PT Bumi Resources Tbk atau Bumi Resources adalah salah satu perusahaan pertambangan terbesar di Indonesia. Perusahaan ini bertindak sebagai induk untuk sejumlah anak usaha.[2] Pada daftar Forbes Global 2000 tahun 2012, Bumi Resources menempati peringkat ke-1898.[3] Perusahaan ini dianggap sebagai produsen batu bara termal terbesar di Indonesia dan mayoritas sahamnya dimiliki oleh Bakrie Group[4] dan Salim Group.[5]
Sejarah
Bumi Modern
Awal berdiri
Perusahaan awalnya didirikan pada tanggal 26 Juni 1973 dengan nama PT Bumi Modern.[6] Usaha awal dari perusahaan ini adalah mendirikan dan menjadi pengelola Hotel Bumi Hyatt Surabaya (kini Bumi Surabaya City Resort) yang merupakan hotel bintang lima pertama di Jawa Timur, yang dibangun sejak Agustus 1976 dan diresmikan operasionalnya di tanggal 16 Desember 1979, awalnya menggandeng Hyatt.[7] Bumi Modern awalnya merupakan perusahaan milik asuransi Bumiputera 1912[8] berpatungan dengan Peter Sondakh (pendiri Rajawali Corpora). Peter tercatat mulai berkongsi dengan Bumiputera di perusahaan ini pada 6 April 1976. Bumiputera tercatat memegang saham mayoritasnya, sedangkan Peter hanya memiliki kurang dari 10% saham.[9][10] Belakangan, Peter dan seorang pengusaha lain yang memiliki saham di PT Bumi Modern bernama H.A. Latief Thoyeb, menjual sahamnya kepada Bumiputera 1912, menjadikan perusahaan asuransi tersebut menguasai 100% kepemilikan[11] sejak 15 April 1985.[12]
Pada tanggal 30 Juli 1990, Bumiputera membawa perusahaan hotel miliknya ini go public dengan melepas 10 juta sahamnya di Bursa Efek Surabaya dan Bursa Efek Jakarta.[13] Sekitar 29% saham dipegang publik, sisanya milik Bumiputera.[11] Setelah IPO tersebut, perusahaan ini mulai melakukan ekspansi usahanya. Pada November 1991-November 1993, Hotel Bumi Hyatt diperluas menjadi 511 kamar, ditambah pembangunan sebuah gedung berlantai 7 bernama Graha Bumi Modern.[7] Tidak hanya itu, ada rencana membangun gedung berlantai 26 yang diisi hotel dan apartemen mewah, yang direncanakan akan dibangun dengan investasi US$ 65 juta. Pada saat itu, nama perusahaan juga sempat berganti menjadi PT Bumi Modern Hyatt sesuai bisnis utamanya.[14] Masuk juga kemudian pemodal baru dari PT Taspen, PT Astek, Pelican Holding Ltd. dan PT Jan Darmadi Corporation (perusahaan milik pebisnis properti Jan Darmadi) di tahun 1994, walaupun Bumiputera tetap bertahan sebagai pemegang saham mayoritas,[15] dimana di akhir 1994 memegang 58,39% sahamnya.[12]
Penurunan kinerja, akuisisi dan perubahan usaha
Sayangnya, perlahan-lahan, kinerja PT Bumi Modern Hyatt mulai tertekan ketika di Surabaya, muncul hotel-hotel mewah serupa hotel miliknya, Hyatt Bumi Surabaya walaupun diklaim masih menjadi market leader hotel bintang lima di kota tersebut (34%).[16] Tekanan pun bermunculan dari proyek pembangunan gedung yang memakan biaya dan membebani perusahaan ini[7] yang menggunakan kredit sindikasi dari sejumlah bank. Program-program seperti dividen yang teratur ikut membebani keuangannya karena harus berhutang juga. Hal ini diperparah dengan kinerja Bumi Modern yang sejak 1994 mulai merugi, awalnya Rp 11,52 miliar, yang kemudian menjadi Rp 25,21 miliar di tahun 1996.[17] Belakangan, mulai muncul beberapa peminat yang hendak mengakuisisi PT Bumi Modern. PT Jan Darmadi Corp., misalnya hingga 1996 sudah memiliki 12,89%,[15] sedangkan di tahun 1997, Bumiputera berhasil menandatangani kesepakatan dengan Bakrie Group (via PT Bakrie Capital Indonesia) untuk mengakuisisi 25% sahamnya seharga Rp 27,8 miliar[18] di tanggal 25 Juli 1997. Akhirnya, Bakrie keluar sebagai "pemenang", dimana dengan tender offer, sahamnya menjadi 58,15%, yang kemudian naik lagi menjadi 58,9%.[11] Belakangan, saham Bakrie menjadi 52%, sisanya Taspen 13,33%, PT Jan Darmadi Corp. 12,89%, PT Jamsostek 8,89% dan sisanya publik. Awalnya, Bakrie masih mempertahankan bisnis Bumi Modern sebagai perusahaan properti dan perhotelan. Salah satunya adalah dengan rights issue di Desember 1997 senilai Rp 297 miliar yang direncanakan akan digunakan bagi akuisisi hotel milik Bakrie yang ada di Tashkent, Uzbekistan bernama "Le Meridien Tashkent".[17]
Belakangan, dengan alasan krisis ekonomi di akhir 1990-an dan penurunan kinerja bisnisnya, Bakrie mengalihkan seluruh bisnis properti perusahaan ini ke perusahaan lain,[19] salah satunya ke perusahaan saudaranya, PT Bakrieland Development Tbk.[20] Awalnya, Bakrie sempat menjajaki peluang menyerahkan perusahaan ini kepada BPPN untuk membayar hutang BLBIBank Nusa Nasional miliknya.[21] Belakangan, Bakrie lalu mengubah usaha perusahaan ini ke bidang pertambangan. Rencana ini kemudian direalisasikan pada tahun 2000, ketika dilakukan proses rights issue kembali (awalnya diperkirakan senilai Rp 1,9 triliun) di awal tahun 2000.[22] Awalnya, usaha pertambangan yang dimaksud adalah minyak dan gas bumi, dimana 99,36% dana rights issue itu akan digunakan bagi mengakuisisi sebuah perusahaan migas yang memliki konsesi di Yaman dan berbasis di Jersey, Britania Raya[22] bernama Gallo Oil (Jersey) Ltd. sebanyak 97,5% dari sahamnya.[23] Dari rights issue itu, masuk dua pemegang saham baru, Minarak Labuan Co. Ltd. dan Long Haul Holdings Ltd.[24] masing-masing 73% dan 22,15%,[25] dimana keduanya adalah pemilik Gallo sebelumnya, dan Minarak juga dikuasai Bakrie.[26] Sesungguhnya, transaksi rights issue itu masih menuai kontroversi, dengan adanya dugaan Bakrie hendak menggunakan dana Rp 9,3 triliun dari proses tersebut untuk membayar utang ke negara dan kreditornya,[26][27] apalagi bisnis Bumi Modern tidak sebesar nilai transaksi tersebut.[23] Beberapa bulan setelah proses ini selesai, pada 22 Desember 2000, nama PT Bumi Modern Tbk resmi berganti menjadi PT Bumi Resources Tbk.[19]
Bumi Resources
Akuisisi
Pada Oktober 2001, Bakrie kembali mengejutkan banyak pihak dengan perusahaan miliknya ini. Mereka lalu mengakuisisi PT Arutmin Indonesia yang bergerak di bisnis pertambangan batu bara seharga US$ 185 juta, yang membuat asetnya melonjak mencapai Rp 3 triliun. Akuisisi itu dilakukan terhadap 80%[28] kepemilikan raksasa tambang internasional, BHP Billiton di Arutmin.[29] Sisa 20% saham lainnya kemudian dibeli dari PT Ekakarsa Yasakarya Indonesia di bulan April 2004.[30] Layaknya akuisisi atas Gallo, transaksi ini pun menuai polemik dan diwarnai tuduhan kongkalikong Bakrie dengan pihak tertentu, jika melihat misalnya Bank Mandiri yang mau mengucurkan kredit US$ 103 juta, dari Gabungan Koperasi Batik Indonesia (melalui PT Rifan Financindo Asset Management) senilai US$ 47 juta, dan Jamsostek yang membeli medium term notes senilai Rp 470 miliar yang diterbitkan perusahaan ini.[25] Kejutan belum berhenti sampai disitu, dimana ketika di tanggal 16 Juli 2003,[31] PT Bumi Resources Tbk "melahap" perusahaan tambang batu bara besar lainnya, PT Kaltim Prima Coal sebanyak 100% sahamnya dari Rio Tinto dan BP[32] dalam transaksi bernilai US$ 400 juta.[30] Dengan akuisisi itu, maka Bumi Resources mengendalikan 28% produksi batu bara di Indonesia saat itu.[33] Sebelumnya, baik Arutmin dan KPC merupakan pertambangan batu bara papan atas di Indonesia, di urutan keempat dan kedua terbesar.[34] Di tahun 2004, PT Bumi Resources Tbk mulai mencetak laba US$ 119 juta yang didapat dari produksinya yang mencapai 62 juta metrik ton.[26]
Belum selesai dengan akuisisi dua raksasa batu bara, pada tahun 2005, Bakrie kembali menjajaki rencana merger Bumi Resources dengan perusahaan migas miliknya, PT Energi Mega Persada Tbk.[35] Pada saat itu, kedua-duanya merupakan perusahaan top di bidangnya: dimana Bumi Resources adalah salah satu eksportir terbesar batu bara, sedangkan Energi Mega Persada merupakan salah satu produsen migas terbesar di Indonesia. Merger senilai Rp 20 triliun ini diumumkan kemudian pada 14 Juni 2006. Pada saat yang sama, Bumi Resources Tbk juga akan menjual Arutmin, KPC dan Indocoal Resources Ltd. kepada perusahaan PT Borneo Lumbung Energi dan Metal (milik Samin Tan, berkongsi dengan sejumlah pihak seperti Marubeni) yang sudah disepakati juga pada 14 Maret 2006 senilai US$ 3,2 miliar.[36][37] Dalam transaksi ini, konon juga terjadi "perebutan" dengan pemerintah Kutai Timur, David Salim dan Nusantara Energi (perusahaan milik Prabowo Subianto) yang saat itu hendak membeli saham KPC.[38][39] (Sebenarnya, pemerintah Kutai Timur sudah menginginkan saham di KPC sejak awal 2000-an, saat itu dari pemilik lama (Rio Tinto dan BP), walaupun akhirnya tersalip Bakrie).[40] Namun, kemudian transaksi itu dibatalkan. Rencana penjualan tiga anak usahanya ke Borneo Lumbung batal pada Agustus 2006 karena alasan yang kurang jelas,[41] sedangkan merger Energi Mega Persada dan Bumi Resources juga batal terhitung pada 14 November 2006 akibat tersangkutnya anak usaha Energi Mega Persada, Lapindo Brantas Inc. dalam kasus Lumpur Lapindo dan sulitnya divestasi anak usaha EMP tersebut.[42]
Munculnya tantangan
Pada saat yang sama, transaksi pembelian tambang batu bara KPC dan Arutmin dibiayai oleh hutang yang besar dan berbunga tinggi dari bank yang dibebankan kepada KPC dan Arutmin (skema leveraged buyout),[34] sehingga perjalanan Bumi Resources masih agak terhambat.[30] Untuk mengurangi beban tersebut, Bakrie kemudian menjual sebagian sahamnya di anak usaha PT Bumi Resources Tbk, PT Arutmin dan PT KPC kepada raksasa energi India, Tata Power dengan total US$ 1,3 miliar di tanggal 2 April 2007, suatu angka yang jauh lebih tinggi dari biaya pembelian keduanya dahulu yang hanya ratusan juta dolar. Tata menyingkirkan para pesaing seperti CVRD (Brasil), BHP Billiton (Australia), Glencore International AG (Irlandia), dan Marubeni (Jepang).[43] Tata berniat menggunakan batu bara itu untuk kepentingan pembangkit listrik di India. Pada tahun tersebut, Bumi Resources mengekspor sekitar 95% produksi batu baranya, dari produksi 95 metrik ton di tahun 2006.[30][44] Akibat perbaikan itu, respon publik di pasar modal pun menjadi sangat positif. Saham Bumi Resources berubah menjadi saham blue chip dengan harganya mencapai Rp 8.550/lembar pada 12 Juni 2007.[26]
Sayangnya, kejayaan harga saham itu hanya berlangsung sesaat. Diterjang arus krisis ekonomi 2008 yang melanda dunia, Bumi Resources masih menyimpan utang repurchase agreement US$ 1,12 miliar. Layaknya banyak nasib perusahaan publik milik keluarga Bakrie lainnya, saham Bumi Resources pun anjlok hingga Rp 2.175/lembar yang menyebabkan perdagangannya sempat disuspensi di tanggal 7 Oktober 2008.[26] Berusaha menyelamatkan bisnisnya, tersiar kabar Bakrie harus bersengketa dengan Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani. Dalam kejatuhan saham Bumi Resources dan saham keluarga Bakrie lainnya, rumor muncul bahwa Sri Mulyani menentang suspensi tersebut, namun ditolak para pejabat yang membuatnya hampir mundur. Tidak hanya itu, di bulan Agustus 2008, Direktorat Jenderal Pajak (di bawah Kemenkeu) menjerat Bumi Resources, KPC dan Arutmin dengan tunggakan pajak Rp 2,1 triliun yang berbuah pencekalan sejumlah eksekutif perusahaan tersebut, dan akhirnya menangkap beberapa diantaranya.[45] Banyak sumber yang menyebut bahwa Aburizal Bakrie yang saat itu menjabat Ketua Umum Partai Golkar, mensponsori Pansus Bank Century untuk "menggoyang" posisi Sri Mulyani.[46][47] Belakangan, kasus pajak Bumi Resources dan anak usahanya itu menyangkut Gayus Tambunan yang menuduh Bakrie telah menyuap dirinya US$ 3 juta untuk mengurus surat banding ketetapan pajak.[48]
Pada saat kasus itu masih panas-panasnya, Bumi Resources hadir lagi dengan ide akuisisi Herald Resource Ltd., perusahaan tambang yang berbasis di Australia, yang di Dairi, Sumatera Utara memiliki konsesi tambang timah dan seng, namun gagal mengeksplorasinya karena belum menyelesaikan perizinannya.[34] Pada Oktober 2008, akuisisi tersebut resmi dilakukan seharga US$ 549 juta, setelah sempat bersaing dengan Aneka Tambang Tbk sejak pertengahan 2008.[49][50] Lalu, di Januari 2009, Bumi Resources juga merencanakan akuisisi terhadap PT Darma Henwa Tbk (milik keluarga Bakrie juga), PT Fajar Bumi Sakti dan PT Pendopo Energi Batubara, meskipun awalnya gagal.[51] Belakangan, akuisisi Darma Henwa, PT Fajar dan PT Pendopo dilakukan pada Oktober 2009 senilai Rp 6,2 triliun setelah mendapat pinjaman US$ 1,9 miliar dari China Investment Corporation (CIC).[52][53] Setelah itu, muncul rencana lain untuk membeli saham Tata Power di KPC dan Arutmin yang sudah dijual Bumi Resources di tahun 2007 karena Tata terjerat utang. Disebutkan bahwa Tata menawarkan sahamnya di dua perusahaan itu dengan harga murah.[54] Akuisisi itu kemudian batal, dan Tata baru menjual sahamnya pada 1 Februari 2014, kembali ke tangan Bakrie.[55] Akuisisi tersebut banyak dilakukan lewat anak-anak usaha PT Bumi Resources Tbk. Kinerja Bumi Resources pasca krisis 2008 dan akuisisi tersebut naik-turun, karena harus diwarnai naik-turunnya harga batu bara, restrukturisasi serta penyelesaian hutang, dan lainnya.[56] Misalnya, pinjaman dari CIC, kemudian sebagiannya dikonversi menjadi saham yang menyebabkan perusahaan asal Tiongkok itu memegang 22,7% saham PT Bumi Resources Tbk.[11]
Aliansi dan "perceraian" dengan Rothschild
Pada Juni 2010,[57] Bakrie berkongsi dengan salah satu anggota klan bankir dunia, Nathaniel Philip Rothschild, untuk mengakuisisi Vallar plc., sebuah perusahaan yang ada di Jersey, Britania Raya dari tangan Rothschild dan mengganti namanya menjadi Bumi plc.[58] Bumi plc kemudian dikuasai 43% sahamnya oleh PT Bakrie & Brothers Tbk.[59] Bumi plc lalu mengambilalih sebagian saham (25%, kemudian menjadi 29,2%) Bumi Resources Tbk.[60] Selain itu, mereka juga menguasai tambang batu bara lain di bawah PT Berau Coal Energy Tbk, dan sempat berencana mengakuisisi anak usaha Bumi Resources, PT Bumi Resources Minerals Tbk pada Juni 2011, walaupun akhirnya batal.[61] Belakangan, bergabung juga sejumlah pengusaha nasional seperti PT Borneo Lumbung Energi dan Metal (milik Samin Tan) 23,8%, Recapital Group (milik Rosan Roeslani) 13,4%, sedangkan Bakrie menguasai 23,8% dan Rothschild menguasai 14,8%. Sekitar 18,8% dipegang pemilik lainnya, termasuk publik. Borneo Lumbung (Samin Tan) masuk setelah Bakrie yang saat itu butuh dana untuk membayar utangnya ke Credit Suisse, menawarkan sebagian sahamnya di Bumi plc kepadanya seharga US$ 1 miliar.[62] Belakangan, hubungan Rothschild dan Bakrie memburuk setelah ia menuduh Bakrie melakukan praktik kotor dalam bisnis patungan mereka di bulan September 2011.[59] Rothschild menuduh Bakrie telah menyelewengkan US$ 600 juta untuk pengembangan perusahaan, yang kemudian setelah diteliti Bakrie, tidak terbukti. Malah sebaliknya Bakrie menuduh Rothschild telah mencuri data-data perusahaan untuk dirinya sendiri.[63] Rothschild juga menuduh Rosan menyelewengkan uang di anak usahanya, Berau Coal Energy senilai US$ 173 juta.[64]
Masalah makin pelik ketika harga saham Bumi plc anjlok di Bursa Saham London akibat dugaan penyelewengan dan kejatuhan harga batu bara,[65] dan tuduhan Rothschild berada di balik hacking email milik Bakrie & Brothers Tbk pada akhir 2012.[66] Pada tahun 2012, Rothschild mengundurkan diri dari manajemen Bumi plc. dan menyatakan "siap berperang" dengan klan Bakrie.[67] Keduanya kemudian saling beradu proposal dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Bumi plc. pada 21 Februari 2013, di mana Bakrie mengumumkan "perceraian" dengan Rothschild, sedangkan Rothschild ingin direksi Bumi plc. dirombak akibat terlalu pro-Bakrie dengan tawaran dana Rp 2,5 triliun.[66] Bakrie sempat mengajukan rencana juga untuk mengakuisisi 84,7% saham PT Berau Coal Energy Tbk dari Bumi plc.[59] Bakrie akhirnya menang dengan rencananya untuk berpisah dari Bumi plc tersebut,[63] walaupun Rothschild telah berusaha menggandeng saudara Prabowo Subianto, Hashim Djojohadikusumo untuk duduk di jajaran direksi Bumi plc.[68] Kemenangan Bakrie tersebut diklaim setelah Rosan Roeslani menjual sahamnya kepada beberapa pemegang saham baru yang diperkirakan pro-Bakrie,[69] seperti Hary Tanoesoedibjo.[70] Disepakati kemudian bahwa Bakrie akan menukar seluruh sahamnya di Bumi plc dengan 10,3% saham Bumi Resources Tbk. Sedangkan sisa 18,9% saham Bumi plc di Bumi Resources akan dibeli Bakrie lewat transaksi senilai US$ 278 juta. Bumi plc akan dikuasai oleh Samin Tan lewat PT Borneo Bumi Energy (BBE) dan Ravenwood Pte. Ltd., dan kemudian akan berganti nama Asia Resources Minerals plc.[58][60][71] Rothschild kemudian juga duduk kembali di jajaran manajemen perusahaan Inggris tersebut,[72] dan ia mendukung rencana keluarnya Bakrie di tanggal 16 Desember 2013.[73] Meskipun kemudian Bakrie dan Rothschild sudah berpisah sejak awal 2014, masih terdapat friksi antara mereka, seperti perang cuitan di Twitter antara Aga Bakrie dan Nathaniel Rothschild.[65]
Masalah pasca-pelepasan Rothschild
Sebenarnya, saat masih dipegang oleh Bumi plc pun, perusahaan ini mengalami berbagai tantangan seperti naik-turunnya harga kurs, tingginya beban perusahaan dan naik-turunnya harga batu bara. Akibatnya, Bumi Resources Tbk harus merugi US$ 1,275 miliar (2013 rugi US$ 609,01 juta dan 2012 rugi US$ 666,21 juta). Kerugian dalam 2 tahun membuat BUMI mengalami defisiensi modal sebesar US$ 492,65 di tahun 2013. Hutang-hutang yang menumpuk terpaksa membuat Bakrie melakukan aneka cara untuk memperbaiki salah satu raksasa batu bara di Indonesia ini. Salah satunya, dengan menjual 19% kepemilikannya di PT Kaltim Prima Coal dan 42% Bumi Resources Minerals kepada CFL (Country Forest Limited), belum lagi harus melakukan rights issue untuk menyerap dana segar demi pembayaran utang. Utang yang banyak ini, termasuk ke aneka kreditor dan bank yang sempat tertunda/gagal dibayar, membuat akhirnya harga saham Bumi Resources Tbk anjlok di bawah Rp 100/lembar pada akhir 2014, jauh dari level tertingginya di tahun 2008,[56][74] dan sempat mencapai titik terendahnya, Rp 50 di tahun 2015.[75] Utang Bumi Resources di akhir 2014 tercatat sudah mencapai Rp 45 triliun. Akibat konversi-konversi dan transaksi untuk menyehatkan keuangannya, kepemilikan saham di Bumi Resources juga sempat berganti berkali-kali, meskipun tetap di bawah Bakrie Group.[76]
Hutang-hutang Bumi Resources terus berusaha dilunasi dengan berbagai cara, yang diharapkan akan membaik di tahun 2023.[77] Pada saat yang sama, Bumi Resources masih tercatat sebagai salah satu produsen batu bara terbesar di Indonesia, dengan produksi mencapai 81,2 juta ton (2015) dan 81,1 juta ton (2020) lewat anak usahanya seperti Kaltim Prima Coal.[78] Kenaikan harga batu bara tercatat bisa beberapa kali membantu harga saham perusahaan ini di BEI naik kembali menjadi di atas Rp 100/lembar.[75] Baru-baru ini, ada juga rencana membentuk konsorsium bersama Bakrie Capital, PT Ithaca Resources, dan Air Products untuk membangun industri metanol senilai Rp 30 triliun di Batuta Industrial Chemical Park, Bengalon, Kutai Timur, Kalimantan Timur[11] meskipun akhirnya batal. Pada tahun 2022 tercatat 74,5% saham perusahaan ini dikuasai publik, dan pemegang saham terbesar adalah HSBC-Fund SVS A/C Chengdong dengan kepemilikan 11,8%.[79] Keberadaan keluarga Bakrie nampak dari posisi Andhika Andrayudha Bakrie dan Adika Nuraga Bakrie dalam jajaran manajemen perusahaan.[80]
Masuknya Grup Salim
Pada tahun 2022 Bumi Resources kembali menjadi perhatian setelah sebuah konglomerat lainnya, Grup Salim ikut menginjeksikan modalnya dalam perusahan ini dan menjadi pengendali barunya bersama-sama Grup Bakrie. Salim masuk lewat mekanisme private placement senilai Rp 24 triliun, yang meningkatkan jumlah lembar saham perseroan menjadi 343.841.242.189 miliar (dari semula 143.841.242.189 miliar) pada 19 Oktober 2022. Alat Salim untuk masuk ke Bumi Resources adalah melalui dua perusahaan, yaitu Mach Energy Ltd. dan Treasure Global Investments Ltd. yang keduanya berbasis di Hong Kong. Kedua perusahaan tersebut merupakan joint venture Salim Grup dengan Bakrie (dalam Mach Energy, masing-masing sebesar 42,5%) dan Agoes Projosasmito (yang dalam Mach Energy memiliki 15% dan dalam Treasure Global memiliki 16,15%).[81] Mach Energy memiliki 49,44% (kini 45,78%) dan Treasure Global memiliki 8,72% (kini 8,08%)[82] saham Bumi Resources, dimana secara akumulatif, Salim Grup dan Agoes Projosasmito memegang 37,1% dan Bakrie 21,9%.[83]
Setelah transaksi tersebut BUMI berhasil membayar utangnya yang harus dilunasi setelah proses PKPU.[81] Menurut dirut perusahaan (saat itu), Dillep Srivatstava, masuknya Salim diharapkan mampu menolong Bumi Resources melunasi hutangnya sampai tuntas (debt free) sehingga likuiditas perusahaan semakin sehat.[83] Bumi Resources juga diharapkan bisa melanjutkan ekspansi dan proyek-proyeknya, seperti melanjutkan kerjasama proyek pabrik metanol untuk gasifikasi batubara bersama perusahaan Tiongkok sebagai pengganti Air Products.[84] Kedua proyek tersebut direncanakan akan melakukan groundbreaking di tahun 2024 di dua lokasi, yaitu Bengalon, Kaltim dan Pulau Laut, Kalsel yang masing-masing ditangani KPC dan Arutmin.[85] Dalam RUPS BUMI pada 30 Juni 2023, Salim menempatkan dua orang lamanya di Bumi Resources, yaitu Phiong P. Dharma dan Eddy Sanusi ditambah partner-nya, Agoes Projosasmito di kursi direktur. Adapun perwakilan keluarga Bakrie ada di direktur utama dan komisaris.[1]