Dalam ekonomi, pembagian kerja internasional baru adalah hasil dari globalisasi. Istilah ini diciptakan oleh sejumlah teoriwan yang hendak menjelaskan perpindahan ruang industri pabrikan dari negara-negara kapitalis maju ke negara-negara berkembang. Ini merupakan penataan ualng produksi secara geografis yang bermula dari gagasan pembagian kerja global.[1] Pembagian kerja keruangan (spasial) ini terjadi ketika proses produksi tidak terbatas di suatu negara. Menurut pembagian kerja internasional "lama", sebelum tahun 1970, wilayah terbelakang hanya dijadikan penyuplai mineral dan komoditaspertanian. Akan tetapi, seiring terintegrasinya negara berkembang dengan ekonomi dunia, produksi lebih banyak dilakukan di negara-negara tersebut.[1]
Hal ini mendorong tren transferensi atau "perpindahan industri global", yaitu perpindahan proses produksi dari negara maju (Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang) ke negara berkembang di Asia (misalnya Tiongkok, Vietnam, dan India) dan Amerika Latin. Perpindahan ini terjadi karena perusahaan mencari tempat termurah untuk memproduksi dan merakit komponen, jadi bagian-bagian proses pabrikan yang butuh banyak tenaga kerja dan berbiaya rendah dipindahkan ke negara berkembang yang standar upahnya rendah. Perusahaan melakukan hal demikian dengan memanfaatkan transportasi dan teknologi komunikasi, serta fragmentasi dan fleksibilitas tempat produksi. Sejak 1953 sampai akhir 1990-an, pangsa pabrikan negara-negara maju di tingkat global turun dari 95% ke 77%, dan pangsa negara-negara berkembang naik empat kali lipat dari 5% ke 23%.[2]
Pembagian kerja lintas benua mengikuti kesenjangan sosial-ekonomi dan politik Utara–Selatan; Utara yang dihuni seperempat penduduk dunia menguasai empat per lima pendapatan dunia,[3] sedangkan Selatan yang dihuni tiga per empat penduduk dunia menguasai seperlima pendapatan dunia.[4]