Gaharu

Gaharu, siap dijual.

Gaharu adalah kayu berwarna kehitaman dan mengandung resin khas yang dihasilkan oleh sejumlah spesies pohon dari marga/genus Aquilaria, terutama A. malaccensis. Resin ini digunakan dalam industri wangi-wangian (parfum dan setanggi) karena berbau harum. Gaharu sejak awal era modern (2000 tahun yang lalu) telah menjadi komoditas perdagangan dari Kepulauan Nusantara ke India, Persia, Jazirah Arab, serta Afrika Timur.

Berdasarkan studi dari Ng et al. (1997),[1] diketahui jenis-jenis berikut ini menghasilkan resin gaharu apabila terinfeksi oleh kapang gaharu:

Spesies-spesies gaharu di atas akan menghasilkan resin wangi berwarna hitam apabila terinfeksi oleh jamur Fusarium, Pythium, Trichoderma, Popullaria.

Proses pembentukan

Gaharu dihasilkan oleh tanaman sebagai respons dari mikrob yang masuk ke dalam jaringan yang terluka.[2] Luka pada tanaman berkayu dapat disebabkan secara alami karena adanya cabang dahan yang patah atau kulit terkelupas, maupun secara sengaja dengan pengeboran dan penggergajian.[2] Masuknya mikrob ke dalam jaringan tanaman dianggap sebagai benda asing sehingga sel tanaman akan menghasilkan suatu senyawa fitoaleksin yang berfungsi sebagai pertahanan terhadap penyakit atau patogen.[3] Senyawa fitoaleksin tersebut dapat berupa resin berwarna cokelat dan beraroma harum, serta menumpuk pada pembuluh xilem dan floem untuk mencegah meluasnya luka ke jaringan lain.[3] Namun, apabila mikrob yang menginfeksi tanaman dapat mengalahkan sistem pertahanan tanaman maka gaharu tidak terbentuk dan bagian tanaman yang luka dapat membusuk. Ciri-ciri bagian tanaman yang telah menghasilkan gaharu adalah kulit batang menjadi lunak, tajuk tanaman menguning dan rontok, serta terjadi pembengkakan, pelekukan, atau penebalan pada batang dan cabang tanaman.[4] Senyawa gaharu dapat menghasilkan aroma yang harum karena mengandung senyawa guia dienal, selina-dienone, dan selina dienol.[4] Untuk kepentingan komersial, masyarakat mengebor batang tanaman penghasil gaharu dan memasukkan inokulum cendawan ke dalamnya. Setiap spesies pohon penghasil gaharu memiliki mikrob spesifik untuk menginduksi penghasilan gaharu dalam jumlah yang besar. Beberapa contoh cendawan yang dapat digunakan sebagai inokulum adalah Acremonium sp., Cylindrocarpon sp., Fusarium nivale, Fusarium solani, Fusarium fusariodes, Fusarium roseum, Fusarium lateritium dan Chepalosporium sp.

Nilai ekonomi

Gaharu banyak diperdagangan dengan harga jual yang sangat tinggi terutama untuk gaharu dari tanaman famili Themeleaceae dengan jenis Aquilaria spp. yang dalam dunia perdangangan disebut sebagai gaharu beringin.[5] Untuk jenis gaharu dengan nilai jual yang relatif rendah, biasanya disebut sebagai gaharu buaya.[5] Selain ditentukan dari jenis tanaman penghasilnya, kualitas gaharu juga ditentukan oleh banyaknya kandungan resin dalam jaringan kayunya.[5] Makin tinggi kandungan resin di dalamnya maka harga gaharu tersebut akan makin mahal dan begitu pula sebaliknya.[5] Secara umum perdagangan gaharu digolongkan menjadi tiga kelas besar, yaitu gubal, kemedangan, dan abu.[6] Gubal merupakan kayu berwarna hitam atau hitam kecokelatan dan diperoleh dari bagian pohon penghasil gaharu yang memiliki kandungan damar wangi beraroma kuat.[6] Kemedangan adalah kayu gaharu dengan kandungan damar wangi dan aroma yang lemah serta memiliki penampakan fisik berwarna kecokelatan sampai abu-abu, memiliki serat kasar, dan kayu lunak.[6] Kelas terakhir adalah abu gaharu yang merupakan serbuk kayu hasil pengerokan atau sisa penghancuran kayu gaharu.[6]

Agronomi dan pertumbuhannya di Indonesia

Aquilaria sp. dapat tumbuh baik pada ketinggian 300–750 mdpl, suhu antara 20–33 °C, kelembapan berkisar 77–85%, intensitas cahaya antara 56–75%, serta keadaan tanah subur, sarang, dan drainase baik. Kuantitas pertumbuhan gaharu di suatu posisi geografis tanam juga dipengaruhi oleh faktor tanah. Misalnya, untuk spesies yang sama dan tumbuh di kondisi lingkungan sama, yaitu A. crassna dan A. microcarpa yang tumbuh di Hutan Penelitian Dramaga dan Kampung Tugu Sukabumi tumbuh lebih baik dibandingkan yang tumbuh di Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Carita disebabkan tanah di KHDTK telah mengalami pelapukan lanjut.[7]

Penanaman gaharu meliputi pengadaan benih, pengadaan bibit, penanaman, pemeliharaan, penularan (infeksi, pembentukan gaharu), serta panen dan produksi. Dilakukan penaburan biji untuk memperoleh bibit. Benih yang bagus berukuran 3–5 cm. Bibit yang mulai ditanam setidaknya memiliki 4–5 helai daun. Penanaman dilakukan pada kondisi tanah dan lingkungan yang sesuai dengan kondisi tanam. Jarak tanam gaharu yang bagus adalah 3 × 3 m. Selama pertumbuhan, dilakukan pemeliharaan dengan penyiangan rumput, penyiangan, pemupukan, serta pemberantasan hama. Infeksi fungi dilakukan pada gaharu untuk menghasilkan resin. Infeksi dilakukan pada gaharu yang berumur 6 tahun. Gaharu dapat dipanen ketika produksi resin sudah optimal, minimum 1 tahun setelah infeksi.[8]

Selain di Jawa, gaharu tumbuh banyak di Kalimantan, Sumatra, Nusa Tenggara, dan pulau lainnya. Mempertimbangkan terdapat banyaknya daerah yang ditemukan gaharu, peluang dan potensi pengolahan gaharu di tiap daerah sangat besar.

Konservasi

Pada tahun 1994, konvensi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) di Amerika Serikat menetapkan bahwa pohon gaharu spesies A. malaccensis masuk ke dalam Appendix II, yaitu tanaman yang dibatasi perdagangannya.[9] Penetapan tersebut disebabkan populasi tanaman penghasil gaharu makin menyusut di alam yang disebabkan para pengusaha gaharu tidak dapat mengenali dengan tepat mana tanaman yang sudah mengandung gaharu dan siap dipanen.[10] Untuk mencari pohon penghasil gaharu, para pengusaha menebang puluhan pohon yang salah (tidak menghasilkan gaharu) sehingga jumlah pohon tersebut sangat berkurang.[10] Pada tahun 2004, Indonesia mengajukan agar semua penghasil gaharu alam yaitu genus Aquilaria dan Gyrinops dimasukkan ke dalam daftar Appendix 2 untuk membatasi perdagangannya sehingga perdagangan gaharu harus memiliki izin dari CITES dan dalam kuota tertentu.[11] Hal ini dilakukan untuk memastikan spesies pohon gaharu alam dapat berkembang dan tersebar dengan baik.[10]

Produk gaharu dan baku mutu produk

Produk utama dari gaharu adalah kayu yang telah ditebang dalam bentuk potongan besar, potongan kecil, serta bubuk gaharu. Potongan-potongan ini siap digunakan untuk dibakar. Potongan-potongan kayu gaharu memiliki perbedaan yang didasarkan pada beberapa karakter.

Setiap negara memiliki standar baku mutu tersendiri untuk gaharu. Malaysia mengklasifikasikan gaharu menjadi grade super king, triple super, double super, super, A (A1–A10), AB, B (B1–B10), C, dan D berdasarkan resin yang ada di permukaan, warna resin, dan bentuk kayu. Sementara berdasarkan kandungan resinnya diklasifikasikan menjadi grade A (≥ 30% resin), B (20–29,99% resin), C (9–19,99% resin), dan D (< 9% resin). Di Cina, berdasarkan persentase penutupan resin gaharu diklasifikasikan menjadi grade 1 (100%), 2 (>70%), 3 (>50%), dan 4 (>20%). Di Papua Nugini, gaharu diklasifikasikan menjadi grade A, B, C, D, dan E (A merupakan gaharu dengan kualitas terbaik). Di Vietnam, ada gaharu dengan kualitas Kỳ nam, Trầm, Tốc (Kỳ nam merupakan gaharu dengan kualitas terbaik).[12]

Standar Nasional Indonesia (SNI) menerapkan rancangan baku mutu gaharu berdasarkan warna, berat, dan aroma. Gaharu dikelompokkan menjadi beberapa tingkatan, antara lain gubal gaharu, kemendangan, dan serbuk gaharu. Oleh karena rancangan tersebut terlalu subjektif, peneliti Puslitbang Hasil Hutan, Badan Litbang dan Inovasi (BLI) membuat rancangan baku mutu yang lebih objektif. Berdasarkan SNI 7631:2011, ada beberapa parameter kuantitatif untuk menilai baku mutu gaharu, yaitu kadar air, kadar resin, dan komponen kimia. Kadar air keseimbangan (KAK) kayu di Indonesia berkisar antara 10–19%; kadar resin yang makin tinggi makin meningkatkan kualitas; serta kaya komponen kimia yang menyebabkan aroma wangi seperti sesquiterpen dan turunan khromon.[13] Rancangan revisi mutu gaharu ditampilkan pada tabel berikut:

No. Mutu Warna Bobot (di air) Aroma (dibakar) Kadar resin (%) Komposisi kimia
1 Gubal gaharu Hitam Tenggelam Wangi lembut >50 Harus memiliki senyawa sesquiterpena dan senyawa kromon
2 Sabah Cokelat kehitaman Melayang Wangi 30-49 Harus memiliki senyawa sesquiterpena dan senyawa kromon
3 Tanggung Cokelat bergaris hitam Terapung Wangi 20-29 Memiliki 2 senyawa sesquiterpena atau lebih
4 Kemendangan Putih kecokelatan Terapung Agak wangi <20 Memiliki 1 senyawa sesquiterpen

Berdasarkan bentuknya, gaharu di Indonesia diklasifikasikan menjadi tipe Gubal, Kemendangan, dan bubuk gaharu. Gubal memiliki kadar resin yang tinggi, berwarna hitam atau cokelat kehitaman, memiliki aroma kuat. Kemendangan mengandung lebih sedikit resin, berwarna abu-abu atau cokelat, serta serat yang kasar. Bubuk gaharu merupakan gaharu dalam bentuk bubuk yang diproses dari lempengan kayu.[12]

Produk sekunder dari gaharu bermacam-macam. Di Timur Tengah maupun di Asia Timur gaharu digunakan sebagai dupa dalam acara ritual (dari produk utama, kayu). Di negara dengan penduduk mayoritas Islam, seperti Arab dan Indonesia, gaharu banyak dimanfaatkan untuk kecantikan, seperti parfum, aroma terapi, peralatan mandi, dan lainnya. Di Jepang dan Cina, gaharu dimanfaatkan untuk kesehatan dan obat tradisional. Selain itu gaharu dimanfaatkan sebagai bahan baku gelang atau patung bagi pemeluk Hindu dan Budha.[butuh rujukan]

Di pasar Indonesia, tipe gubal dibagi lagi menjadi grade douple super, supar A, super B, super middle A; Kemendangan dibagi lagi menjadi grade Sabah, Kemendang A, Tanggung C, Kemendangan hijau, Kemenganan putih; serta bubuk gaharu dibagi menjadi bubuk gubal dan bubuk kemendangan.[12]

Sama dengan produk utama, standar baku mutu gaharu untuk produk sekunder di tiap negara pun berbeda. Berdasarkan produk akhir, gaharu di Malaysia diklasifikasikan menjadi kategori aroma, blok, klasik, debu, kayu yang dapat diekstrak, dan wewangian. Lempengan kayu atau blok-blok yang mengandung wewangian untuk dibakar secara langsung dikategorikan dalam aroma dari grade super, A, dan B. Kategori blok adalah produk akhir berupa patung, manik-manik, dan gelang. Kategori klasik dari grade klasik merupakan gaharu dengan produk akhir blok-blok kayu sebagai produk estetika. Kategori debu (dust) ada gaharu dengan produk akhir debu dan debris sisa ekstraksi minyak yang masih memiliki aroma harum. Kategori kayu yang dapat diekstrak dari grade C merupakan gaharu dengan produk akhir blok-blok kayu berbagai ukuran, rendah kandungan aroma, serta cocok untuk distilasi minyak. Kategori wewangian dari grade A1, A, dan B merupakan gaharu dengan ciri produk akhir resin menutup sebagian sisi kayu, serta memiliki kadar aroma yang rendah hingga sedang.[12]

Untuk produk berupa minyak esens, ada beberapa klasifikasi yang diterapkan di pasar Vietnam dan Papua Nugini. Secara umum, minyak esens gaharu diklasifikasikan menjadi grade A+ (kemurnian minyak 100%), A (kemurnian minyak 95–99%), dan B (kemurnian minyak <95%).[12]

Pengolahan minyak gaharu

Sebelum dijadikan bahan baku parfum, gaharu harus diolah terlebih dahulu untuk mendapatkan minyak dan senyawa aromatik yang terkandung di dalamnya.[14] Sebagian kayu gaharu dapat dijual ke ahli penyulingan minyak yang biasanya menggunakan teknik distilasi uap atau air untuk mengekstraksi minyak dari kayu tersebut.[14] Untuk mendapatkan minyak gaharu dengan distilasi air, kayu gaharu direndam dalam air kemudian dipindahkan ke dalam suatu tempat untuk menguapkan air hingga minyak yang terkandung keluar ke permukaan wadah dan senyawa aromatik yang menguap dapat dikumpulkan secara terpisah.[14] Teknik distilasi uap menggunakan potongan gaharu yang dimasukkan ke dalam peralatan distilasi uap.[14] Tenaga uap yang menyebabkan sel tanaman dapat terbuka dan minyak dan senyawa aromatik untuk parfum dapat keluar.[14] Uap air akan membawa senyawa aromatik tersebut kemudian melalui tempat pendinginan yang membuatnya terkondensasi kembali menjadi cairan.[14] Cairan yang berisi campuran air dan minyak akan dipisahkan hingga terbentuk lapisan minyak di bagian atas dan air di bawah.[14] Salah satu metode digunakan saat ini adalah ekstraksi dengan superkritikal CO2, yaitu CO2 cair yang terbentuk karena tekanan tinggi.[14] CO2 cair berfungsi sebagai pelarut aromatik yang digunakan untuk ekstraksi minyak gaharu.[14] Metode ini menguntungkan karena tidak terdapat residu yang tersisa, CO2 dapat dengan mudah diuapkan saat berbentuk gas pada suhu dan tekanan normal.[14]

Metabolit

Nguyen dan lainnya (2017) telah melakukan pendekatan secara metabolomik serta molekuler terkait metabolit pada gaharu spesies Aquilaria crassna dan Aquilaria malaccesis. Pada penelitian tersebut dilakukan studi metabolomik dengan NMR (Nuclear Magnetic Resonance) dan GC-MS (Gas Chromatography – Mass Spectrometry) serta teknik molekuler berbasis DNA. Hasil yang ditargetkan dari penelitian tersebut adalah metabolit primer, metabolit sekunder, serta DNA marker terkait metabolisme.[15]

Sen dan lainnya (2017) melakukan profiling metabolit gaharu yang ada di India menggunakan GC-MS dari sampel minyak gaharu kayu yang difermentasi dan yang tidak difermentasi. Hasil menunjukkan perbedaan, tiga senyawa aroma yaitu 11S-himachala-3(12), 4-diene, agarospirol dan i-propyl 12-methyltetradecanoate terbentuk selama fermentasi.

Dalam penelitian lain, Sen dan lainnya (2017) melakukan studi omics komprehensif terkait gaharu dari spesies A. malaccensis dan interaksinya dengan fungi penginfeksi, Fusarium sp. Dari studi metabolomik menggunakan GC-MS ditemukan 51, 42, dan 54 senyawa unik yang ada di fungi, kalus dan interaksi fungi-gaharu. Dari 54 senyawa yang terkait dengan interaksi, 36 di antaranya merupakan senyawa minyak esensial dan senyawa aroma dari tanaman dan fungi, 11 di antaranya merupakan senyawa wangi dari gaharu. Metabolit yang terdeteksi didominasi oleh alkana dan alkena (17), diikuti oleh ester (12), asam termasuk asam lemak (6), alkohol (4), aldehid dan keton (5), asetat (3), terpen (2) dan senyawa aroma volatil lainnya (5). Gaharu yang berinteraksi dengan Fusarium mengandung senyawa asam palmitat yang melimpah. Akumulasi senyawa aroma kunci seperti pentatriakontana, 17-pentatriakontena, tetradekana, 2-metil berhubungan dengan biosintesis atau produksi senyawa aroma. Dengan mempelajari prekursor dan jalur biosintesis senyawa aroma seperti terpenoid dan sesquiterpen, dapat diungkap kandungan senyawa yang mungkin muncul di pohon gaharu.[16][17]

Terkait dengan penelitian Sen dan lainnya (2015), profiling metabolit aroma pada gaharu dapat menunjukkan kualitas gaharu (atau produk akhir gaharu). Semakin kaya akan senyawa aroma, semakin berkualitas produk gaharu tersebut. Berdasarkan penelitian Sen dan lainnya (2017), terdeteksi senyawa yang berasosiasi dengan interaksi gaharu-fungi. Infeksi fungi merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan produksi resin oleh gaharu. Gaharu sehat tidak menghasilkan resin sehingga kayunya kurang bernilai. Dengan mendeteksi terdapat atau tidaknya serta kelimpahan senyawa yang terkait dengan interaksi gaharu-fungi serta senyawa-senyawa prekursor, dapat ditentukan kualitas gaharu yang cocok untuk diekstrak menjadi minyak esensial. Semakin melimpah senyawa aroma, senyawa prekursor aroma, atau senyawa yang menggambarkan asosiasi gaharu-fungi penginfeksi, potensi nilai jual gaharu untuk dijadikan wewangian semakin meningkat. Selain itu, diperlukan kajian metabolomik lebih lanjut untuk mendeteksi senyawa-senyawa yang belum pernah terdeteksi supaya penentuan kualitas gaharu melalui metabolomik lebih komprehensif.[16][17]

Analisis grade gaharu telah dilakukan oleh Ismail dan lainnya menggunakan pendekatan metabolomik berbasis NMR (Nuclear Magnetic Resonance) serta model PLS-DA (partial least squares-discriminant analysis) dan random forests classification. Analisis grade ini didasarkan pada konstituen kimia sampel kayu. Gaharu 'kelas tinggi' ditandai dengan tingginya kandungan senyawa kusunol, jinkohol, dan 10-epi-γ-eudesmol; 'kelas menengah' gaharu didominasi dengan asam lemak dan asam vanili; serta 'kelas rendah' gaharu memiliki kandungan turunan aquilarone dan phenylethyl chromones yang lebih tinggi.[18]

Catatan kaki

  1. ^ (Inggris)Ng, L.T., Chang Y.S. and Kadir, A.A. (1997) "A review on agar (gaharu) producing Aquilaria species" Journal of Tropical Forest Products 2(2): pp. 272-285.
  2. ^ a b [www.trubus-online.co.id "Luka Pembawa Aroma"] Periksa nilai |url= (bantuan). PT Trubus Swadaya. Januari 2009. hlm. 18–19. 
  3. ^ a b (Inggris) JOHN L. INGHAM (1972). "Phytoalexins and other natural products as factors in plant disease resistance" (PDF). The Botanical Review. 38 (3): 343–424. doi:10.1007/BF02860009.  [pranala nonaktif permanen]
  4. ^ a b Hartal dan Guswarni Anwar. "TEKNOLOGI PENINGKATAN KUALITAS KAYU GUBAL GAHARU (Aquilaria malaccensis Lamk.) DI KAWASAN PESISIR BENGKULU DENGAN INOKULASI JAMUR PENGINDUKSI RESIN" (PDF). Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Edisi Khusus (3): 464 – 471. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2010-12-14. Diakses tanggal 2010-04-26. 
  5. ^ a b c d Rawana dan Agus Prijono (2009). "ETNOBOTANI POHON GAHARU (Aquilaria sp.) SEBAGAI SUMBER BAHAN OBAT ALAMI". Seminar Nasional Bahan obat alam di Universitas Sanata Darma Yogyakarta 2009.  [pranala nonaktif permanen]
  6. ^ a b c d "Satu Gaharu Banyak Mutu". PT Trubus Swadaya. Januari 2009. hlm. 20–21. 
  7. ^ Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Buku Seri Iptek V Kehutanan. Topik 3 Gaharu. Dipetik dari http://www.forda-mof.org/files/seri_iptek_5-topik_3-revisi.pdf
  8. ^ Surata dan Widnyana. (2001). Teknik Budidaya Gaharu. Kupang: Balai Penelitian Kehutanan .
  9. ^ (Inggris) James Compton, Akiko Ishihara. "The Use and Trade of Agarwood in Japan" (PDF): 1–21. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2010-06-20. Diakses tanggal 2010-04-26. 
  10. ^ a b c "Gaharu: Harta di kebun". PT Trubus Swadaya. Januari 2009. hlm. 10–17. 
  11. ^ (Inggris)TRAFFIC Southeast Asia (Eds). 2007. Proceedings of the Experts Group Meeting on Agarwood: Capacity-building Workshop for Improving Implementation and Enforcement of the CITES listing of Aquilaria malaccensis and other Agarwood-producing species. Kuala Lumpur. 14-17 November 2006.
  12. ^ a b c d e Mohamed, R., & Lee, S. Y. (2016). Keeping up appearances: Agarwood grades and quality. In Agarwood (pp. 149-167). Springer, Singapore.
  13. ^ Priyo. (2015). Rancangan Standar Mutu Gaharu. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Dipetik dari http://www.forda-mof.org/index.php/berita/post/2185 pada 29 April 2019.
  14. ^ a b c d e f g h i j (Inggris) "OPTIMIZATION OF AGARWOOD OIL EXTRACTION BY USING DESIGN OF EXPERIMENT (DOE) METHOD" (PDF). Mei 2008.  [pranala nonaktif permanen]Page.7-9
  15. ^ "ScienceDirect". www.sciencedirect.com. doi:10.1016/j.jpba.2017.04.047. Diakses tanggal 2019-04-25. 
  16. ^ a b Khan, Mojibur; Narayan Chandra Talukdar; Dehingia, Madhusmita; Sen, Supriyo (2017-03-14). "Chemometric analysis reveals links in the formation of fragrant bio-molecules during agarwood (Aquilaria malaccensis) and fungal interactions". Scientific Reports (dalam bahasa Inggris). 7: 44406. doi:10.1038/srep44406. ISSN 2045-2322. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2022-06-18. Diakses tanggal 2019-04-25. 
  17. ^ a b Sen, S., Dehingia, M., Talukdar, N. C., & Khan, M. (2017). Chemometric analysis reveals links in the formation of fragrant bio-molecules during agarwood (Aquilaria malaccensis) and fungal interactions. Scientific reports, 7, 44406.
  18. ^ Ismail, S., Maulidiani, M., Akhtar, M., Abas, F., Ismail, I., Khatib, A., ... & Shaari, K. (2017). Discriminative analysis of different grades of gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) via 1H-NMR-based metabolomics using PLS-DA and random forests classification models. Molecules, 22(10), 1612.