Badak sumatra, juga dikenal sebagai badak berambut atau badak Asia bercula dua (Dicerorhinus sumatrensis),[5] merupakan spesies langka dari famili Rhinocerotidae dan termasuk salah satu dari lima spesies badak yang masih lestari. Badak sumatra merupakan satu-satunya spesies yang tersisa dari genusDicerorhinus. Spesies ini merupakan jenis badak terkecil, meskipun masih tergolong hewan mamalia yang besar. Tingginya 112-145 cm sampai pundak, dengan panjang keseluruhan tubuh dan kepala 2,36-3,18 m, serta panjang ekor 35–70 cm. Beratnya dilaporkan berkisar antara 500 sampai 1.000 kg, dengan rata-rata 700–800 kg, meskipun sebuah catatan melaporkan mengenai seekor spesimen dengan berat 2.000 kg. Sebagaimana spesies badak Afrika, badak sumatra memiliki dua cula; yang lebih besar adalah cula pada hidung, biasanya 15–25 cm, sedangkan cula yang lain biasanya berbentuk seperti sebuah pangkal. Sebagian besar tubuh badak sumatra diselimuti rambut berwarna cokelat kemerahan.
Spesies ini pernah menghuni hutan hujan, rawa, dan hutan pegunungan di India, Bhutan, Bangladesh, Myanmar, Laos, Thailand, Malaysia, Indonesia, dan Tiongkok. Dalam sejarahnya, badak sumatra dahulu tinggal di bagian barat daya Tiongkok, khususnya di Sichuan[6][7] Mereka sekarang terancam punah, dengan hanya enam populasi yang cukup besar di alam liar: empat di Sumatra, satu di Kalimantan, dan satu di Semenanjung Malaysia. Jumlah badak sumatra sulit ditentukan karena mereka adalah hewan penyendiri yang tersebar secara luas, tetapi dapat diperkirakan kalau jumlahnya kurang dari 100 ekor. Ada keraguan mengenai kelangsungan hidup populasinya di Semenanjung Malaysia, dan salah satu populasi di Sumatra mungkin sudah punah. Jumlah mereka saat ini mungkin hanya 80 ekor.[8] Pada tahun 2015, para peneliti mengumumkan bahwa badak sumatra timur di bagian utara Kalimantan (Sabah, Malaysia) telah punah.[9]
Dalam sebagian besar masa hidupnya, badak sumatra merupakan hewan penyendiri, kecuali selama masa kawin dan memelihara keturunan. Mereka merupakan spesies badak yang paling vokal dan juga berkomunikasi dengan cara menandai tanah dengan kakinya, memelintir pohon kecil hingga membentuk pola, dan meninggalkan kotorannya. Spesies ini jauh lebih sering dikaji daripada badak jawa yang sama tertutupnya. Banyaknya kajian mengenai badak sumatra merupakan dampak tidak langsung dari sebuah program pelestarian yang membawa 40 badak sumatra ke dalam konservasi ex-situ. Sedikit sekali pengetahuan mengenai prosedur yang diharapkan dapat membantu perkembangbiakan ex situ badak sumatra. Sejumlah badak mati di beberapa lokasi tujuan penangkaran, dan tak ada satupun bayi badak yang dilahirkan selama hampir 20 tahun. Populasi yang tersisa kini terisolasi di dalam habitat mereka yang semakin gundul.[10] Pada bulan Maret 2016, seekor badak sumatra terpantau kamera di wilayah Kalimantan.[11]
Taksonomi dan penamaan
Badak sumatra yang pertama kali didokumentasikan ditembak di suatu daerah yang berjarak 16 km dari luar Benteng Marlborough, dekat pesisir barat Sumatra, pada tahun 1793. Gambar hewan tersebut dan penulisan deskripsinya dikirimkan ke Joseph Banks, seorang naturalis yang kelak menjadi presiden Royal Society, yang menerbitkan sebuah makalah tentang spesimen tersebut pada tahun yang sama. Pada tahun 1814, spesies ini diberikan nama ilmiah oleh Johann Fischer von Waldheim, seorang ilmuwan Jerman dan kurator dari Museum Negara Darwin di Moskow, Rusia.[12][13]
Nama ilmiah Dicerorhinus sumatrensis berasal dari istilah Yunanidi (δι, yang artinya "dua"), cero (κέρας yang berarti "cula"), dan rhinos (ρινος, yang artinya "hidung").[14]Sumatrensis menandakan "dari Sumatra", sebuah pulau di Indonesia tempat di mana badak tersebut pertama kali ditemukan.[15]Carolus Linnaeus awalnya mengklasifikasikan semua badak ke dalam genus Rhinoceros; oleh karenanya spesies ini pada awalnya diidentifikasi sebagai Rhinoceros sumatrensis. Joshua Brookes menganggap badak sumatra, yang bercula dua, merupakan suatu genus yang berbeda dengan badak bercula satu, dan memberinya nama Didermocerus pada tahun 1828. Constantin Wilhelm Lambert Gloger mengusulkan nama Dicerorhinus pada tahun 1841. Pada tahun 1868, John Edward Gray mengusulkan nama Ceratorhinus. Biasanya nama yang paling lama yang akan digunakan, namun sebuah keputusan pada tahun 1977 dari International Commission on Zoological Nomenclature menetapkan nama resmi genusnya sebagai Dicerorhinus.[3][16]
D. s. sumatrensis, juga dikenal sebagai badak sumatra barat, tersisa antara 75 sampai 85 individu, kebanyakan berada di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan dan Gunung Leuser di Sumatra, tetapi juga ada sejumlah kecil yang menghuni Taman Nasional Way Kambas.[2] Subspesies ini sudah tak tersisa lagi di Semenanjung Malaya.[17] Ancaman utama terhadap subspesies ini adalah perambahan habitat dan perburuan liar. Badak sumatra timur dan barat memiliki sedikit perbedaan genetis.[2] Badak-badak di Semenanjung Malaysia pernah diberi nama taksonomi D. s. niger, tetapi studi lanjutan menggabungkannya dengan populasi di sumatra.[3]
D. s. harrissoni, juga dikenal sebagai badak sumatra timur atau badak kalimantan, pernah tersebar luas di seluruh Pulau Kalimantan; saat ini hanya 10 ekor yang diperkirakan masih hidup.[2] Populasinya yang telah diketahui di Kalimantan menghuni Sabah, sementara bukti video dari kamera intai juga memastikan kehadiran mereka di Kalimantan Timur.[18] Laporan mengenai adanya badak ini di Serawak belum dapat dikonfirmasi.[2] Subspesies ini mendapat namanya dari Tom Harrisson, yang bekerja secara ekstensif dengan antropologi dan zoologi Kalimantan pada tahun 1960-an.[19] Subspesies Kalimantan ini secara nyata lebih kecil dibandingkan dengan dua subspesies lainnya.[3] Badak sumatra timur baru-baru ini dinyatakan punah di alam liar dan hanya tersisa tiga ekor (1 jantan dan 2 betina) dalam konservasi di Sabah.[20]
D. s. lasiotis, dikenal sebagai badak sumatra utara atau badak chittagong, pernah menghuni India dan Bangladesh, tetapi telah dinyatakan punah di negara-negara tersebut. Laporan-laporan yang belum dikonfirmasi menunjukkan sejumlah populasi kecil yang mungkin masih bertahan hidup di Birma, namun situasi politik di negara tersebut telah mencegah dilakukannya pemeriksaan.[2] Nama lasiotis berasal dari bahasa Yunani untuk "telinga berambut". Penelitian di kemudian hari menunjukkan bahwa telinga berambut yang dimiliki subspesies ini tidak lebih panjang daripada badak sumatra lainnya, tetapi D. s. lasiotis tetap menjadi suatu subspesies karena secara signifikan lebih besar dibandingkan dengan subspesies lainnya.[3]
Leluhur badak dahulu kala menyimpang dari hewan berkuku ganjil lainnya pada masa Eosen Awal. Perbandingan DNA mitokondria menunjukkan kesan bahwa leluhur dari badak modern terpisah dari leluhur Equidae sekitar 50 juta tahun yang lalu.[21][22]Famili yang sekarang masih ada, Rhinocerotidae, pertama kali muncul pada masa Eosen Akhir di Eurasia, dan leluhur spesies badak yang masih ada sekarang mulai tersebar dari Asia pada masa Miosen.[23]
Badak sumatra dianggap paling sedikit karakter turunannya dari spesies badak yang masih ada saat ini, karena ciri-cirinya lebih mirip dengan leluhur Miosennya.[24]:13 Bukti paleontologis dalam catatan fosil menunjukkan asal genus Dicerorhinus ini dari masa Miosen Awal, antara 23–16 juta tahun yang lalu. Banyak fosil yang telah diklasifikasikan sebagai genus Dicerorhinus, namun tidak ada spesies baru lainnya dalam genus ini.[25] Penanggalan molekuler menunjukkan terjadinya perpecahan Dicerorhinus dari keempat spesies lain yang masih ada pada 25.9 ± 1.9 juta tahun yang lalu. Tiga hipotesis telah diajukan terkait hubungan antara badak sumatra dengan spesies lainnya yang masih ada. Satu hipotesis menyatakan bahwa badak sumatra berkaitan erat dengan badak putih dan hitam di Afrika, yang dibuktikan dengan adanya spesies yang memiliki dua cula, bukannya satu.[21] Ahli taksonomi lainnya menganggap badak sumatra adalah kerabat dekat (sister taxon) badak jawa dan India, karena sebaran mereka bertumpang tindih sedemikian eratnya.[21][26] Hipotesis ketiga, yang mana berdasarkan pada analisis yang lebih baru, menyatakan bahwa dua badak Afrika, dua badak Asia, dan badak sumatra mewakili tiga garis keturunan yang pada dasarnya berbeda dan terpisah sejak sekitar 25,9 juta tahun yang lalu; masih belum jelas kelompok mana yang pertama kali menyimpang.[21][27]
Karena kemiripan morfologi, badak sumatra diyakini berkerabat erat dengan badak berbulu wol (Coelodonta antiquitatis) yang sudah punah. Badak berbulu wol, dinamakan demikian karena lapisan rambut yang dimilikinya seperti pada badak sumatra, pertama kali muncul di Tiongkok; pada kalaPleistosen Akhir, badak ini tersebar di seluruh benua Eurasia dari Korea hingga Spanyol. Badak berbulu wol berhasil selamat dari zaman es terakhir, namun sama seperti mamut berbulu, seluruh atau sebagian besarnya telah punah sekitar 10.000 tahun yang lalu. Meskipun beberapa kajian morfologi mempertanyakan hubungan antara kedua spesies tersebut,[27] analisis molekuler baru-baru ini mendukung anggapan bahwa keduanya berkerabat dekat (sister taxa).[28]
Deskripsi
Seekor badak sumatra dewasa tingginya sekitar 120–145 cm sampai pundak, panjang tubuhnya sekitar 250 cm, dan beratnya 500–800 kg;[29] sementara badak terbesar yang diketahui, yang berada di kebun binatang, beratnya mencapai 2.000 kg.[30] Layaknya spesies Afrika, badak ini memiliki dua cula. Yang ukurannya lebih besar adalah cula hidung, biasanya hanya sepanjang 15–25 cm, namun ada spesimen yang tercatat berukuran 81 cm.[29] Cula belakangnya jauh lebih kecil, biasanya kurang dari 10 cm panjangnya, dan sering kali hanya sedikit lebih besar dari sebuah tombol. Cula belakang (posterior) yang lebih kecil itu dikenal sebagai cula dahi (frontal), sedangkan cula hidung yang lebih besar dikenal sebagai cula depan (anterior).[25] Cula-cula tersebut berwarna abu-abu gelap atau hitam. Meskipun spesies ini tidak dinyatakan sebagai dimorfik seksual, pejantan memiliki cula yang lebih besar daripada betina. Badak sumatra diperkirakan dapat hidup selama 30–45 tahun di alam liar, sedangkan rekor waktu dalam penangkaran adalah seekor D. lasiotis betina yang hidup selama 32 tahun 8 bulan sebelum ia mati pada tahun 1900 di Kebun Binatang London.[25]
Dua lipatan kulit yang tebal mengelilingi tubuhnya di bagian belakang kaki depan dan di depan kaki belakang. Badak ini memiliki lipatan kulit yang lebih kecil di sekitar lehernya. Kulitnya sendiri relatif tipis, hanya 10–16 mm; dan, di habitatnya di alam liar, badak ini tampaknya tidak memiliki lapisan lemak di bawah kulitnya. Rambutnya dapat saja lebat (rambut yang paling lebat terdapat pada anak badak) ataupun jarang, dan biasanya berwarna coklat kemerahan. Di alam liar, sulit untuk mengamati rambutnya karena badak-badak tersebut sering kali berlumuran lumpur. Namun, di penangkaran, rambutnya dapat bertumbuh dan menjadi lebih kasar, kemungkinan karena kurangnya gesekan yang ditimbulkan dari perjalanan menembus vegetasi (jika hidup di habitatnya di alam liar). Badak sumatra memiliki sebidang rambut panjang di sekitar telinga dan segumpal rambut tebal di ujung ekor. Sama seperti semua badak, penglihatannya sangat buruk. Badak sumatra termasuk cepat dan tangkas; mereka dapat mendaki gunung dengan mudah, dan dengan nyaman melintasi tepi sungai serta lereng yang curam.[15][25][29]
Penyebaran dan habitat
Badak sumatra hidup di hutan pegunungan, rawa, dan hutan hujan sekunder di dataran rendah maupun dataran tinggi. Badak tersebut mendiami daerah perbukitan yang dekat dengan air, terutama di bagian atas lembah-lembah yang curam dengan semak belukar yang sangat banyak. Badak sumatra pernah tersebar secara berkesinambungan sampai jauh ke utara yakni Birma, India timur, dan Bangladesh. Laporan-laporan yang belum dikonfirmasi juga menyatakan bahwa badak tersebut pernah menghuni Kamboja, Laos, dan Vietnam. Semua hewan yang masih hidup, dan diketahui, tinggal di Semenanjung Malaysia, Pulau Sumatra, dan Sabah, Kalimantan. Beberapa aktivis konservasi berharap masih dapat menemukan badak sumatra di Birma, walau sepertinya mustahil. Gejolak politik di Birma telah mencegah pengkajian dan penelitian terkait kemungkinan adanya individu badak yang bertahan di sana.[31] Laporan terakhir mengenai keberadaan hewan-hewan liar dari spesies ini di perbatasan India berasal dari tahun 1990-an.[32]
Taman Nasional Kerinci Seblat, taman nasional terbesar di Sumatra, diperkirakan dihuni sekitar 500 badak pada tahun 1980-an,[34] tetapi populasi ini sekarang dianggap sudah punah karena perburuan liar. Sangat tidak mungkin ada seekor pun yang masih bertahan hidup di Semenanjung Malaysia.[8]
Analisis genetika terhadap populasi badak sumatra berhasil mengidentifikasi tiga garis keturunan genetik yang berbeda.[13]Jalur penghubung antara Sumatra dan Malaysia bukanlah suatu penghalang berarti bagi badak-badak ini seperti Pegunungan Bukit Barisan di sepanjang Sumatra. Sebab badak di Sumatra bagian timur dan Semenanjung Malaysia memiliki kaitan yang lebih erat dibandingkan dengan badak di sisi lain pegunungan tersebut di Sumatra bagian barat. Dalam kenyataannya, badak Malaysia dan Sumatra timur sedikit sekali memperlihatkan varian genetika, populasi mereka kemungkinan besar tidak terpisah selama kala Pleistosen, ketika permukaan air laut jauh lebih rendah dan Sumatra merupakan bagian dari daratan utama pada kala tersebut. Namun populasi di Sumatra maupun Malaysia cukup dekat kaitannya secara genetik, sehingga perkawinan silang tidak akan menimbulkan masalah. Badak dari Kalimantan cukup berbeda sehingga para ahli genetika konservasi menyarankan untuk tidak menyilangkan garis keturunan mereka dengan populasi lainnya.[13] Para ahli genetika konservasi baru-baru ini mulai mempelajari keragaman lungkang gen dalam populasi ini dengan mengidentifikasi lokusmikrosatelit. Hasil pengujian awal menemukan tingkatan variabilitas dalam populasi badak sumatra yang dapat dibandingkan dengan yang ada dalam populasi badak Afrika yang tidak terlalu terancam, tetapi keragaman genetika badak sumatra masih perlu dikaji lebih lanjut.[35]
Meskipun badak sumatra telah dianggap punah di Kalimantan sejak tahun 1990-an, pada bulan Maret 2013 World Wide Fund (WWF) mengumumkan bahwa tim yang sedang memantau aktivitas orang utan di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, menemukan beberapa beberapa gigitan badak pada cabang kecil, jejak cula badak pada dinding lubang lumpur, bekas gesekan tubuh badak pada pohon, lubang lumpur, dan jejak kaki badak yang masih baru. Tim tersebut juga mengidentifikasikan bahwa badak-badak tersebut memakan lebih dari 30 spesies tanaman.[36] Pada tanggal 2 Oktober 2013, citra video hasil kamera intai yang menunjukkan adanya badak sumatra di Kutai Barat dirilis oleh WWF. Para ahli menganggap bahwa video tersebut menunjukkan dua hewan yang berbeda, meski citra yang didapat tidak begitu meyakinkan. Menurut Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan Republik Indonesia pada saat itu, bukti video tersebut "sangat penting" dan menyebutkan bahwa Indonesia memiliki "target pertumbuhan populasi badak sebesar tiga persen per tahun".[13][37]
Tingkah laku
Badak sumatra adalah binatang penyendiri, kecuali pada musim kawin dan selama membesarkan keturunan. Wilayah jangkauan pejantan dapat mencapai 50 km2, sedangkan betina 10–15 km2.[15] Jangkauan para betina tampaknya terpisah oleh jarak, sedangkan jangkauan para pejantan sering kali saling bersinggungan. Tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa badak sumatra mempertahankan wilayah mereka melalui perkelahian. Penandaan wilayah masing-masing dilakukan dengan cara menggores tanah dengan kaki mereka, membengkokkan pohon muda dengan pola yang khas, dan meninggalkan kotoran. Badak sumatra biasanya paling aktif pada saat makan, pada waktu fajar, dan sesaat setelah senja. Pada siang hari, mereka berkubang dengan cara mandi lumpur untuk mendinginkan tubuh dan beristirahat. Saat musim hujan, mereka pindah ke tempat yang lebih tinggi; pada masa-masa yang lebih dingin, mereka kembali ke daerah yang lebih rendah dalam wilayah jangkauan mereka.[15] Kalau lubang lumpur tidak tersedia, badak tersebut akan memperdalam genangan air dengan kaki dan culanya. Kebiasaan berkubang membantu badak mempertahankan suhu tubuhnya dan melindungi kulitnya dari ektoparasit dan serangga lainnya. Spesimen di penangkaran, yang tidak mendapat waktu berkubang secara memadai, dengan cepatnya menderita kerusakan kulit dan peradangan, pernanahan, masalah pada mata, peradangan kuku, kerontokan rambut, dan akhirnya mati. Suatu penelitian selama 20 bulan mengenai kebiasaan berkubang mendapati bahwa mereka tidak akan mengunjungi lebih dari tiga kubangan pada setiap waktu tertentu. Setelah 2–12 bulan menggunakan suatu kubangan tertentu, badak tersebut akan meninggalkannya. Biasanya mereka berkubang sekitar tengah hari selama dua sampai tiga jam sebelum mencari makan. Meskipun pengamatan terhadap badak sumatra di kebun-kebun binatang memperlihatkan bahwa mereka berkubang kurang dari 45 menit sehari, penelitian terhadap badak-badak liar menemukan bahwa mereka berkubang antara 80–300 menit (dengan rata-rata 166 menit) sehari.[39]
Mengingat populasinya yang tesrsebar, kesempatan mempelajari epidemiologi badak sumatra amat terbatas. Caplak dan Gyrostigma dilaporkan sebagai penyebab kematian hewan dalam penangkaran pada abad ke-19.[29] Badak ini juga dikenal rentan terhadap surra, suatu penyakit darah yang dapat disebarkan oleh pikat yang membawa Trypanosoma yang bersifat parasit; pada tahun 2004, kelima badak di Pusat Konservasi Badak Sumatra mati selama kurun waktu 18 hari setelah terinfeksi penyakit ini.[40] Badak sumatra tidak memiliki predator yang diketahui selain manusia. Harimau dan anjing liar mungkin mampu membunuh anak badak, tetapi anak-anak tersebut tetap tinggal dekat dengan induk mereka, dan frekuensi pembunuhan yang demikian tidak diketahui. Meskipun wilayah jangkauan badak sumatra bersinggungan dengan gajah dan tapir, badak tersebut tampaknya tidak bersaing dalam memperebutkan makanan atau habitat. Gajah (Elephas maximus) dan badak sumatra bahkan diketahui saling berbagi jalan atau lintasan, dan banyak spesies yang lebih kecil seperti rusa, babi hutan, dan anjing liar menggunakan lintasan yang dirintis oleh badak dan gajah.[15][41]
Badak sumatra mempertahankan lintasan-lintasan dalam wilayah jangkauannya. Lintasan tersebut terbagi menjadi dua jenis. Lintasan utama akan digunakan oleh beberapa generasi badak untuk melakukan perjalanan antar daerah penting dalam wilayah jangkauan masing-masing badak, seperti antar kawasan menggaram, atau dalam koridor yang melewati medan tak bersahabat yang memisahkan antar wilayah jangkauan. Dalam daerah makanan, badak tersebut akan membuat lintasan yang lebih kecil, yang masih tertutup vegetasi, menuju daerah yang mengandung makanan. Pernah ditemukan adanya lintasan badak sumatra yang menyeberangi sungai yang lebih dalam dari 1,5 m dan sekitar 50 m lebarnya. Arus dari sungai-sungai ini dikenal kuat, tetapi badak sumatra adalah perenang tangguh.[25][29] Jarangnya kubangan di tepi sungai dalam jangkauan badak sumatra menandakan bahwa mereka terkadang mandi di sungai sebagai ganti berkubang.[41]
Waktu makan badak sumatra kebanyakan pada saat sebelum malam tiba dan pagi hari. Mereka adalah hewan herbivora, dengan menu makanan pohon muda, dedaunan, buah-buahan, ranting dan tunas pohon.[25] Badak tersebut biasanya mengkonsumsi sampai dengan 50 kg makanan sehari.[15] Para peneliti berhasil mengidentikasi bahwa ada lebih dari 100 spesies makanan menjadi konsumsi badak sumatra, terutama dengan cara mengukur sampel-sampel kotoran mereka. Porsi terbesar dari menu makanan mereka adalah anakan pohon dengan diameter batang 1–6 cm. Badak sumatrabiasanya mendorong pohon-pohon muda ini dengan tubuhnya, berjalan di atas pohon tersebut tanpa menginjaknya untuk dapat memakan daun-daunnya. Banyak spesies tanaman yang dikonsumsi badak sumatra hanya dalam porsi kecil, sehingga menunjukkan bahwa badak tersebut sering mengganti menu makanannya dan makan di lokasi yang berbeda.[41] Di antara tanaman-tanaman yang paling umum dimakan badak sumatra, terdapat banyak spesies dari suku Euphorbiaceae, Rubiaceae, dan Melastomataceae. Spesies yang paling umum dikonsumsi badak tersebut adalah Eugenia.[42]
Menu makanan nabati dari badak sumatra kaya akan serat dan hanya berkadar protein sedang.[43] Proses "menggaram" sangat penting untuk nutrisi badak sumatra. Tempat menggaram dapat berupa kolam lumpur, rembesan air asin, atau mata air panas yang kecil. Tempat-tempat tersebut juga berperan sebagai fungsi sosial yang penting bagi badak-badak tersebut; badak jantan berkunjung ke tempat itu agar dapat menangkap aroma betina yang sedang berahi. Namun beberapa badak sumatra tinggal di daerah di mana tidak tersedia tempat menggaram, atau badak-badak tersebut belum teramati ketika sedang menggunakan tempat-tempat tersebut. Badak-badak ini dapat memenuhi kebutuhan mineral yang diperlukannya dengan cara mengkonsumsi tanaman yang kaya akan mineral.[41][42]
Badak sumatra merupakan spesies badak yang paling vokal (banyak bersuara).[44] Pengamatan terhadap spesies ini di kebun-kebun binatang memperlihatkan bahwa badak sumatrahampir terus menerus bersuara, dan diketahui bahwa mereka juga melakukannya di alam liar.[29] Badak sumatra mengeluarkan tiga suara berbeda: eep, "paus", dan "tiupan peluit". Eep, berupa satu dengkingan pendek selama satu detik, merupakan suara yang paling umum. "Paus", dinamakan demikian karena kemiripannya dengan vokalisasipaus bungkuk, merupakan suara yang paling serupa dengan nyanyian dan kedua yang paling umum. Nada suara "paus" bervariasi dan berlangsung selama 4–7 detik. "Tiupan peluit" merupakan suara siulan selama 2 detik yang segera disusul dengan suatu semburan udara. "Tiupan peluit" adalah vokalisasi yang paling keras, cukup keras untuk membuat jeruji besi pada kandang kebun binatang di mana badak tersebut diamati menjadi bergetar. Maksud dari semua vokalisasi ini tidak diketahui, meskipun ada teori yang menyatakan bahwa mereka melakukannya untuk menyampaikan adanya bahaya, kesiapan secara seksual, dan lokasi, seperti halnya vokalisasi hewan berkuku lainnya. "Tiupan peluit" dapat terdengar dari jarak yang sangat jauh, bahkan dalam semak lebat di mana badak sumatratinggal. Vokalisasi dengan volume serupa dari gajah terbukti dapat terdengar hingga jarak 9,8 km dan "tiupan peluit" mungkin dapat terdengar sampai sejauh itu juga.[44] Badak sumatrakadang-kadang memilin anakan pohon yang tidak mereka makan. Perilaku ini diyakini sebagai suatu bentuk komunikasi, sering kali menandakan adanya persimpangan dalam suatu lintasan.[41]
Reproduksi
Betina mencapai kematangan seksual pada usia 6–7 tahun, sedangkan jantan pada usia sekitar 10 tahun. Periode gestasi badak sumatra sekitar 15–16 bulan. Seekor anak, yang mana beratnya secara umum 40–60 kg, disapih setelah berusia sekitar 15 tahun dan tetap tinggal bersama induknya selama 2–3 tahun pertama hidupnya. Di alam liar, interval kelahiran spesies ini diperkirakan antara empat sampai lima tahun; belum ada penelitian tentang bagaimana perilaku atau cara mereka mengasuh keturunannya secara alamiah.[15]
Kebiasaan perkembangbiakan badak sumatra telah diteliti dalam penangkaran. Kedekatan secara seksual diawali dengan masa percumbuan yang ditandai dengan meningkatnya vokalisasi, pembesaran ekor, buang air kecil, dan meningkatnya kontak fisik; baik jantan maupun betina menggunakan moncong mereka untuk menyentuh kepala dan alat kelamin pasangannya. Pola percumbuan seperti ini paling mirip dengan badak hitam. Badak sumatra jantan yang masih muda sering kali terlalu agresif terhadap yang betina, terkadang mereka melukai dan bahkan membunuhnya selama percumbuan. Di alam liar, sang betina dapat melarikan diri dari pejantan yang terlalu agresif, namun tidak demikian jika di kandang penangkaran yang ruang geraknya terbatas sehingga mereka tidak dapat melarikan diri. Ketidakmampuan badak betina untuk meloloskan diri dari pejantan yang agresif mungkin sedikit banyak berperan terhadap rendahnya tingkat keberhasilan program-program perkembangbiakan dalam penangkaran.[45][46][47]
Masa berahi itu sendiri, saat badak betina bersikap reseptif terhadap badak jantan, berlangsung sekitar 24 jam, dan pengamatan-pengamatan telah mencatat bahwa masa tersebut terulang kembali dalam interval 21–25 hari. Badak-badak di Kebun Binatang Cincinnati teramati melakukan persetubuhan selama 30–50 menit, serupa lamanya dengan badak-badak yang lain; pengamatan dalam Pusat Konservasi Badak Sumatra di Malaysia memperlihatkan suatu siklus persetubuhan yang lebih singkat. Karena Kebun Binatang Cincinnati memiliki sejarah kehamilan yang sukses, dan badak lainnya juga menunjukkan periode persetubuhan yang sama lamanya, kebiasaan yang lama ini kemungkinan merupakan perilaku alaminya.[45] Meskipun pengamatan para peneliti memperlihatkan kesuksesan terjadinya pembuahan, semua kehamilan ini berakhir dengan kegagalan karena berbagai alasan hingga kesuksesan kelahiran pertama dalam penangkaran pada tahun 2001; penelitian terhadap kegagalan-kegagalan ini di Kebun Binatang Cincinnati menemukan bahwa ovulasi badak sumatradisebabkan oleh aktivitas kawin dan kadar progesteronnya tak terduga.[48] Keberhasilan pemuliaan akhirnya tercapai pada tahun 2001, 2004, dan 2007 dengan pemberian progestin tambahan kepada badak hamil.[49] Baru-baru ini seekor anak badak sumatra dilahirkan dalam penangkaran dari seekor betina yang terancam punah di Indonesia bagian barat, kelahiran seperti ini merupakan yang kelima dalam satu seperempat abad.[50]
Konservasi
Jumlah badak sumatra pernah cukup banyak di Asia Tenggara. Saat ini diperkirakan kurang dari 100 ekor yang masih hidup.[2] Spesies ini tergolong kritis (terutama karena perburuan ilegal), sementara survei terakhir pada tahun 2008 memperkirakan sekitar 250 ekor yang masih bertahan hidup.[51][52] Sampai dengan awal tahun 1990-an, penurunan populasi diperkirakan lebih dari 50% per dekade, dan populasi yang tersebar serta sedikit tersebut saat ini menghadapi risiko depresi penangkaran sanak yang tinggi.[2] Sebagian besar habitatnya yang tersisa adalah di daerah pegunungan Indonesia yang relatif sulit dijangkau.[53][54]
Perburuan liar badak sumatra menimbulkan keprihatinan, sebab harga culanya diperkirakan mencapai US$ 30.000 per kilogram.[24]:31 Spesies ini telah diburu secara berlebihan selama berabad-abad, sehingga membuat populasinya sangat berkurang dan masih mengalami penurunan hingga sekarang.[2] Badak tersebut sulit untuk diamati dan diburu secara langsung (seorang peneliti lapangan menghabiskan waktu tujuh minggu dengan bersembunyi di sebuah pohon dekat tempat menggaram tanpa pernah mengamati seekor badak pun secara langsung), sehingga para pemburu memanfaatkan perangkap tombak dan perangkap lubang. Pada tahun 1970-an, dibuat dokumentasi terkait pemanfaatan anggota-anggota tubuh badak di kalangan masyarakat setempat Sumatra, seperti penggunaan cula badak dalam jimat dan adanya kepercayaan masyarakat bahwa cula memberikan beberapa perlindungan terhadap racun. Daging badak yang dikeringkan digunakan sebagai obat untuk diare, kusta, dan tuberkulosis. "Minyak badak", suatu ramuan yang dibuat dengan cara merendam tengkorak badak dalam minyak kelapa selama beberapa minggu, dapat digunakan untuk mengobat penyakit-penyakit kulit. Sejauh mana penggunaan dan kepercayaan dalam praktik-praktik ini tidak diketahui.[29][31][41] Cula badak pernah diyakini penggunaannya secara luas sebagai afrodisiak; walaupun pada kenyataannya pengobatan tradisional Tionghoa tidak pernah menggunakannya untuk tujuan ini.[24]:29 Namun demikian perburuan spesies ini terutama didorong oleh adanya permintaan cula badak yang diduga demi khasiat obat.[2]
Hutan hujan di Indonesia dan Malaysia, tempat hunian badak sumatra, juga menjadi sasaran pembalakan liar ataupun yang legal karena harapan untuk mendapatkan kayu keras dari hutan-hutan tersebut. Kayu langka seperti merbau, meranti, dan semaram sangat bernilai di pasar internasional, harganya mencapai $1,800 per m3. Penegakan hukum atas penebangan liar sulit dilakukan karena adanya kehidupan manusia di dalam atau dekat dengan banyak dari hutan yang sama dengan yang dihuni badak tersebut. Gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia pada tahun 2004 telah digunakan sebagai alasan untuk membenarkan aktivitas penebangan kayu yang baru. Meskipun kayu keras dalam hutan hujannya badak sumatra ditujukan untuk pasar internasional dan tidak banyak digunakan dalam bidang konstruksi di dalam negeri, jumlah izin penebangan hutan ini telah meningkat secara dramatis akibat tsunami tersebut.[33] Tetapi, walaupun badak sumatra disebut-sebut sangat sensitif terhadap gangguan habitat, tampaknya hal ini tidak sebanding dengan adanya aktivitas perburuan, sebab mereka sedikit banyak mampu bertahan dalam kondisi hutan apa pun.[2]
Badak sumatra timur dipastikan telah punah di alam liar pada bulan April 2015, dan hanya tersisa 3 ekor di penangkaran.[55] Sementara badak sumatra daratan di Malaysia dipastikan telah punah di alam liar pada bulan Agustus 2015.[56]
Dalam penangkaran
Badak sumatra tidak dapat berkembang dengan baik di luar ekosistem mereka. Belum ada seekor pun spesimen yang lahir dalam suatu kebun binatang sejak sebuah kelahiran tunggal yang sukses pada tahun 1889 di Kebun Binatang Kolkata. Pada tahun 1872, Kebun Binatang London mendapatkan sepasang jantan dan betina yang tertangkap di Chittagong pada tahun 1868. Sang betina yang diberi nama "Begum" bertahan hidup sampai tahun 1900, sebuah rekor sepanjang masa untuk seekor badak dalam penangkaran.[57] Begum merupakan salah satu dari setidaknya tujuh spesimen subspesies D. s. lasiotis yang telah punah yang pernah dimiliki kebun-kebun binatang dan sirkus-sirkus.[29] Pada tahun 1972, Subur, satu-satunya badak sumatra yang masih tersisa dalam penangkaran, mati di Kebun Binatang Kopenhagen.[29]
Meskipun reproduksi spesies ini masih kurang sukses, pada awal tahun 1980-an beberapa lembaga konservasi memulai suatu program perkembangbiakan badak sumatra di dalam tempat penangkaran. Antara tahun 1984 dan 1996, program konservasiex situ memindahkan 40 badak sumatradari habitat asli mereka ke berbagai kebun binatang dan tempat penampungan di seluruh dunia. Kendati pada awalnya ada harapan yang besar, dan ada banyak penelitian yang dilakukan pada spesimen-spesimen dalam penangkaran, hingga akhir tahun 1990-an tidak ada satu badak pun yang lahir melalui program ini, dan sebagian besar pendukungnya sepakat bahwa program ini telah gagal. Pada tahun 1997, kelompok spesialis badak Asia dari IUCN, yang pernah mendukung program tersebut, menyatakan bahwa program tersebut telah gagal "bahkan dalam mempertahankan spesies ini dalam batasan angka kematian yang dapat diterima", dengan catatan bahwa selain kurangnya jumlah kelahiran, 20 ekor dari keseluruhan badak hasil tangkapan telah mati.[31] Pada tahun 2004, wabah surra di Pusat Konservasi Badak Sumatra membunuh semua badak dalam penangkaran di Semenanjung Malaysia, sehingga mengurangi keseluruhan populasi badak dalam penangkaran menjadi delapan ekor saja.[40][54]
Tujuh ekor dari keseluruhan badak tangkapan tersebut dikirim ke Amerika Serikat (yang lainnya tetap di Asia Tenggara), tetapi pada tahun 1997 jumlah mereka berkurang menjadi tiga: seekor betina di Kebun Binatang Los Angeles, seekor jantan di Kebun Binatang Cincinnati, dan seekor betina di Kebun Binatang Bronx. Sebagai upaya terakhir, ketiga badak tersebut kemudian disatukan di Cincinnati. Pada akhirnya, setelah berbagai kegagalan upaya selama bertahun-tahun, Emi (seekor betina dari Los Angeles) hamil untuk yang keenam kalinya, dengan seekor jantan bernama Ipuh dari kebun binatang tersebut. Lima kehamilan sebelumnya selalu berakhir dengan kegagalan. Para peneliti di kebun binatang tersebut telah belajar dari kegagalan-kegagalan sebelumnya, dan walaupun menggunakan bantuan pengobatan hormon khusus, Emi akhirnya melahirkan seekor anak badak jantan yang sehat bernama Andalas (artinya Sumatra) pada bulan September 2001.[58] Kelahiran Andalas merupakan kelahiran pertama yang sukses dari seekor badak sumatra di dalam penangkaran selama kurun waktu 112 tahun. Seekor anak badak perempuan bernama Suci menyusul pada 30 Juli 2004.[59] Pada tanggal 29 April 2007, Emi melahirkan untuk yang ketiga kalinya, ia melahirkan anak keduanya yang jantan yang bernama Harapan atau Harry.[49][60] Pada tahun 2007, Andalas yang selama ini menghuni Kebun Binatang Los Angeles dikembalikan ke Sumatra untuk ambil bagian dalam program pemuliaan dengan para betina yang sehat,[47][61] sehingga ia menjadi ayah setelah kelahiran seekor anak badak jantan bernama Andatu pada tanggal 23 Juni 2012; Andatu adalah anak badak keempat yang lahir dalam penangkaran pada zaman ini. Andalas kemudian dikawinkan dengan Ratu, seekor betina yang lahir di alam liar yang menghuni Suaka Badak Sumatra di Taman Nasional Way Kambas.[62]
Meskipun ada beberapa keberhasilan di Cincinnati, program pembiakan dalam penangkaran tetap merupakan hal yang kontroversial. Para pendukungnya berpendapat bahwa kebun-kebun binatang telah membantu upaya konservasi dengan mempelajari kebiasaan reproduksi mereka, meningkatkan edukasi dan kesadaran masyarakat seputar badak tersebut, serta membantu meningkatkan sumber daya finansial demi upaya-upaya konservasi di Sumatra. Para penentang program penangkaran berpendapat bahwa kerugiannya terlalu besar; program tersebut terlalu mahal; mengeluarkan badak-badak dari habitat mereka, walau hanya untuk sementara, berarti mengubah peranan mereka secara ekologis; dan populasi dalam penangkaran tidak dapat menandingi tingkat pemulihan populasi dalam habitat asli yang dilindungi dengan baik.[47] Pada bulan Oktober 2015 Harapan, badak terakhir di Belahan Barat, meninggalkan Kebun Binatang Cincinnati untuk menuju Indonesia.[63]
Penggambaran dalam budaya
Selain dari beberapa ekor yang dipelihara di kebun-kebun binatang dan digambarkan dalam buku-buku, badak sumatra kurang begitu dikenal karena kalah populer dengan badak putih dan hitam dari India. Namun baru-baru ini rekaman video mengenai badak sumatra di habitat aslinya dan di pusat-pusat pembiakan telah ditampilkan dalam beberapa dokumenter tentang alam. Rekaman ekstensif dapat dilihat dalam The Littlest Rhino (Badak yang Terkecil), sebuah dokumenter dari Asian Geographic. Natural History New Zealand menayangkan rekaman mengenai seekor badak sumatra, yang diambil oleh Alain Compost (seorang juru kamera berbasis Indonesia), dalam dokumenter The Forgotten Rhino (Badak yang Terlupakan) tahun 2001. Dokumenter tersebut terutama menampilkan badak-badak India dan Jawa.[64][65]
Meskipun badak-badak tersebut didokumentasikan dengan mengikuti kotoran dan jejak lintasan yang mereka tinggalkan, foto-foto badak kalimantan pertama kali diambil dan disebarkan secara luas oleh para konservasionis modern pada bulan April 2006, yaitu ketika kamera-kamera intai memotret seekor badak dewasa yang sehat di hutan-hutan Sabah di Malaysia Timur.[66] Pada 24 April 2007 diumumkan bahwa untuk pertama kalinya kamera-kamera berhasil mengambil rekaman video dari seekor badak kalimantan liar. Rekaman malam hari ini memperlihatkan badak tersebut sedang makan, mengintai melalui dedaunan hutan, dan mengendus peralatan video tersebut. World Wildlife Fund, yang telah melakukan perekaman video tersebut, telah menggunakannya dalam upaya untuk meyakinkan para pemerintah daerah untuk mengubah daerah tersebut menjadi suatu zona konservasi badak.[67][68] Pemantauan terus dilakukan; 50 kamera baru telah dipersiapkan, dan pada bulan Februari 2010, seekor badak yang tampaknya sedang hamil berhasil direkam.[69]
Sejumlah cerita rakyat mengenai badak sumatra berhasil dihimpun oleh para pemburu dan naturalis kolonial sejak pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Di Birma, pernah tersebar luas suatu keyakinan bahwa badak sumatra memakan api. Hikayat-hikayat menggambarkan badak yang makan api tersebut mengikuti asap sampai ke sumbernya, terutama api unggun, dan kemudian menyerang kampnya. Ada juga kepercayaan rakyat Birma bahwa waktu terbaik untuk berburu adalah setiap bulan Juli, sewaktu badak-badak sumatra berkumpul di bawah sinar bulan purnama. Di Malaya, dikatakan bahwa cula badak tersebut berongga dan dapat digunakan sebagai semacam selang untuk menghirup udara dan menyemprotkan air. Di Malaya dan Sumatra, pernah ada kepercayaan bahwa badak sumatra meluruhkan culanya pada setiap tahun dan menguburnya di dalam tanah. Di Kalimantan, badak tersebut dikatakan memiliki suatu kebiasaan karnivora yang aneh: setelah buang air besar di suatu aliran sungai, ia akan berbalik dan memakan ikan yang telah terbius oleh kotorannya.[29]
^Badak Sumatra, WWF, diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-12-05, diakses tanggal 7 Desember 2015
^(Inggris) Chapman, Jan (1999) The Art of Rhinoceros Horn Carving in China. Christie's Books, London. ISBN 0-903432-57-9. p. 27
^(Inggris) Schafer, Edward H. (1963) The Golden Peaches of Samarkand: A study of T'ang Exotics. University of California Press. Berkeley and Los Angeles. p. 83
^(Inggris) Rookmaaker, Kees (2005). "First sightings of Asian rhinos". Dalam Fulconis, R. Save the rhinos: EAZA Rhino Campaign 2005/6. London: European Association of Zoos and Aquaria. hlm. 52.
^ abcdefg(Inggris) van Strien, Nico (2005). "Sumatran rhinoceros". Dalam Fulconis, R. Save the rhinos: EAZA Rhino Campaign 2005/6. London: European Association of Zoos and Aquaria. hlm. 70–74.
^ abcd(Inggris) Tougard, C.; T. Delefosse; C. Hoenni; C. Montgelard (2001). "Phylogenetic relationships of the five extant rhinoceros species (Rhinocerotidae, Perissodactyla) based on mitochondrial cytochrome b and 12s rRNA genes". Molecular Phylogenetics and Evolution. 19 (1): 34–44. doi:10.1006/mpev.2000.0903. PMID11286489.
^(Inggris) Lacombat, Frédéric (2005). "The evolution of the rhinoceros". Dalam Fulconis, R. Save the rhinos: EAZA Rhino Campaign 2005/6. London: European Association of Zoos and Aquaria. hlm. 46–49.
^ ab(Inggris) Dean, Cathy; Tom Foose (2005). "Habitat loss". Dalam Fulconis, R. Save the rhinos: EAZA Rhino Campaign 2005/6. London: European Association of Zoos and Aquaria. hlm. 96–98.
^ abcdefg(Inggris) Borner, Markus (1979). A field study of the Sumatran rhinoceros Dicerorhinus sumatrensis Fischer, 1814: Ecology and behaviour conservation situation in Sumatra. Zurich: Juris Druck & Verlag. ISBN3-260-04600-3.
^(Inggris) Zainal-Zahari, Z.; Rosnina, Y.; Wahid, H.; Jainudeen, M. R. (2002). "Gross Anatomy and Ultrasonographic Images of the Reproductive System of the Sumatran Rhinoceros (Dicerorhinus sumatrensis)". Anatomia, Histologia, Embryologia: Journal of Veterinary Medicine Series C. 31 (6): 350–354. doi:10.1046/j.1439-0264.2002.00416.x. PMID12693754.
^ abc(Inggris) Roth, Terri L.; Radcliffem, Robin W.; van Strien, Nico J. (2006). "New hope for Sumatran rhino conservation"(PDF). International Zoo News (edisi ke-abridged from Communiqué). 53 (6): 352–353.
^ ab(Inggris) van Strien, Nico J. (2001). "Conservation Programs for Sumatran and Javan Rhino in Indonesia and Malaysia". Proceedings of the International Elephant and Rhino Research Symposium, Vienna, June 7–11, 2001. Scientific Progress Reports.