Sebelumnya, perusahaan ini juga menyediakan jasa layanan internetpita lebar, televisikabel dan komunikasi data yang secara keseluruhan diperkenalkan sebagai "Triple Play". Layanan tersebut sejak 2011 dijalankan oleh anak usahanya, PT LinkNet Tbk, meskipun masih menggunakan merek dagang First Media. Penjualan seluruh saham LinkNet kepada Axiata di tahun 2022 membuat perseroan mengalihkan fokus bisnisnya ke produksi konten. Mayoritas saham perusahaan ini sampai saat ini masih dikendalikan oleh entitas yang terafiliasi dengan Lippo Group.[1] Sejak 1 Oktober 2024, First Media resmi menjadi bagian dari XL Axiata.
Sejarah
Operator televisi berlangganan dan internet
PT First Media Tbk awalnya didirikan pada 6 Januari 1994 dengan nama PT Safira Ananda. Pada 1995, namanya menjadi PT Tanjung Bangun Semesta, dan mulai beroperasi sebagai perusahaan internet kecil di Surabaya.[2][3] Pada tahun 1998, PT Tanjung Bangun mengakuisisi 78% saham PT Aditirta Indonusa, yang memegang lisensi televisi berlangganan sejak 1996 dengan menggunakan sistem TV kabel (adapun PT Aditirta sudah merintis bisnis tersebut sejak 1994 di sejumlah pemukiman elit Jakarta, dan pada pertengahan 1996 merencanakan peluncuran produknya menggunakan merek Multivision yang memiliki 25 saluran).[4][5][6][7][8] Dengan akuisisi ini, PT Tanjung bisa bermain dalam bisnis televisi berbayar kabel pertama di Indonesia.
Bisnis TV kabel (dan kemudian ditambah layanan jasa internet sejak 2001)[9] tersebut kemudian diluncurkan pada 1 Maret 1999 dengan merek KabelVision.[10] Sebagai persiapannya, KabelVision sudah menggandeng perusahaan internet PT Indonusa dan membangun jaringan kabel di Jakarta (1.700 km), dilanjutkan di Bali dan Surabaya pada 2000-2001. Sempat juga KabelVision melayani di daerah Batam, untuk karyawan Caltex secara singkat.[10][6][11][12] Selain layanan TV kabel dan internet ini, KabelVision juga merencanakan untuk menyediakan layanan seperti e-commerce dan video on demand. Saluran yang ditawarkan pada konsumen pada saat itu mencapai 50 saluran internasional,[13] ditambah sekitar 6 kanal in-house.[14]
Pada 27 Januari 2000 PT Tanjung Bangun Semesta resmi mencatatkan sahamnya (go public) di Bursa Efek Surabaya dengan harga IPO Rp 500/saham. Beberapa waktu kemudian, pada 28 April 2000 namanya diubah kembali menjadi PT Broadband Multimedia Tbk.[15][16] Sahamnya pada saat itu dimiliki oleh Lippo Group (lewat AcrossAsia Multimedia Ltd.) sebesar 57,6% dan PT Datakom Asia (milik Peter F. Gontha dkk[a]), pemegang saham PT Aditirta sebelumnya sebesar 13,31%.[14][19] Seiring waktu, kepemilikan Datakom menghilang, meninggalkan Lippo sebagai pemegang saham utama. Tertarik dengan bisnis televisi berlangganan membuat Lippo telah bersiap menyuntikkan dana besar (miliaran rupiah) bagi pengembangan bisnis perusahaan.[20][21]
Perkembangan bisnis KabelVision cukup baik, di tengah tumbuhnya ekonomi nasional pada awal 2000-an. Dari 13.712 pelanggan pada akhir 1999, beberapa bulan kemudian, pengguna KabelVision naik pesat menjadi 74.000,[8][22] dan di tahun 2003 perusahaan berhasil mencatatkan landmark 100.000 pelanggan.[23] Perluasan juga terus dilakukan pada operasionalnya. Adapun di tahun 2001, jaringannya sudah mencapai 2.263 km, 193.000 rumah,[22] dan pada tahun 2006 diharapkan bisa diperluas ke 5 kota lain dari sebelumya hanya di Jakarta, Bali dan Surabaya.[22] Layanan di Bali sendiri awalnya dikelola oleh perusahaan khusus bernama PT Bali Interaktif.[24] Pada periode berikutnya, produk baru bermerek MyNet (2004) dan Digital1 (Agustus 2005) diluncurkan,[23][25] yang merupakan hasil kerjasama dengan PT LinkNet. Selain untuk pelanggan, PT Broadband juga menyediakan layanan bagi pelanggan korporat, seperti untuk anak usaha Grup Lippo.[26]
Pada 16 Juni2007, PT Broadband Multimedia Tbk mengganti namanya menjadi PT First Media Tbk, sekaligus meluncurkan identitas dan merek baru sebagai penyedia layanan "Triple Play".[23] KabelVision dan Digital1 disatukan di bawah produk HomeCable, sementara MyNet menjadi FastNet. Lalu, di akhir Agustus 2007, Lippo Group mengumumkan kucuran investasi sebesar US$ 650 juta selama empat tahun ke depan kepada First Media. Kucuran dana tadi akan diinvestasikan ke berbagai layanan pengembangan konten dan belanja internet, TV kabel, HDTV, akses pita lebar, layanan nirkabel, fasilitas pentimpanan data, serta layanan telepon. Dalam kucuran dana tersebut, Lippo Group menggandeng perusahaan Shanghai Media Entertainment Group (melalui anak perusahaan STR), Cisco, dan Motorola untuk pembangunan jaringan serta pembiayaan proyek tersebut.
First Media juga memegang penuh kepemilikan saham PT Ayunda Prima Mitra yang menguasai 49% saham PT Direct Vision, perusahaan yang mengoperasikan jasa televisi satelitAstro Nusantara. Astro Nusantara tidak beroperasi lagi sejak pada tanggal 20 Oktober2008. Di tahun yang sama, First Media memiliki sekitar 180.000 pelanggan internet FastNet dan sekitar 130.000 pelanggan televisi HomeCable. Jaringan serat optik First Media memiliki panjang 2.597 kilometer yang tersebar di Jabodetabek, Surabaya, dan Bandung, dan ditargetkan di tahun tersebut, akan menjangkau 1.000.000 rumah.
Reorganisasi usaha sebagai perusahaan induk
Sejak awal 2000-an, selain memiliki PT First Media Tbk, Lippo Grup juga memiliki sebuah perusahaan lain yang bergerak di bidang penyedia jasa internet bernama PT LinkNet, yang sudah berdiri sejak 1996. Perusahaan ini mulai beroperasi di tahun 2000 dengan nama produk DigitalNet dan MyNet, yang kemudian berubah menjadi FastNet. Mengingat keduanya berada dalam satu pemilik, relasi kedua perusahaan saling berkaitan (dalam berbagai kerjasama operasional) meskipun keduanya bukan merupakan induk dan anak usaha.[27][28] Akhirnya, pada Juni 2008, Lippo mengalihkan kepemilikan PT LinkNet kepada PT First Media Tbk, menjadikan keduanya berada dalam satu atap.[27]
Pada tahun 2011 dilakukan reorganisasi bisnis[27][29] pada PT First Media Tbk, sehingga perusahaan ini kini menjadi perusahaan induk. Ditambah dengan akuisisi dan ekspansi hingga 2014, First Media kemudian memiliki tiga lini bisnis usaha yang dijalankan anak usaha:[30]
Lini telekomunikasi dijalankan oleh anak usaha:
PT LinkNet untuk layanan komunikasi kabel. Melalui sebuah perjanjian reorganisasi pada 21 Maret 2011, KBLV mengalihkan asetnya yang berkaitan dengan penyediaan jasa internet kepada anak usahanya tersebut. Adapun layanan internetnya untuk ritel diberi nama FastNet, sedangkan untuk korporasi diberi merek dagang DataComm (sejak 2017: First Media Business).[31]
PT Internux untuk layanan komunikasi nirkabel BWA yang dijalankan dengan merek BOLT!.
PT Prima Wira Utama yang bergerak di bidang pembangunan infrastruktur telekomunikasi.
PT MSH Niaga Telecom Indonesia yang bergerak di jasa komunikasi telepon bagi korporasi.
Lini bisnis media (televisi) dijalankan oleh anak usaha:
PT First Media Television yang men-take over bisnis televisi kabel berlangganan KBLV selama ini. Produk televisi kabelnya dikenal dengan merek HomeCable.
PT Indonesia Media Televisi yang menjalankan televisi satelit berlangganan dengan nama dagang BiG TV.
Lini bisnis pembuatan konten yang dijalankan oleh anak usaha:
PT First Media News yang menjalankan saluran televisi berita berlangganan bernama BeritaSatu.
Reorganisasi ini diiringi dengan masuknya modal Rp 1,63 triliun (senilai 33,94% saham) dari lembaga investasi CVC Capital Partners ke LinkNet, sehingga kepemilikan PT First Media Tbk di anak perusahaannya tersebut terdilusi.[32] Reorganisasi lain dilakukan pada 2015 dengan menjual kepemilikan langsung penyedia TV kabel PT First Media Television kepada LinkNet.[1] Untuk memperluas usahanya perusahaan kemudian sempat mengakuisisi beberapa bisnis lain, seperti pengelola bioskop PT Cinemaxx Global Pasifik (kemudian dilepas) di tahun 2014, dan beberapa perusahaan media massa milik Lippo Grup lainnya (seperti Suara Pembaruan, Jakarta Globe, Investor Daily) di tahun 2019.[1]
Kombinasi dan konsolidasi antara penyedia TV berlangganan dan penyedia jasa internet tersebut dilakukan seiring makin kuatnya bisnis berbasis triple play dibanding masing-masing produk secara individu. Adapun layanan HomeCable juga dipasarkan oleh PT LinkNet, di samping memasarkan produk sendiri (FastNet dan DataComm). Selain itu ketiganya juga dipaketkan dalam paket-paket yang dipasarkan dalam bendera First Media.[27][30][33] Sebagai contoh, pada Mei 2015, diluncurkan paket Combo Ultimate X1 HD dengan kecepatan 100 Mbps dan Combo Infinite X1 HD untuk kecepatan 200 Mbps, serta meningkatkan paket Combo Maxima X1 HD dengan layanan dual broadband.[34] Semakin lama, pembedaan antara merek dan layanan HomeCable dan FastNet semakin ditinggalkan, digantikan layanan triple play di bawah bendera First Media. Hal ini terjadi meskipun layanan tersebut tidak dijalankan oleh PT First Media Tbk secara langsung, melainkan oleh LinkNet, anak usahanya.
Sayangnya, upaya reorganisasi dan ekspansi ke sektor-sektor baru tidaklah berefek positif bagi kinerja perusahaan. Di tahun 2014 saja, sekitar 80% pendapatan KBLV masih disumbang oleh LinkNet.[35] Ketika saham KBLV di LinkNet terus terdilusi (menjadi 27,42%) pasca-IPO di tahun 2014, maka kinerja perusahaan ini terus merosot.[36] Usaha lainnya di bidang media massa dan komunikasi nirkabel justru tidak membuahkan hasil yang positif. Baik merek WiMAX dan 4G sebagai penerusnya yang dikembangkan lewat merek Sitra[23] dan BOLT! hanya berusia pendek, bahkan BOLT! harus berakhir tragis karena dihentikan izin pengoperasiannya oleh pemerintah.[30] Tutupnya BOLT! ikut memangkas pendapatan perusahaan, di saat 80% persen pendapatannya berasal dari sana.[37] Sementara itu upaya terjun ke televisi berita premium lewat BeritaSatu juga tidak memuaskan, begitu juga dengan TV satelit BiG TV, sejalan dengan tidak positifnya kinerja lini bisnis media massa keluarga Riady lainnya. Putra mahkota penerus imperium bisnis Lippo, John Riady bahkan menyebut bisnis media tidak mampu menghasilkan uang.[38]
Memasuki pertengahan 2010-an, kinerja PT First Media Tbk justru semakin merosot. Pada tahun 2015 perusahaan merugi Rp 1,5 triliun, lalu pada 2018 naik menjadi Rp 2,9 triliun,[36] dan pada 2022 masih merugi sebesar Rp 270 miliar.[39] Hal ini terjadi meskipun jumlah pelanggan yang berlangganan di bawah LinkNet naik dari 580.000 di tahun 2012[23] menjadi 816.000 di tahun 2020.[40]
Penjualan bisnis ke Axiata dan perubahan usaha
Kondisi perusahaan yang tidak menguntungkan membuat manajemennya merencanakan pelepasan usaha. Sejak 2016, LinkNet direncanakan akan dijual ke pihak lain.[38] Awalnya, yang berminat adalah PT MNC Vision Networks Tbk, lini penyiaran berlangganan milik MNC Group. Adapun rencana transaksinya diumumkan pada Desember 2019,[41] dan transaksi sekitar Rp 7,6 triliun ini ditargetkan akan selesai dalam waktu 6 bulan.[42] Namun, rencana itu batal dilakukan per Mei 2020 setelah term sheet antara KBLV dan MNC Vision Networks kadaluarsa.[43]
Selepas itu, pada Agustus 2021, Axiata (pemilik XL Axiata) merencanakan akan mengakusisi lebih dari 60% saham LinkNet[44] dari First Media dan Asia Link Dewa Pte. Ltd. (lengan bisnis CVC Capital).[45] Akuisisi bernilai Rp 8,72 triliun ini tuntas dilakukan pada 27 Januari 2022, dengan kepemilikan saham berpindah ke Axiata 46% dan XL Axiata 20%.[46] Mulanya, saham PT First Media Tbk di perusahaan tersebut masih tersisa 29,04%,[47] yang kemudian per 22 Juni 2022, efektif dilepas seluruhnya ke Axiata dalam transaksi senilai Rp 3,83 triliun.[1][45] Pelepasan tersebut berarti mengakhiri kiprah Lippo Group dan First Media dalam bisnis penyediaan televisi berlangganan dan penyedia jasa internet. Meskipun kini LinkNet tidak lagi dimiliki perusahaan ini, layanan triple play-nya tetap menggunakan nama dagang "First Media" dikarenakan adanya lisensi yang diberikan dalam reorganisasi bisnis KBLV di tahun 2011.[31] Kerjasama lainnya yang tersisa adalah suplai program-program dan saluran yang diproduksi/disediakan anak usahanya, PT First Media Production kepada layanan First Media yang dikelola LinkNet.[1]
Meskipun menyatakan penjualan LinkNet dapat memengaruhi bisnisnya karena dividen perusahaan tersebut yang cukup signifikan,[48] manajemen PT First Media Tbk menyatakan mereka siap berfokus ke lini bisnisnya yang masih tersisa, yaitu media, pembuatan konten dan penyiaran televisi digital. Segmen bisnisnya pun kini meliputi dua bidang:[1]
Media massa, lewat B Universe yang diluncurkan pada Oktober 2022 sebagai pengganti merek BeritaSatu Media Holdings. Meliputi media daring dan cetak di bawah Beritasatu.com, Jakarta Globe, Investor Daily dan majalah Investor.
Pembuatan konten, meliputi:
PT First Media News (BTV) yang merupakan transformasi dari BeritaSatu News Channel. Fokusnya ada di program berita, hiburan dan olahraga yang menargetkan segmentasi pasar kelas B dan C dan masyarakat muda. Pada akhir 2022 melalui televisi digital BTV sudah dapat dinikmati di 81 kota di Indonesia.
PT First Media Production, menjadi rumah produksi bagi kanal in-house First Media (LinkNet) di bawah bendera First Media Channels, maupun produk lain seperti film, iklan dan lainnya.
Pada tahun yang sama, PT First Media Tbk ikut tersandung dugaan pengemplangan pajak dan suap untuk memuluskannya, setelah Polda Jawa Barat dan PPATK mengungkap adanya aliran dana US$ 500.000 dari tiga orang ke rekening pegawai pajak.[52]
Sengketa yang paling panjang adalah persaingan antara Lippo (First Media) dengan Astro Malaysia Holdings, penyedia televisi berlangganan asal Malaysia. Pada mulanya di tahun 2004 Lippo menandatangani kerjasama dengan Astro untuk membangun layanan TV berlangganan dengan nama Astro Nusantara, yang mulai beroperasi di tahun 2006. Namun, di tahun yang sama, relasi keduanya kemudian memburuk setelah Lippo menunda perjanjian dimana Astro akan mendapatkan sahamnya di Astro Nusantara, ditambah mematok harga tinggi jika Astro ingin menguasai persentasenya. Awalnya Astro ditargetkan akan mendapat 51% saham, namun Lippo menggunakan alibi berupa Undang-Undang Penyiaran 2002 yang membatasi kepemilikan asing sebesar 20%. Tidak kunjung mendapatkan haknya membuat operasional Astro Nusantara berakhir akibat pemutusan siaran dan hak lisensi dari Astro pada pertengahan 2008.[53] Pecahnya kongsi tersebut terkait dengan usaha perusahaan saudara Astro, Maxis Communications di Indonesia yang mengakuisisi bisnis Lippo lainnya di bidang operator seluler bernama NTS (kini AXIS). Ketika diakuisisi Maxis hanya mengeluarkan kocek US$ 224 juta, namun ketika NTS dijual kembali ke Saudi Telecom Company, Maxis mendapatkan dana fantastis: US$ 3,05 miliar. Lippo disebutkan sangat kecewa dengan aksi Maxis tersebut.[54][55] Keduanya lalu saling menggugat di pengadilan lokal dan internasional (seperti Malaysia, Singapura dan Hong Kong) atau melaporkan ke pihak berwajib.[56] Namun, kebanyakan Lippo kalah dalam putusan-putusan tersebut,[57][58] terkecuali di Indonesia, dimana putusan Mahkamah Agung (MA) justru menyatakan putusan internasional tersebut tidak dapat dilaksanakan.[59] Ketika Astro berusaha mengajukan peninjauan kembali (PK) ke pengadilan, terungkap bahwa ada "uang pelicin" Rp 50 juta yang dialirkan Lippo (lewat Eddy Sindoro) kepada MA dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang mengalir masing-masing ke Nurhadi dan Edy Nasution untuk mementahkan PK tersebut. Akibatnya, ketiga orang tersebut harus duduk sebagai pesakitan karena terjerat kasus suap.[60][61]
Adanya beberapa kali putusnya jaringan/layanan First Media yang dikeluhkan konsumen.[62][63]
Catatan kaki
^Secara spesifik, struktur kepemilikan PT Datakom Asia terdiri dari: PT Asriland (Bambang Trihatmodjo): 33,3% PT Lembahsubur Adipertiwi (Anthony Salim): 28,57% PT Persada Giri Abadi (Peter F. Gontha): 24,23% PT Azbindo Nusantara (Aziz Mochdar): 6,88% PT Indosat (Persero) Tbk: 5% PT Trisadnawa Solusi Komunikasi (Youk Tanzil): 2%[17][18]