Perangnya dimulai pada tahun 264SM dengan Kartago mengambil kendali atas sebagian besar Sisilia, tempat kebanyakan pertempuran berlangsung. Pada tahun 256–255SM pihak Romawi mencoba menyerang kota Kartago di Afrika Utara, tetapi mengalami kekalahan pahit atas angkatan Kartago yang kuat dengan gajah dan kavaleri. Ketika pusat perangnya kembali ke Sisilia, Roma mengambil alih kota Panormus yang besar lagi penting pada tahun 254SM. Kemudian mereka menghindari pertempuran sebab segan akan gajah perang yang Kartago kirimkan menuju Sisilia. Pada akhir musim panas 250SM Hasdrubal memimpin tentaranya untuk menghancurkan tanaman di kota-kota sekutu Roma. Pihak Romawi mundur ke Panormus dan Hasdrubal menekan dinding-dinding kota tersebut.
Sesampainya di Panormus, Metellus mulai bertempur, membalas kekuatan gajah Kartago dengan hujan lembing dari pengerjaan tanah yang digali di dekat dinding kota. Mengalami penembakan misil tersebut para gajah panik dan melarikan diri melalui infanteri Kartago. Infanteri berat Romawi kemudian menyerbu sisi kiri Kartago, yang bercerai-cerai bersama dengan sisa kekuatan Kartago. Para gajah ditangkap dan kemudian disembelih di Circus Maximus. Pertempuran ini merupakan pertarungan darat signifikan terakhir dalam perangnya, yang berakhir sembilan tahun kemudian dengan kemenangan Romawi.
Sumber primer
Sumber utama untuk hampir segala aspek Perang Punik I[note 1] berasal dari sejarawan Polibios (ca 200–118 SM), orang Yunani yang dikirim menuju Roma pada tahun 167SM sebagai seorang sandera.[3] Karya-karyanya meliputi sebuah pedoman taktik militer yang hilang,[4] tetapi ia paling dikenal atas Historiai miliknya, yang ditulis setelah tahun 146SM, atau sekitar seabad selepas berakhirnya perang tersebut.[5] Karya Polibios secara luas dianggap objektif dan netral di antara sudut pandang Kartago dan Roma.[6]
Catatan tertulis Kartago hancur bersama ibu kota Kartago pada tahun 146SM dan riwayat Polibios mengenai Perang Punik I didasarkan dari beberapa sumber bahasa Yunani dan Latin yang telah hilang.[7] Polibios merupakan seorang sejarawan analitis dan jika memungkinkan ia mewawanacarai peserta peristiwa-peristiwa yang menjadi subjek tulisannya.[8] Hanya sebagian dari buku pertama di antara 40 yang membentuk Historiai membahas Perang Punik I.[9] Ketepatan catatan Polibios telah banyak diperdebatkan selama 150 tahun terakhir, tetapi konsensus modern memutuskan untuk menerimanya sebagian besar pada nilai nominal, dan perincian pertempuran ini dalam sumber-sumber modern hampir seluruhnya didasarkan dari penafsiran catatan Polibios.[10] Sejarawan modern Andrew Curry menanggap Polibios "lumayan terpercaya",[11] sementara Craige B. Champion menggambarkannya sebagai seorang sejarawan yang "luar biasa berpengetahuan, tekun, dan tajam".[1] Terdapat riwayat kuno yang lebih muda tentang perangnya, tetapi dalam bentuk yang tidak lengkap atau berupa ringkasan.[12] Para sejarawan modern biasanya mempertimbangkan riwayat oleh Diodoros Sikolos dan Cassius Dio, meski ahli klasika Adrian Goldsworthy menyatakan bahwa "catatan Polibios umumnya lebih dipilih ketika berbeda dari catatan lain".[13][note 2] Sumber-sumber lain mencakup inskripsi, koin, dan bukti arkeologis.[14]
Sebagian besar pria Romawi diwajibkan menjalankan dinas militer, dan akan bertugas sebagai infanteri, dengan sebagian kecil yang lebih beruntung menyediakan komponen kavaleri. Secara tradisional, ketika berperang para pria Romawi akan mengangkat dua legiun prajurit Romawi dan dua alae sekutu, masing-masing terdiri atas 4.200 infanteri[note 3] dan 300 kavaleri (900 kavaleri untuk ala). Sejumlah kecil dari para infanteri bertugas sebagai penskirmis bersenjatakan lembing. Prajurit lainnya diperalati sebagai infanteri berat, dengan zirah, perisai berukuran besar, dan pedang penusuk pendek. Mereka terbagi menjadi tiga tingkatan, dengan tingkat depan juga membawa dua lembing, sementara tingkat kedua dan ketiga membawa tombak penusuk. Baik sub-unit legiuner maupun legiuner individual bertarung dalam formasi yang relatif terbuka. Merupakan prosedur Romawi lama untuk memilih dua konsul setiap tahunnya yang masing-masing akan memimpin satu pasukan. Suatu pasukan biasanya dibentuk dengan menggabungkan sebuah legiun Romawi dengan sebuah legiun berukuran dan berperlengkapan serupa yang disediakan oleh sekutu Latin mereka.[16]
Warga negara Kartago hanya bertugas bersama pasukan tentara mereka apabil terdapat ancaman langsung terhadap kota Kartago. Dalam kebanyakan situasi Kartago merekrut orang asing untuk membentuk pasukan mereka. Banyak rekrut berasal dari Afrika Utara yang menyediakan beberapa jenis petarung seperti; infanteri formasi tertutup dilengkapi dengan perisai besar, helm, pedang pendek, dan tombak penusuk panjang; penskirmis infanteri ringan bersenjatakan lembing; kavaleri kejut formasi tertutup pembawa tombak; dan penskirmis kavaleri ringan yang melempar lembing dari jarak jauh dan menghindari pertarungan dekat.[17] Baik Iberia dan Galia menyediakan sejumlah kecil infanteri berpengalaman; prajurit tak berperisai akan menyerang dengan liar, tetapi terkenal akan runtuh apabila pertarungan berlangsung lama.[18][note 4] Infanteri formasi tertutup dari Afrika akan bertarung dalam susunan terkemas ketat yang disebut falangs.[20]Pengumban kerap kali direkrut dari Kepulauan Balears.[21] Sumber-sumber Romawi dan Yunani dengan menghina menyebut para petarung asing tersebut sebagai "tentara bayaran", tetapi sejarawan modern Adrian Goldsworthy mengemukakan bahwa sebutan itu merupakan "penyederhanaan yang berlebihan". Mereka bertugas di bawah berbagai persetujuan; sebagai contoh, beberapa di antaranya merupakan prajurit reguler di kota atau kerajaan-kerajaan sekutu yang ditugaskan di Kartago sebagai bagian dari perjanjian resmi.[22] Kartago juga mengerahkan gajah perang; Afrika Utara dihuni gajah hutan afrika pribumi pada masa itu.[23][note 5]
Latar belakang
Permulaan perang
Republik Romawi telah gencar berekspansi di daratan selatan Italia selama seabad sebelum Perang Punik I.[25] Mereka telah menaklukan semenanjung Italia di sebelah selatan Sungai Arno sejak tahun 272SM.[26] Pada saat ini Kartago, dengan ibu kotanya di Tunisia modern, telah mendominasi Spanyol selatan, sebagian besar daerah pesisir Afrika Utara, Kepulauan Balears, Korsika, Sardinia, dan paruh barat Sisilia dalam sebuah kekaisaran militer dan perdagangan.[27] Pada abad ke-3SM Kartago dan Roma merupakan kekuasaan terkemuka di Laut Tengah barat.[28] Pada tahun 264SM kedua kota berperang memperebutkan kota Messana (Messina modern) di ujung timur laut Sisilia.[29]
Sebagian besar perangnya terjadi di Sisilia dan perairan di sekitarnya. Jauh dari persisirnya, permukaan Sisilia yang kasar dan berbukit menyulitkan manuver pasukan besar dan memaksa pasukan memilih operasi bertahan alih-alih menyerang. Operasi darat kabanyakan terbatas pada serangan kejut, pengepungan, dan penyekatan. Penugasan garnisun dan blokade darat ialah dua operasi yang paling umum bagi kedua pasukan; di Sisilia hanya terjadi dua pertempuran bernada berskala penuh selama 23 tahun peperangan; Panormus merupakan salah satunya.[30][note 6] Menyusul beberapa keberhasilan Romawi,[32] peperangan di Sisilia mencapai stalemate, sebab Kartago berfokus mempertahankan kota-kota yang dibentengi dengan baik; wilayah ini kebanyakan berada di pesisir dan dapat disuplai serta diperkuat tanpa gangguan pasukan Romawi yang lebih kuat.[33]
Invasi Afrika
Semenjak tahun 260SM, fokus perangnya beralih ke laut.[34] Roma memenangkan kejayaan maritim di Mylae (260SM) dan Sulci (258SM), dan frustrasi mereka akan stalemate berkelanjutan di Sisilia memicu mereka mengembangkan rencana untuk menginvasi pusat Kartago di Afrika Utara dan mengancam kota Kartago (dekat Tunis modern).[35] Setelah mengalahkan Kartago dalam Pertempuran Tanjung Ecnomus, yang mungkin merupakan pertempuran laut terbesar dalam sejarah menurut jumlah petarung yang terlibat,[36] pasukan romawi mendarat di Afrika di Semenanjung Cape Bon dan mulai merusak perdesaan Kartago.[37]
Sebagian besar kapal Romawi kembali ke Sisilia, meninggalkan 15.000 infanteri dan 500 kavaleri untuk melanjutkan perang di Afrika. Sebuah pasukan Kartago yang kuat dalam kavaleri dan gajah serta berjumlah kira-kira setara dengan para Romawi dikalahkan setelah Kartago menempatkannya di atas bukit yang berbatu dan infanteri Romawi menyerbunya. Kehilangan bagi Kartago tidak diketahui, meski gajah dan kavaleri mereka melarikan diri dengan sedikit korban.[38] Kartago memberikan tanggung jawab pelatihan pasukan mereka kepada komandan tentara bayaran Sparta, Xanthippus.[39] Pada awal tahun 255SM Xanthippus memimpin pasukan sebanyak 12.000 infanteri, 4.000 kavaleri, dan 100 gajah melawan 15.500 prajurit Romawi, menawarkan mereka untuk bertarung di dataran terbuka, dan mengalahkan mereka di Pertempuran Tunis. Para gajah memainkan peran penting dalam kegemilangan tersebut. Sekitar 2.000 prajurit Romawi mundur menuju Apsis; 500 tertangkap; 13.000 terbunuh. Roma mengevakuasi para penyintas melalui laut, tetapi armada Romawi hancur akibat sebuah badai dalam perjalanan kembali ke Italia, dengan 384 kapal tenggelam dari sejumlah 464 dan 100.000 pria hilang—[40]sebagian besar di antaranya sekutu Latin non-Romawi.[41]
Pendahuluan
Kehilangan sebagian besar armada mereka pada badai tahun 255SM, para Romawi segera membangun kembali, menambahkan 220 kapal baru,[42] dan meluncurkan serangan bulat di Sisilia; seluruh armada mereka, di bawah pimpinan kedua konsul, menyerang Panormus pada awal tahun 254SM.[43] Panormus merupakan sebuah kota yang besar, pada masanya, di pesisir utara Sisilia, situs ibu kota Sisilia modern, Palermo.[note 7] Kota tersebut ditinggali oleh 70.000 penduduk dan merupakan salah satu kota terbesar di Sisilia yang masih setia kepada Kartago dan yang terpenting secara ekonomi.[45] Kemakmuran kota ini didasarkan dari perdagangan dan perikanan, yang menimbulkan kurangnya pertanian secara tidak lazim dan daerah di seputar kotanya banyak tertutupi hutan tebal, bahkan mendekati gerbangnya.[46] Kota tersebut dikelilingi dan diblokade, dan mesin pengepungan pun dipersiapkan. Hal ini menyebabkan lubang di dinding kota yang kemudian diserbu prajurit Romawi, menguasai kota luar tanpa memberi ampun. Kota dalamnya segera menyerah. Penduduk sejumlah 14.000 yang mampu membayar menebus diri mereka sendiri dan 13.000 sisanya dijual untuk perbudakan.[43]
Kebanyakan wilayah dalam Sisilia di sebelah barat kemudian berpindah menuju tangan Roma: Ietas, Solous, Petra, dan Tyndaris semua berserah diri.[43] Pada tahun 252SM para Romawi menaklukan Thermae dan Lipara, yang telah terisolasi akibat kejatuhan Panormus.[47] Pada penghujung tahun 253SM atau awal 252SM bala bantuan Kartago dikirimkan menuju Sisilia di bawah pimpinan Hasdrubal, yang telah ikut serta dalam dua pertempuran melawan Roma di Afrika.[43] Para Romawi menghindari pertempuran pada tahun 252 dan 251SM; menurut Polibios sebab mereka segan akan gajah perang yang dikirimkan oleh Kartago ke Sisilia.[48] Sejarawan Nigel Bagnall mengajukan bahwa penyintas pertempuran melawan Xanthippus menurunkan "kisah mengerikan" tentang keefektifan gajah dan kavaleri Kartago dalam pertempuran terbuka. Oleh karenanya pasukan Kartago, mungkin dengan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan pasukan Romawi, mendominasi dataran; sementara para Romawi bertahan di tanah yang tinggi dan rusak, tempat yang dapat meniadakan dampak kavaleri dan gajah. Kedua belah pihak menolak bertarung di permukaan yang musuh mereka hendaki.[49]
Pertempuran
Pada akhir musim panas 250SM,[50] Hasdrubal, mendengar bahwa seorang konsul (Gaius Furius Pacilus) telah meninggalkan Sisilia dengan separuh pasukan Romawi, bergerak dari benteng utama Kartago di Lilybaeum menuju Panormus dengan 30.000 pria dan antara 60 hingga 142 gajah.[51] Berhenti sejenak di beberapa kejauhan, ia menghancurkan panen di wilayah kota-kota sekutu Romawi baru, dalam upaya memprovokasi komandan Romawi, Lucius Caecilius Metellus, sehingga bertempur.[52] Prajurit Romawi berjumlah dua legiun, dan mereka telah bubar untuk mengumpulkan panen. Metellus mengembalikan mereka di depan pasukan Kartago yang melaju dan mereka mundur ke Panormus. Keseganan tersebut merupakan apa yang Hasdrubal harapkan, dan ia maju menuruni lembah Oreto, terus menjarah perdesaannya. Oreto telah mencapai laut dan langsung berseberangan dengan selatan Panormus, dan sesampainya di sana Hasdrubal memerintahkan sebagian pasukannya untuk menyebrangi sungai dan bergerak menaiki dinding kota.[53]
Setelah para gajah berhasil menyebrangi, atau selagi masih menyebrangi, sungai tersebut, Metellus mengirimkan infateri ringannya untuk menskirmis prajurit Kartago dan merintangi jalan mereka. Prajurit ringan ini melontari lembing kepada pasukan Kartago, dan telah diistruksikan supaya berkonsentrasi pada gajah-gajah mereka. Panormus merupakan sebuah depot suplai yang besar, dan penduduk di sana dikerahkan untuk membawa kumpulan lembing dari persediaan ke kaki dinding kota sehingga para penskirmis Romawi dapat mengisi ulang persenjataan.[54] Daratan antara sungai dan kota pada saat itu tertutupi oleh pengerjaan tanah, beberapa diantaranya dibangun saat pengepungan Romawi dan beberapa merupakan kerja defensif kotanya, yang memberikan perlindungan bagi para Romawi dan menyulitkan gajah-gajah Kartago melaju, atau bahkan bermanuver. Pawang para gajah, ingin mengunjukkan keterampilan serbuan mereka, tetap memimpin mereka maju. Beberapa catatan juga menyatakan misil dilempar menuju mereka dari dinding kota. Dihujani dengan misil dan tidak mampu membalas, para gajah panik dan melarikan diri melalui para infanteri Kartago di belakang mereka.[55]
Metellus telah menyembunyikan dirinya dan sebagian besar pasukannya di hutan atau persis di luar gerbang kota,[57] atau tepat di dalam gerbang;[54] tidak peduli keadaan mana yang sebenarnya terjadi, ini berarti bahwa ia berada di hulu dari tempat pasukan Kartago tengah mengarungi sungai. Dari sini Metellus mengerahkan prajurit baru untuk bergabung bersama para penskirmis di bawah dinding kota. Ketika para gajah bercerai, mengacaukan sebagian besar pasukan Kartago dan menyurutkan semangat mereka semua, Metellus memerintahkan serangan ke disi kiri. Pasukan Kartago melarikan diri; prajurit yang masih mecoba melawan pun dibunuh. Metellus tidak mengizinkan pengejaran, tetapi ia menangkap sepuluh gajah sesaat setelahnya dan, menurut beberapa catatan, lanjut menangkap sisa hewan yang masih hidup pada beberapa hari kemudian.[57]
Catatan kontemporer tidak melaporkan korban lain dari kedua belah pihak, walaupun kehilangan dari sisi Kartago diperkirakan berat. Para sejarawan modern menganggap mustahil klaim korban pasukan Kartago sebanyak 20.000–30.000 yang timbul kemudian.[58] Juga, catatan di kemudian hari yang menyatakan bahwa kontingen Kelt besar di pasukan Kartago tengah mabuk ketika pertempuran ini dimulai biasanya dikesampingkan; begitu pula dengan pengajuan bahwa sebuah armada Kartago ikut serta dalam operasi ini, menyebabkan jumlah korban yang besar saat banyak prajurit berlari menuju laut berharap diselamatkan oleh kapal mereka.[59]
Akibat
Kekalahan Kartago serta kehilangan gajah mereka menyebabkan para Romawi merasa lebih bebas dalam bermanuver di dataran, dan pasukan Kartago tidak lagi berkemauan menantang mereka.[60] Sebagaimana adat Kartago setelah sebuah kekalahan, Hasdrubal dipanggil kembali ke Kartago untuk dieksekusi.[61] Setelah kegemilangannya di Panormus, Metellus menerima sebuah pawai kemenangan di Roma pada 7 September 250SM, yang menyaksikan ia berparade dengan gajah-gajah yang tertangkap di Panormus, yang kemudian disembelih di Circus Maximus. Para gajah digunakan sebagai lambang keluarga Caecilii Metelli, yang anggotanya menampilkan seekor gajah di koin yang mereka cetak hingga penghujung masa Republik.[62]
Penerus Hasdrubal, Adhubal, memutuskan bahwa kota besar Selinus yang berbenteng tidak dapat lagi dijadikan garnisun dan mengevakuasi serta menghancurkan kota tersebut.[57] Terdorong oleh kemenangan mereka di Panormus, para Romawi bergerak menuju markas utama Kartago di Sisilia, Lilybaeum. Pasukan berukuran besar yang dikomando oleh kedua konsul tahun itu, Gaius Atilius Regulus dan Lucius Manlius Vulso Longus, mengepung kota tersebut. Mereka telah membangun kembali armada, dan memblokade pelabuhan Lilybaeum dengan 200 kapal.[60] Kota tersebut masih dikuasai oleh Kartago ketika perangnya berakhir dengan kemenangan Romawi sembilan tahun kemudian pada 241SM.[63]
Kedua negara masih tegang sementara keduanya terus berekspansi di Laut Tengah barat. Ketika Kartago mengepung Saguntum di Iberia timur yang dijaga oleh Roma pada tahun 218SM, tercetus Perang Punik II dengan Roma.[64]
Curry, Andrew (Januari–Februari 2012). "The Weapon That Changed History". Archaeology (dalam bahasa Inggris). Vol. 65 no. 1. hlm. 32–37. JSTOR41780760.
Polibios (2020) [ca. 167–118 SM]. "The Histories". Bill Thayer's Web Site (dalam bahasa Inggris). Diterjemahkan oleh Paton, William Roger; Thayer, Bill. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 November 2023. Diakses tanggal 30 November 2023.Parameter |publsiher= yang tidak diketahui mengabaikan (|penerbit= yang disarankan) (bantuan)