Perusahaan ini memulai sejarahnya pada tahun 1942 saat Achmad Bakrie mulai berbisnis di bidang perdagangan umum dan agen komisi.[4] Pada tahun 1951, Bakrie resmi mendirikan perusahaan ini, dan kemudian mempelopori industri pengolahan pipa baja di Indonesia. Pada tahun 1973, perusahaan ini berekspansi ke bisnis konstruksi struktur baja, pengerjaan logam, dan proyek infrastruktur lainnya. Perusahaan ini kemudian mendirikan PT Bakrie Building Industries dan PT Bakrie Tosanjaya, masing-masing untuk berbisnis di bidang produksi bahan bangunan dan produksi suku cadang otomotif. Nama PT Bakrie Tosanjaya kemudian diubah menjadi PT Bakrie Autoparts. Pada tahun 1989, perusahaan ini resmi melantai di Bursa Efek Indonesia. Pada tahun 1990, PT Bakrie Pipe Industries menjadi perusahaan asal Indonesia pertama yang mendapatkan sertifikat ISO 9002.
Antara tahun 1990 hingga 2005, perusahaan ini mengakuisisi PT Bakrie Sumatera Plantation yang bergerak di bidang perkebunan, serta PT Arutmin, PT Kaltim Prima Coal, dan PT Bumi Resources yang bergerak di bidang pertambangan. Perusahaan ini juga mendirikan PT Bakrieland Development yang bergerak di bidang properti dan PT Energi Mega Persada yang bergerak di bidang migas. Pada tahun 1996, perusahaan ini mendapat izin untuk menyelenggarakan layanan jaringan tetap nirkabel. Pada tahun 1997, PT South East Asia Pipe Industries (SEAPI) mulai berproduksi dan mengirimkan produk pertamanya ke proyek West Natuna. Pada tahun 2002, SEAPI berpartisipasi dalam proyek pembangunan pipa gas milik Perusahaan Gas Negara. Pada tahun 2006, perusahaan ini memenangkan lelang pengerjaan proyek pembangunan pipa gas Kalimantan-Jawa senilai US$ 1,26 miliar. Pada tahun 2007, konsorsium Plus-Bakrie-Global memenangkan lelang pengerjaan proyek pembangunan Jalan Tol Cimanggis-Cibitung senilai Rp 3,2 triliun. Perusahaan ini kemudian memisahkan divisi infrastrukturnya menjadi sebuah perusahaan tersendiri dengan nama PT Bakrie Indo Infrastructure untuk berbisnis di bidang pengembangan infrastruktur.[5] Nama PT Bakrie Corrugated Metal Indonesia lalu juga diubah menjadi PT Bakrie Metal Industries.
Pada tahun 2009, perusahaan ini mendirikan PT Bakrie Energy International untuk berbisnis di bidang perdagangan bahan bakar. Perusahaan ini kemudian meneken perjanjian jual beli dengan Vallar asal Britania Raya senilai US$844 juta. Pada tahun 2011, perusahaan ini meneken perjanjian transportasi gas di segmen Kepodang-Tambak Lorok. Pada tahun 2013, perusahaan ini mulai membangun jalur pipa gas Kepodang-Tambak Lorok sepanjang 200 kilometer dan akhirnya mulai dioperasikan pada tahun 2016. Perusahaan ini lalu juga mulai membangun Jalan Tol Cimanggis-Cibitung.[6] Pada tahun 2018, perusahaan ini meneken nota kesepahaman dengan BYD Auto asal Tiongkok untuk mengembangkan industri kendaraan listrik di Indonesia. Perusahaan ini kemudian juga meneken nota kesepahaman dengan China Railway International Group.[2][3]
Tetapi, karena krisis finansial yang terjadi pada tahun 2008, Bakrie & Brothers terpaksa menjual beberapa asetnya untuk membayar hutang.
Aksi tersebut membuat perusahaan ini mengalihkan fokusnya ke unit usaha dengan kepemilikan 100% pada bidang infrastruktur (Bakrie Indo Infrastructure) dan manufaktur (Bakrie Metal Industries, Bakrie Building Industries, Bakrie Autoparts).[7]
Divestasi Bumi Resources
Bakrie & Brothers pernah memegang mayoritas saham Bumi Resources. Tetapi, sewaktu krisis keuangan 2008, perusahaan ini mencatatkan outsanding debt sebesar US$ 1,2 miliar.
Sebagai solusi, perusahaan ini pun menyelesaikan hutangnya dengan restrukturisasi 35% saham Bumi Resources kepada Northstar, senilai US$ 1,3 miliar,[8] sehingga menjadikan perusahaan ini sebagai salah satu korban krisis keuangan 2008 terbesar di Indonesia.[9]
Pada tahun 2012, karena outstanding debt-nya masih banyak, Bakrie & Brothers pun menjual 170,48 juta lembar saham Bakrie Sumatra Plantation dengan harga Rp. 56,25 miliar.[11]
Sebanyak 4,30 miliar lembar saham Bakrie Telecom juga dijual dengan harga Rp. 1,4 triliun.[11]
Pada tahun yang sama, perusahaan ini juga menjual 138,8 juta lembar saham Bakrieland Development, sehingga perusahaan ini hanya memegang 3,25 juta lembar saham perusahaan tersebut, atau 7.79% dari total saham perusahaan tersebut.[12]
Merugi
Bakrie & Brothers mencatatkan rugi sebesar Rp. 1,75 triliun[13] dibanding kinerja 2014 yang menguntungkan Perusahaan sebesar Rp. 155.2 miliar.[14]
Presiden Direktur & CEO Bakrie & Brothers, Bobby Gafur Umar menyatakan bahwa kerugian tersebut terjadi karena faktor ekonomi makro dan mikro, yang menghambat seluruh penjualan dari unit usaha.
Salah satu kontributor kerugian terbesar adalah selisih kurs, di mana perusahaan ini mengalami kerugian sebesar Rp. 722 miliar.[15]
Upaya Pembenahan
Pada tahun 2018, setelah melakukan serangkaian restrukturisasi hutang, terutama dalam bentuk konversi hutang ke ekuitas dan aksi reverse stock split, ekuitas perusahaan ini berubah menjadi positif untuk pertama kalinya, karena adanya kenaikan pada nominal obligasi wajib konversi dari Rp 1 triliun pada tahun 2017 menjadi Rp 9,4 triliun pada tahun 2018 yang merupakan bagian dari restrukturisasi hutang.[16]
Kemudian, pada tahun 2019, perusahaan mulai mencatatkan laba selama 4 kuartal berturut turut, sehingga pada akhir tahun 2019, perusahaan ini berhasil meraih pendapatan sebesar Rp 3 triliun dan laba bersih Rp 853 miliar.[17]
Selain itu, perubahan manajemen yang dilakukan tahun 2019, dengan "turun gunung"-nya Anindya Bakrie menjadi Direktur Utama (sebelumnya menjabat sebagai Komisaris Utama hingga tahun 2018) mencanangkan fokus perusahaan untuk penuh berkonsentrasi pada pengembangan infrastruktur dan manufaktur di masa mendatang.
Salah satunya, perusahaan ini juga mencoba merintis industri kendaraan listrik nasional bersama dengan BYD Auto. Kemudian, pada tahun 2018, perusahaan ini juga mengakuisisi Multi Kontrol Nusantara, sebuah perusahaan teknologi informasi dan jaringan melalui anak usahanya, yakni Bakrie Indo Infrastructure.[18]