Gereja Katolik Santa Perawan Maria di Fatima, Sragen adalah gerejaparoki yang berdiri di Kabupaten Sragen sejak tahun 1969, dan menjadi salah satu karya arsitektur dari Romo Y. B. Mangunwijaya. Bangunan gereja awal berupa 1 bangunan utama dengan bentuk limasan tunggal, dan 1 bangunan pastoran. Hampir 50 tahun kemudian (2002), sebagai hadiah yubileum emas dan atas persetujuan Romo Mangun, dibangun bangunan gereja limasan ganda, dengan perluasan secara mirroring.
Pada September 2022, saat Misa penerimaan sakramen krisma sekaligus perayaan ulang tahun gereja ke-65, telah diresmikan 2 gedung baru, oleh Uskup Agung Semarang, Mgr. Robertus Rubiyatmoko, yang merupakan gedung aula dan pastoran baru. Menara lonceng diresmikan tepat 2 tahun kemudian di bulan dan misa untuk perayaan yang sama.[1]
Gereja Santa Perawan Maria di Fatima
Gereja Santa Perawan Maria di Fatima, Paroki Sragen
Kekatolikan di Sragen dimulai dengan berdirinya Sekolah Dasar Kanisius di desa Jetak yang menumpang di rumah Demang Sontomejo dengan guru R. Sumardji kemudian R.Soewandi, dan R.P. Soewardi. Selain sebagai guru mereka juga diberi kuasa menjadi guru agama Katolik oleh Rm. CJJ. Versteeg SJ. karena ada kejadian dimana R.P. Soewardi dicurigai mengajarkan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Hasil pelajaran agama ditandai dengan dipermandikan dua pemuda asal Sragen di Purbayan pada tgl 24 Desember 1933.
Sejak tahun 1930 sudah ada misa untuk orang-orang Belanda dan Tionghoa, tahun 1937 diadakan misa sekali sekali di Sekolah Dasar Kanisius Jetak, kemudian dihentikan dengan masuknya jepang pada 1942. Hingga tahun 1948 hanya ada sekitar 30 orang Katolik di sekitar Sragen, termasuk di dalamnya beberapa orang Belanda-Katolik.[1]
Gedung SD Kanisius Jetak yang sejak awal perkembangan umat Katolik di Sragen digunakan untuk tempat penyelenggaraan misa, telah ditutup tahun 1949 oleh pemerintah dan dijadikan satu menjadi Sekolah Rakyat. Maka perlu diusahakan tempat lain, sekalipun tidak permanen (selalu berpindah-pindah). Dengan semakin stabilnya situasi politik, kehidupan keagamaan pun kembali menjadi normal dan lebih bergairah, sehingga memungkinkan dilakukannya usaha-usaha baru untuk lebih memperkembangkannnya.[2]
Geliat menjadi Katolik terasa lagi dengan berdirinya SGB di Beloran yang diperkrasai guru-guru Katolik. Pada Tahun 1951 8 siswa SGB dipermadnikan di Purbayan pada tahun 1953. Tahun 1954 7 orang dipermandikan, tahun 1955 3 orang dipermandikan.[1]
Titik Awal Lahirnya Paroki Sragen
Salah satu usaha yang sangat berhasil dan besar jasanya terhadap perkembangan umat Katolik adalah didirikannya Yayasan Saverius Sragen yang berdiri tahun 1955 dengan akte Notaris No. 30. 26-9-1955, atas perjuangan gigih dari sekelompok tokoh awam Katolik. Perjuangan mereka terbukti tak hanya dari usaha membebaskan sebidang tanah milik Yayasan PGPM (Pengurus Gereja Papa Miskin) yang diduduki orang lain, tetapi juga dari tekad mereka merintis berdirinya sebuah sekolah lanjutan pertama di lokasi tersebut dengan dukungan Mgr.Alb.Soegijapranata, SJ dan kemudian mengasuh dan mengelolanya sendiri.
Berdirinya gedung sekolah tersebut merupakan peristiwa yang dapat dikualifikasikan sebagai salah satu tonggak sejarah Gereja Katolik di Sragen, karena mulai saat itu semua kegiatan keagamaan terpusat di gedung tersebut. Hal itu dimungkinkan karena dwi-fungsi bangunan, pada hari-hari biasa untuk sekolah dan hari Minggu sebagai Kapel untuk Misa. Dengan demikian, para imam yang berkarya di Sragen tak hanya lewat dan mampir ‘ngombé’ seperti dulu, tapi sudah dapat menginap lebih lama. Pembinaan iman pun semakin intensif. Dengan pusat di SMP Saverius, para imam dapat meningkatkan frekuensi kunjungan pastoral mereka ke luar kota, sehingga di beberapa kecamatan sudah dapat diadakan misa secara rutin. Perkembangan yang menggembirakan ini terus dapat ditingkatkan sehingga mendorong timbulnya basis-basis baru di kemudian hari.
Rm. Wakkers, SJ berkarya di paroki tersebut sampai tahun 1961. Meskipun sebelum tahun 1960, beliau sering berkunjung ke Sragen dalam tugas pelayanan iman, namun baru pada tahun 1960 ia bertugas penuh di Sragen. Sekalipun singkat, namun kehadiran serta pengabdiannya meninggalkan kesan yang sangat mendalam di hati umat Katolik Sragen. Suatu kebanggaan juga bagi umat Katolik Sragen bahwa Rm. Kardinal Y. Darmoyuwana, Pr yang pernah berkarya di Sragen (antara tahun 1956-1957), diangkat menjadi Kardinal pertama di Indonesia. Beliau ditempatkan di paroki Purbayan, Solo sejak Oktober 1955 dan bertugas untuk melayani sejumlah stasi di paroki tersebut, termasuk Sragen.
Masa 1960-an
Kerjasama yang dijalin dengan para pemimpin stasi ternyata telah meletakkan dasar bagi perkembangan umat Katolik yang berdikari, seperti yang tercatat di sepanjang sejarah umat Katolik di Sragen. Satu hal yang tidak dapat dikesampingkan ialah kerjasama antara Rm. Y. Darmayuwana dengan para pengurus Yayasan Saverius dalam mengusahakan bantuan dari Vikariat Semarang (sekarang Keuskupan AgungSemarang) untuk perluasan gedung SMP Saverius. Berkat kerjasama, pengorbanan dan keteladanan kedua belah pihak, proses ekstensifikasi maupun intensifikasi iman menjadi semakin pesat, sehingga mempercepat pula proses pengangkatan stasi Sragen menjadi paroki dalam waktu yang relatif singkat. (Ini terjadi pada tahun 1965)
Pada tahun 1961, lahirlah sebuah paroki di Solo, yaitu Paroki Purbowadayan. Semenjak itulah segala urusan stasi Sragen dialihkan ke paroki tersebut. Romo pertama yang ditugaskan di Purbowadayan adalah Rm. Kiswono, Pr dengan jadwal kegiatan setengah minggu di Purbowadayan dan setengah minggu di Sragen.
Memang benar, bahwa buku-buku paroki sudah dimiliki sendiri sejak tahun 1961, karena pada bulan Juli 1961 Sragen mulai mengadakan permandian sendiri yang pertama. Namun demikian, peristiwa tersebut belum cukup untuk menyatakan bahwa Sragen telah menjadi paroki. Peristiwa yang dapat diambil sebagai patokan pengangkatan Sragen menjadi paroki ialah peristiwa mulai menetapnya Romo Kiswono di Sragen pada tahun 1965 sebagai Romo paroki penuh, hingga ditemukannya bukti otentik bahwa tanggal 2 September 1957 didirikan Yayasan PGPM Paroki Santa Perawan Maria di Fatima Sragen dengan Ketua Rm. Yustinus Darmoyuwana, Pr.[1][2]
Sejak Romo Kiswono ditunjuk untuk mengurus stasi Sragen tahun 1961, sedikit demi sedikit embrio dari Dewan Paroki dibentuk pada tahun 1963. Seiring dengan itu beberapa kring dan stasi mulai mencari bentuknya, di samping yang sudah ada. Dalam pembangunan fisik, material untuk pembangunan gereja sedikit-demi sedikit mulai dikumpulkan. Seiring dengan itu pula, untuk lebih merangsang serta menggalakkan kehidupan agama dalam rangka intensifikasi, dua macam gerakan awam diperkenalkan di Sragen, yaitu: ALMA (Asosiasi Lembaga Misionaris Awam) dan LEGIOMARIA. Sementara itu kerasulan melalui bidang profesi pun terus digalakkan, terutama melalui pendidikan (SMP Saverius dan SGB) dengan hasil yang makin menggembirakan. Hanya saja, umat belum puas, karena belum mempunyai tempat peribadatan khusus/gereja.
Untuk mewujudkan impian itu dan mengingat perkembangan umat serta gedung SMP Saverius yang sudah tidak memadai untuk menampung kegiatan ibadat, umat Katolik mulai mengerahkan segala kemampuannya. Panitia pembangunan gereja yang diketuai oleh Rm. CS. Soerjosubroto, Pr yang menggantikan Romo Kiswono pada pertengahan Juli 1968, mulai melaksanakan pembangunan gereja pada bulan Desember 1968. Arsiteknya adalah Rm. Y.B. Mangun Wijaya, Pr, seorang arsitek muda lulusan Jerman dengan dibantu Bruder Karto.
Dalam waktu ± 1 tahun pembangunan Gereja telah rampung, berkat partisipasi dan kerjasama seluruh umat. Satu bangunan yang indah, berbentuk joglo, megah, bermotif khas Jawa. Begitu khasnya sehingga gambarnya dimuat dalam buku SEJARAH GEREJA KATOLIK DI INDONESIA (Jilid IV, hal 196) sebagai salah satu contoh inkulturasi seni bangunan, sebagaimana dikehendaki oleh Konsili Vatikan II tahun 1965 (Ad Gentes, 22).
Bulan Agustus 1969 pembangunan gereja selesai dan dalam suasana penuh khidmat dan meriah diberkati oleh Romo Kardinal Yustinus Darmoyuwono, Pr dengan nama pelindung Santa Maria Fatima, sehingga pusat keagamaan bisa mandiri.
Untuk menilai tentang semua hasil yang telah dicapai, tiada kesan yang lebih mengena seperti yang dikemukakan oleh Duta Besar Vatikan sendiri, ketika mengadakan kunjungan ke paroki Sragen pada tahun 1973. Dalam kunjungan tersebut ia mengemukakan kesannya, bahwa ‘Gereja Sragen sudah kena hembusan angin Konsili Vatikan II dan sudah berjalan di atas rel Konsili Vatikan II.’
Berdasarkan data yang ada, jumlah pembabtisan yang paling banyak antara 1969-1970 dan tahun 1970 mencapai 550 orang. Tantangan situasi sesudah G 30 S / PKI dan anjuran pemerintah supaya semua orang memeluk salah satu agama yang diakui oleh pemerintah, banyak yang memeluk agama Katolik. Hal ini tidak lepas dari kesaksian hidup umat Katolik baik rakyat jelata maupun tokoh dalam bidang pendidikan, pemerintahan dan lembaga masyarakat lainnya. Kesaksian umat Katolik dalam masyarakat serta pengakuan, kebaikan maupun kebenaran Kristiani tampa ragu-ragu mendorong umat lainnya memeluk agama Katolik.
Menurut data statistik Sragen 1955, Kabupaten Sragen luasnya 945,22 km2 dan yang masuk ke Paroki Sragen adalah seluruh Kabupaten Sragen minus: Gemolong, Sumberlawang dan Kalijambe (ikut paroki Purbowadayan) dan ditambah dari Kabupaten Karanganyar yaitu Kecamatan Kerjo dan Jenawi sehingga luasnya ± 850 km2.
SFS di Sragen
Selain itu, tidak boleh kita lupakan kehadiran Suster-suster Fransiskus Sukabumi di Sragen pada tahun 1963 dengan karya sosialnya yang melayani kesehatan (RS. Mardi Lestari) dan juga pendidikan (SD Santo Fransiskus). Kehadiran para Suster ini seusia dengan mulai berkembangnya Paroki Sragen dan mereka sangat berperan dalam membantu perkembangan umat di Sragen. Kehadiran mereka sungguh membuat ajaran Katolik lebih manusiawi dan lebih hangat.[2]
Konsep rancangan gereja khas Romo Mangun lebih dikenal dengan sebutan Gereja Diaspora. Kata diaspora berasal dari bahasa Yunani (διασπορά) yang artinya “terpencar-pencar”.4 Menurut Romo Mangun, diaspora artinya benih-benih yang serba tersebar, terpencar, tidak kompak dalam satu tempat, tidak terisolasi dan terkonsentrasi dalam suatu wilayah yang tertutup. Suatu istilah yang penggunaannya dihubungkan dengan keberadaan gereja di Indonesia dengan menunjuk pada suatu gambaran kehidupan umat Katolik yang tersebar. Konsep diaspora ini pada dasarnya adalah sebuah upaya inkulturasi, yang memang merupakan bagian dari amanat Konsili Vatikan II. Dalam kaitannya dengan arsitektur gereja di Indonesia, Y. B. Mangunwijaya berpendapat bahwa gereja yang sesuai haruslah kembali ke dalam lokalitas budaya masyarakat dimana sebuah institusi gereja berdiri. Wujud arsitekturnya menjadi sangat identik dengan bangunan-bangunan Jawa mulai dari gubahan bentuk hingga keterbukaannya.
Rancangan bangunan ini tidak lepas dari keinginan dan gagasan Romo Mangun tentang gereja yang kontekstual dengan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa dimana bangunan ini berdiri. Pemilihan bentuk joglo sangat mencerminkan kehidupan dan nilai-nilai masyarakat Jawa. Pemahaman tentang bangunan gereja yang umumnya pada saat itu masih campur baur di Indonesia kemudian dimantapkan oleh Romo Mangun dengan pendekatannya kenusantaraannya. Kesederhanaan merupakan aspek lain yang muncul pada bangunan pendopo ini. Suatu bangunan gereja tentunya perlu akrab dengan pluralitas, kebudayaan, hingga kemiskinan yang ada di Indonesia. Hal ini disebabkan karena gereja seseungguhnya tidak sekedar sebagai rumah Tuhan, namun juga merupakan rumah bagi manusia. Sikap keberpihakan terhadap kaum miskin sewajarnya menjadi suatu keharusan.
Perluasan bangunan dilakukan pada tahun 2001 dengan mempertahankan bangunan gereja lamanya. Gereja baru merupakan adopsi terhadap bangunan gereja lama menjadi sebuah bangunan joglo kembar. Renovasi ini dianggap paling menghormati bangunan gereja lama. Selain itu pula perluasan ini sebelumnya telah disepakati oleh Romo Mangun, sehingga tidak menghilangkan nilai-nilai yang ada di bangunan gereja lama.
Detail Bangunan
Gereja karya arsitek Y. B. Mangunwijaya ini bergaya joglo limasan kembar. Ketika baru berdiri 1968, gereja ini masih menjadi stasi dari Paroki Purbayan. Kala itu, bangunannya masih berbentuk joglo tunggal menghadap ke utara. Namun seiring berkembangnya umat, maka bangunan diperluas ke selatan dan menghadap ke barat, dengan ornamen asli yang di tiru sehingga kembar identik. Bangunan ini merupakan bagian dari Heritage Keuskupan Agung Semarang, sehingga tidak dapat diubah seenaknya.
Ruang ibadat semi-outdoor dapat menampung sekitar 300 jemaat, berlantaikan tegel bermotif, dan berplafonkan kayu persegi panjang, dengan ketinggian yang tidak terlalu tiggi. Namun, bila ada perayaan besar, maka seluruh komplek gereja beserta bangunan pendukung dan tenda bisa menampung 1.500 jemaat.[4][5]
Hampir seluruh sisi dari bangunan ini adalah terbuka. Ruangan tertutup hanya terdapat pada ruang pengakuan dosa dan ruang sakristi. Dinding yang mengelilingi bangunan ini hanya memiliki tinggi sebesar 82 cm dengan material dinding batu-bata. Elemen-elemen interior bangunan tersusun atas furnitur, kolom-kolom, serta artikulasi utamanya berada pada sisi altar. Tiap kolom yang menopang atap bangunan ini memiliki ornamen atau wastu khas Romo Mangun. Masing-masing ornamen pada kolom memiliki gambar dan cerita yang berbeda.
Orientasi pada interior bangunan sangat ditentukan oleh perabot yang hingga kini masih mempertahankan susunan yang sama seperti gereja asli rancangan Romo Mangun. Posisi altar gereja baru sama dengan bangunan gereja yang lama. Karena perluasannya bersifat mirroring, kini altar dan orientasi gereja menjadi memusat ke tepi tengah bangunan,[3] yang mana awalnya menuju ke sudut.
Bagian kolom panti umat memiliki motif tanaman dan stilasi api berwarna hitam-merah pada kepala tiang dan suatu kisah yang berbeda pada badan masing-masing kolom. Tiang-tiang samping berdiri berpasang-pasangan di depan enam pintu gereja. Dua tiang yang ada di dekat pintu utama merupakan tiang beton dengan lapisan kayu ukir. Tiga tiang pada sudut gereja memiliki motif yang unik, menggambarkan berbagai bidang kehidupan manusia, sementara pada sudut lainya terdapat ruang pengakuan.
Empat tiang tengah memiliki kesamaan motif dengan tiang-tiang samping. Dua tiang di samping altar memiliki bentuk, motif, dan ukuran yang berbeda dari tiang-tiang lainya, dimana tiang ini menjulang besar dan berbentuk oval. Motif pada tiang altar diaplikasikan pada menara lonceng yang dibangun puluhan tahun setelahnya.
Kanopi gereja berbentuk limasan yang lebih kecil, dengan 4 tiang yang sama seperti tiang samping gereja, serta terdapat kaca bergambarkan burung merpati di sisi timur atap. Lampu utama gereja terdapat 2 buah lampu gantung dengan ornamen tanaman. Tabernakel pada altar berbahan kayu, dikelilingi motif gunungan wayang, dengan penutup dari kaca patri berwarna biru-merah-hijau. Salib altar terbuat dari kayu, dan tembok tempat melekatnya salib dilapisi oleh batu alam. sementara meja altar berbahan marmer.
Sisi luar dari tembok sakristi juga memiliki corak detail karya Romo Mangun. Pintu-pintu gereja berupa pagar geser terbuka berbahan besi dengan motif kisah-kisah terkenal dari Alkitab, dengan jumlah 7 pintu. Terdapat 14 gambar berisikan kisah jalan salib Yesus yang bergaya jawa, digantung di plafon yang vertikal, yaitu di sisi selatan, utara, dan barat. Terdapat 8 gambar di sisi barat, dan masing-masing 3 gambar di sisi selatan dan utara.
Fasad gereja ini terbuka sehingga angin dapat masuk dari hampir segala arah mata angin. Di puncak pendopo lama, terdapat sebuah menara besi yang menjadi salah satu ciri khas gereja ini. Semua detil yang dibuat oleh Rm. Mangun diterapkan pula pada bangunan yang dibangun berikutnya, salah satunya yaitu menara lonceng gereja yang memiliki kesamaan motif dengan kolom oval panti imam.
Dinamika Jemaat
Jumlah jemaat paroki Sragen pada September 2024 yaitu 4.525 jiwa, terbagi dalam 13 wilayah dan 43 lingkungan.
Taman Doa Ngrawoh
Taman Doa Ngrawoh merupakan salah satu tempat wisata rohani Katolik yang terkenal di Sragen, yang berdiri pada tahun 2017 dan berjarak 12 Km dari pusat kota. Luas taman doa ini sekitar 1,4 Hektare, dan berawal dari lahirnya Lingkungan Ngrawoh pada tahun 1967 dimana pemerintah desa memberikan sebidang tanah untuk mendirikan tempat ibadah.[6]
Pembangunan Taman Doa Santa Maria dari Fatima Ngrawoh diketahui telah melewati 4 tahapan waktu. Tahap pertama dimulai sejak tahun 2011-2012. Beberapa tempat seperti Kapel Adorasi, Tempat Devosi, dan Taman Penunjang dibangun pada tahap ini. Selanjutnya, tahap kedua dimulai pada tahun 2015 dengan konsentrasi pekerjaan pada penataan lahan, galian, tanah urug, pasang dan plester beton. Tahap ketiga dimulai tahun 2016 dengan fokus kerja pada ruang persiapan transit, KapelSanta Maria dan Santo Yosef, Makam Yesus, MCK dan ruang. Tahap akhir adalah tahap keempat yang dimulai pada tahun 2017. Beberapa pekerjaan pada tahap ini antara lain halaman parkir, kolam pertobatan, gerbang Alfa dan Omega, taman dan finishing. Taman doa ini mampu menarik wisatawan dan menciptakan lapangan kerja seperti pedagang di pasar sekitar.[7]
Untuk memasuki taman doa ini, pengunjung harus meniti beberapa anak tangga dengan medan berkelok. Dari sini, pengunjung bisa melanjutkan perjalanan menuju kolam pertobatan sebelum tiba di taman tempat patung Bunda Maria berdiri.Untuk menjangkau lokasi doa di hadapan Bunda Maria, pengunjung terlebih dulu harus melewati jalan melingkar tak berujung mengelilingi taman. Tak jauh dari taman doa, terdapat Kapel Adorasi yang memiliki kubah berwarna kuning keemasan.[8]
Menurut Mgr. Johannes Pujasumarta, Ngrawoh bisa dikaitkan dengan 'Ngarah (menuju) Uwoh (buah, dalam hal ini buah iman)'
“Ngarah uwoh yaitu bahasa kiasan untuk meyakinkan umat supaya berduyun-duyun berdoa hingga mengarah ke satu titik atau mengarah ke buah. Buahnya apa di sana. Setiap orang kan masing-masing, bisa kesaksian-kesaksian, misalkan sakit bisa sembuh, keinginan mendaftar bisa lulus, atau yang lain,”[6]
Adapun konsep taman doa ingin menggambarkan peziarahan melalui pertobatan dalam jiwa dan roh yang seutuhnya agar bisa mendapatkan pengampunan dari Allah melalui Yesus Kristus. Penggambaran tersebut diwujudkan melalui pembangunan tiga bagian dalam taman doa, yakni pertama menggambarkan perjuangan mengikuti Yesus di dunia yang meliputi bangunan Kapel St. Maria, St. Yusuf, Taman Getsemani, dan Jalan Salib.
Kedua, menggambarkan orang yang sudah meninggal atau yang masih hidup menjalani peziarahan iman bersama Bunda Maria. Meliputi bangunan Kolam Pertobatan, Lingkaran Tak Berujung Bunda Maria, dan Salib Millenium.
Ketiga, menggambarkan persatuan umat dengan Yesus. Meliputi bangunan Kapel Adorasi SantoAloysius, bangunan panjang yang lebarnya sama, bangunan menghadap empat sisi, dan 12 pintu gerbang dari 4 sisi tersebut.[6]