Pengepungan Lilybaeum adalah pengepungan kota Lilybaeum (kini Marsala) oleh Romawi yang dikuasai oleh Kartago di Sisilia, selama Perang Punik I. Pengepungan ini berlangsung selama sembilan tahun sejak 250 hingga 241SM. Roma dan Kartago telah berperang sejak 264SM, yang sebagian pertempuran terjadi di pulau Sisilia atau perairan di sekitarnya dengan mendorong mundur orang Kartago oleh Romawi secara perlahan. Pada 250SM, Kartago hanya menguasai kota Lilybaeum dan Drepana. Kota ini terletak di pantai barat dan dibentengi dengan baik karena semua suplai hanya dapat dilakukan dari laut tanpa campur tangan Romawi dengan pasukannya yang superior.
Pada pertengahan 250SM, Romawi mengepung Lilybaeum dengan kekuatan lebih dari 100.000 orang, tetapi upaya tersebut gagal dan aksi pengepungan menjadi jalan buntu. Romawi kemudian berusaha untuk menghancurkan armada Kartago, tetapi armada Romawi malah dihancurkan dalam Pertempuran maritim Drepana dan Phintias, orang-orang Kartago tetap menerima pasokan untuk kotanya dari laut. Sembilan tahun kemudian, pada 242SM, Romawi membangun armada baru dan mengadang pengiriman suplai Kartago. Orang-orang Kartago menyusun kembali armada mereka dan mengirimkannya ke Sisilia dengan penuh perbekalan. Bangsa Romawi bertemu dengan Kartago tidak jauh dari Lilybaeum dan Kartago berhasil dikalahkan dalam Pertempuran Aegates pada 241SM. Kartago menuntut perdamaian dan perang berakhir setelah berlangsung selama 23 tahun dengan kemenangan Romawi. Kartago masih menguasai Lilybaeum tetapi menurut ketentuan Perjanjian Lutatius, Kartago harus menarik pasukannya dari Sisilia dan mengevakuasi kota pada tahun yang sama.
Sumber utama
Sumber utama untuk hampir setiap aspek Perang Punik I adalah sejarawan Polibios (ca 200–ca118SM), seorang Yunani yang dikirim ke Roma pada 167SM sebagai sandera.[1][2][note 1] Karya-karyanya termasuk petunjuk tentang taktik militer yang telah hilang, tetapi ia terkenal karena karyanya The Histories, ditulis sekitar 146SM atau sekitar satu abad setelah pengepungan.[4][1][5] Karya Polibios dianggap secara luas objektif dan sebagian besar netral antara sudut pandang Kartago dan Romawi, termasuk seperti halnya pandangan sejarawan pro-Kartago sebelumnya seperti Philinus dari Agrigentum.[6][7][8]
Catatan tertulis Kartago dihancurkan bersamaan dengan kehancuran ibu kotanya, Kartago, pada 146 SM. Catatan Polibios tentang Perang Punik I didasarkan pada beberapa sumber Yunani dan Latin (yang juga telah hilang).[9] Polibios adalah seorang sejarawan analitis dan ia sedapat mungkin secara pribadi akan mewawancarai sendiri peserta yang terlibat dalam peristiwa yang akan ia tulis.[10][11] Hanya buku pertama dari empat puluh buku The Histories yang membahas Perang Punik I.[12] Keakuratan catatan Polibios telah banyak diperdebatkan selama 150 tahun terakhir, tetapi konsensus modern sebagian besar telah menerimanya secara nilai. Dalam sumber-sumber modern, rincian pertempuran, hampir seluruhnya didasarkan pada interpretasi dari catatan Polibios.[12][13][14] Sejarawan modern Andrew Curry menganggap bahwa "Ternyata Polibios cukup dapat diandalkan" dan ahli klasik Dexter Hoyos menggambarkannya sebagai "seorang sejarawan yang sangat rajin, berpengetahuan dan berwawasan luas." [15][16]
Sejarah perang lainnya yang (kemudian) ada, tetapi dalam bentuk potongan catatan atau ringkasan dan biasanya catatan-catatan tersebut mencatat operasi-operasi militer di darat yang lebih terperinci daripada di laut.[2][17] Sejarawan modern biasanya juga memperhitungkan sejarah Diodorus Siculus dan Dio Cassius, meskipun ahli klasik Adrian Goldsworthy menyatakan bahwa "catatan Polibios biasanya lebih dipilih ketika terdapat perbedaan dengan catatan-catatan kita yang lain."[11][note 2] Sumber-sumber lain mencakup prasasti termasuk koin, bukti arkeologi dan bukti empiris dari rekonstruksi seperti triremeOlympias.[19] Sejak 2010, beberapa artefak telah ditemukan dari lokasi bekas Pertempuran Aegates, pertempuran terakhir perang. Analisis dan pemulihan benda-benda lain selanjutnya, masih berlangsung.[20]
Latar belakang
Pada 264SM, Kartago dan Roma berperang, memulai Perang Punik I.[21] Republik Romawi telah berkembang secara agresif di daratan Italia selatan dalam kurun waktu satu abad sebelum perang[22] dan menaklukkan semenanjung Italia di selatan sungai Arno pada 272SM.[23] Selama periode ini, Kartago yang ibu kotanya di tempat yang sekarang bernama Tunisia, telah mendominasi Iberia selatan, sebagian besar wilayah pesisir Afrika Utara, Kepulauan Balears, Korsika, Sardinia dan bagian barat Sisilia dalam kekuasaan militer dan komersial.[24] Ekspansi Roma ke Italia selatan kemungkinan membuatnya tak dapat mengelak bahwa akhirnya akan berbenturan kepentingan dengan Kartago atas Sisilia dengan dalih tertentu.[25] Penyebab langsung dari perang adalah masalah kendali atas kota Sisilia yang bernama Messana (sekarang Messina).[26]
Pada 260SM, Romawi membangun armada besar, kemudian selama sepuluh tahun berikutnya berhasil mengalahkan Kartago dalam serangkaian pertempuran maritim.[27] Bangsa Romawi juga perlahan mengluasai sebagian besar Sisilia, termasuk kota-kota besar Akragas (sekarang Agrigento, bahasa Latin: Agrigentum) dikuasai pada 262SM) dan Panormus (sekarang Palermo) dikuasai pada 254SM).[28] pada 250SM, perang telah berlangsung selama 14 tahun lamanya dan keadaan berubah berkali-kali. Hal ini telah berkembang menjadi perjuangan Romawi yang berusaha untuk mengalahkan Kartago secara mutlak dan minimal menguasai seluruh Sisilia.[29] Orang-orang Kartago terlibat dalam kebijakannya untuk menunggu lawan mereka lelah dengan harapan kemudian mendapatkan kembali sebagian atau seluruh apa yang dimiliki dan merundingkan perjanjian damai yang saling menguntungkan, seperti yang telah dilakukan beberapa kali selama Perang Sisilia, dua abad sebelumnya.[30]
Pendahuluan
Antara tahun 252 dan 251SM, tentara Romawi menghindari pertempuran. Menurut Polibios karena Romawi cemas akan gajah perang yang telah dikirim Kartago ke Sisilia.[note 3][34][35] Pada akhir tahun 251 atau awal 250 SM, komandan Kartago Hasdrubal, mendapat informasi bahwa seorang konsul telah berangkat dari Sisilia untuk musim dingin bersama separuh tentara Romawi, bergerak ke Panormus[35][36] dan dengan berani memindahkan sebagian besar pasukannya, termasuk gajah, menuju tembok kota. Konsul Romawi yang tersisa, Lucius Caecilius Metellus, mengirim pasukan kecil untuk mengganggu orang-orang Kartago, menjaga mereka terus-menerus dipasok dengan lembing dari persediaan di dalam kota. Tanah ditutupi dengan benteng yang dibangun selama pengepungan Romawi, sehingga sulit bagi gajah tempur untuk maju. Dihujani dengan lembing dan tidak mampu membalas, gajah-gajah tersebut melarikan diri melalui infanteri Kartago di belakangnya. Metellus mengambil kesempatan dengan memindahkan kekuatan besar ke sayap kiri pasukan Kartago dan menyerang lawan mereka yang tidak beraturan. Orang-orang Kartago melarikan diri, Metellus menangkap gajah-gajah tetapi tidak mengizinkan perburuan.[37] Catatan kontemporer tidak mencatat adanya kerugian antara kedua belah pihak dan sejarawan modern menganggap klaim atas 20.000–30.000 korban Kartago di kemudian hari tidak mungkin terjadi.[38]
Pengepungan
Didorong oleh kemenangan Romawi di Panormus dan keberhasilannya melawan gajah, Senat Romawi merencanakan upaya besar untuk tahun 250SM. Pada saat ini Kartago hanya menguasai dua kota di Sisilia, yakni Lilybaeum dan Drepana (kini Marsala dan Trapani), kota ini terletak di pantai barat dan dibentengi dengan baik, serta mendapatkan pasokan dari jalur laut, tanpa campur tangan Romawi dengan pasukannya yang superior.[39][40] Merupakan prosedur Romawi untuk menunjuk dua orang konsul setiap tahun yang merupakan posisi paling senior dalam sistem politik Romawi. Selama masa perang, konsul ini masing-masing memimpin pasukan. Pada 250SM, dua orang yang sangat berpengalaman dalam bidang militer dan keduanya menjabat sebagai konsul sebelumnya, ditugaskanlah Gaius Atilius Regulus dan Lucius Manlius Vulso.[41] Keduanya bersama-sama memimpin kekuatan besar melawan Lilybaeum dengan kekuatan pasukan lebih dari 100.000 orang yang terdiri dari empat legiun, personel pendukung dan kontingen armada maritim yang kuat, mungkin berjumlah sekitar 200 kapal. Pasukan garnisun Kartago terdiri dari 7.000 infanteri dan 700 kavaleri, kebanyakan orang-orang Yunani dan Celtic di bawah komando seorang jenderal Kartago bernama Himilco.[42][43][44] Lilybaeum adalah basis Kartago utama di Sisilia, dan menurut sejarawan John Lazenby, kehilangan Lilybaeum akan mengakhiri kehadiran mereka di pulau tersebut.[45] Lilybaeum memiliki dinding yang sangat kuat dan beberapa menara, dilindungi oleh parit kering yang menurut Diodoros memiliki kedalaman 20 meter (66 kaki) dan lebar 30 meter (98 kaki).[46] Pada tahun 278 SM kota tersebut bertahan dari pengepungan yang dipimpin oleh pemimpin Yunani Pyrrhus dari Epirus setelah ia merebut semua milik Kartago lainnya di Sisilia.[47] Pelabuhan tersebut terkenal sulit untuk diakses dengan aman tanpa pemandu lokal yang berpengalaman karena dangkalan yang berbahaya.[note 4][46]
Bangsa Romawi mendirikan dua kamp yang dibentengi, lalu mengumpulkan ketapel, ram dan peralatan pengepungan lainnya, kemudian menyerang sudut tenggara benteng kota dan menghancurkan enam menara terluar benteng. Bangsa Romawi berusaha untuk menyerang pertahanan Lilybaeum melalui saluran atau terowongan bawah tanah dan para garnisun Kartago menggali ranjau balasan. Garnisun Kartago juga berusaha untuk memperbaiki kerusakan pada tembok dan menara setiap malam dan berulang kali menyerang pengepungan Romawi. Polibios menulis tentang pertempuran yang begitu sengit sehingga terdapat banyak korban.[48] Bangsa Romawi juga kehilangan orang-orangnya karena penyakit, tempat tinggal yang tidak memadai dan makanan yang buruk termasuk daging yang tidak layak konsumsi.[43][49][42]
Penduduk Kartago menyoroti peran terbatas dalam tentara mereka yang sebagian besar barisan dan jajarannya adalah orang asing. Sumber-sumber Romawi menyebut para tentara asing ini direndahkan dengan disebut sebagai "tentara bayaran".[50] Kesetiaan mereka kepada Kartago biasanya kuat, tetapi dengan moral mereka yang diturunkan oleh serangan Romawi yang sengit membuat beberapa perwira senior menyelinap ke kamp Romawi pada suatu malam, bermaksud untuk berkhianat. Mereka pada gilirannya dikhianati Himilco melalui seorang perwira Yunani bernama Alexon. Himilco mencegah para pengkhianat tersebut untuk kembali ke kota dan mengumpulkan pasukannya dengan dorongan pribadi dan menjanjikan mereka uang sebagai bonus.[42] Saat serangan gencar Romawi mencapai puncaknya, 50 kapal perang Kartago berkumpul di Kepulauan Aegates yang terletak 15–40 kilometer (9–25 mi) di sebelah barat Sisilia. Kartago berlayar ke Lilybaeum begitu ada angin barat yang kuat, sebelum pasukan Romawi bisa bereaksi. Angkatan laut Romawi tidak dapat mengejar mereka ke pelabuhan karena adanya beting (pendangkalan). Kapal-kapal menurunkan sejumlah besar suplai dan bala bantuan sebanyak 4.000 atau 10.000 orang menurut sumber yang berbeda. Mereka menghindari pasukan Romawi dengan berlayar pada malam hari, mengevakuasi kavaleri Kartago ke utara karena komandan Kartago Drepana, Adherbal, masih memiliki kebebasan untuk bermanuver.[51][52][53] Pada malam yang sama, Himilco meluncurkan pasukan dengan sebagian besar garnisun, termasuk bala bantuan dalam upaya untuk menghancurkan pengepungan Romawi. Setelah pertarungan yang digambarkan Lazenby sebagai "bingung dan putus asa", orang-orang Kartago terpaksa mundur tanpa hasil.[54]
Bangsa Romawi menenggelamkan 15 kapal yang sarat dengan batu-batu ke arah yang mendekati pelabuhan sebagai upaya untuk memblokade pintu masuk pelabuhan, tetapi gagal.[48] Kemudian berulang kali mencoba untuk memblokir pintu masuk pelabuhan dengan meledakkan kayu yang berat, tetapi karena kondisi laut yang tidak mendukung, aksi ini juga tidak berhasil.[55] Garnisun Kartago didukung oleh pendobrak blokade, berupa galai ringan dan mudah untuk bermanuver dengan awak sangat terlatih dan pemandu yang berpengalaman. Kepala di antara para pendobrak blokade tersebut adalah sebuah galai yang di pimpin oleh Hannibal the Rhodian, yang mengejek orang Romawi dengan keunggulan kapal dan awaknya. Akhirnya, Romawi berhasil menangkap Hannibal dan kapalnya.[56]
Serangan Romawi berlanjut dan merobohkan sebagian dinding benteng menggunakan ketapel, Kartago membalas dengan membangun dinding bagian dalam. Romawi mengalihkan perhatian Kartago dengan tipuan seakan-akan akan terjadi serangan di satu bagian tembok dan mengisi parit di beberapa tempat, lalu merebut bagian yang berbeda dengan pasukan serangan terpisah. Dengan cara yang tidak jelas disebutkan sumbernya, Himilco menghancurkan serangan dan merebut kembali tembok tersebut. Lazenby berspekulasi bahwa Himilco entah bagaimana caranya dengan mengumpan pasukan Romawi untuk maju dari bagian tembok yang telah mereka kuasai dan menumpasnya di antara tembok luar asli dan tembok bagian dalam yang baru dibangun. Badai yang datang dari arah barat daya, menerbangkan pondok sebagai tempat perlindungan para pengepung dari jatuhnya batu dan bahan yang mudah terbakar lalu merusak atau menghancurkan menara pengepungan mereka. Melihat kesempatan tersebut, garnisun Kartago menyortir dan memulai aksi kebakaran di tiga tempat. Dengan angin yang kencang, api menyebar dengan cepat dan orang-orang Romawi berusaha untuk memadamkan api tersebut. Pada saat yang sama, Pengusiran orang Kartago oleh Romawi terhambat oleh asap dan api yang menghalangi. Perangkat pengepungan secara substansial hancur.[57]
Setelah perangkat pengepungan hancur, Romawi membangun dinding tanah dan kayu yang kuat untuk mencegah serangan lebih lanjut, tetapi juga akan menghambat serangan selanjutnya ke kota. Fokus pertempuran pindah ke wilayah utara. Pada tahun 247SM, komandan Kartago yang baru di Sisilia, Hamilcar Barca[note 5] mendirikan pangkalan di Hertce, dekat Panormus dan mengganggu jalur komunikasi Romawi selama tiga tahun. Ia kemudian dipindahkan ke Eryx dekat Drepana, kemudian ia menggunakan taktik senjata gabungan dalam serangan ke Romawi dan penyekatan. Perang gerilya tersebut membuat legiun Romawi terjepit dan mempertahankan jejak Kartago di Sisilia.[59][60][61]
Perang maritim
Roma tidak melakukan upaya lebih lanjut untuk menduduki Lilybaeum secara sungguh-sungguh, tetapi kembali membuat para musuhnya kelaparan,[52] dengan memotong jalur suplai maritimnya. Pada tahun 249SM salah satu konsul Publius Claudius Pulcher, memutuskan bahwa hal tersebut dapat dilakukan dengan menyerang armada Kartago, yang berada di pelabuhan Drepana yang berjarak 25 km (16 mi) ke pantai. Armada Romawi berlayar pada malam hari untuk melakukan serangan mendadak, tetapi lantas tercerai-berai dalam kegelapan. Komandan Kartago, Adherbal, mampu memimpin armadanya keluar dari pelabuhan sebelum mereka terjebak di tempat tersebut dan melakukan serangan balik dalam Pertempuran Drepana. Orang-orang Romawi terjepit di pantai dan setelah seharian mengalami pertempuran berat, Romawi berhasil dikalahkan oleh kapal-kapal Kartago yang lebih bermanuver dengan awak kapalnya yang lebih terlatih. Pertempuran tersebut adalah kemenangan maritim terbesar Kartago dalam perang.[62][63]
Tak lama setelah pertempuran, Adherbal diperkuat oleh komandan Kartago lainnya Carthalo, dengan kekuatan armada 70 kapal.[note 6] Adherbal membawa komando Carthalo hingga mencapai armada 100 kapal dan mengirimnya untuk menyerang Lilybaeum, lalu membakar beberapa kapal Romawi disana. Beberapa saat kemudian, ia mengadang konvoi pasokan Romawi yang terdiri dari 800 kapal angkut yang dikawal oleh 120 armada kapal perang, tetapi kemudian dihantam badai yang menenggelamkan semua kapal kecuali dua.[67] Hal tersebut tujuh tahun sebelum Roma kembali mencoba untuk menurunkan armada besar, sementara Kartago mencadangkan sebagian besar kapalnya untuk menghemat biaya dan membebaskan tenaga kerja.[68][69] Pertempuran kecil terus berlanjut selama delapan tahun berikutnya di sekitar wilayah Panormus dan Eryx.[70] Permusuhan antara pasukan Romawi dan Kartago yang menolak operasi atau peperangan darat skala kecil, sesuai dengan strategi Kartago.[61]
Setelah lebih dari 20 tahun berperang, kedua negara mengalami kelelahan, baik secara finansial maupun demografis.[71] Bukti tentang kondisi keuangan Kartago, termasuk ditolaknya permintaannya atas pinjaman sebesar 2.000 talenta dari Ptolemaik Mesir.[72] Roma juga hampir pailit dan jumlah penduduk pria dewasa, sebagai tenaga kerja untuk maritim dan legiun, telah menurun sebesar 17 persen sejak dimulainya perang.[73] Goldsworthy menggambarkan kerugian tenaga kerja Romawi sebagai kondisi yang "mengerikan". [74]
Pada akhir 243SM, Romawi menyadari bahwa tidak akan dapat merebut Drepana dan Lilybaeum kecuali Romawi memperluas blokade ke laut, Senat memutuskan untuk membangun armada baru.[75] Dengan kondisi kas negara yang habis, Senat mendekati warga Roma terkaya untuk mendapatkan pinjaman guna membiayai pembangunan satu kapal masing-masing, dibayar dari pampasan akan dikenakan pada Kartago setelah perang dapat dimenangkan. Hasilnya adalah sekitar 200 armada kapal perang besar, dibangun, dilengkapi dan diawaki tanpa biaya negara.[76] Bangsa Romawi membuat model kapal dalam armada barunya menggunakan model kapal pendrobrak blokade milik Hannibal the Rhodian yang ditangkap, memastikan bahwa kapal mereka memiliki kualitas yang sangat baik.[75] Bangsa Romawi telah memperoleh pengalaman yang cukup dalam pembuatan kapal sehingga terbukti mereka dapat menghasilkan kapal berkualitas tinggi.[77] Yang penting, Bangsa Romawi mengubah taktik maritimnya[75] dari yang didasarkan pada menaiki kapal lawan menggunakan Corvus, menjadi taktik yang didasarkan pada manuver dan menabrak musuh.[78][79][80]
Pada 241SM, orang Kartago membangun armada yang sedikit lebih besar daripada armada maritim Romawi, yang akan digunakan untuk menjalankan pasokan atau suplai ke Sisilia. Kemudian mulai memberangkatkan banyak tentara Kartago yang akan ditempatkan di sana sebagai marinir. Namun, armada ini diadang oleh armada maritim Romawi di bawah komando Gaius Lutatius Catulus dan Quintus Valerius Falto dalam Pertempuran Aegates. Perjuangan Kartago lebih berat dalam pertempuran ini karena armada maritim Romawi yang lebih terlatih dapat mengalahkan armada Kartago yang kalah jumlah dan tidak terlatih.[81][82] Setelah kemenangan mutlak ini, Romawi melanjutkan operasi pertempuran darat mereka di Sisilia melawan Lilybaeum.[83]
Akibat
Senat Kartago enggan mengalokasikan sumber daya yang diperlukan untuk membangun dan mengawaki armada lain.[84] Kartago membutuhkan waktu sembilan bulan untuk melengkapi armada yang pernah dikalahkan dan jika mereka membutuhkan sembilan bulan lagi untuk mempersiapkan armada lain, kota-kota Sisilia yang masih bertahan akan kehabisan persediaan dan meminta perundingan perdamaian. Secara strategis, Kartago harus membangun armada yang mampu mengalahkan armada Romawi, juga membentuk pasukan yang mampu mengalahkan pasukan Romawi di Sisilia. Sebaliknya, Senat Kartago memerintahkan Hamilcar untuk merundingkan perdamaian dengan Romawi, ia meninggalkan Sisilia dengan marah, yakin bahwa menyerah bukanlah hal yang diperlukan. Pemimpin Kartago yang paling senior berikutnya di Sisilia, Gisco, yakni gubernur Lilybaeum, menyetujui perundingan damai dengan Romawi.[85][84][86]Perjanjian Lutatius ditandatangani pada tahun yang sama dengan Pertempuran Aegates dan mengakhiri Perang Punik I. Kartago mengevakuasi Sisilia, menyerahkan semua tawanan selama perang dan membayar ganti rugi sejumlah 3.200 talenta (sekitar 82 ton (81 ton panjang) perak)[87] lebih dari sepuluh tahun.[81] Tentara Kartago di Sisilia terkonsentrasi di benteng terakhirnya, Lilybaeum, kemudian dievakuasi secara bertahap ke Kartago.[88]
Ketegangan tetap tinggi antara kedua negara dan keduanya terus melakukan ekspansi di Mediterania barat.[89][90] Ketika Kartago mengepung kota Sagunto yang dilindungi Romawi di Iberia timur pada tahun 218 SM, kota tersebut memicu Perang Punik II dengan Roma.[91] Pada awal perang, terdapat laporan tentang rencana Kartago untuk merebut kembali Lilybaeum dan beberapa kapal Kartago melancarkan serangan terhadap pelabuhan, tetapi konsul Romawi di Sisilia membalas dan serangan tersebut gagal.[92][93]
Catatan, kutipan dan pustaka
Catatan
^Istilah Punik berasal dari kata Punicus (atau Poenicus), yang berarti "Kartago" dan merujuk pada leluhur KartagoFenisia.[3]
^Sumber selain Polibios diulas oleh Bernard Mineo dalam "Sumber Sastra Utama untuk Perang Punisia (selain Polibios)."[18]
^Dua sejarawan modern berspekulasi bahwa Pulcher mungkin telah menyadari penguatan ini dan bahwa jika demikian, hal tersebut adalah faktor penentu dalam keputusannya untuk menyerang saat lawannya berada dalam kondisi yang lebih lemah.[65][66]
Briscoe, John (2003). "The Second Punic War". Dalam Astin, A. E.; Walbank, F. W.; Frederiksen, M. W.; Ogilvie, R. M. The Cambridge Ancient History: Rome and the Mediterranean to 133 B.C. VIII. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 44–80. ISBN0-521-23448-4.
Crawford, Michael (1974). Roman Republican Coinage. Cambridge: Cambridge University Press. OCLC859598398.
Curry, Andrew (2012). "The Weapon That Changed History". Archaeology. 65 (1): 32–37. JSTOR41780760.
Edwell, Peter (2015) [2011]. "War Abroad: Spain, Sicily, Macedon, Africa". Dalam Hoyos, Dexter. A Companion to the Punic Wars. Chichester, West Sussex: John Wiley. hlm. 320–338. ISBN978-1-119-02550-4.
Konrad, C. (2015). "After Drepana". The Classical Quarterly. 65 (1): 192–203. doi:10.1017/S0009838814000032.Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Mineo, Bernard (2015) [2011]. "Principal Literary Sources for the Punic Wars (apart from Polybius)". Dalam Hoyos, Dexter. A Companion to the Punic Wars. Chichester, West Sussex: John Wiley. hlm. 111–128. ISBN978-1-119-02550-4.
Rankov, Boris (2015) [2011]. "A War of Phases: Strategies and Stalemates". Dalam Hoyos, Dexter. A Companion to the Punic Wars. Chichester, West Sussex: John Wiley. hlm. 149–166. ISBN978-1-4051-7600-2.
Royal, Jeffrey G.; Tusa, Sebastiano, ed. (2019). The Site of the Battle of the Aegates Islands at the End of the First Punic War. Fieldwork, Analyses and Perspectives, 2005–2015. Bibliotheca Archaeologica. 60. Rome: L'Erma di Bretschneider. ISBN978-88-913-1835-0.
Scullard, H.H. (2006) [1989]. "Carthage and Rome". Dalam Walbank, F. W.; Astin, A. E.; Frederiksen, M. W.; Ogilvie, R. M. Cambridge Ancient History Part 2. VII (edisi ke-2nd). Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 486–569. ISBN0-521-23446-8.Parameter |name-list-style= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Polybius (2020) [c. 167–118 BC]. "The Histories". Bill Thayer's Web Site. Diterjemahkan oleh Paton, William Roger; Thayer, Bill. University of Chicago. Diakses tanggal 4 May 2020.