Mayor Tituler TNI Lodewijk Madatjan adalah seorang tokoh militer dan politikus asal Papua Barat. Ia merupakan ketua Eenheidspartij Nieuw Guinea (EPANG) atau Partai Persatuan Nugini.[1] Ia bersama Barent Mandatjan ikut serta dalam upacara memperingati Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di lapangan Borarsi, Manokwari pada 17 Agustus 1947 yang dipimpin oleh Silas Papare. Upacara itu dihadiri antara lain oleh Johans Ariks, Albert Karubuy, Semuel Damianus Kawab, dan Franz Joseph Djopari.[2][3]
Riwayat pemberontakan
Selain itu Lodewijk juga adalah pejuang Trikora, tapi ia merasa kecewa dengan Indonesia karena ekonomi terus-terusan buruk. Selama memimpin aksi teror dari tahun 1964 sampai 1967, ia berhasil menghimpun 14 ribu pasukan. Yang kebanyakan merupakan suku Arfak, dan juga eks-PVK bersama Kapten Tituler Barent Mandatjan dan Lettu Tituler Irogi Maedogda.[4]
Hendro Subroto dalam bukunya Sintong Panjaitan Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando mengatakan komandan KKB Papua Lodewijk Mandatjan melancarkan pemberontakan bermodal senapan-senapan tua peninggalan Perang Dunia II.
Kemudian pada 28 Juli 1965, ada serangan ke asrama Yonif 641/Cendrawasih Manokwari yang sebabkan tiga anggota TNI gugur dan 4 lainnya luka-luka. Kejadian ini dikenal dengan nama Peristiwa Arfai.
Pertempuran diperparah dengan pasukan khusus TNI RPKAD (sekarang Kopassus) bertugas meredam pemberontakan KKB Papua saat itu. Saat itu sekitar 50 prajurit RPKAD yang baru mendarat di Papua langsung bertugas guna hancurkan KKB Papua.
Aksi Lodewijk Mandatjan terus memanas sampai akhirnya Sarwo Edhie Wibowo pun turun tangan. Ia saat itu menjabat sebagai panglima Kodam XVII/Tjendrawasih (1968-1970). Akibatnya Sarwo Edhie Wibowo harus menghadapi Lodewijk Mandatjan yang memimpin KKB Papua saat itu.
Dengan kecerdikannya, ia menerapkan operasi tempur dengan operasi non tempur. Ia masih menggunakan pendekatan non tempur karena Sarwo Edhie merasa KKB Papua masih merupakan saudaranya sendiri sebangsa dan setanah air.
"Kalau pemberontak kita pukul terus menerus, mereka pasti hancur. Tetapi mereka adalah saudara-saudara kita. Baiklah mereka kita pukul, kemudian kita panggil agar mereka kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi" kata Sarwo Edhie Wibowo dalam buku karya Hendro Subroto.
Atas dasar hal itulah dan menghindari pertumpahan darah yang lebih banyak, Sarwo Edhie menugaskan menyebarkan puluhan ribu pamflet yang berisi seruan agar KKB Papua kembali ke NKRI.
Selanjutnya ia menugaskan perwira Kopassus Mayor Heru Sisnodo dan Sersan Mayor Udara John Saleky untuk menemui pimpinan KKB Papua Lodewijk Mandatjan. Hal tersebut dilakukan untuk membujuk Mandatjan dan anak buahnya agar kembali ke NKRI. Mereka berdua segera dengan tangan kosong tanpa senjata berjalan kaki memasuki hutan Papua.
Saat bertemu dengan Mandatjan, Mayor Heru Sisnodo berkata: "Bapak tidak usah takut. Saya anggota RPKAD (sekarang Kopassus). Komandan RPKAD yang ada di sini anak buah saya. Dia takut sama saya. Kalau bapak turun dari hutan, nanti RPKAD yang akan melindungi bapak."
Akhirnya Lodewijk Mandatjan berhasil diyakinkan dan ia turun beserta keluarga dan anak buahnya ke Manokwari. Dengan itu Kopassus layaknya sudah memberantas tubuh dari KKB Papua dan tinggal menyisir untuk memburu sisa-sisa pemberontak KKB Papua lainnya. Sedangkan gerilyawan KKB batalyon kasuari, gerilyawan Trikora , dan mantan anggota PVK (Korps Relawan Papua) dilatih di Kodam Siliwangi dan Diponegoro untuk kemudian membentuk Kodam Cenderawasih.[5]
Tidak hanya diluluhkan oleh Sarwo Edhie Wibowo, Lodewijk Mandatjan juga pernah diundang ke Istana Merdeka bertemu dengan Soeharto pada 11 Januari 1969. Saat itu Presiden Soeharto menerima kakak beradik Mayor (Tituler) Lodewijk Mandatjan dan Kapten (Tituler) Barens Mandatjan di Istana Merdeka. Mereka menjelaskan jika atas kemauan sendiri mereka kembali.
Soeharto lalu bersikap layaknya orang Jawa dan mengakui sadar banyak kekurangan dalam kehidupan rakyat di Irian Barat. Tapi bagi Soeharto, kebahagiaan harus diperjuangkan dengan mengusahakan pembangunan sehingga kemudian kehidupan rakyat bisa diperbaiki setahap demi setahap.
Ia lantas tegaskan tekad membangun Irian Barat sejak daerah itu direbut dari Belanda, dan masalahnya saat itu adalah bagaimana mewujudkan pembangunan Irian Barat secepatnya. Ia meminta kedua Mandatjan mengenai penentuan pendapat rakyat di mana diminta bantuan mereka untuk ikut mensukseskannya.[6]
Kehidupan pribadi
Lodewijk Mandatjan merupakan ayah dari Gubernur Papua Barat, Dominggus Mandacan.[2]
Referensi