Filep Jacob Semuel Karma (14 Agustus 1959 – 1 November 2022), lebih dikenal dengan nama Filep Karma, adalah aktivis kemerdekaan Papua. Pada tanggal 1 Desember 2004, ia ikut mengibarkan bendera Bintang Kejora dalam sebuah upacara di Jayapura, Indonesia. Karena tindakannya itu, ia dituduh melakukan pengkhianatan kepada negara dan dihukum penjara selama 15 tahun. Amnesty International dan Human Rights Watch telah melayangkan protes atas penahanannya dan Amnesty International menetapkan Filep Karma sebagai tahanan hati nurani.[2]
Latar belakang
Lahir tahun 1959 di Jayapura, Nugini Belanda, Karma dibesarkan di keluarga kelas atas yang aktif di perpolitikan daerah. Ayahnya, Andreas Karma, adalah pegawai negeri sipil didikan Belanda yang lanjut bekerja untuk pemerintah Indonesia pasca-kemerdekaan. Andreas adalah bupati Jayawijaya dan Serui. Sedangkan Constant Karma, yang merupakan sepupu Filep, menjabat sebagai wakil gubernur Papua.[3]
Filep Karma kecil dipengaruhi oleh serangan dini hari ke rumahnya oleh tentara Indonesia yang merusak perabotan di rumahnya.[4] Tentara dan polisi datang karena mengira dua kerabatnya yang datang merupakan Sam Karma dan Jan Pieter Karma, petinggi OPM.[4][5] Ia menduga informan tentara dan polisi adalah kerabatnya pula, Fritz Karma, yang merupakan anggota Polri dan informan TNI, yang mengunjungi di sore hari.[5]
Ia kemudian mengenyam pendidikan di Solo, Jawa Tengah, sebelum menjadi pegawai negeri sipil seperti ayahnya.[3] Pada tahun 1997, ia berangkat ke Manila untuk kuliah selama satu tahun di Asian Institute of Management.[3] Ia tidak menyelesaikan studinya.
Karma dikaruniai dua anak dari pernikahannya dengan Ratu Karel Lina, keturunan Melayu-Jawa, yang bernama Audryne and Andrefina.[4][6]
Pengibaran bendera dan penangkapan
Sepulangnya dari Manila, Karma melihat Jawa dibanjiri unjuk rasa melawan Presiden Soeharto. Ia terlibat dalam pergerakan tersebut dan mulai mengangkat isu pemisahan Papua dari Indonesia.[4]
Pada tanggal 2 Juli 1998, ia memimpin upacara pengibaran bendera Papua Barat di Biak. Para aktivisnya terlibat rusuh dengan polisi dan mencederai beberapa polisi. Militer Indonesia menduduki Pulau Biak empat hari kemudian dan menembaki aktivis. Karma menduga lebih dari 100 pengunjuk rasa tewas dan dikuburkan di pulau-pulau terdekat. Jumlah korban tewas tidak diketahui secara pasti. Human Rights Watch memprotes aksi pemerintah Indonesia dan menyebut bahwa beberapa bulan setelah peristiwa ini pemerintah "gagal melaksanakan investigasi serius terhadap insiden ini dan gagal memaksa para pelaku penyiksaan warga di Biak bertanggung jawab".[3] Kedua kaki Karma terluka akibat peluru karet.[3] Ia kemudian ditangkap, diadili, dan dihukum penjara selama 6,5 tahun atas tuduhan pengkhianatan. Hukuman dibatalkan di sidang banding setelah Karma dipenjara selama 10 bulan.[7]
Tanggal 1 Desember 2004, ia berpartisipasi dalam upacara pengibaran bendera kedua yang menandakan ulang tahun kemerdekaan Papua dari Belanda.[2] Pasukan keamanan Indonesia lagi-lagi diduga menembaki kerumunan dan menewaskan para aktivis pro-kemerdekaan.[3] Karma kembali ditangkap atas tuduhan pengkhianatan terhadap negara. Kali ini ia ditangkap bersama sesama aktivis Yusak Pakage.[2]
Di sidang pengadilan Karma, hakim mengolok-olok agama Kristen yang dianutnya dan hukumannya ditambah tiga kali lipat.[4] Karma dihukum penjara selama 15 tahun di Penjara Abepura, Jayapura.[2] Pakage dihukum penjara selama 10 tahun dan dibebaskan dini pada tahun 2010.[8] Pasca pengadilan, para pengacara Karma kabarnya mendapati kepala anjing di depan pintu rumah mereka disertai catatan bertuliskan "Bunuh Karma".[4]
Laporan penyiksaan dan perhatian internasional
Pada bulan Agustus 2008, 40 anggota Kongres Amerika Serikat mengirim surat ke Indonesia yang isinya meminta Pakage dan Karma dibebaskan. Tidak lama setelah itu, 100 orang berdemonstrasi di depan Kedutaan Besar AS di Jakarta.[9]
Tahun 2009, Asian Human Rights Commission menyatakan bahwa para sipir memukuli Karma karena terlambat kembali dari cuti penjara pada tanggal 1 Februari. Mereka dikabarkan memecahkan kacamatanya dan menyayat salah satu kelopak matanya.[10] Pada tahun 2010, Karma diizinkan menjadi narasumber untuk sebuah stasiun radio setempat dan di sana ia mengaku sering disiksa sipir penjara: "Saya pernah ditonjok, ditendang, ditarik. Namun hal yang lebih menyakitkan adalah penyiksaan mental yang harus kami lalui."[11] Juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan kepada BBC News Bahwa "tuduhan penyiksaan tahanan selalu diselidiki dan ditangani sesegera mungkin."[12]
Bulan Mei 2010, otoritas penjara menolak permintaan dokter Karma untuk membawanya ke Jakarta demi mendapatkan perawatan medis yang layak. Amnesty International kembali mengeluarkan peringatan tentang keselamatannya.[13] Pada Desember 2010, Karma ditransfer ke kepolisian Jayapura setelah terjadi kerusuhan di penjara. Human Rights Watch pun kembali meminta Karma dan rekan-rekan politiknya dibebaskan serta memprotes sedikitnya akses ke lembaga bantuan hukum.[14] Karma segera dipindahkan kembali ke Penjara Abepura.[2]
Amnesty International kembali mengeluarkan peringatan atas nama Karma pada April 2012 setelah organisasi ini menduga otoritas penjara menolak menyediakan perawatan medis kepada Karma yang menderita tumor.[15] Ia mendapatkan perawatan pada September 2012.[16]
Pembebasan dan kematian
Karma dibebaskan lebih awal, setelah menjalani 11 tahun dari 15 tahun hukumannya, pada 19 November 2015. Ini sebagai bagian dari kebijakan grasi Presiden Joko Widodo terhadap tahanan politik Papua. Karma telah ditawari pembebasan lebih awal pada tahun 2015 tetapi menolak untuk menandatangani dokumen pengampunan karena prinsip.[17]
Pada 12 Desember 2021, Karma yang memiliki hobi menyelam (molo), dinyatakan hilang setelah menyelam di dekat Hotel Tirta Mandala, Dok V, Jayapura. Ia ditemukan hidup pada hari berikutnya, terdampar di pantai Skouw Yambe.[18]
Pada 1 November 2022, Karma ditemukan tewas dengan mengenakan pakaian selam di pantai Base-G, Jayapura. Menurut Frits Ramandey dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Papua, tidak ada indikasi awal pelanggaran dan kemungkinan ia tenggelam saat menyelam. Jenazahnya akan menjalani otopsi.[19]
Berdasarkan Andrefina Karma, anak Filep Karma yang mengikuti autopsi memang penyebab kematian ayahnya adalah karena tenggelam akibat arus ombak yang kuat. Berdasarkan penjelasan anggota keluarga yang lain, Filep di pantai bersama mereka pada tanggal 30 Oktober. Kemudian Filep tidak ikut pulang karena ingin menunggu ombak reda dan ingin menyelam, selain itu ia juga akan mengunjungi keluarga di Deplat. Tetapi pada tanggal 1 November, ia diberi tahu Filep ditemukan meninggal di pantai Base G. Ia berharap yang terbaik untuk ayahnya dan berharap tidak ada rumor dan hoaks, karena ayahnya meninggal murni karena kecelakaan.[19][20]