkendali menjadi sistem nilai tukar mengambang bebas. Indonesia mulai menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas pada periode 1997 hingga sekarang.[8] Hal ini didasarkan pada kelemahan sistem nilai tukar mengambang terkendali yaitu devisa tetap harus selalu tersedia dan siap digunakan sewaktu-waktu (mengingat sumber devisa selain dari emas dan dolar adalah dari minyak bumi yang bersifat fluktuatif), ada persaingan yang ketat antara pemerintah dan spekulan dalam memprediksi dan menetapkan kurs (hal ini terbukti ketika Krisis Ekonomi Asia 1997), dan tidak selamanya mampu mengatasi neraca pembayaran atau perdagangan.[8] Referensi
|