Pertempuran Leptis Parva adalah pertempuran yang terjadi pada tahun 238 SM yang melibatkan tentara Kartago dengan lebih dari 30.000 pasukan, dipimpin oleh Hamilcar Barca dan Hanno yang melawan sekitar 20.000 tentara pemberontak Kartago dan pemberontak Afrika Utara di bawah komando Mathos. Pertempuran tersebut terjadi di provinsi Byzakion, Afrika Utara (kini Tunisia), yang merupakan konflik besar terakhir dari Perang Tentara Bayaran dan menghasilkan kemenangan yang menentukan bagi orang-orang Kartago.
Pada 241 SM, sejumlah 20.000 pasukan tentara asing yang telah dipekerjakan oleh Kartago selama masa Perang Punik I (264 hingga 241 SM), memulai Perang Tentara Bayaran dengan melakukan pemberontakan di bawah kepemimpinan Spendius dan Mathos. Mereka didukung oleh pemberontak di wilayah Kartago yang tertindas di Afrika dan 70.000 sekelompok rekrutan lokal yang bergabung dengan mereka dengan membawa perbekalan dan keuangan. Kartago yang lelah berperang, kurang beruntung dalam pertempuran awal, terutama di bawah kepemimpinan Hanno. Kemudian pada 239 SM, Hamilcar Barca diberi komando tertinggi dan secara perlahan membalikkan keadaan.
Pada 238 SM Mathos dan sisa-sisa tentara pemberontak meninggalkan daerah sekitar Kartago dan berjalan menempuh jarak 160 km ke arah selatan menuju kota pelabuhan yang kaya, Leptis Parva. Hanno bertemu dengan Hamilcar dan mengejar pemberontak dengan jumlah pasukan Kartago yang lebih besar, menyerang barisan para pemberontak. Setelah tiga bulan bermanuver, para pemberontak berhasil dikalahkan sepenuhnya. Perang berakhir dengan sisa kota-kota yang memberontak menyerah dengan cepat atau diduduki oleh Kartago.
Latar belakang
Pada tahun 241 SM, 20.000 tentara asing yang dipekerjakan oleh Kartago untuk pertempuran di Sisilia selama Perang Punik I (264 hingga 241 SM) dipanggil kembali ke tanah air Kartago di Afrika Utara (kini Tunisia) untuk mendapatkan gajinya dan dikirim pulang.[1] Perselisihan tentang pembayaran upah yang terutang kemudian berkembang dan di akhir tahun pasukan ini memberontak di bawah kepemimpinan Spendius dan Mathos lantas memulai Perang Tentara Bayaran. Mereka didukung oleh pemberontakan di wilayah-wilayah tertindas yang menjadi tanggungan Kartago dan 70.000 orang Afrika untuk bergabung dengan mereka dengan membawa perbekalan dan keuangan.[2][3][4]
Kartago yang lelah berperang, mengalami kondisi yang kurang menguntungkan dalam pertempuran awal, terutama di bawah kepemimpinan jenderal Hanno dan dalam posisi terblokade dalam sebagian besar perang.[5][6] Di beberapa titik selama tahun 240 SM, Kartago mengangkat pasukan lain yang lebih kecil, lalu ditempatkan di bawah komando Hamilcar Barca,[note 1] yang telah memimpin pasukan Kartago di Sisilia selama enam tahun terakhir dalam Perang Punik I.[6] Setelah kemenangan mutlak atas pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Spendius dalam Pertempuran Sungai Bagradas,[8][9] Hamilcar diberi komando pasukan gabungan. Hamilcar dan Hanno adalah lawan politik dan memiliki pendekatan yang berbeda dalam berperang, sehingga tidak ada kerja sama militer di antara mereka berdua.[10] Kampanye Hamilcar berhasil, yang pada awalnya menunjukkan kelonggaran dalam upaya untuk merayu para pemberontak. Untuk memastikan kebencian yang besar antara tentara dan mencegah orang-orang mereka, tergoda untuk membelot ke Kartago. Pada 240 SM, Spendius menyiksa 700 tahanan Kartago hingga tewas dan selanjutnya perang dilakukan dengan sangat brutal.[11][12] Hamilcar diberi komando tertinggi pada 239 SM.[13][14]
Sementara itu, para pemberontak di bawah komando Mathos telah memblokade kota-kota pendukung Kartago seperti Utica dan Hippo (kini Bizerte)[15] dan menempatkan pasukan di bawah komando Spendius ke medan pertempuran. Pada kenyataannya, tentara pemberontak dapat dihancurkan dan Spendius ditangkap[16][17] kemudian disalibkan.[18][19] Meskipun penduduk Utica dan Hippo membantai garnisun Kartago dan membelot ke pemberontak pada 239 SM,[13] tahun berikutnya Mathos dan pasukannya meninggalkan wilayah sekitar Kartago dan menempuh perjalanan hingga 160 km arah selatan menuju kota pelabuhan yang kaya, Leptis Parva (tepat di sebelah selatan kota modern Monastir, Tunisia). Kota Ini adalah ibu kota wilayah Byzakion yang makmur dan bangkit melawan Kartago pada awal perang.[18] Sejarawan Dexter Hoyos berspekulasi bahwa para pemberontak mungkin berharap untuk meninggalkan daerah tersebut melalui laut.[20]
Pertempuran
Hanno dan Hamilcar setuju untuk bekerja sama atas dorongan Senat Kartago yang menginginkan keduanya melakukan rekonsiliasi. Keduanya bergerak bersama mengejar para pemberontak dengan jumlah sekitar 25.000 pasukan[21] termasuk setiap penduduk Kartago yang berusia militer.[22] Pada kesempatan ini Hanno dan Hamilcar bekerja sama dengan baik dan mengacaukan para pemberontak dalam perjalanannya.[23] Para pemberontak dengan terpaksa melakukan serangkaian pertempuran kecil yang gagal di Byzakion ketika pasukan Kartago berusaha melemahkan mereka.[23] Daripada menunggu dikepung, Mathos memutuskan untuk bertemu Kartago dalam pertempuran terbuka yang terjadi pada pertengahan hingga akhir tahun 238 SM.[24] Ketika para pemberontak dalam kondisi yang ekstrem, Mathos memberdayakan pasukan yang ada, melucuti seluruh garnisun-garnisun kota yang dikuasai oleh para pemberontak.[23] Ketika keadaan para pemberontak semakin memburuk, banyak pemberontak yang desersi.[21] Hanya sedikit dari pemberontak asli yang tersisa setelah mengalami kampanye yang dahsyat dalam tiga tahun terakhir yang turut serta dalam pertempuran tersebut. Sebagian besar pemberontak berasal dari penduduk asli Afrika Utara.[25] Di sisi lain, tentara Kartago diperkuat dan berkembang menjadi lebih dari 30.000 pasukan dengan sejumlah besar pasukan Gajah perang.[note 2][21]
Pertempuran ditentukan delapan hingga sepuluh minggu setelah kedua pasukan tiba di Byzakion, meskipun tidak diketahui lokasinya.[25] Beberapa kelompok pertempuran dapat bertahan.[30] Pertempuran tersebut adalah pertempuran sengit tanpa manuver yang rumit, karena Mathos bukanlah jenderal yang cakap dan orang-orang Kartago yang sangat unggul, merasa tidak perlu menggunakan siasat perang (stratagem) dalam pertempuran tersebut.[25] Hamilcar adalah komandan senior Kartago dan ia memastikan bahwa para pemberontak dapat dikalahkan dengan sedikit kerugian dari orang-orang Kartago.[31][25] Dalam perubahan kebijakan, para tahanan dapat diambil, yang mungkin dapat membantu memastikan bahwa tidak ada posisi bertahan hingga akhir. Para tawanan dijual sebagai budak.[32] Mathos juga ditangkap dan diseret melalui jalan-jalan Kartago dan disiksa hingga tewas oleh penduduknya.[22]
Kesudahan
Akhirnya, sebagian besar kota-kota yang tadinya belum berdamai dengan Kartago, mulai melakukan perdamaian, kecuali Utica dan Hippo yang penduduknya cemas akan pembalasan dan pembantaian mereka terhadap orang-orang Kartago. Mereka berusaha untuk bertahan, tetapi Polibios mengatakan bahwa mereka terlalu "cepat" menyerah, mungkin pada akhir 238 atau awal 237 SM.[33] Kota-kota yang menyerah, diperlakukan dengan baik, meskipun para gubernur Kartago dibebankan kepada kota-kota tersebut.[34] Segera setelah perang, Hamilcar memimpin banyak veterannya dalam sebuah ekspedisi untuk memperluas kekuasaan Kartago di Iberia selatan, yang akan menjadi wilayah kekuasaan Barcid yang semi-otonom. Pada 218 SM tentara Kartago di bawah komando Hannibal, mengepung kota Saguntum yang dilindungi Romawi di Iberia timur, yang menjadi pemicu pecah Perang Punik II.[35][36]
^Pada saat itu, Afrika Utara memiliki Gajah hutan afrika.[26][27] Gajah ini umumnya setinggi 2,5 meter dan tidak sama dengan Gajah semak afrika yang lebih besar.[28] Tidak jelas sumber-sumber yang menyatakan apakah gajah-gajah ini membawa semacam pos yang menempatkan pasukan didalamnya untuk berperang.[29]
Eckstein, Arthur (2017). "The First Punic War and After, 264-237 BC". The Encyclopedia of Ancient Battles (dalam bahasa Inggris). Wiley Online Library. hlm. 1–14. doi:10.1002/9781119099000.wbabat0270. ISBN9781405186452.
Hoyos, Dexter (2000). "Towards a Chronology of the 'Truceless War', 241–237 B.C.". Rheinisches Museum für Philologie (dalam bahasa Inggris). 143 (3/4): 369–380. JSTOR41234468.
Hoyos, Dexter (2007). Truceless War: Carthage's Fight for Survival, 241 to 237 BC (dalam bahasa Inggris). Leiden ; Boston: Brill. ISBN978-90-474-2192-4.
Hoyos, Dexter (2015) [2011]. "Carthage in Africa and Spain, 241–218". Dalam Hoyos, Dexter. A Companion to the Punic Wars (dalam bahasa Inggris). Chichester, West Sussex: John Wiley. hlm. 204–222. ISBN978-1-1190-2550-4.
Sabin, Philip (1996). "The Mechanics of Battle in the Second Punic War". Bulletin of the Institute of Classical Studies. Supplement (dalam bahasa Inggris). 67 (67): 59–79. JSTOR43767903.
Scullard, H.H. (2006) [1989]. "Carthage and Rome". Dalam Walbank, F. W.; Astin, A. E.; Frederiksen, M. W.; Ogilvie, R. M. Cambridge Ancient History: Volume 7, Part 2, 2nd Edition (dalam bahasa Inggris). Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 486–569. ISBN0-521-23446-8.Parameter |name-list-style= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Warmington, Brian (1993) [1960]. Carthage (dalam bahasa Inggris). New York: Barnes & Noble, Inc. ISBN978-1-56619-210-1.