Muslim pendukung Israel
Muslim pendukung Israel adalah Muslim yang mendukung penentuan nasib sendiri bangsa Yahudi, dan tanah air bagi mereka di Israel. tokoh tokoh ini tentu saja di kecam oleh banyak orang bahkan yang sesama muslim, tetapi pemikiran mereka yang terbuka dan bukan karna kebencian dapat menerima itu. Beberapa ulama seperti Sheikh Prof. Abdul Hadi Palazzi, Direktur Institusi Kebudayaan Komunitas Islam Italia,[1][2][3] dan Imam Dr Muhammad Al-Hussaini[4][5] percaya bahwa kembalinya Yahudi ke Tanah Suci, dan pembentukan Negara Israel, sesuai dengan ajaran Islam.[6][7] Beberapa Muslim pendukung Israel menganggap diri mereka 'Muslim Zionis'.[2][8][9] Muslim terkemuka yang secara terbuka mendukung Zionisme adalah mantan radikal Islamis Ed Husain, Dr. Tawfik Hamid,[10] Tashbih Sayyed, seorang sarjana, jurnalis, dan penulis Pakistan-Amerika,[11] dan jurnalis Bangladesh Salah Choudhury. Tokoh Muslim lainnya yang menyuarakan dukungan publik untuk Israel adalah Irshad Manji, Salim Mansur, Abu Janda (Permadi Arya), Mithal al-Alusi, Kasim Hafeez, Abdullah Saad Al-Hadlaq, Zuhdi Jasser dan Khaleel Mohammed. Di dunia Muslim, dukungan Israel jumlahnya minoritas, dan pendukung Israel akan mendapatkan perlawanan dan kekerasan.[12][13] SejarahAwal abad ke-20Setelah Perang Dunia I, seorang Sharif dari Mekkah, Hussein bin Ali dan putranya, Sultan Feisal dari Hijaz dan kemudian Irak, memproklamasikan pandangan pro-Zionis.[14] Menurut Sheikh Prof. Abdul Hadi Palazzi, berbeda dengan penganut Wahabi yang merupakan anti-Zionis yang ekstrem.[15] Pada 23 Maret 1918, Al Qibla, surat kabar harian Mekkah, mencetak kata-kata berikut dalam mendukung Deklarasi Balfour 1917:
Jaman modernSejumlah kelompok Muslim yang mempunyai sejarah dalam konflik melawan orang Arab, terutama Kurdi dan Berber, juga menyuarakan dukungan untuk Israel dan Zionisme.[17] Palazzi mengatakan bahwa meskipun pada masa sekarang dukungan untuk Israel dari Muslim berorientasi minoritas, namun beberapa diantaranya masih ada, seperti mantan Presiden Indonesia dan pemimpin Nahdlatul 'Ulama, Syeikh Abdurrahman Wahid, dan Mufti Agung Federasi Rusia, Syeikh Talgat Tajuddin, Mufti Eropa Rusia, Syeikh Salman Farid, yang menuliskan fatwa menentang intifadah. Menurut Palazzi, contoh dari banyak ulama Muslim Pro-Israel adalah Mufti Chechnya, Uzbekistan dan Kazakhstan.[8][15] Arab Israel pendukung IsraelMuslim BedouinDi saat Perang Kemerdekaan Israel pada tahun 1948, kebanyakan Bedouin berpindah tempat untuk bergabung dengan tentara Zionis dalam melawan invasi yang dilakukan oleh pasukan Arab reguler.[18] Arab Israel terkenal lainnya yang mendukung IsraelAla Wahib menjabat sebagai pemimpin Muslim tingkat tertinggi di Angkatan Pertahanan Israel, dan berasal dari desa Al-Jalil, Reineh. Ia menjabat sebagai pusat operasi di sebuah pangkalan pelatihan pasukan angkatan darat IDF, dan menyatakan dirinya sebagai seorang "Arab Israel Zionis". Wahib dibesarkan dalam masyarakat yang umumnya penyangkal Holocaust, namun saat mengunjungi Polandia ketika menjabat dalam IDF dan menjadi syok, berkata bahwa "ada sesuatu yang terkadang sangat berkuasa dalam kenyataan bahwa Aku berdiri di atas tanah Polandia, memegang bendera Israel dan mengenakan seragam tentara Israel, namun kali ini dari posisi kekuasaan." Penerimaan Israel pada Arab IsraelDalam sebuah survey 2004 yang dilakukan oleh Professor Sammy Smooha dari Pusat Yahudi-Arab Universitas Haifa, "Indeks Hubungan Yahudi-Arab di Israel – 2004", 84.9% Arab Israel menyatakan bahwa Israel memiliki hak untuk berdiri sebagai sebuah negara sendiri, dan 70% menyatakan bahwa negara tersebut memiliki hak untuk berdiri sebagai sebuah negara Yahudi yang demokratis.[19][20] Sebuah survey Institut Truman dari 2005 menemukan bahwa 63% warga sipil Arab menerima keputusan bahwa Israel adalah negara orang Yahudi.[20][21] Muslim non-Israel terkenal pendukung IsraelMuslim pendukung Israel yang dikenal meiputi Dr. Tawfik Hamid, seorang yang menyatakan dirinya adalah bekas anggota sebuah organisasi teror serta pemikir dan reformator Islam saat ini,[10] Sheikh Prof. Abdul Hadi Palazzi, Direktur Institut Kebudayaan Komunitas Islam Italia dan menyatakan dirinya Muslim Zionis,[1][2] dan Tashbih Sayyed – seorang sarjana, jurnalis, penulis Muslim Pakistan-Amerika yang menyatakan dirinya Muslim Zionis,[11] Prof. Khaleel Mohammed, sarjana Hukum Islam dari Universitas Negara Bagian San Diego dan Salah Uddin Shoaib Choudhury, seorang jurnalis dan penerbit Bangladesh, dan seorang yang mengklaim dirinya sebagai Muslim Zionis. Di IndonesiaAbdurrahman Wahid, presiden Indonesia dari tahun 1999 sampai 2001, dikritik karena pandangan pro-Israelnya tersebut.[22] Wahid tergerak untuk membangun hubungan diplomatik dan komersial dengan Israel, dan telah mengunjungi Israel sebanyak enam kali. Dalam sebuah wawancara tahun 2002 kepada ABC, Wahid mengatakan bahwa dunia Islam harus mulai mengenali dan mengakui hak Israel untuk berdiri dan berkembang. Ia melanjutkan, "Aku pikir umat Muslim itu rasional dan kerasionalan menyatakan demikian."[23] Dalam sebuah wawancara tahun 2004 kepada sebuah surat kabar Israel, ia berkata mengenai persahabatannya dengan Israel, hal tersebut digambarkan sebagai "sesuatu yang tidak biasa untuk seorang pemimpin Islam". Wahid melanjutkan, "Saya pikir ada sebuah persepsi buruk pada Islam dalam perselisihan dengan Israel. Ini disebabkan oleh propaganda Arab [...] Israel memiliki sebuah reputasi untuk sebuah negara dengan sebuah penghormatan tinggi untuk Allah dan agama — sehingga tidak ada alasan yang mereka dapat untuk melawan Israel."[24] Menurut Wahid, Israel "adalah sebuah demokrasi dalam sebuah laut kesalahpahaman".[25][26][27][28][29]
Di Britania RayaKasim Hafeez, seorang Muslim kelahiran Inggris yang berasal dari Pakistan, and memproklamatirkan diri sebagai Muslim Zionis, ia mengatakan bahwa "jauh lebih mudah menjadi seorang Muslim Zionis di Inggris". Hafeez mengatakan bahwa ia telah dipinggirkan oleh golongan dan keluarganya.[30][31][32] Hafeez, yang telah mendapatkan penghargaan dari Sufi Islam, menyatakan dalam sebuah ceramah bahwa ia lebih merasa seperti di rumah ketika di Israel ketimbang di tempat lain, dan mengatakan "Saya bangga menyebut diriku Zionis".[33] Hafeez mengunjungi kampus universitas di Inggris untuk memberikan ceramahnya, "Suatu Hari Aku Berhenti Membenci Israel - Pengakuan dari mantan Radikal."[34] Dalam sebuah wawancara dengan Jewish Telegraph, Hafeez mengatakan: "Ini bukan tentang menjadi pro-Israel atau pro-kebenaran, Aku hanya ingin fakta ini didengar. Israel adalah sebuah negara demokratis. Muslim di Israel mempunyai kebebasan seperti halnya Muslim di negara Arab dan semua itu adalah realitas konflik yang sebenarnya. Di Inggris, kebanyakan dari kita tidak bisa mempengaruhi apa yang akan terjadi di Israel, kita tidak bisa menghentikan roket jatuh dari Gaza atau menempa proses perdamaian, tapi kita bisa mengatasi delegitimisasi dan demonisasi Israel."[35] Mohammed Mostafa Kamal adalah seorang jurnalis freelance dari Bangladesh yang tinggal di Britania Raya. Ia mengatakan, "Tidak ada negara Muslim memboikot Timor Leste atau melarang warga sipilnya untuk berkunjung kesana setelah wilayah tersebut menjadi negara sendiri dari negara Muslim Indonesia. Sudan Selatan yang mayoritas Nasrani menjadi negara sendiri dari negara Muslim Sudan pada tahun 2011. Seperti halnya Timor Leste, mereka sama sekali tidak diboikot Muslim. Namun, ketika Israel menjadi negara sendiri pada tahun 1948, negara-negara Muslim bertindak dengan tak henti-hentinya memusuhinya. Mengapa?" Kamal menyamakan aksi Israel sejak 1948 dengan keadaan Timor Leste dan Sudan Selatan.[36] Lihat jugaReferensi
Daftar pustaka
|