Hubungan Georgia dengan Uni Eropa telah terjalin baik sejak lama. Georgia yang merupakan sebuah negara di Asia Barat telah menjadi mitra INOGATE sejak 1996.[1] Sebuah kerja sama dibidang energi antara negara-negara pesisir Laut Hitam dan Laut Kaspia serta negara-negara tetangganya yang merupakan program bantuan pendanaan dari Uni Eropa.[2] Hubungan Uni Eropa dengan Georgia juga terjalin selama negara itu mengalami krisis politik seperti Rovolusi Mawar yang terjadi Adjara pada 2004[3] hingga sangketa tapal batas dengan Rusia di Ossetia Selatan sejak bubarnya Soviet dan kembali memanas pada 2006.[4]
Pada Januari 2021, Georgia mengumumkan diri untuk bergabung sebagai keanggotaan Uni Eropa. Negara itu menyampaikan akan meminang Uni Eropa pada 2024.[5][6] Pada 3 Maret 2022, Georgia mengajukan permohonan keanggotaannya lebih cepat dari jadwal. Hal ini menyusul invasi Rusia ke Ukraina yang kian menjadi.[7] Pada Juni 2022, Komisi Eropa menetapkan kelayakan Georgia untuk menjadi anggota Uni Eropa, namun menunda pemberian status kandidat resmi hingga kondisi tertentu terpenuhi.[8] Belakangan bulan itu, Dewan Eropa menyatakan kesiapan untuk memberikan Georgia status calon setelah menyelesaikan serangkaian reformasi yang direkomendasikan oleh Komisi.[9]
Krisis Adjara 2004
Pada 2003 terjadi gejolak di Adjara, sebuah wilayah administrasi politik Georgia yang dikenal sebagai Republik Otonomi Adjara. Krisis politik itu kemudian dikenal sebagai Revolusi Adjarian atau Revolusi Mawar Kedua. Aslan Abashidze yang ketika itu memimpin Adjara menolak mematuhi otoritas pusat setelah pemecatan Presiden Georgia, Eduard Shevardnadze. Ia juga menentang keras Revolusi Adjarian dan mengumumkan keadaan darurat pada 23 November 2003.[3]
Krisis politik berlanjut hingga 2004. Pada 19 Januari, puluhan orang terluka akibat bentrokan antara pengunjuk rasa dan polisi di selatan Desa Adjarian Gonio. Para pengunjuk rasa saat itu menuntut pengunduran diri Aslan Abashidze.[10] Setelah kunjungan Aslan Abashidze ke Moskow, Kementerian Luar Negeri Rusia (Russian Foreign Ministry) mengeluarkan pernyataan pada 20 Januari yang mendukung kebijakan Aslan Abashidze dan mengutuk Revolusi Adjarian sebagai "kekuatan ekstremis".[11]
Aslan Abashidze akhirnya mengundurkan diri setelah berbicara dengan Sekretaris Dewan Keamanan Rusia (Secretary of the Russian Security Council), Igor Ivanov di Batumi.[12] Aslan Abashidze mengundurkan diri setelah konflik berkepanjangan terjadi dan cukup banyak memakan korban dan melarikan diri ke Moskow.[13] Setelah pengunduran Aslan Abashidze, krisis masih terus terjadi hingga pemilihan pengganti Aslan Abashidze. Kepala CFSP UE Javier Solana mengindikasikan pada Februari 2007, Uni Eropa dapat mengirim pasukan ke Georgia bersama pasukan Rusia.[14]
Krisis Ossetia Selatan 2006
Konflik berkepanjangan antara Rusia dengan Georgia membuat Uni Eropa cukup prihatin. Kedua negara pecahan Soviet[15] ini bersitegang soal batas teritorial.[4] Konflik ini sudah terjadi sejak Soviet menyatakan bubar pada 26 Desember 1991.[15] Pada 2006, Uni Eropa mengeluarkan pernyataan kekhawatirannya terkait perkembangan di zona Ossetia Selatan Resolusi Parlemen Georgia tentang Pasukan Penjaga Perdamaian yang Ditempatkan di zona konflik. Kekhawatirannya itu terutamanya soal penutupan satu-satunya jalur penyebrangan antara kedua negara. Utusan Uni Eropa di Kaukasus Selatan, Peter Semneby menyebut tindakan Rusia dalam rangkaian mata-mata Georgia telah merusak kredibilitas Uni Eropa sebagai penjaga perdamaian netral di lingkungan Laut Hitam.
Pada 21 Februari 2006, Uni Eropa menegaskan kembali dukungannya untuk resolusi damai atas konflik teritorial di Georgia, berdasarkan penghormatan terhadap kedaulatan dan teritorial integritas Georgia dalam batas-batas yang diakui secara internasional. Uni Eropa menyambut inisiatif yang diambil untuk tujuan ini, sesuai dengan Keputusan Dewan Menteri OSCE di Ljubljana pada Desember 2005, dan siap untuk berkontribusi secara aktif dalam proses perdamaian kedua negara.[4]
Perjanjian Asosiasi
Uni Eropa dan Georgia mulai menegosiasikan Association Agreement (AA) atau Perjanjian Asosiasi dan Perjanjian Perdagangan Bebas yang lebih mendalam dan komprehensif untuk mempererat hubungan kedua belah pihak.[16] Pada 29 November 2013 perjanjian tersebut ditandatangani pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kemitraan Timur yang digelar di Vilnius, Lituania. Georgia saat itu diwakili oleh Menteri Luar Negeri, Maia Panjikidze untuk pembubuhan tanda tangan perjanjian dan Uni Eropa oleh Perwakilan Tinggi untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan, Catherine Ashton.[17]
Ratifikasi
Setelah ditandatanganinya Perjanjian Asosiasi , negara-negara Uni Eropa satu per satu mulai meratifikasi perjanjian tersebut. Negara pertama yang meratifikasinya adalah Romania pada 2 Juli 2014.[18] Setelah itu, banyak negara yang menyusul, seperti Austria, Belgia, Bulgaria, Croatia, Cyprus, hingga Denmark. Berikut rincian negara-negara Uni Eropa yang meratifikasi Perjanjian Asosiasi tersebut:
^"Archived copy". Diarsipkan dari versi asli tanggal 4 October 2015. Diakses tanggal 9 Januari 2023.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"Maltese European Union Act"(PDF). justiceservices.gov.mt/. Maltese Ministry for Justice, Culture and Local Government. Diakses tanggal 9 Januari 2023.