Kerajaan Muna atau Wuna merupakan salah satu kerajaan besar yang saat ini berlokasi di Provinsi Sulawesi Tenggara dan didirikan sekitar tahun 1210. Kerajaan ini terletak di bagian utara Pulau Muna dan beribukota di Kotano Wuna / Keraton Muna/ Kota Muna (kini Kecamatan Tongkuno), dengan Raja pertama seorang Bangsawan Melayu keturunan Bani Abasiah bernama Syekh Al Wahid alias La Eli alias Baidhuldhamani gelar Bheteno ne Tombula Alias Remang Rilangiq yang menikah dengan Watandiabe (We Tendriabeng) adik Sawerigading (Epic I lagaligo).
Sejarah Awal Kerajaan Muna
Sebelum terbentuknya kerajaan
Muna, di Muna telah terbentuk delapan kampung.
Walaupun masih sangat sederhana, kedelapan
kampung yang telah terbentuk mengikat diri
dalam sebuah ‘Union’ dengan mengangkat Mieno
Wamelai sebagai pemimpin tertinggi.
Kedelapan kampung itu kemudian dibagi menjadi dua wilayah utama yang terdiri atas 4 kampung.
Empat kampung pertama dipimpin oleh
kamokula, terdiri atas:
Tongkuno,pemimpinya bergelar Kamokulano Tongkuno
Barangka,pemimpinnya bergelar Kamokulano Barangka
Lindo, pemimpinnya bergelar Kamokulano Lindo
Wapepi, pemimpinnya bergelar Kamokulano Wapepi
Sedangkan empat kampung lainnya dipimpin
oleh mieno yakni:
Kaura, pemimpinnya bergelar Mieno Kaura
Kansitala,pemimpinnya Mieno Kasintala
Lembo,pemimpinnya bergelar Mieno Lembo
Ndoke. Pemimpinnya bergelar Mieno Ndoke.
Terbentuknya Kerajaan Muna
Sejarah
peradaban manusia di muna dimulai di Liangkobori yang dihuni oleh Suku Tomuna. Suku Tomuna adalah ras Wedoid yang berasal dari Srilanka. Suku Tomuna merupakan salah satu suku penghuni awal nusantara. Ketika Sawerigading dan pengikutnya yang berjumlah
40 orang terdampar di suatu daratan di Pulau Muna yang saat ini di kenal dengan nama
'Bahutara'.
Sawerigading dan para pengikutnya, kemudian berbaur dengan penduduk yang telah dahulu menetap dan membentuk komunitas di Pulau Muna yaitu Suku Tomuna . Lama kelamaan komunitas itu berkembang. Sawerigading dan empat puluh pengikutnya di
Daratan Muna telah membawa nuansa baru
dalam pembangunan peradaban dalam
kehidupan Orang Muna. Suatu waktu dipilihlah suatu pemimpin untuk memimpin komunitas itu. Pemimpin yang dipilih adalah yang dianggap sebagai primus intervares.
Sejarah kerajaan Muna dimulai setelah dilantiknya
La Eli alias Baidhuldhamani gelar Bheteno ne
Tombula sebagai Raja Muna pertama.
Setelah dilantiknya La Eli bergelar Bheteno Ne Tombula sebagai Raja
Muna I, Kerajaan Muna baru dapat dikatakan
sebagai sebuah kerajaan berdaulat karena telah memenuhi
syarakat-syarat sebagai sebuah negara yaitu telah
memiliki Rakyat, Wilayah dan Pemerintahan yang
berdaulat dan seluruh perangkat masyarakat bersepakat
untuk mengikat diri dalam sebuah pemerintahan
dengan segala aturannya yang bernama
Kerajaan Muna.
Masa Pemerintahan Sugi
Setelah pemerintahan Bheteno Ne Tombula berakhir,
Kerajaan Muna dipimpin oleh Sugi.
Sugi bagi masyarakat Muna berarti Yang
Dipertuan atau Yang Mulia.
Sepanjang sejarah Kerajaan Muna ada lima
orang Sugi yang perna memimpin Kerajaan
muna. Mereka itu adalah Sugi Patola, Sugi Ambona, Sugi Patani, Sugi La Ende dan Sugi Manuru.
Dari kelima sugi yang pernah memimpin kerajaan muna, Sugi Manuru-lah yang dianggap berhasil membawa banyak perubahan di kerajaan muna dalam berbagai aspek.
Masa Pemerintahan Lakilaponto
Setelah masa pemerintahan sugi berakhir pemerintahan kerajaan muna dijalankan oleh Lakilaponto. Lakilaponto menjadi raja muna VII setelah
menggantikan ayahandanya, Sugi Manuru
sebagai raja muna. Selama menjadi raja muna, Lakilaponto terkenal akan keberaniannya. Pada masa pemerintahannya dibangunlah benteng mengelilingi ibu kota kerajaan muna, untuk menghalau dan menghadang ancaman serangan yang datang dari luar.
Lakilaponto memerintah
kerajaan muna selama kurang lebih 3 tahun (1517-1520)
sebelum digantikan oleh adiknya sendiri, La Posasu.
Daftar Raja-Raja Muna
La Eli alias Baiduzzaman Gelar Bheteno Ne Tombula,alias Remang Rilangiq (Menjadi Raja Luwuk Purba sebagai Soloweta Raja = Raja Pengganti/ sementara di Kerajaan Luwuk Purba Menggantikan Sawerigading tahun 1210
La Tamparasi/ Kaghua Bangkano Fotu Gelar Sugi Patola
La Ode Kentu Koda gelar Omputo Kantolalo (1758-1764 )
Laode Husaini (1764 - 1767) Periode Ke-2
Laode Muhammad Ali (1767)
La Ode Harisi (1767 - ?)
La Ode Umara gelar Omputo Nigege
La Ode Murusali gelar Sangia Gola
La Ode Sumaili gelar Omputo Nisombo
La Ode Saete gelar Omputo Sorano Masigi ( 1816-1830 ), melawan Belanda
La Ode Bulae gelar Sangia Laghada (1830-1861 ), ditangkap Belanda, diasingkan ke Bengkulu
La Aka (1861 - 1864) Pelaksana Raja
La Ode Ali, gelar Sangia Rahia (1864 - 1870)
La Ode Huse (1870 - ?)
La Ode Tao ( ? - 1866)
La Ode Kaili ( 1866-1906)
La Ode Ahmad Maktubu gelar Omputo Milano we Kaleleha (1906 - 1914)
La Ode Pulu (1914 - 1918) melawan Belanda, (1918 - 1920) kosong dikuasai Belanda
La Ode Afiuddin( 1920-1924) melawan Belanda. (1924 - 1926) kembali dikuasai Belanda
La Ode Rere gelar Omputo Aro Wuna (1926-1928 ), selanjutnya (1928 - 1930) kembali dikuasai Belanda
La Ode Dika gelar Omputo Komasigino ( 1930- 1938 ). (1938-1947) Kosong, Muna terus melawan, hingga Indonesia merdeka. Putera La Ode Dika, bernama La Ode Kaimoeddin menjadi Gubernur Sulawesi Tenggara (1992 - 2002)
La Ode Pandu gelar Omputo Milano te Kosundano ( 1947-1956). Putera dari La Ode Pandu, bernama La Ode Baharuddin, menjadi Bupati Muna (2010 - 2015). Menantunya, bernama Ir. RIdwan, BAE menjadi bupati Muna (2000 - 2010) dan menjadi anggota DPR-RI (2014 - 2024)
La Ode Sirad Imbo (2012-Sekarang). Putera dari La Ode Dika.
Sejarah Perjuangan Menentang Penjajahan
Kerajaan Muna melakukan konfrontasi dengan Penjajah di mulai dengan keterlibatan Lakilaponto Raja Muna ke VII (1517-1520) menumpas Armada bajak laut Banggai Labolontio yang selalu menggangu keamanan kerajaan-kerajaan tetangga disekitarnya. Selain itu, Lakilaponto juga Setelah Bertahta di Buton tahun (1520-1564) dan Mememeluk Islam yang dibawah oleh Syeid Abdul wahid dari Mekah ( Daulah Turky Utsmani), dia berperan aktif menghalau Portugis di Tenggara Sulawesi, Banggai, selayar, Maluku, dan Solor NTT, sehingga Penjajahan Portugis tidak terlihat di Tenggara Sulawesi . Pada Masa Raja Wuna ke X La Titakono (1600-625) Kerajaan Muna menolak Campur tangan VOC di Buton karena dapat mengancam keutuhan dan persatuan Kesultanan Butuni Darusalam setalah mengetahui gelagat VOC di Buton. Namun pada akhirnya Sultan Buton tetap melakukan perjanjian Abadi tersebut pada tahun 1613 di bawah pimpinan Sultan Dayanu Iksanudin alias Laelangi. Dampak dari perjajian tersebut merenggangkan hubungan persaudaraan yang telah dibina oleh para pendahulu kedua kerajaan ini. Efek domino dari kerja sama tersebut Menimbulkan peperangan antara Muna dan Buton di Bawah pimpinan Raja Muna XII Sangia Kaendea (1626-1667). Mula-mula Kerajaan Muna memenangi Peperanga tersebut, namun setelah Buton mendapat bantuan dari VOC maka pasukan kerajaan Muna harus mundur. Selang beberapa waktu pasukan buton yang diperkuat oleh armada Kapal VOC berlabu di peraiaran pulau lima tepatnya di depan lohia. Pihak Bunton dan VOC mengirim utusan untuk menemui Raja Wuna dengan alasan perundingan perdamaian di antara kedua bela pihak. Mula-mula La Ode Ngakdiri/ Sangia Kaendea meragukan hal tersebut, namun karena terbujuk oleh alasan persaudaraan akhirnya iapun turut serta dalam melakukan perundingan itu. Sesampainya di pulau lima Raja Wuna tersebut tidak diajak untuk berunding seperti apa yang diberitahukan semula, dia ditangkap dengan tipu muslihat oleh Buton dan VOC dan diasingkan keternate, setelah beberapa lama kemudian Raja wuna tersebut diselamtkan kembali oleh Pihak kerajaan Muna dan kembali menduduki tahta Kerajaan Muna. Perlawanan Raja Muna berikutnya dilakukan oleh La Ode Saete (1816-1630) yang melakukan peperangan dengan pihak Belanda dan Buton sehingga banyak menghancurakan kapal-kapal Belanda dan Buton di Muna. selain itu Raja Muna tersebut mengorganisir semua kekuatan tempur yang ada dan melakukan perang semesta melawan penjajah sehingga dia mampu mempertahankan kerajaan Muna dari serangan musuh yang datang bertubi-tubi. Perjuangan Kerajaan Muna berikutnya dipelopori oleh La Ode Pulu (1914-1918), dia menentang keras perjanjian Korte Verklaring Tahun 1906 Antara Buton dan Belanda. Raja Muna mengagap perjanjian tersebut adalah Ilegal dan sepihak yang tidak sesui dengan Peraturan Adat di Muna sehingga dia melakukan perlawanan Rakyat secara gerilya dan banyak mematahkan serangan pasukan Belanda. Walau demikian dia akhirnya tetap terbunuh dalam peperangan tersebut karena minimnya jumlah persenjataan dan logistik perang. Hal tersebut menandai awal runtuhnya kedaulatan Kerajaan Muna dan makin kuatnya cengkaraman Belanda dan Buton di Muna. Walau demikian, para Raja-Raja Wuna berikutnya tetap Menolak Isi Perjanjian tersebut sehingga pergantian Raja-raja Muna berikutnya selalu tidak berlangsung lama. Perjuangan Rakyat Muna terus bergolak menentang penjajahan Belanda hingga akhirnya membentuk banyak laskar-laskar Rakyat dan beberapa Batalion tempur diantaranya Batalion Sadar yang merupakan embrio berdirinya KODAM WIRABUANA di Makssar dan Mendukung Kesepakatan Malino untuk bergabung dengan Pemerintahan Pusat di Jakarta dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Struktur Pemerintahan Kerajaan Muna
Regu Pogala ialah regu perintis yang bersenjatakan tombak pemungkas (Gala). Sebagai regu perintis jalan, mereka memperagakan tarian perang, yang diperagakan oleh 4 orang prajurit pilihan. Seorang pemegang Tombi (bendera), seorang memainkan Gala, dan dua orang lainnya memukul gendang Pomani (gendang perang).
Omputo (Raja): sebagai kotubu (kutub kekuasaan): ia memakai peci poporoki (Daster Kebesaran) dan dipayungi dengan Pau (Payung Kebesaran). Sebagai Ulil’amri, ia mengenakan kostum Balahadhadha (simbol dari perlindungan segenap warga); disapa dengan Waompu (Kromo Inggil). BersenjatakanPasatimpo (Keris Pusaka) yang diselip pada lilitanSulepe (Pending). Berjalan diapit oleh 2 orang Kapitalao (Laksamana); disebelah kanannya Kapitalao Matagholeo (Laksamana Armada Timur); disebelah kirinya Kapitalao Kansoopa (Laksamana Armada Barat).
Kapitalao (Laksamana): pimpinan sayap militer Sarano Wuna. Membawahi 4 komando daerah masing-masing 1 Kapita dan 3 Bharata (Bharata Tolu Peleno). Memakai daster dan baju kebesaran militer seorang Laksamana, kedua orang Kapitalao mengapit Omputo. Kapitalo Matagholeo memegang pedang kebesaran yang dijuluki La wiira ninggai meharono tapuaka (si penangkal isu, si penyapu bagai tsunami).
Sambil memegang pedang kebesaran dengan Ewa Wuna (Pencak Silat Khas Muna) dengan suara menggelegar ia berkata: ‘Turu, turu,turu; laha lahae somogilino wampanino, bisaramo nando aitu; ainihae la wiira ninggai meharono tapuaka; turu, turu, turu (tunduk, tunduk, tunduk; siapa-siapa yang ingin menentang, katakanlah sekarang juga; ini dia si penangkal isu, si penyapu bagai tsunami).
Kapitalao Kansoopa memegang Pandanga (Tombak Kebesaran) dalam sikap siaga penuh menunggu kalau-kalau ada penantang.
Bhonto Bhalano (Mangkubumi); ia adalah penyelenggara kekuasaan pemerintahan. Membawahi 4 Ghoera (Wilayah Besar) dan 8 orang Bobato (Adi Pati). Memakai daster dan baju kebesaran seorang Mangkubumi. Disebelah kirinyaMintarano Bhitara (Hakim Tinggi), berjalan sejajar. Pasangan itu diapit oleh Fato Ghoerano 94 pimpinan wilayah besar): Koghoerano Tongkuno dan Lawa disebelah kanan Bhonto Bhalano, Koghoerano Kabhawo dan Katobu disebelah kiri Mintarano Bhitara. Keenam orang ini adalah anggota Majelis Tinggi diketuai oleh Bhonto Bhalano. Merekalah yang berhak memilih Raja dan Kapitalao. Di belakang barisan bersaf mereka, berjejer Fato Lindono (4 orang staf) pribadi Raja). Mereka adalah personifikasi dari filosofi kemasyarakatan: Kainsitala(Kesejajaran/kesetaraan), Kaura-ura (Kreativitas), Bhalembo-lembo (perkumpulan/persatuan) dan Ndoke (cerdas dan tangkas).
Bharata Tolu Peleno menggunakan pakaian kebesaran militer Sarano Wuna, mereka adalah pimpinan komando daerah militer di 3 Bharata: Laghontoghe, Loghia, dan Wasolangka.
Bobato Oaluno; dengan pakaian kebesaran seseorang Adipati merekalah ini adalah pimpinan di delapan Bobato: Labhoora, Lakologou, Lagadi, Watumelaa, Lasehao, Kasaka, Mantobua dan Tobea.
Sara Hukumu (Hukamah) terdiri dari:
Kino Agama (Ketua Ulama); berdiri disebelah kiri Raja. Pasangan ini mempersonifikasikan harmoni ulama dan umara. Memakai jubah kebesaran dan sorban Kino Agama, jubah ini adalah simbol perlindungan segenap warga.
Imamu (Imam Mesjid Raya); memakai jubah dan sorban seorang imim. Pakaian itu adalah simbol dari perlindungan segenap warga terhadap adhala hu yaitu ajal yang disebabkan oleh petaka kemanusiaan mulai dari ubun-ubun hingga leher manusia.
Hatibi Ruduano (Pasangan Hatib); memakai jubah dan sorban seorang hatib. Keduanya mengapit imam di kanan kirinya. Khatib Tongkuno di kanan dan Khatib Lawa di kiri. Pakaian kedua Khatib adalah simbol perlindungan segenap warga dari adhala ha yaitu ajal yang disebabkan oleh petaka kemanusiaan mulai dari bahu hingga pinggul manusia.
Modhi Kamokula popaano (4 Moji Senior); memakai juba dan sorban Moji senior, berjejer di belakang Imam. Juba dan sorban mereka adalah simbol perlindungan segenap warga dari Adhala Hi yaitu ajal yang disebabkan oleh petaka kemanusiaan yang menimpa keempat anggota tubuh manusia.
Barisan inilah yang disebut Kolambu Rayati (Kelambu Rakyat). Zaman Kerajaan dahulu Raja dan Sara Hukumu bertanggung jawab apabila (bencana) kemanusiaan menimpa warga. Bila pertanggung jawabannya tidak beralasan cukup, Mahkamah Sarano Wuna berhak memberhentikan mereka.
Modhi Anahi Popaano (4 Moji Yunior) juga memakai jubah dan sorban. Mereka adalah aparat yang sewaktu-waktu menggantikan tugas-tugas Modhi Kamokula bila mereka berhalangan.
Sara Hukumu bertugas melantunkan takbiru (Takbir khas Muna) di dalam setriap kirab
Modhi Popaano Loghia (4 orang Moji dari mesjid Loghia); memakai jubah dan sorban seorang Mijo Bharata. Tugas mereka adalah Tambi yaitu menopang Takbiru yang dilantunkan oleh Sara Hukumu. Barisan mereka bersaf di belakang barisan modhi anahi.
Bhelo Bharuga (Aparat Keraton) terdiri dari:
Wangkaawi (Regu pembawa senjata Kerajaan) berjumlah 12 orang terdiri dari: Tunani (perwira) 4 orang. Firisi (Opsir) 4 orang, Siriganti (Bintara) 4 orang. Jejeran Tunani didepan, Firisi di tengah dan Siriganti di belakang.
Bhonto Kapili (perwira pilihan); terdiri dari 4 orang perwira. Seorang memayungi raja dengan payung kebesaran; dua orang ajudan dan seorang lainnya memegang gambi (kendaga) raja yang berisi sirih pinang serta perlengkapannya. Mereka berderet di belakang raja.
Pasi (Prajurit Yudha); brpakaian seragam militer Sarano Wuna dan berenjata. Terdiri dari 40 orang, 5 staf masing-masing 8 orang.
Bhonto Litau (pemangku Protokol Keraton); berpakaian resmi sebagai seorang pemangku dan bersenjata. Berderet bersama barisan fato lindono.
Sampu Moose (Kejora Hinggap) berjumlah 10 orang Keda-keda (dedara). Berpakaian resmi Sampu Moose, menunggangi 10 ekor kuda berlonceng dan berkekang kuningan. Dikawali oleh 10 orang pemuda perkasa, Sampu Moose adalah regu pelestari tarian Linda (Limbai) selaku tarian asli Muna.
Pemerintahan
Pada dasarnya, sistem monarki (kerajaan) biasanya di daerah-daerah lain adalah jabatan turun-temurun akan tetapi di Kerajaan Muna. Rajanya dipilih oleh suatu Dewan Kerajaan (yang disebut Dewan Sara). Dewan Sara ini dijabat oleh Golongan Walaka. Dewan sara ini bertugas memilih, mengangkat dan memberhentikan raja.
Proses pemilihan raja biasanya diawali dengan pertemuan Dewan Sara (mungkin semacam Sidang Umum MPR di negara kita sebelum pemilihan predisen secara langsung). Dari sidang Dewan Sara inilah dipilih siapa yang berhak menjadi raja. Namun yang berhak menjadi Raja adalah tetap golongan Kaomu sebab golongan inilah yang mendominasi jabatan eksekutif. Sedangkan jabatan legislatif dijabat oleh golongan Walaka dan terkadang Walaka ini dinamakan golongan Sara. Dalam pemilihan raja, biasanya calon raja diusulkan oleh para anggota dewan yang mengakili aspirasi masyarakat. Akan tetapi jika calon raja hanya satu orang, maka calon raja tersebut langsung dinobatkan sebagai raja. Kerajaan Muna Juga mengenal sistem putra mahkota.
Raja yang terpilih sebelum dilantik, diambil sumpahnya terlebih dahulu. Pada masa Islam, raja yang akan dilantik harus mengucapkan dua kalimat sahadat dahulu, kemudian dilanjutkan dengan mengucapkan sumpah raja, yang berisi sebagai berikut:
Hansu-hansuruana badha somano konohansuru liwu, artinya biarlah badan hancur (binasa) asalkan negara tetap berdaulat.
Hansu-hansuruana Liwu somano konohansuru sara, artinya biarlah negara porak-poranda asalkan pemerintahan tetap tegak
Hansu-hansuruana sara somano konohansuru adhati, artinya biarlah pemerintahan bubar/goyah asalkan adat tetap ada.
Hansu-hansuruana adhati somano konohansuru tangka agama, artinya biarlah adat hancur/tidak terpakai lagi asalkan agama tetap ada
Selain itu pemerintahan Kerajaan Muna terdiri Dewan Kerajaan yakni
Omputo (Raja)
Bhonto Bhalano
Mintarano Bhitara
Kapita Lau 2 orang
Kapita 1 orang
Koghoerano 4 orang
Fatolindono 4 orang.
Raja Muna
Raja Muna menangani pemerintahan di atas seluruh daerah Muna. Dia dibantu pertama-tama oleh bhonto bhalano dan selanjutnya oleh Syarat Muna. Dia juga ketua Syarat Muna. Dia mengangkat serta memberhentikan pejabat-pejabat tinggi setelah mendengarkan Syarat Muna dan sesuai dengan pendapat mereka. Semua keputusan Syarat Muna harus dikuatkan olehnya
Bhonto Bhalano
Sebenarnya dialah yang menyelenggarakan pemerintahan di Muna. Kedudukannya dalam Syarat Muna sama tinggi dengan Raja Muna. Dia menjadi anggota Syarat Muna dan ketuanya dalam perkara-perkara hukum. Sebagai jawatan tertinggi dia memberikan pendapatnya dalam berbagai perkara-perkara hukum. Keputusannya hampir selalu disetujui oleh Raja Muna. Dia bertempat tinggal di kota
Muna. Dia berhak atas penjagaan di rumahnya oleh empat orang
Mintarano Bhitara
Mintarano bhitara membawa kata yang diucapkan oleh yang lebih rendah kedudukannya kepada bhonto bhalano. Sekaligus ia menyampaikan kepada anggota Syarat Muna di dalam rapat segala sesuatu yang mau disampaikan pada Syarat oleh Raja Muna atau bhonto bhalano. Dia menanyakan terdakwa dan saksi-saksi dalam sidang Syarat Muna serta semua pihak dalam perkara-perkara perdata. Merundingkan dengan keempat ghoerano mengenai keputusan yang akan dijatuhkan serta menyampaikannya kepada bhonto bhalano
Ghoerano
Tugas utamanya adalah menjaga ketentraman dan keamanan di wilayahnya. Mereka bertugas mengawasi kino dan mino di dalam wilayah mereka. Menjadi anggota Syarat Muna. Mengambil keputusan hukum di kampung-kampung. Mereka dapat diangkat menjadi bhonto bhalano, bertempat tinggal di kota Muna.
Kino dan Mino
Kino dan Mino bertugas menjaga ketertiban dan keamanan di wilayahnya masing-masing, dibawah pengawasan Ghoerano
Fato Lindono
Tugas mereka mengurus semua urusan rumah tangga di rumah Raja Muna, wajib mengurus kayu bakar dan air, serta pada awal wajib menjaga Raja Muna. Ketika kemudian tugas ini menjadi terlalu berat bagi empat orang, mereka mendapat bantuan dari orang lain sehingga
mereka menjadi kepala para pembantu Raja Muna. Pembantu yang tidak menetap di kota Muna, bertempat tinggal di empat kampung Kaura, Lembo, Kancitala, dan Ondoke. Keempat kampung itu mendapat nama sesuai dengan nama keempat kepalanya. Kampung-kampung ini dinamakan fato lindono, ‘empat bagian (baru)’. Keempat kepala itu mendapat gelar mino‘orangnya’.
Bhontono liwu dan Kamokula
Mereka mempunyai tugas antara lain:
Mengurus semua keperluan ladang. Inilah tugas utama mereka.
Menyampaikan perintah dari kino atau mino kepada penduduk kampung dan mengusahakan agar perintah ini ditaati.
Mengurus semua perselisihan kampung. Bila mereka tidak mampu mengurus suatu perselisihan, maka akan diajukan kepada kino atau mino.
Mengurus pengadilan sebagai Syarat Kampung
Bila ada tamu yang lebih tinggi kedudukannya mengunjungi kampung, mengurus segala sesuatu (menyediakan tempat bermalam, mengurus kayu, air, penjagaan dan sebagainya).
Pertahanan
Pertahanan Kerajaan Muna menjadi tanggung jawab Kapitalao yakni Kapitalao Matagholeo(Kapten Armada Laut Timur) dan Kapitalao Kansoopa(Kapten Armada Laut Barat) keduanya bertugas menjaga wilayah pantai Kerajaan Muna dari serangan musuh. Kapitalao ini dipilih dari kepala kampung (Kino) yang bergelar Bobato Oaluno yakni Kino Tobea,Kino Kasaka,Kino Labora, Kino Lakologou,Kino Mantobua,Kino Lagadi,Kino Watumela,Kino Lasehao. Kapitalao Matagholeo berkedudukan di daerah Loghia, dan Kapitalao Kansoopa berkedudukan di daerah Wasolangka. Dalam menjaga wilayah pantai Kapitalao dibantu oleh Kino Barata yakni Kino Wasolangka,Kino Loghia,Kino Lahontohe dan Kino Marobea. Sedangkan keamanan wilayah ibu kota dan Istana Kerajaan menjadi tanggung jawab Kapita (Kapten) yang dibantu oleh prajurit kerajaan. Pejabat yang berperan dalam pertahanan Kerajaan Muna antara lain:
Kapitalao
Kedudukan kapitalao ini hanya dapat diisi oleh para kino dari delapan kampung, yaitu Labora, Lakologou, Tobea, Mantobua, Lagadi, Watumelaa, Lasehao dan Kasaka (para kino ini disebut bobatu oaluno) dan ketiga kino bharata (Lohia, Lahontohe dan Wasolangka). Para kino dari kampung-kampung lainnya tidak dapat dipilih menjadi kapitalao. Para kino dari kampung-kampung lainnya dapat diangkat sebagai kino salah satu dari delapan kampung tersebut di atas, untuk kemudian dapat dicalonkan sebagai kapitalao.
Kapita
Kapita adalah dari golongan La Ode. Dia dipilih dari keturunan Raja Muna, kapitalao, dan kino yang pertama-tama diangkat. Ada dua orang yang dicalonkan, satu oleh ghoerano Tongkuno dan Kabawo, serta satu lagi oleh ghoerano Lawa dan Katobu. Nama kedua calon ini disampaikan kepada bhonto bhalano oleh ghoerano Tongkuno. Bhonto bhalano bersama mintarano bhitara memilih satu dari kedua calon tersebut. Kapita berfungsi sebagai komandan pasukan pertahanan dalam wilayah kotano wuna
Kino Bharata
Tugas mereka adalah melindungi wilayah dan hak-hak Raja Muna terhadap penyerangan dari luar . Karena itu mereka ditempatkan di tiga tempat pelabuhan di Muna, yaitu Lohia, Lahontohe, dan Wasolangka. Mereka juga dibebani dengan tugas agar pedagang-pedagang membayar imbalan kepada Syarat Muna untuk hasil hutan yang di kumpulkan. Sebagai kino dibebani urusan pengadilan.Berhak menetap di kota Muna dan berumah di sana. Dapat terpilih menjadi kapitalao.
Lotenani
Lotenani adalah penjaga utama Raja Muna. Bila di dalam ibu kota terjadi suatu kejahatan dan pelaku-pelakunya melarikan diri lewat darat, maka lotenani akan mengejarnya. Untuk itu lotenani dapat menggunakan satu firisi, satu siriganti, satu bhonto kapili,
Lotenani dipilih dari golongan anangkolaki
Firisi
Firisi terbagi atas Firisino Pasi dan Firisino Kolaki. Firisino pasi adalah kepala pasi (tentara) .Firisino kolaki adalah pemimpin siriganti (penjaga perhiasan istana)
Pasi
Pasi adalah tentara dalam Kerajaan Muna. Ada 40 orang pasi, yaitu dari setiap ghoera sepuluh orang. Para pasi adalah dari
golongan anangkolaki. Pasi juga bertugas dalam istana mereka khusus mengawasi cara duduk yang sopan anggota Syarat dan orang-orang lainnya dalam kehadiran Raja Muna
Perekonomian Kerajaan Muna didominasi oleh sektor pertanian tradisional, perikanan dan juga perdagangan. Sektor pertanian mendominasi mulai dari wilayah utara Kerajaan Muna hingga perbatasan dengan Kesultanan Buton di wilayah selatan Kerajaan ini dan merupakan mata pencaharian mayoritas penduduk Kerajaan Muna. Sektor perikanan terdapat di wilayah pesisir seperti Loghia, Lahontohe, Wasolangka dan Tobea. Sedangkan sektor perdagangan dapat dijumpai di wilayah yang menjadi pelabuhan utama Kerajaan Muna yakni Lahontohe, Wasolangka dan Loghia.
Setiap tahun pada bulan Maulud, setiap ghoera (Semacam Provinsi) harus menghasilkan suatu pajak sebesar 40 bhoka= Rp 96. Jadi jumlahnya 160 bhoka = Rp 384. Jumlah uang ini harus dihasilkan oleh semua orang maradika dan wesembali, jadi hanya orang yang tinggal di luar Kota Muna. Golongan La Ode dan Walaka dalam hal ini dibebaskan. Pajak ini, yang dinamakan wulusau, dapat berupa uang atau barang, seperti beras, kain putih, sarung dan seterusnya. Pajak ini dibayarkan pada bhonto bhalano, yang harus membaginya pula dengan Raja Muna, mintarano bhitara, kedua kapitalao, keempat ghoerano serta semua kino dan mino. Cara membaginya sama dengan yang berlaku pada wawontobho. Selanjutnya, pada zaman dahulu di ghoera Kabawo pada setiap bulan puasa dibayar pajak gula yang dibuat dalam sebelumnya. Bila orang membuat gula, maka di dalam hutan dibuat sebuah pondok kecil pada tempat bekerja, bhantea namanya. Pada setiap bhantea bekerja 10 sampai 30 orang. Pajak setiap bhantea adalah 300 potong gula yang dihasilkan oleh para maradika dan wesembali. Penghasilan total pajak gula ini dibagi dalam tiga bagian, yaitu satu bagian untuk Raja Muna, satu bagian untuk bhonto bhalano bersama-sama dengan mintarano bhitara, dan satu bagian lagi untuk ghoerano Kabawo bersama dengan kino, mino, imam, khatib dan semua modhi dari Ghoera Kabawo. Bila pada saat pembayaran pajak ini, kapitalao berada di kota Muna, maka merekapun mendapat sebagian. Juga bilamana hasil hutan mau diekspor, maka harus dibayar suatu pajak, yang biasanya ditentukan sebesar 10% dari harganya. Harga pajak ini dibayarkan pada kino, yang harus membaginya dengan Syarat Muna.