Bogasari Flour Mills adalah divisi dalam PT Indofood Sukses Makmur Tbk dan merupakan perusahaan penggilingan tepung terigu terintegrasi dan terbesar dalam satu lokasi.
Sejarah
Perkembangan hingga akhir Orde Baru
Kelahiran Bogasari tidak bisa dilepaskan dari era Orde Baru. Secara tradisional, Indonesia tidak terlalu mengenal terigu dalam penganan sehari-hari. Akan tetapi, keadaan berubah ketika Orde Baru lahir dan menjalin hubungan baik dengan Amerika Serikat. AS yang merasa perlu untuk membantu Soeharto mendapat dukungan publik, lalu memberikan bantuan pangan lewat Public Law 480 berupa gandum ke Indonesia. Akan tetapi, gandum tersebut masih harus digiling menjadi terigu di Singapura, dan penanganannya yang buruk membuat terigu impor itu cepat rusak. Maka muncullah ide untuk membuat pabrik penggilingan gandum di Indonesia, dan Sudono Salim (Liem Sioe Liong), seorang rekan terdekat Soeharto kemudian ditunjuk sebagai pelaksana pembangunan pabrik tersebut. Ia dipilih karena selain kroni Presiden, juga memiliki lahan yang pas dan koneksi internasional, dengan Robert Kuok. Maka, PT Boga Sari (kemudian menjadi Bogasari Flour Mills) didirikan pada Mei 1969 dengan modal Rp 500 juta. Liem dan rekan-rekannya (seperti Sudwikatmono) bersama yayasan ABRI, yaitu Yayasan Dharma Putra dan Yayasan Harapan Kita menjadi pemegang saham di perusahaan terigu ini. Dengan bantuan modal dari Kuok dan pinjaman pemerintah, pabrik Bogasari pun dibangun di dua tempat.[1]
Pabrik Bogasari di Tanjung Priok, Jakarta mulai beroperasi pada tanggal 29 November 1971 setelah diresmikan Presiden Soeharto. Setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 10 Juli 1972, dilakukan peresmian Pabrik Bogasari di Tanjung Perak, Surabaya, dan pada 1977 didirikan pabrik kantong terigu yang berlokasi di Citeureup, Bogor, Jawa Barat.[2] Kapasitas pabrik Jakarta adalah 650 ton saat awal beroperasi, dan penggilingannya yang pertama adalah 8.000 ton gandum bantuan dari Australia. Kedekatan dengan Presiden akhirnya membuat Bogasari memonopoli penggilingan gandum di Indonesia. Walaupun yang mengendalikan impor dan ekspor gandum adalah Bulog (karena saat itu dianggap "komoditas strategis"), namun Bulog menunjuk Bogasari sebagai penggiling tunggal dari gandum-gandum yang telah diimpor negara.[1] Pemerintah juga mensubsidi gandum yang digiling oleh Bogasari, meskipun kemudian justru Bogasari kembali menjualnya ke Bulog dengan harga yang lebih mahal.[3]
Keberadaan pesaing lain, dengan mudah dikendalikan lewat kontrol suplai ke penggilingan lain oleh Bulog.[1] Apalagi, Bogasari memiliki hak khusus menggiling untuk daerah Pulau Jawa dan Sumatra, sedangkan rivalnya harus di luar Jawa. Akhirnya, pada tahun 1983, seluruh kendali pengolahan gandum menjadi terigu sebesar US$ 400 miliar sudah berada di tangan Bogasari.[4] Ketika pemerintah mulai menganjurkan deregulasi pada 1990-an pun, Bogasari yang sudah beraset Rp 600 miliar dan menggiling gandum sebesar 9.500 ton/tahun,[1] masih dibebaskan dari kewajiban bahwa penggiling gandum harus mengekspor 65% terigu yang mereka hasilkan. Akibat praktik monopoli ini, harga terigu di Indonesia jauh lebih mahal dari harga di luar negeri.[5] Kehadiran monopoli ini ikut membantu Salim Group membangun bisnis pangannya saat itu, terutama mi instan yang hingga saat ini masih menjadi basis pendapatannya. Diperkirakan, pada era 1990-an, sekitar 90% pasar terigu dan pasar mi instan dikendalikan oleh Salim Grup.[6]
Struktur kepemilikan Bogasari berubah pada tahun 1992, dengan sahamnya kemudian dialihkan menjadi milik perusahaan Salim Group lain (saat itu), yaitu Indocement. Kemudian, sejak Juni 1995 sampai sekarang, Bogasari berada di bawah Indofood, yang bisa dikatakan sebenarnya tidak mengubah pengendalian.[1][7] Monopoli terigu Bogasari dihapus pasca Indonesia masuk dalam krisis pada tahun 1997-1998, yang memaksa pemerintah menandatangani Letter of Intent di tanggal 15 Januari 1998 dengan IMF yang mewajibkan eliminasi pengendalian Bulog atas tata niaga gandum dan terigu, kedelai, dan bawang putih.[8] Subsidi Bulog untuk Bogasari pun dicabut, dan kemudian impor terigu secara bebas dibuka mulai September 1998. Tidak hanya itu, kemudian disahkan UU No. 5/1999 yang melarang praktik monopolistik ala Bogasari. Salim Grup sempat berencana akan melepas asetnya ini pasca krisis tersebut, dikarenakan khawatir akan tersangkut masalah dan perlu uang untuk membayar hutang-hutangnya, namun batal.[9][10]
Bogasari di masa kini
Saat ini Bogasari memiliki dua pabrik yang berlokasi di Jakarta dan Surabaya dengan total kapasitas produksi tepung sebesar 3,2 juta ton per tahun. Bogasari memproduksi berbagai tepung terigu yang berkualitas untuk berbagai kebutuhan dan dipasarkan dengan berbagai merek utama antara lain Cakra Kembar, Segitiga Biru, dan Kunci Biru. Merek-merek utama tersebut merupakan merek yang telah mapan, dikenal luas dan dekat di hati konsumen. Guna menjawab kebutuhan konsumen akan berbagai jenis terigu untuk berbagai makanan, Bogasari melakukan berbagai terobosan dan mengembangkan berbagai merek lainnya seperti Cakra Kembar Emas, Lencana Merah, Taj Mahal dan lainnya. Tepung terigu Bogasari tersedia di berbagai pelosok Indonesia melalui lebih dari 40 depo yang menyebar luas di berbagai daerah.
Pada tahun 1991, usaha Bogasari telah diperluas dengan mendirikan pabrik pasta dalam kawasan pabrik Bogasari di Jakarta yang memproduksi jenis makanan asal Italia seperti spageti, makaroni, fetucini, dan lainnya, yang dipasarkan dengan merek La Fonte. Selain untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat dalam negeri, berbagai produk pasta tersebut juga diekspor ke mancanegara.
Produk
Artikel ini berisi daftar yang lebih baik ditulis dalam bentuk prosa. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengubah artikel ini ke dalam bentuk prosa, jika sesuai.