Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan
Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK)/ Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) merupakan salah satu kebijakan pemerintah Orde Baru di bawah Menteri Pendidikan saat itu, Daoed Joesoef. Tujuan dari kebijakan ini adalah untuk mengembalikan marwah akademik di kalangan mahasiswa yang saat itu banyak dikuasai kepentingan politik terutama organisasi ekstrauniversiter yang tergabung di dalam Kelompok Cipayung.
Latar belakang sejarah dari kebijakan ini adalah ketika gerakan mahasiswa di Jakarta yang dipimpin oleh Hariman Siregar menentang kebijakan liberal Soeharto dalam bidang ekonomi. Hariman yang afiliasi politiknya dekat dengan Jenderal Soemitro melakukan demonstrasi besar-besaran untuk menolak kedatangan Perdana Menteri Tanaka dari Jepang.
Peristiwa Malari
Pada saat itu Tanaka dan Presiden Soeharto bertemu untuk membahas penanaman modal asing dan ekspansi kapitalismeglobal ke Indonesia. Mahasiswa yang tidak sepakat dengan Presiden Soeharto kemudian menuntut agar presiden menolak menandatangani kesepakatan atau presiden akan dituntut untuk mundur dari jabatannya apabila ia tak mengindahkan aspirasi mahasiswa. Akan tetapi, presiden pada saat itu tak mengindahkan tuntutan mahasiswa dan kemudian terjadilah kerusuhan besar-besaran di Jakarta yang dilakukan oleh Dewan Mahasiswa se-Jakarta pada tanggal 15 Januari tahun 1974. Hal ini kemudian memicu amarah Soeharto sehingga aparat militer diperintahkan dengan cepat oleh Soeharto untuk menumpas gerakan mahasiswa. Akibat dari penumpasan ini puluhan mahasiswa meninggal dan banyak yang dilarikan ke rumah sakit. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama Malari (Malapetaka Lima Belas Januari 1974).
SK terkait NKK/BKK
Sesudah peristiwa ini, Soeharto menganggap bahwa gerakan mahasiswa sangat berbahaya untuk pembangunan ekonomi nasional termasuk dunia industri di Indonesia. Ia berpendapat bahwa dalam situasi pembangunan ekonomi seperti ini, kegaduhan politik harus segera ditumpas. Setelah peristiwa Malari, Presiden Soeharto melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef menindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Nomor 0156/U/1978 yang isinya tentang Normalisasi Kehidupan kampus (NKK). Kemudian organisasi mahasiswa intra kampus ditata ulang dan diredefenisi dalam bingkai paradigma politik Orde Baru. Setahun kemudian, Menteri Daoed Joesoef kembali mengeluarkan Surat Keputusan No.037/U/1979 yang isinya mengatur bentuk dan susunan organisasi kemahasiswaan yang bertujuan untuk mengontrol kegiatan mahasiswa dari kegiatan politik dan penyatuan keorganisasian mahasiswa dengan kampus melalui rektor dan dekan terkait sehingga mahasiswa tidak lagi bebas berdiskusi dan mengeluarkan kebebasan berfikirnya karena rektor dan dekan telah mengontrol organisasi mahasiswa yang ikut serta di dalam pengalaman politik nasional. Akibat keputusan tersebut, organisasi mahasiswa mengalami pendomestikan politik serta pengebirian politik dalam proses demokrasi kampus.
Efek NKK/BKK
Akibat dari kebijakan ini, intelektualitas kampus yang menekankan ciri objektif dan kebenaran ilmiah semakin berubah karena kampus berubah menjadi lembaga yang bersifat birokratis dan hirarkis. Ciri argumentatif dan kebebasan berfikir secara dialogis mulai ditinggalkan dan kemudian lebih menggunakan kekuasaan dalam membuat keputusan maupun kebijakan sehingga cara berfikir ilmiah dalam membuat kebijakan mulai dikurangi karena kekuasaan birokrasi dan keputusannya bersifat mutlak. Wewenang dan otoritas birokrasi fungsinya adalah mempercepat urusan administratif, akan tetapi birokrasi terkadang menjadi masalah bagi suatu komunitas keilmuan apabila terlalu kaku dan statis dalam menjalankan tugas maupun kebijakan, dalam hal ini birokrasi malah menjadi penjara besi bagi manusia yang ada di dalamnya.
Pertentangan terhadap kebijakan NKK/BKK terjadi di beberapa daerah terutama di kampus-kampus negeri seperti UI, ITB, ITS, UGM.[9][10] Pertentangan paling keras terjadi di kampus ITB.[11] Pertentangan di Kampus ITB terjadi selain menentang NKK/BKK juga dipicu oleh penolakan pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden untuk periode yang ketiga kali yang dipimpin oleh Al Hilal Hamdi dan Ramles Manampang.[12]
Pada 9 Februari 1978, tentara mulai masuk dan menyerbu kampus ITB yang saat itu dikuasai oleh mahasiswa yang dipimpin oleh Heri Akhmadi, Rizal Ramli, dan Sukmadji Indro Tjahjono. Dukungan terutama datang dari rektor ITB saat itu, Iskandar Alisjahbana.[13]
Akibat dari penyerbuan ini, beberapa mahasiswa ditahan. Pembelaan dari mahasiswa ITB tersebut dituangkan ke dalam sebuah buku yang berjudul Buku Putih Perjuangan Mahasiswa ITB 1978.[14]