Sinematografi Terbaik: Ical Tanjung Tata Suara Terbaik: Khikmawan Santosa & Anhar Moha Efek Visual Terbaik: Abby Eldipie
Gundala adalah sebuah film pahlawan superneo-noirIndonesia tahun 2019 yang disutradarai dan ditulis oleh Joko Anwar. Film ini adalah produksi bersama Screenplay Films, Legacy Pictures, Ideosource Entertainment, dengan pemilik hak cipta Gundala yaitu Bumilangit Studios. Film ini berdasarkan pada cerita karakter pahlawan super Indonesia tahun 1969 Gundala yang dibuat oleh Harya Suraminata. Karakter utamanya sendiri diperankan oleh Abimana Aryasatya. Film ini akan menjadi awal dari Jagat Sinema Bumilangit (JSB) sekaligus Film superhero dari Asia tenggara yang paling terkenal. Gundala dalam bahasa Jawa yaitu "Gundolo" yang berarti Petir, sangat cocok mengingat superhero / adiwira ini memang mempunyai Kekuatan Petir. Uniknya Gundala bisa diartikan sebagai Telinga Panjang seperti sama halnya dengan sahabat Gundala yaitu Sri Asih yang juga menggunakan desain telinga panjang. Telinga panjang itu bermakna bahwa kita harus lebih menjadi pendengar daripada banyak berbicara.
Alur
Sancaka (Muzakki Ramdhan) adalah putra seorang pekerja pabrik miskin yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sancaka yang masih muda itu menunjukkan tanda-tanda kecemerlangan dalam mengutak-atik produk listrik, tetapi takut dengan petir dan badai yang seakan selalu mengincarnya. Ayah Sancaka (Rio Dewanto) memimpin rekan-rekan buruh pabriknya dalam sebuah protes terhadap pemilik pabrik, menuntut kenaikan gaji. Kelompok itu bertemu dengan penjaga bersenjata yang disewa oleh pemilik pabrik, lalu protes itu berubah menjadi anarkis. Pada protes kedua, ayah Sancaka dikhianati dan ditikam oleh rekan-rekannya yang telah disuap oleh pemilik pabrik dan meninggal di lengan Sancaka. Sancaka disambar oleh petir lalu meretakkan tameng para pasukan bersenjata sambil memegangnya, lalu saat orang-orang ingin menolongnya, mereka semua terlempar dan tersengat petir dari tubuh Sancaka. Setahun kemudian, ibu Sancaka (Marissa Anita) pergi ke kota lain untuk mencari pekerjaan. Dia berjanji untuk kembali keesokan harinya, tetapi tidak pernah kembali.
Peristiwa ini membuat Sancaka berkeliaran sendirian di jalan-jalan Jakarta, hidup dari mengamen. Suatu ketika ia dikejar dan dipukuli oleh sekelompok anak jalanan, sampai akhirnya ia diselamatkan oleh Awang (Faris Fadjar Munggaran), seorang anak jalanan yang lebih tua darinya. Sancaka tinggal bersama Awang selama beberapa waktu, dan Awang melatihnya agar menguasai ilmu bela diri. Awang juga memberi pesan kepada Sancaka untuk tidak ikut campur dengan urusan orang lain jika dia ingin tetap hidup aman di jalanan. Suatu malam, Sancaka dan Awang berencana untuk berangkat ke Tenggara dengan menaiki kereta yang lewat. Ketika akhirnya ada kereta lewat, Awang melompat ke atasnya, tetapi Sancaka tidak dapat mengejar kereta, dan berakhir ditinggal sendirian lagi.
Tahun demi tahun berlalu, dan Sancaka (Abimana Aryasatya) yang sekarang sudah dewasa bekerja sebagai penjaga keamanan dan mekanik paruh waktu di sebuah pabrik percetakan. Mayoritas anggota legislatif negara yang korup dikendalikan oleh seorang mafia kejam dengan cacat fisik yang dikenal sebagai Pengkor (Bront Palarae). Pengkor memimpin pasukan anak yatim yang dibesarkan sebagai pembunuh dan memanggilnya sebagai "Bapak". Pengkor mendapat perlawanan dari anggota legislatif Ridwan Bahri (Lukman Sardi). Pengkor dan anak buahnya melakukan rencana jahat dengan cara meracuni persediaan beras nasional dengan serum yang menargetkan wanita hamil, dan dikabarkan bisa mempengaruhi otak janin, membuat anak yang lahir tidak dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, serta mengacaukan moral mereka. Pengkor mengatur agar tindakan memberi racun tersebut terekam oleh kamera video dan dirilis melalui media. Hal ini menyebabkan histeria massal di masyarakat, yang kemudian menuntut anggota legislatif untuk melepaskan penawar racun yang sebenarnya belum teruji dan diformulasikan oleh perusahaan farmasi kepada publik. Perdebatan ini membagi dewan legislatif menjadi dua kubu: satu dipimpin oleh Ridwan dan rekan-rekan 'Rumah Perdamaian' yang ingin mengeluarkan undang-undang untuk mendistribusikan penawar racun tersebut, sedangkan kubu lain yang dikendalikan oleh Pengkor menentang pendistribusian penawar racun.
Suatu hari, Sancaka membantu tetangganya, Wulan (Tara Basro) melawan beberapa preman yang mengganggunya. Para preman membalas dengan menyerangnya di malam hari saat ia tengah bekerja di pabrik dan berusaha untuk membunuhnya dengan cara melemparkan Sancaka dari atap pabrik. Setelah tubuh Sancaka jatuh ke tanah, sambaran petir menyambar tubuhnya dan menghidupkannya kembali, serta memberinya kekuatan manusia super.
Wulan memimpin sekelompok pedagang pasar untuk memberontak melawan para preman yang mengganggu mereka. Suatu saat, Sancaka kebetulan berada di sekitar pasar tersebut dan akhirnya bertarung dan mengalahkan 30 orang preman dengan kekuatannya. Wulan meminta Sancaka untuk bergabung dengan kelompoknya agar bisa mempertahankan pasar. Namun, Sancaka menolak, dengan alasan bahwa ia belum yakin bahwa dia adalah pahlawan yang mereka butuhkan.
Para preman membalas dengan cara membakar pasar. Kesengsaraan dan keputusasaan para pedagang pasar meyakinkan Sancaka untuk bangkit membela mereka. Dengan bantuan Wulan, Tedy—adik lelaki Wulan—, dan Pak Agung (Pritt Timothy)—teman Sancaka sesama penjaga keamanan—, Sancaka belajar mengendalikan kekuatannya dan menciptakan kostum darurat untuk memanfaatkan kekuatan petir di dalam dirinya. Dengan itu, Sancaka mulai bertarung dan mengalahkan para penjahat, menginspirasi orang-orang sebagai simbol harapan untuk bangkit dan berdiri bersama untuk mempertahankan diri dari serangan para penjahat.
Salah satu preman membelot dan memberi tahu Sancaka dan Wulan bahwa mereka menyaksikan seorang pemain biola terkenal, Adi Sulaiman (Rendra Bagus Pamungkas) ada di pasar pada saat kebakaran terjadi. Ia mencurigai Adi sebagai dalang dibalik pembakaran itu. Sancaka menemui Adi untuk meminta alasan mengapa ia membakar pasar, tetapi Adi yang tampaknya lemah ternyata adalah seorang yang beringas dan menyerang Sancaka dengan busur biolanya. Tato yang dimiliki Adi mengungkapkan bahwa dirinya adalah salah satu "anak" yatim piatu Pengkor yang berjuluk Sang Penggubah. Saat menghindari serangan Sancaka, Adi tertabrak oleh bus yang kebetulan lewat.
Kepahlawanan Sancaka dan kematian Adi membuat Pengkor dan rekannya (Ario Bayu) marah. Pengkor melepaskan para "anak" yatim piatunya yang ternyata menjadi agen mata-mata di banyak posisi di seluruh negara, diantaranya adalah Sang Pelajar, Desti Nikita (Asmara Abigail); Sang Peraga, Mutiara Jenar (Kelly Tandiono); Sang Perawat, Cantika (Hannah Al Rashid); Sang Penempa, Tanto Ginanjar (Daniel Adnan); Sang Peracik, Jack Mandagi (Andrew Suleiman); Sang Pembisik, Kamal Atmaja (Ari Tulang); Sang Pemahat, Sam Buadi (Aming); Sang Pelukis, Kanigara (Cornelio Sunny); dan Sang Penari, Swarabatin (Cecep Arif Rahman). Para "anak" Pengkor tersebut berhasil membunuh sejumlah anggota Rumah Perdamaian. Namun saat Swarabatin hendak membunuh Ridwan, Sancaka muncul dan mengalahkannya.
Dewan legislatif akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) penawar racun beras itu yang membuat masyarakat gembira. Namun, ketika hasil tes dari laboratorium Rumah Perdamaian sampai di tangan Ridwan, baru diketahui bahwa Pengkor telah menipunya selama ini. Beras yang telah terkena racun sebenarnya tidak mematikan, tetapi penawar racunnya justru mematikan. Hal ini diperkuat dengan bukti bahwa perusahaan farmasi yang memproduksi penawar racun tersebut ternyata dimiliki oleh Pengkor. Ridwan mencoba menghubungi Sancaka untuk memintanya menghentikan distribusi penawar racun, tetapi Pengkor dan "anak-anak"nya telah terlebih dahulu menyerang Sancaka di pabrik sebelum ia dapat pergi untuk menghentikan pendistribusian penawar racun.
Pertempuran Sencaka dengan para "anak" Pengkor berlanjut hingga di atap pabrik, tempat Pengkor menahan Pak Agung, Wulan, dan Tedy dengan tujuan membunuh mereka di depan Sancaka. Kamal sempat menghipnosis Sancaka, namun teriakan Wulan menyadarkannya. Sancaka akhirnya berhasil melepaskan kekuatan petirnya dari dalam dirinya dan mengalahkan sebagian besar "anak-anak" Pengkor. Ia berhasil menyelamatkan Wulan dan Tedy, tetapi Pak Agung dibunuh oleh salah satu "anak" Pengkor. Sancaka pun membunuh hampir semua "anak-anak" Pengkor, kecuali Kanigara yang berhasil kabur. Ketika Pengkor hendak menyerang Sancaka dari belakang, Ridwan datang dan menembak Pengkor dengan pistol. Ketika tengah sekarat, Pengkor sempat menyatakan bahwa dialah satu-satunya yang berhasil menyatukan rakyat dan dewan legislatif.
Sancaka bergegas menghentikan distribusi obat penawar itu. Sancaka menyusul sebuah mobil distribusi dan mencoba menghentikannya. Namun, ia justru ditembak oleh sang pengemudi. Untungnya, mobil tersebut secara supernatural dihentikan oleh seorang wanita misterius (Pevita Pearce). Sancaka pun memegang sebuah botol obat penawar, dan menggunakan kekuatan petirnya untuk memecahkan semua botol obat penawar racun yang ada di kota.
Sementara itu, rekan Pengkor membongkar sebuah makam kuno yang terkubur di dalam dinding museum kota sambil membawa sebuah wadah tersegel berisi kepala orang tua yang telah terpenggal dari tubuhnya. Menggunakan darah Sancaka yang ia ambil sebelumnya dari salah satu perkelahian, ia menggabungkan tubuh dan kepala tersebut dalam wadah tersegel itu. Proses tersebut membangkitkan Ki Wilawuk (Sujiwo Tejo), iblis yang kuat dari zaman kuno. Rekan Pengkor tersebut mengungkapkan dirinya sebagai Ghazul dan mengatakan kepada Ki Wilawuk bahwa musuh telah datang. Ghazul memanggil sang musuh tersebut sebagai "Gundala" ('Guntur' dalam bahasa Jawa kuno). Ki Wilawuk memerintahkan Ghazul untuk mengumpulkan tentaranya, karena perang besar akan datang.
Dalam adegan mid-credit, Gundala bertemu Ridwan di atap dan mengucapkan terima kasih atas kostum pemberiannya yang telah di-upgrade dan lebih canggih. Ridwan mengatakan bahwa kostum baru itu berasal "dari rakyat". Dari kejauhan, wanita misterius yang sebelumnya menghentikan mobil pembawa obat penawar racun tengah mengamati mereka. Ia disebut oleh rekannya sebagai pahlawan super Sri Asih.
Awalnya, Hanung Bramantyo(kiri) ditunjuk menjadi sutradara film ini sebelum akhirnya diganti Joko Anwar.
Bumilangit Studios sebagai pemilik kekayaan intelektual Gundala telah mengembangkan ide membuat film Gundala sejak 2008. Bumilangit Studios yang saat itu bernama Bumi Langit Pictures bekerja sama dengan Graha Media Visi dalam produksi film ini. Direncanakan film ini akan disutradarai Alex J. Simal dan dibintangi Sandy Mahesa, Amelia Dinati, Dharma Suchdi, Chandra Gahli, dan Reina Abidin. Film ini direncanakan akan ditayangkan pada Juni 2009, tetapi rencana produksi tersebut menghilang ditelan angin.[1] Pada tahun 2010, terjadi kebohongan (hoax) yang dilakukan oleh Iskandar Salim, seorang fotografer dan desainer grafis yang menciptakan materi promosi untuk film yang tidak dibuat tentang Gundala. Salim memperhatikan bahwa belum pernah ada film yang menampilkan pahlawan superIndonesia dan ingin memulai debat publik tentang masalah ini. Dia membuat situs web resmi, halaman Facebook, poster, dan foto-foto ditampilkan yang diduga memperlihatkan film yang sedang dibuat. Sebagai hasil dari perhatian yang dihasilkan oleh tipuan, pencipta Gundala, Hasmi, terlibat dalam negosiasi untuk menghasilkan film nyata berdasarkan karakter ciptaannya itu.[2] Produksi film ini kemudian terdengar kembali tatkala Erick Thohir dari Mahaka Pictures memproduksi film ini dengan Hanung Bramantyo sebagai sutradara.[3] Rencananya, film ini dijadwalkan akan ditayangkan pada 2016.[4] Proses produksi tidak menemui kepastian sebelum akhirnya digantikan oleh Joko Anwar pada 2018. Keterlibatan Joko Anwar sebagai sutradara film ini bermula dari sebuah status yang diunggah Joko di Instagram pada 18 Januari 2018 yang menampilkan gambar sayap perak.[5] Kemudian pada 4 April 2018, Joko Anwar diumumkan sebagai penulis dan sutradara untuk film tersebut.
Joko Anwar mengakui bahwa proses penulisan naskah film Gundala adalah pekerjaan tersulit selama kariernya. Dia biasanya menghabiskan 1-2 bulan untuk proses penulisan naskah, tetapi akhirnya menghabiskan 7 bulan untuk proyek ini. Menafsirkan kembali asal mula dari komiknya tahun 1969, ia menyusun ulang cerita itu dengan cara yang dapat menarik kaum milenial dan centenial. Komik dan catatan Hasmi tentang Gundala membantunya menulis naskah.[6] Film ini menghabiskan dana sebesar Rp30 miliar.[7]
Praproduksi
Joko Anwar merasa bahwa Abimana Aryasatya adalah aktor yang sempurna untuk memerankan Sancaka alias Gundala karena auranya yang lemah lembut namun kuat. Setelah beberapa upaya, Joko berhasil meyakinkan Abimana dan akhirnya ia pun menerima tawaran itu.[8] Sebelumnya Joko menjanjikan akan ada pemeran kejutan yang diumumkan.[9]
Produksi film ini melibatkan 1.800 pemain dan pengambilan gambar dilakukan di 70 lokasi yang berbeda di Indonesia. Penggarapan film ini memakan waktu hingga dua tahun.[11] Selama produksi film, Joko melarang semua pemain untuk menonton film lain untuk dijadikan rujukan bagi film ini.[12] Dalam menulis film, Joko sempat merasa sulit saat mencari tempat yang nyaman untuk menulis naskah sebelum akhirnya berhasil menemukan tempat yang dicari yaitu museum dan kuburan.[13]
Pascaproduksi
Pascaproduksi dimulai pada November 2018 dan selesai sekitar Juni 2019. Film Gundala[14] melibatkan banyak pekerja film di Indonesia, salah satunya adalah Khikmawan Santosa. Gundala adalah salah satu proyek terakhirnya sebelum ia meninggal pada 11 Mei 2019.[15]
Lagu pengiring
Salah satu soundtrack yang melengkapi film ini adalah lagu 1962 The End of the World oleh Skeeter Davis. Tim produksi setuju bahwa lirik mewakili tema utama film; ketika banyak orang di suatu negara tidak menegakkan keadilan, mereka akan menuju akhir dunia.[16]Warner Music Indonesia menerbitkan album jalur suara berisi sembilan lagu yang terpilih dari sekitar tiga ratus lagu yang didaftarkan lewat tagar #GundalaSongTribute.[17]
Pemasaran
Video tampilan pertama film Gundala ditampilkan di Indonesia Comic Con pada 28 Oktober 2018.[18] Teaser pertama dirilis di akun YouTube resmi Screenplay Films pada 12 April 2019. Sebulan kemudian, poster resmi tersebut terungkap pada 28 Mei 2019.[19]
Untuk meningkatkan kesadaran publik tentang film Gundala, M&C! dan penerbit Koloni akan menerbitkan dua jenis komik Gundala, versi remastering dari komik klasik Gundala (diterbitkan pada Juli 2019) dan adaptasi komik Gundala dari kisah yang disampaikan dalam film (diterbitkan pada Agustus 2019). Versi remastering menargetkan penggemar komik Gundala asli pada tahun 1970-an dan 1980-an dan kolektor komik sekolah tua Indonesia, sedangkan versi adaptasi menargetkan generasi milenium Indonesia yang tidak mengetahui karakter Gundala sebelumnya. Komik Gundala juga akan tersedia dalam bentuk digital di Line Webtoon, menargetkan remaja Indonesia yang sering mengakses platform. Koloni, bersama dengan Gramedia Pustaka Utama dan Bumilangit, juga akan mengadakan beberapa roadshow di seluruh Indonesia. Roadshow film Gundala dimulai pada 15 Juni 2019 di Jakarta.[20] Dilaporkan pembelian tiket awal untuk bioskop yang didukung format suara Dolby Atmos sudah laris manis dibeli penonton.[21]
Memanfaatkan penayangan Gundala dan Twivortiare, Twitter memasang emoji di sebelah tagar berkaitan dengan dua film itu.[22] Tagar #Gundala sendiri menempati peringkat kelima topik terhangat Twitter Indonesia.[23]
Pada hari pertama, film ini ditonton 174.013 orang.[28] Pada hari kedua, film ini ditonton 312.776 orang.[29] Pada hari ketiga, film ini ditonton 512.566 orang.[30]
Gundala[31] juga direncanakan ditayangkan di Malaysia pada 7 November 2019 bersamaan juga dengan Twivortiare, tetapi batal.[32]
^Post, The Jakarta. "Holding on for a superhero". The Jakarta Post (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-06-03. Diakses tanggal 2019-07-31.
^Daftar Sensor[pranala nonaktif permanen]. Lembaga Sensor Film. 22 Juli 2019. Diakses 12 Agustus 2019. Petunjuk: Ketik "Perburuan" pada kolom "Judul", klik "Tampilkan", kemudian klik tombol bergambar kertas yang terletak di sebelah kanan untuk mengetahui keputusan lengkap.