Gottlob Brückner (19 Juli1783-1857) adalah penerjemah Alkitab ke dalam bahasa Jawa yang pertama. Ia dilahirkan di keluarga seorang petani yang memiliki enam anak di desa Linda, daerah Saksen, Jerman. Ia menuntut ilmu di sekolah-sekolah zending di Jerman (Jaenicke di Berlin) dan Belanda. Tetapi karena keadaan perang di Eropa pada zaman Napoleon itu, ia tidak diizinkan pergi ke mana-mana.
Tepat pada tanggal 1 Januari1814 akhirnya ia berangkat bersama dengan John Supper dan Joseph Kam setelah ia menempuh pendidikan di Inggris. Tiga orang utusan London Missionary Society itu sampai di Batavia pada tanggal 26 Mei dan diterima oleh Raffles.[1] Dengan kedatangan ketiga orang tersebut, Raffles juga membentuk Lembaga Alkitab Jawa dan ia dipilih menjadi ketuanya. Bruckner kemudian menjadi pendeta di Semarang hingga ia meninggal sementara Supper tinggal di Batavia dan Kam menjadi utusan misi untuk Maluku. Mula-mula Bruckner menjadi utusan NZG yang bertugas di Gereja Blenduk Semarang,[2] tetapi setahun kemudian pada 1816 berhenti karena tidak menyetujui praktik Gereja yang sangat lalai dalam segala usahanya, misalnya dalam hal pembaptisan. Ia pun menerima dukungan dari Perhimpunan Pekabaran Indjil Baptis (Baptist Missionary Society) dari Inggris selama beberapa tahun. Ia tidak membaptis satu orang pun.
Keluarga
Pada bulan Desember 1814, Bruckner menikah dengan putri seorang misionaris Belanda di Semarang. Mereka dikaruniai delapan orang anak namun empat di antaranya meninggal. Ketika Bruckner pergi untuk mencetak Alkitab di Serampore, India, ia membawa serta kedua anak lelakinya dan meninggalkan di Jawa istri dan kedua putrinya. Di Serampore putra sulungnya yang berusia tiga belas tahun meninggal karena sakit.
Pada tahun 1815 ia juga menyempatkan diri mengunjungi Surakarta dan Yogyakarta.
Karya
Selama tinggal di Semarang ia berhasil menterjemahkan Perjanjian Baru ke dalam bahasa Jawa (1829). Terjemahan tersebut merupakan terjemahan yang paling awal dalam sejarah terjemahan Alkitab ke dalam bahasa daerah di Nusantara.[3] Bruckner harus mencetak Alkitab bahasa Jawa tersebut di Serampore, India karena pada saat itu belum ada percetakan di Jawa. Di sana Bruckner bekerjasama dengan percetakan Baptist Missionary Society juga membuat cetakan aksara Jawa dan tata bahasa bahasa Jawa untuk pertama kalinya, yang dibawanya kembali ke Jawa.[4]
Terjemahannya diperiksa oleh Raden Saleh, seorang pelukis yang tinggal di Den Haag, yang menyatakan bahwa terjemahan Bruckner dapat dimengerti, tetapi masih ada beberapa kesalahan, tata bahasanya terlalu Eropa, dan dialek yang digunakan adalah dialek pesisir utara Jawa.[5] Bruckner membawa lebih dari dua ribu eksemplar Alkitab bahasa Jawa, dua puluh ribu traktat-traktat, kertas cetak, dan cetakan aksara Jawa. Ia menyerahkan Alkitab-Alkitab tersebut ke Lembaga Alkitab Batavia, tetapi Alkitab-Alkitab tersebut disita dan dilarang untuk diedarkan oleh pemerintah karena pemerintah baru saja memadamkan pemberontakan Diponegoro, tetapi ada salinan yang sampai ke dalam tangan orang Jawa Timur dan Bruckner juga telah berhasil membagikan tujuh ribu traktat dalam lima hari sebelum polisi menyita sisanya.[6] Baru pada tahun 1953 traktat-traktat tersebut dikembalikan. Karena Bruckner memiliki kertas cetak dan cetakan aksara Jawa, maka ia mencetak traktat-traktat baru hingga kertasnya habis,
Brückner memang tidak berhasil mendirikan sebuah jemaat pun di Jawa, tetapi karya dan pekerjaannya telah menjadi basis bagi bergenerasi-generasi misionaris yang selanjutnya, termasuk Gericke, Jansz, dan lain-lain. Beberapa orang Kristen dari Jawa Timur mengadakan perjalanan sampai ke daerah Gunung Muria (Jepara) dan di situ berdirilah jemaat-jemaat kristen di Kayu-Api dan lain-lain tempat, tanpa perantaraan seorang Eropa, tetapi sebagai hasil tidak langsung dari karya terjemahan Brückner. Terjemahan Alkitab Bruckner kemudian disempurnakan oleh J.F.C. Gericke.
Selain menerjemahkan Alkitab, Bruckner juga membuat Kamus Belanda-Jawa yang pertama, yang digunakannya untuk membantu dalam proyek penerjemahan Alkitabnya.
Kematian
Kruger dalam bukunya, Sejarah Gereja di Indonesia, menyebut bahwa Brückner meninggal tahun 1849 di Salatiga, sedangkan van den End dalam Ragi Carita 1[7] menuliskan bahwa ia meninggal di Semarang pada tahun 1857.