Krisis HKBP 1992-1998 merupakan konflik internal dalam tubuh kepemimpinan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) yang berlangsung dari tahun 1992 hingga 1998. HKBP merupakan organisasi keagamaan terbesar ketiga di Indonesia dan gereja protestan dengan jemaat terbanyak di Asia.[7] Hingga tahun 2021, anggota jemaat HKBP yang tersebar di seluruh dunia mencapai 4,5 juta jiwa. Kepemimpinan Ephorus HKBP, yang pada masa itu dipilih 6 tahun sekali, secara tidak langsung memimpin jutaan jemaat HKBP di seluruh dunia. Adanya perubahan kepemimpinan tentu mengusik sejumlah besar warga HKBP.[8]
Awal mula
Kericuhan diawali 1,5 tahun sejak Pdt. S.A.E Nababan dilantik sebagai Ephorus. Pada tanggal 24 Mei 1988 terbit buku yang berjudul “Parmaraan di HKBP” (Bahaya di HKBP). Konon buku ini disebarkan ke 2.300 gereja HKBP di seluruh Indonesia. Sampul buku ini menarik perhatian umat karena terdapat gambar salib yang hampir ambruk yang bertuliskan quo vadis HKBP. Buku ini disusun oleh Ds. P. M. Sihombing mantan Sekjen HKBP sebelum periode Nababan. Isinya antara lain menuduh Nababan menyebarkan ajaran yang bertentangan dengan HKBP. Salah satunya adalah gerakan evangelisasi yang dikoordinasikan sejak Oktober 1987. Gerakan ini sendiri merupakan gerakan internal mengkristenkan kembali orang Kristen yang bermula di antara warga HKBP dari Jakarta.[1]
Keberatan 38 pendeta yang menulis buku itu antara lain, tim evangelisasi itu beranggotakan juga sejumlah pendeta yang ditahbiskan gereja. Disebutkan adanya tuduhan pembaptisan yang dilakukan di permandian sambil telanjang dan adanya penyembuhan penyakit yang dilakukan oleh anggota tim dengan jenis kelamin laki-laki atas pasien wanita yang berduaan di dalam kamar. Dalam sinode Godang HKBP ke-49 diputuskan kelompok Sihombing tidak dapat memberikan bukti dari buku tersebut karena itu mereka dianggap telah menyebarkan fitnah. Selanjutnya kedelapan pendeta pengikut Sihombing itu pun dipecat dari jabatannya. Akan tetapi belakangan diketahui bahwa Sihombing tidak pernah dimintai bukti dan tidak pernah diundang dalam Sinode Godang. Karena itu Sihombing dan pengikutnya mengadu ke Menaker saat itu Cosmas Batubara. Cosmas Batubara kemudian menyurati Ephorus pada tanggal 16 Mei 1990 dan menyebutkan bahwa pemecatan tersebut batal demi hukum.[1]
Ada yang menyebutkan bahwa isu tersebut dilontarkan karena Sihombing dikalahkan oleh Nababan pada pemilihan Ephorus sebelumnya. Sihombing membantahnya.
Pada Juli 1990, Ephorus memecat sejumlah pejabat antara lain termasuk rektor UHN Prof. Dr. Amudi Pasaribu dan sejumlah pengurus yayasan. Itu sebabnya timbul demonstrasi mahasiswa yang menuntut Nababan mundur. Demonstrasi berjalan agak keras sehingga menimbulkan kebakaran di laboratorium. Karenanya izin Sinode Godang Juli 1990 mendadak dibatalkan oleh Kapolri berdasarkan rekomendasi Bakorstanasda Sumatera Utara padahal 100-an utusan dari berbagai wilayah di Indonesia sudah mulai berdatangan.
Bakorstanasda Sumbagut kemudian menangguhkan pula Sinode Godang HKBP yang rencananya dilaksanakan tanggal 1-7 Agustus 1990 di kompleks Universitas HKBP Nommensen, Pematang Siantar.[9]
Tim damai
Atas permintaan Menteri Agama RI, No: MA/132/1990 pada tanggal 6 September 1990, lahirlah Tim Damai yang dipimpin oleh Jend. TNI Purn. Maraden Panggabean.[3] Dalam tim ini ikut serta Arsenius Elias Manihuruk, mantan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara. Tim ini mengadakan kunjungan ke berbagai Gereja HKBP di wilayah Sumatera Utara dan Jabotabek dan diterima dengan baik.[1][3]
Akan tetapi banyak juga pihak yang tidak setuju dengan tim damai ini. Ephorus Nababan yang pada masa itu berada di Swiss menilainya sebagai campur tangan pihak luar dan tidak dikenal di HKBP. Ada pula yang beranggapan tim ini mendukung mantan Sekjen sebelumnya, Ds. P.M. Sihombing, sehingga dianggap tidak dapat mendamaikan HKBP.[2]
Aksi massa
Akibatnya konflik yang cukup serius terjadi pada bulan November 1990 di mana ratusan warga Siborong-borong, yang sebagian besar merupakan perempuan, berjalan berbaris menuju kantor pusat HKBP Pearaja. Mereka menduduki kantor pusat selama beberapa jam. Akibatnya Ephorus dan sejumlah pendeta dan karyawan yang pada saat itu tengah mengadakan rapat menyingkir. Aksi pun bubar setelah Muspida setempat membubarkan massa.
Pada April 1991 sinode Godang juga dilangsungkan tim damai pun membubarkan diri pada bulan itu. Akan tetapi karena masalah terus tidak pernah terselesaikan dengan baik masalah tetap berlanjut hingga pekan pertama Maret 1992 pada waktu itu terjadi Perkelahian antar Jemaat HKBP Helvetia Medan hingga pada 11 Maret sekelompok anti Nababan, memprotes tindakan pendeta ressort pada masa itu, Pdt. L. R. Manurung yang memberhentikan beberapa penatua Gereja yang sering mengkritik Nababan.[1]
Batalnya sinode
Sinode Godang (Sinode Agung) HKBP menurut rencana akan diselenggarakan 23-25 Juni 1992 di Seminarium HKBP Sipoholon, Tarutung, Tapanuli Utara. Sinode Agung ke-51 ini akan diikuti semua pendeta resort, utusan resort, anggota majelis pusat, praeses, pemimpin lembaga, dan peninjau. Acara pokoknya adalah membahas/mensahkan Aturan/ Peraturan HKBP periode 1992-2002. Menurut Siaran pers yang diterima Kompas, Kantor Pusat HKBP Redaksi Kompas pada tanggal 3 April 1992 menyebutkan rencana Sinode Agung khusus yang akan diselenggarakan pada 17-19 November 1992 untuk pemilihan fungsionaris HKBP. Surat ini ditandatangani oleh Pdt. Pintor T. Simanjuntak, STh dan Pdt. Rahman Tua Munthe, MTh, masing-masing sebagai Staf Biro Informasi, dan Kabiro Informasi Kantor Pusat HKBP Pearaja Tarutung.[10] Pada akhirnya Sinode tanggal 23-25 Juni tidak dapat dilangsungkan, diundur pada Sinode Godang Istimewa pada November 1992.[1]
Sinode ke-51
Sinode Godang HKBP di seminarium sipoholon diadakan pada tanggal 23-28 November 1992. Sejak hari pertama sidang ini sudah menunjukkan adanya gejala kekacauan. Acara ini diselenggarakan oleh dua kelompok panitia, yakni dari ephorus Nababan dan dari sekretaris jendral Pdt. O.P.T. Simorangkir, yang dibentuk di Makodim 0210/TU. Danrem 023/Kawal Samudera Kol. Daniel Toding mengumumkan dirinya menjabat sebagai Ketua Steering Commitee, dan Pdt. Dr. S.M. Siahaan, Pdt. Halasson Silitonga, B.A.S. Tobing, SH dan Ir. Humuntal Lumbangaol bertindak sebagai anggota. Pelanggaran tata tertib, keributan dan interupsi tanpa penertiban pihak yang berwajib mewarnai jalannya sidang hari pertama hingga terakhir.[3]
Pembahasan aturan HKBP 1992-2002 berhasil dilakukan di sinode ini, namun sinode gagal membahas periodisasi Ephorus. Calon Ephorus yang akan dipilih pada saat itu adalah petahana Pdt. SAE Nababan dan Pdt. PWT Simanjuntak. Pelantikan Ephorus tidak bisa dilakukan karena adanya sorak-sorai protes dari sekitar 600 orang peserta sidang. Untuk mengatasi kekosongan pimpinan ada beberapa yang mengusulkan terbentuknya presidium yang terdiri dari 6 orang pendeta, akan tetapi usul tersebut tidak disetujui oleh para hadirin, akibatnya Danrem setempat Kolonel Daniel Toding (koordinator panitia penyelenggara) memerintahkan serta sidang untuk tertib.
Acara ini kabarnya tidak dihadiri oleh Pdt. SAE Nababan karena alasan sakit, akan tetapi di kemudian hari diketahui bahwa sebelumnya Nababan diusir dari sinode oleh seorang tentara bernama Letkol Paris Ginting, dan tidak diberitahu mengenai adanya sinode lanjutan di tanggal 29 November 1992. Pada saat itu Pdt OPT Simorangkir yang menjabat sebagai Sekjen mengklaim adanya pemberian mandat dari majelis pusat, untuk menyelenggarakan sinode lanjutan. Pendeta Simorangkir menyebutkan bahwa Pdt. SAE Nababan mengundurkan diri karena alasan sakit, dan pembentukan majelis sementara di mana pendeta Simorangkir bertindak sebagai pejabat Ephorus sementara. Akan tetapi peserta sinode tidak mengakui kudeta tersebut dan tetap pada putusan pada hari sebelumnya. Kericuhan pun tidak terelakkan, Kol. Toding kemudian menangkap peserta yang ricuh dan membatalkan pernyataan pendeta Simorangkir tersebut, lalu sinode ditutup. Pada akhirnya pendeta Simorangkir memberikan surat tertulis kepada pemerintah pusat untuk membantu menyelesaikan masalah ini.[8]
Permohonan majelis pusat
Majelis Pusat HKBP dikabarkan meminta bantuan pemerintah pusat Republik Indonesia melalui tiga keputusan penting, yakni:[1]
Sinode Godang dinyatakan gagal
Fungsionaris HKBP terhitung tanggal 29 November 1992 pukul 00.00 WIB dinyatakan demisioner
Menyerahkan permasalahan HKBP selanjutnya kepada pemerintah atau aparat keamanan.
Intervensi pemerintah
Bakorstanasda Sumatera Bagian Utara, yang pada saat itu diketuai oleh Mayjen R. Pramono, mendapat surat pendelegasian wewenang dari Departemen Agama, Bakorstanas, Muspida tingkat I, dan Pemerintah Daerah. Pada tanggal 16 Desember 1992, Bakorstanasda mengundang eks anggota Majelis Pusat ke Kodam. Hanya 19 orang yang datang dari 23 orang yang diundang pada saat itu. Nababan termasuk orang yang tidak hadir dalam rapat tersebut. Bakorstanasda kemudian melemparkan kembali siapa orang yang hendak dipilih sebagai pejabat Ephorus sementara. Calon-calon yang muncul pada saat itu antara lain Pdt. Dr. Adelbert A. Sitompul, Pdt. Wilmar Sihite, Pdt. Sountilon M. Siahaan. Menurut Bakorstanasda nama-nama ini kemudian dipilih kembali oleh staf Bakorstanasda bersamaan dengan Pemda, Kanwil Departemen Agama, Kepolisian, Kodam, dan ahli masalah HKBP. Akan tetapi di kemudian hari diketahui pendeta Sitompul dan Sihite menolak menggantikan Pdt. SAE Nababan.
Bakorstanasda Sumatera Bagian Utara kemudian menunjuk Pdt SM Siahaan sebagai pejabat Ephorus melalui Surat Keputusan (SKep) No. 3/Stada/XII/1992 pada tanggal 23 Desember 1992.[11] Penunjukan ini diikuti oleh pelantikan SM Siahaan di Seminarium Sipoholon, 11 kilometer dari Kantor Pusat HKBP Pearaja Tarutung.[1]
Penunjukan tersebut kemudian mengalami penolakan dari berbagai jemaat karena dianggap tidak sesuai dengan Aturan Peraturan (AP) HKBP. Jemaat tersinggung karena ada pihak di luar HKBP yang mengangkat Ephorus secara sepihak. Selain itu banyak jemaat yang menganggap SM Siahaan pernah dihukum akibat korupsi sehingga tidak pantas mendapat jabatan Ephorus. Alasan itu kemudian disangkal SM Siahaan karena sudah ada surat keputusan Mahkamah Agung yang membebaskannya dari segala tuntutan.
Letkol Tommy Yakobus, yang saat itu menjabat sebagai KapolresTapanuli Utara, melalui megafon memerintahkan warga yang bukan penghuni kompleks HKBP segera meninggalkan tempat. Ketika itu Kapolres datang bersama dengan polisi dan tentara. Jemaat yang sebelumnya hadir di lokasi untuk berjaga-jaga kemudian meninggalkan kompleks. Sepeninggalnya, tentara kemudian ikut meninggalkan tempat tersebut.
Penunjukan pejabat Ephorus tersebut menimbulkan berbagai protes, salah satu diantaranya adalah Pdt. J.A.U. Doloksaribu dan jemaatnya dari gereja HKBP Sudirman melayangkan surat kepada DPRD Sumatera Utara akhir Desember 1992. isinya antara lain menentang penetapan pucuk pimpinan tanpa adanya upacara gereja. Pdt. JAU Doloksaribu kemudian ditahan oleh pihak yang berwajib usai memberkati sepasang pengantin di Gereja HKBP Medan pada Januari 1993.
Pendeta nababan yang pada masa itu sudah habis masa jabatannya pun mengadukan surat keputusan Bakorstanasda ke PTUN. Pada 11 Januari 1993 aduan tersebut kemudian diadili oleh Hakim Lintong Oloan Siahaan, yang juga jemaat HKBP. Lintong memutuskan adanya penangguhan sementara pelaksanaan surat tersebut. Pada akhirnya tergugat pun melayangkan keberatan melalui banding yang kemudian dimenangkan tergugat.[12] Tergugat menganggap Lintong bukan hakim yang independen, karena masih merupakan anggota jemaat HKBP. Lintong dianggap seharusnya mengundurkan diri sebelum melanjutkan perkara yang kemungkinan menyebabkan ia tidak dapat memutuskan dengan adil. [1] Di sisi lain Lintong pun mengakui pada saat itu ia merupakan jemaat HKBP dan merupakan penatua gereja hingga pertengahan 80-an selama 2 tahun. Akan tetapi ia menyangkal telah berlaku tidak adil dalam memutuskan perkara tersebut, karena ia memutuskan bersamaan dengan dua anggota majelis lainnya yang beragama Islam.[1] Di kemudian hari masalah ini berkembang, bukan lagi masalah pro dan kontra pemilihan Ephorus, melainkan rasa ketersinggungan umat akan adanya pihak di luar HKBP yang menentukan Ephorus.
Pdt. Saut Hamonangan Sirait yang pada masa itu memimpin Departemen Pemuda di HKBP pada periode 1991-1996 memimpin perlawanan terhadap campur tangan pemerintah di bawah slogan Setia Sampai Akhir (SSA). Slogan ini diperkenalkan oleh Asmara Nababan (adik dari Pdt SAE Nababan) dan Pdt. Saut Sirait yang semula bernama “Setia Sampai Mati” (Why 2:10).[11]
Pada suatu kesempatan ibadah gereja terpaksa diundur akibat adanya penjagaan kepolisian di depan gereja, yang meminta jemaat menunjukkan KTP sebelum beribadah. Sekitar 70-an orang ditangkap, karena dianggap menghasut dan merongrong pemerintah, namun kemudian dibebaskan. Salah satu pendeta yang pernah ditangkap dan dipukuli karena dituduh menjadi dalang keributan pada masa itu adalah Pdt. Robinson Butarbutar, yang di kemudian hari ditahbiskan sebagai Ephorus HKBP.[13]
Pada tanggal 11–13 Februari 1993, diselenggarakan kembali Sinode Agung Istimewa (SAI) di Tiara Convention Medan atas undangan Pejabat Ephorus Pdt. SM Siahaan. Sinode ini dihadiri oleh 447 dari 562 pendeta yang diundang. Pdt PWT Simanjuntak dan tujuh calon lainnya dicalonkan untuk di kursi Ephorus. Pada pemilihan tersebut Pdt PWT Simanjuntak memperoleh 406 suara, sedangkan sisanya hanya mendapat satu hingga tiga suara.[14] Di Sinode ini kemudian terpilih Pdt. P.W.T. Simanjuntak sebagai Ephorus dan Pdt. S.M. Siahaan sebagai Sekretaris Jenderal HKBP. Keduanya pun ditahbiskan pada tanggal 17 Februari 1993.[15]
Keterlibatan menteri-menteri
Konflik semakin meninggi intensitasnya pada masa itu. Menteri PAN saat itu, T.B. Silalahi, memandang perlu adanya mediasi. Beliau melakukan pendekatan pada kedua ephorus dan menghasilkan kesepakatan bahwa Nababan mendukung keputusan pemerintah dengan mengakui Pdt. P.W.T. Simanjuntak sebagai satu-satunya ephorus HKBP. Akan tetapi muncul segmentasi baru akibat penandatanganan kesepakatan tersebut. Sebagian pendukung Nababan kecewa terhadap Nababan dan telah dianggap kalah strategi dalam perjuangan memperoleh keadilan.[3]
MenkopolkamSudomo mengelak saat dimintai keterangan mengenai keterlibatan pemerintah dalam menangani kasus HKBP. Keterlibatan pemerintah dan Bakorstanasda Sumut merupakan niat tulus ikhlas pemerintah untuk dapat menyelesaikan kemelut tersebut dengan baik. Mayjen TNI R. Pramono menyebutkan penunjukan Pdt. Dr. S.M. Siahaan sebagai Pejabat Ephorus guna mempersiapkan penyelenggaraan Sinode Agung Istimewa untuk memilih fungsionaris HKBP. Terbitnya SK itu disebutkan karena Menteri Agama, Ketua Bakorstanas, Muspida Tk I, dan Majelis Pusat HKBP telah melimpahkan wewenangnya, karena tidak dapat menuntaskan kemelut sebelumnya. Departemen Agama juga mengungkapkan bahwa HKBP merupakan lembaga keagamaan yang sedang berada dalam keadaan tidak sehat.[16]
Keterlibatan Gubernur Sumatera Utara
Gubernur Sumatera Utara saat itu, Raja Inal Siregar, juga dianggap turut ambil bagian dalam krisis yang berkepanjangan. Siregar mendukung pihak pendeta Simanjuntak dan memperburuk situasi dengan membuat perintah kepada seluruh kepala daerah di provinsi tersebut. Kepala-kepala daerah diperintahkan untuk melarang semua aktivitas gereja yang mendukung Nababan.[17]
Satgas HKBP
Terbentuknya Satgas HKBP pimpinan Simanjuntak diketahui memperburuk suasana gereja HKBP hingga pelosok desa. Beberapa kali Satgas tersebut ditemukan sedang menyisir kampung-kampung untuk mengambil alih gereja yang diketahui memihak Nababan. Pendukung Nababan yang menamai dirinya SSA pun membentuk posko-posko kecil guna meredam aksi Satgas HKBP. Bentrokan terjadi di Siborong-borong, Lumbanjulu, Laguboti, Porsea, Silaen, Balige, dan Tarutung. Menurut LBH Medan, beberapa kampung ditemukan sepi ditinggal penghuninya karena takut. Pada tanggal 23 April 1994, 60 rumah dirusak oleh satgas di Narumonda, Sitorang, Hutana-godang, Barimbing, dan Silaen. Di hari berikutnya satgas merusak rumah-rumah di Sigumpar, Laguboti dan 109 rumah digeledah.[5]
Tragedi di Samosir, Riau, Tapanuli Utara, dan Porsea
Pada tanggal 31 Januari 1994, terjadi kerusuhan di HKBP Samosir yang menyebabkan tewasnya satu orang mahasiswa teologi, Albiner Sitanggang, yang ditemukan di perairan Danau Toba.[18] Pada peristiwa tersebut, 4 orang mengalami luka-luka, dan 7 rumah rusak berat. Sementara itu, pada pertengahan April 1994, terjadi keributan di mana pendukung Simanjuntak menyerang gereja di Duri untuk merebut gedung gereja, menyebabkan tewasnya 2 orang pendukung Nababan. Mayoritas jemaat tersebut yang adalah pendukung Nababan membalasnya, yang menyebabkan kematian 2 orang pula dari sisi pendukung Simanjuntak. .[4][5] Pada awal Mei 1994, seorang polisi berpangkat Sersan Dua bernama Pangkiriman Tambun terbunuh saat terjadinya bentrokan di Porsea.[5][6]
Pada tanggal 1 Juni 1994, seorang aktivis bernama Herbert Hutasoit ditemukan tewas di Banua Luhu, Pagaran bersimbah darah disertai bekas peluru di dada, kepala yang hampir putus, dan kemaluan yang telah disayat. Menurut Saut Sirait, Satgas HKBP bertanggung jawab terhadap kematian Herbert.[19]
Rekonsiliasi
Pada tahun 1998, Pdt. J.R. Hutauruk kemudian dipilih sebagai Pejabat Ephorus dengan tugas menyelenggarakan rekonsiliasi selambat-lambatnya enam bulan sejak dipilih. Tidak lama setelahnya pada tanggal 26 Oktober–1 November 1998 diselenggarakan Sinode Godang ke-54 di Pematang Siantar / Balige. Pada tanggal 17 November 1998, Ephorus Pdt. S.A.E. Nababan dan Pejabat Ephorus Pdt. J.R. Hutauruk menandatangani surat pernyataan bersama rekonsiliasi di Gereja HKBP Sudirman Medan, untuk menyelenggarakan Sinode Godang Rekonsiliasi pada tanggal 18–20 Desember. Sinode Godang Rekonsiliasi kemudian dilakukan di Kompleks FKIP Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar. Pada saat itu terpilih Pdt. J.R. Hutauruk sebagai Ephorus dan Pdt. W.T.P. Simarmata sebagai Sekretaris Jenderal HKBP.[20]
^ abcSagala, Jhondato (2010). Konflik Pengurus HKBP dan Pengaruhnya terhadap Jemaat di HKBP DISTRIK VII SAMOSIR (1962-1998). Medan, Indonesia: Fakultas Sastra USU.Periksa nilai tanggal di: |accessdate= (bantuan); Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)