Halaman ini berisi artikel tentang perusahaan telekomunikasi seluler. Untuk informasi produk telekomunikasi seluler dari XL Axiata, lihat XL (telekomunikasi).
XL Axiata (sebelumnya bernama PT Excelcomindo Pratama Tbk) atau disingkat XL adalah sebuah perusahaan operatortelekomunikasi seluler di Indonesia.[3] XL Axiata mulai beroperasi secara komersial pada tanggal 8 Oktober1996, dan merupakan perusahaan swasta ketiga yang menyediakan layanan telepon seluler GSM di Indonesia.
XL Axiata mempunyai berbagai produk utama yaitu XL Prabayar, XL Prioritas, XL Home, XL Business Solutions, AXIS, dan First Media. Saat ini, saham XL Axiata dimiliki oleh Axiata Investments (Indonesia) (66,4%) yang tergabung dalam Axiata Group Berhad, Malaysia dan publik (33,6%). XL Axiata terus berinovasi dan menjadi operator telekomunikasi pertama di Indonesia yang meluncurkan konvergensi.
Sejarah
Pendirian
PT XL Axiata Tbk didirikan dengan nama PT Grahametropolitan Lestari pada 6 Oktober1989,[4] dengan 100% sahamnya dikuasai oleh PT Rajawali Wira Bhakti Utama (milik Peter Sondakh).[5][6] Di bulan Juni 1995, seluruh kepemilikan PT Rajawali Wira Bhakti Utama dialihkan kepada anak usahanya, PT Telekomindo Primabhakti dan PT Grahametropolitan mengubah namanya menjadi PT Excelcomindo Pratama.[6] Pada 6 September 1995, Excelcomindo berhasil mendapat lisensi untuk membangun jaringan GSM ketiga di Indonesia, setelah Satelindo dan Telkomsel, yang sebenarnya merupakan pengalihan dari Telekomindo (diberikan pada 28 April 1995).[4][7]
Setelah didapatnya izin tersebut, pada Oktober 1995 Excelcomindo berhasil menjalin kerjasama dengan sejumlah investor asing, meliputi NYNEXAS (lewat anak usahanya, NYNEX (Asia) Indonesia Ltd.) dengan kepemilikan 23,1%, MitsuiJepang sebesar 4,2% kepemilikan, dan Asia Infrastructure FundTaiwan dengan saham sebesar 12,7%. Adapun para investor asing tersebut membayar US$ 250 juta untuk investasi mereka. Direncanakan NYNEX akan memberikan bantuan dana sebesar US$ 800 juta maupun dukungan dalam pembangunan jaringan, teknologi dan infrastruktur Excelcomindo.[8][9] Selain pemegang saham asing, kemudian juga bergabung pemegang saham lokal seperti PT Santana Telekomindo (milik perusahaan Ibnu Sutowo, Nugra Santana) sebesar 10%, Yayasan Tridaya sebesar 2,5% dan Yayasan Kartika Eka Paksi sebesar 7,5%. Namun, PT Telekomindo tetap menjadi pemegang saham mayoritas dengan kepemilikan 42,5%.[4][10]
Perkembangan awal
Setelah persiapan selama beberapa bulan, Excelcomindo resmi meluncurkan jaringan GSM-nya yang pada saat itu diresmikan oleh MenparpostelJoop Ave pada 8 Oktober1996.[11][12] Awalnya, Excelcomindo menjual produknya dengan nama "GSM-XL" yang hanya beroperasi di Jakarta dan sekitarnya saja, tetapi direncanakan untuk beroperasi secara nasional ke depan. Pada 1997, Excelcomindo memperluas operasinya ke beberapa kota besar seperti Bandung, Semarang, Surabaya, Malang dan Denpasar, yang selanjutnya akan diperluas ke berbagai kota lainnya di pulau Jawa dan seluruh Indonesia dalam beberapa fase.[11] Di akhir tahun itu, pelanggan Excelcomindo ditargetkan mencapai 180.000 pelanggan, dan pada Agustus 1997 sudah mencapai 107.000 pelanggan. Untuk membantu jaringannya, Excelcomindo menggandeng Ericsson untuk membangun jaringan mikrosel di Segitiga Emas Jakarta. Menurut salah satu pimpinan Excelcomindo saat itu, Rudiantara, proyeknya ini merupakan yang terbesar di Indonesia.[13] Sebelumnya, keduanya sudah menjalin kesepakatan untuk membangun infrastruktur awal Excelcomindo pada 8 Mei 1996 senilai Rp 1 triliun.[14] Selanjutnya, untuk membangun infrastruktur di kota-kota lain seperti Surakarta, Excelcomindo berusaha mendanainya dengan kredit sindikasi sebesar US$ 400 juta dari 22 bank asing di pertengahan 1997.[15] Beberapa layanan juga terus dihadirkan untuk pelanggan, seperti call center, gerai XL Store dan jaringan serat optik.[16] Pada tahun ini juga, pemegang saham Excelcomindo mengalami perubahan dengan menghilangnya kepemilikan PT Santana, Yayasan Kartika Eka Paksi dan Yayasan Tridaya, sehingga komposisi kepemilikannya menjadi PT Telekomindo 60% dan sisanya masih dipegang investor asing dengan komposisi saham tidak berubah.[4]
Namun, di tengah kondisi perusahaan yang masih baru beberapa saat beroperasi, krisis ekonomi 1997-1998 menerjang Indonesia. Excelcomindo mengalami masalah yang tidak mudah, mengingat pelanggannya turun dari 133.000 menjadi 65.000.[15] Untuk membantu kinerjanya agar tetap stabil, pada tahun ini XL meluncurkan layanan prabayar pertamanya yang diberi nama "Pro-XL", pada 29 April 1998. Produk ini bersaing dengan kartu sejenis yang diluncurkan di tahun yang sama seperti MentariSatelindo, dan berhasil menggaet 113.000 pelanggan pada Oktober 1998.[17][18] Lalu, manajemen juga menunda pembangunan BTS Excelcomindo dan justru malah memindahkan sejumlah infrastrukturnya yang sudah dibangun ke tempat lain yang lebih potensial.[19][20] Dalam krisis itu, Excelcomindo dan induknya, PT Telekomindo terjerat hutang yang cukup banyak. Sempat ada kabar pada 1999 yang menyatakan bahwa Indosat akan mengakuisisi Excelcomindo dan salah satu pemegang saham utamanya, Bell Atlantic (pengganti NYNEX) akan mengambil saham tambahan, tetapi kemudian nyatanya tidak terwujud.[21][22] Namun, pada 1999 Excelcomindo bisa memperbaiki kinerjanya dengan meraup 383.000 pelanggan (17,2% pasar GSM).[15] Perbaikan jumlah pelanggan ini dibantu oleh manajemen Excelcomindo yang tetap fokus bermain di kartu prabayarnya yang kebetulan memiliki kelebihan karena dapat digunakan di Jawa dan Bali.[23]
Pihak Excelcomindo terus meluncurkan layanan lain, seperti WAP pada 2000,[20] dan layanan SMS grafis pada Mei 2001.[24] Ekspansi juga dilakukan misalnya dengan menambah mobile switching center di Jakarta dan Surabaya, dengan investasi US$ 10 juta. Dengan penambahan ini, kapasitas Excelcomindo bisa menjadi 320.000 dari sebelumnya sebesar 170.000.[25] Kerjasama dengan sejumlah bank juga dihadirkan demi kemudahan konsumen.[26] Hasilnya cukup baik karena pada 2000 pelanggan Excelcomindo menjadi 767.250, dan pertumbuhannya kedua setelah Satelindo. Pada 2002, pelanggannya justru menjadi 1,3 juta orang, walaupun tetap di posisi ketiga setelah Telkomsel dan Satelindo. Ditargetkan pada akhir 2003 pelanggannya sudah menjadi 3 juta.[27] Demi mewujudkan hal tersebut, manajemen Excelcomindo sudah menyiapkan dana US$ 175 juta untuk memperluas jaringannya di Sulawesi, Sumatra dan Kalimantan.[15][28][29] Sebelumnya, pada 2002 pemerintah juga memberikan izin GSM 1800 MHz (istilah lainnya DCS, Digital Cellular System) kepada Excelcomindo.[30] Pada 2005, XL tercatat memiliki 2.977 BTS, dan 4,25 juta pelanggan. Sejak 2004, dilakukan perubahan pada merek-merek XL. Di tanggal 2 Agustus 2004, diluncurkan produk bernama "Jempol" untuk menargetkan pasar menengah-bawah, yang disusul pergantian nama Pro-XL prabayar menjadi "Bebas" dengan target pasar menengah ke atas, pada 18 Agustus 2004 dan perubahan nama layanan pascabayar menjadi "Xplor" di tanggal 1 Oktober 2004.[4]
Bagaimanapun, tampak kemudian Grup Rajawali, lewat PT Telekomindo Primabhakti tidak ingin berada lebih lama di bisnis operator jaringan seluler. Hal ini disebabkan hal-hal seperti posisi Excelcomindo yang terus berada di posisi ketiga, dan pada 2003 keuntungannya menurun 46% dari tahun sebelumnya. Di 2004 dan 2005, bahkan kondisi keuangan Excelcomindo justru merugi masing-masing Rp 45 miliar dan Rp 224 miliar.[31] Pada 2004, terdengar rumor bahwa China Mobile hendak mengakuisisi saham Excelcomindo.[32] Sementara itu, selain China Mobile, ada dua calon pembeli lain terhadap saham Telekomindo di Excelcomindo, yaitu Telstra dan Telekom Malaysia (TM).[33] Telstra menawar saham dengan nilai AU$ 3 miliar di Excelcomindo, sementara Telekom Malaysia sudah membeli saham Verizon (dahulu bernama NYNEX dan Bell Atlantic, atas nama NYNEX Indocel) sebesar 23,1% pada Februari 2005.[34] Dalam perkembangannya, pada 14 April 2005 Mitsui juga melepas seluruh sahamnya ke Roger Partners Inc, Inggris yang kemudian diketahui juga dimiliki oleh Telekom Malaysia (TM). Dengan kepemilikan 27,3% saham di Excelcomindo, dibanding dua calon investor asing lain, Telekom Malaysia-lah yang kemudian nampak paling berniat untuk mengakuisisi perusahaan ini.[35] Dalam titik akhir kepemilikan mayoritas lokal ini, PT Telekomindo menguasai 60%, Asia Investment Fund (AIF) 12,7% dan Telekom Malaysia 27,3%.[36]
Seiring waktu, kemudian Excelcomindo melakukan penawaran umum perdana-nya (IPO) di Bursa Efek Jakarta, pada 29 September 2005 dengan harga Rp 100.[37] Beberapa waktu setelah pencatatan saham itu, pada 21 dan 27 Oktober 2005 Rajawali lewat PT Telekomindo menjual sebagian besar sahamnya (31,9%) kepada Telekom Malaysia (lewat anak usahanya Indocel) dengan harga US$ 460 juta. Saham Telekom Malaysia menjadi 56,9%, menjadikannya pemegang saham mayoritas dan pengendali.[38] Lalu, dari 20% saham IPO Excelcomindo, juga dibeli oleh pengendali Telekom Malaysia, Khazanah Nasional sebesar 16,81%, sehingga 73% kepemilikan Excelcomindo kini berada di tangan Malaysia. Kepemilikan publik menjadi hanya 1% sehingga pada saat itu perusahaan ini tidak dimasukkan dalam IHSG.[39] Saham 16,81% (dari IPO) yang dibeli Khazanah itu kemungkinan besar berasal dari saham Telekomindo, sedangkan 4% sisanya yang tidak dibeli adalah saham dari pemegang saham lain seperti AIF. Kepemilikan saham setelah transaksi ini adalah 73% TM dan induknya Khazanah, 10,14% AIF, 1% publik dan 15,97% PT Telekomindo.[40] Seiring dengan akuisisi ini, Excelcomindo merencanakan pembangunan 2.000 BTS dan telah memulai ujicoba jaringan 3G pada Oktober 2005.[41]
Perkembangan pasca akuisisi
Pada tahun 2007 PT Excelcomindo mengalami perubahan kepemilikan kembali, karena pada 29 Mei 2007 Telekom Malaysia kembali membeli saham sisa AIF yang pada saat itu telah berkurang menjadi 7,38% seharga US$ 114 juta. Sebelumnya saham TM sudah menjadi 59,6%.[42] Kepemilikan praktis menjadi Telekomindo 15,97% (kemudian dialihkan ke perusahaan Rajawali lain bernama Bella Sapphire Ventures Ltd. pada 31 Mei 2007), Khazanah Nasional 16,81% dan Telekom Malaysia 67,02%. Pada 12 Desember 2007, perusahaan telekomunikasi Uni Emirat Arab, Etisalat mengakuisisi seluruh sisa saham Rajawali (lewat Bella Sapphire Ventures Ltd.) sebesar 15,97% di Excelcomindo seharga US$ 438 juta. Awalnya, saham tersebut direncanakan akan dilepas ke perusahaan telekomunikasi Rusia, Altimo,[43] namun yang akhirnya membeli adalah Etisalat.[44][45][46] Dengan transaksi itu maka kini kepemilikan Excelcomindo dimiliki seluruhnya oleh pemodal asing. Di tahun 2007 itu, Excelcomindo menargetkan adanya 3.500 BTS di seluruh Indonesia dan mengeluarkan belanja modal senilai US$ 700 juta.[47]
Pada 16 November 2009, nama perusahaan PT Excelcomindo Pratama Tbk diubah menjadi PT XL Axiata Tbk, yang menurut Presiden Direkturnya, Hasnul Suhaimi merupakan bentuk sinergitas sebagai anak perusahaan Axiata. Namun, dalam perubahan nama ini hanya nama perusahaan saja yang diubah, sementara merek dagangnya tetap.[48] 86,5% sahamnya kini dikuasai oleh anak perusahaan TM yang baru dibentuk, Axiata Bhd (lewat Indocel). Seluruh saham TM dan Khazanah, bisa dikatakan dialihkan ke Axiata. Sementara itu, pemegang saham lain adalah Etisalat sebesar 13,3% dan publik.[49] Lalu, pada 13 September 2012, mayoritas saham (9,3%) Etisalat dijual pada harga Rp 4,8 T (US$ 502 juta).[50] Alasan penjualan ini adalah kenaikan harga saham XL yang cukup tinggi, dan ketidaknyamanan Etisalat yang tidak memegang kendali atas XL.[51] Transaksi ini tuntas dilakukan pada 18 September 2012.[52] Kemudian, Etisalat juga melepas sisa sahamnya yang masih tersisa sebesar 4,29% ke publik beberapa waktu kemudian. Ditambah dengan pelepasan 20% saham Axiata ke publik pada Maret 2010[53] maka sampai saat ini kepemilikan XL adalah 66% Axiata dan sisanya publik, dimana saham publik telah meningkat dari 1% pada 2010 menjadi 33%.
Pada tanggal 26 September 2013, XL Axiata menyepakati perjanjian jual beli bersyarat atau conditional sales purchase agreement dengan Saudi Telecom Company (STC) dan Maxis Communications, pemilik PT Axis Telekom Indonesia yang mengelola produk bermerek AXIS. Dalam perjanjian jual-beli ini, STC dan Maxis lewat anak usahanya, Teleglobal Investment BV dan Althem BV akan menjual seluruh kepemilikan sahamnya (95%) di Axis Telekom kepada XL Axiata.[54][55] Sebenarnya, rumor akan terjadinya akuisisi ini sudah terdengar sejak Mei 2013 dari sebuah sumber anonim, tetapi belum terbukti sampai perjanjian tersebut.[56] XL Axiata akan mengeluarkan kocek senilai US$ 865 juta, yang digunakan untuk membayar saham dan hutang AXIS. Kondisi AXIS dalam akuisisi ini adalah bersih dari utang dan posisi kas nol (cash free and debt free).[57] Menurut Hasnul Suhaimi, akuisisi ini dilakukan dalam rangka konsolidasi industri telekomunikasi, ditambah memperkuat dan mengatasi masalah XL. Masalah yang dimaksud adalah transisi pasar yang berpindah dari telepon/SMS ke layanan internet data yang membutuhkan kapasitas besar, sehingga diharapkan dengan akuisisi ini XL bisa menambah frekuensinya.[55][58][59] Selain itu, akuisisi ini juga dilatarbelakangi beberapa hal seperti permasalahan hutang AXIS.[60]
Dalam transaksi dimana Merril Lynch (Singapore) Pte. Ltd. (Bank of America Merrill Lynch) bertindak sebagai penasihat keuangan dari XL ini,[61][62][63] XL mendapatkan dananya dari pinjaman beberapa pihak, yaitu dari induknya, Axiata senilai US$ 500 juta ditambah sisanya dari pinjaman bank asing (UOB, Bank of Tokyo-Mitsubishi, dan DBS).[64] Sebelumnya, pihak XL juga sempat merencanakan menerbitkan obligasi, melakukan rights issue dan berbagai tindakan lainnya untuk mendapatkan pendanaan dalam proses akuisisi.[65] Transaksi ini rupanya mendapatkan "lampu hijau" dan persetujuan dari berbagai pihak, seperti Kemenkominfo, KPPU, RUPSLB pada Februari 2014 dan juga dari pasar saham sehingga berjalan dengan cukup baik.[66] Syaratnya, awalnya XL harus mengembalikan sejumlah frekuensi pada negara, dan masalah frekuensi ini sempat menimbulkan polemik di Kemenko Perekonomian dan Komisi I DPR.[67][68] Namun akhirnya pemerintah sepakat hanya frekuensi 2.100 MHz yang dikembalikan untuk nantinya dilelang.[69] Belakangan, XL sukses menyelesaikan akuisisi lewat penandatangan dokumen penyelesaian transaksi pada tanggal 19 Maret2014 antara XL dan STC, sehingga kini 95% saham AXIS dikuasai XL Axiata.[70] Dari US$ 865 juta yang digunakan dalam akuisisi, US$ 100 dibayar pada Teleglobal BV dan sisanya untuk membayar hutang dan kewajiban AXIS.
Proses akuisisi ini rupanya tidak berakhir dengan kepemilikan saham mayoritas XL atas PT Axis Telekom, melainkan juga merger antara keduanya. Dalam proses merger ini, yang sudah disepakati sejak awal dan disetujui dalam RUPSLB XL Februari 2014, awalnya direncanakan akan dilakukan pada 28 Februari 2014.[64][71] Dalam merger ini, XL akan memiliki 65 juta pelanggan dan 21% pangsa pasar, sedangkan merek AXIS tetap dipertahankan sebagai brand XL Axiata.[72] Setelah sempat tertunda, akhirnya pada 8 April 2014 keduanya resmi merger setelah menandatangani perjanjian penggabungan.[73] Pemegang saham yang tersisa (5%) di AXIS, yaitu PT Pesona Nuansa Abadi, kemudian menjual sahamnya ke XL dalam proses merger ini sehingga dalam "detik-detik merger" kepemilikan XL atas PT Axis Telekom sudah mencapai 100%.[74][75] Merger ini menghasilkan XL Axiata sebagai surviving company, sedangkan PT Axis Telekom adalah perusahaan yang melebur. Setelah penggabungan usaha ini, integrasi antara XL dan eks-AXIS dilakukan di segala bidang, termasuk jaringan, pelanggan, sistem tarif, hingga sumber daya karyawan.
Perkembangan pasca-merger
Menurut XL Axiata, pasca konsolidasi, merek AXIS akan dipertahankan dan diposisikan sebagai produk bagi kelas bawah, anak muda, pengguna data dan bertarif terjangkau dengan pesaingnya adalah Indosat dan Tri, sedangkan XL akan diposisikan melawan Telkomsel. Kedua merek akan fokus ke segmennya masing-masing, melengkapi dan tidak saling "kanibalisasi".[76][77][78] Hasnul Suhaimi menyatakan bahwa keuntungan akan diperoleh baik oleh pengguna XL dan AXIS: pengguna XL mendapat tambahan frekuensi sedangkan pemakai AXIS mendapat jaringan yang lebih luas.[79]
Operator telekomunikasi ini dalam belakangan waktu ini juga dipenuhi rumor-rumor mengenai penggabungan usaha dengan operator lain. Pada Mei 2019, disebutkan bahwa induk XL, Axiata akan melakukan penggabungan dengan operasional TelenorNorwegia di negara-negara Asia, sehingga saham XL sempat melesat.[80] Namun, pada September 2019 rencana merger itu batal karena keduanya tidak mendapat kesepakatan mengenai hal kompleks.[81] Di awal 2019, rumor lain mengatakan bahwa XL akan merger dengan Smartfren,[82] yang kembali mencuat pada tahun 2023 setelah Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi mendukung konsolidasi antar operator yang masih ada, sehingga nantinya Indonesia hanya memiliki tiga operator seluler demi industri telekomunikasi yang lebih efisien dan sehat.[83] XL juga pernah diisukan akan merger dengan Tri pada September 2019, yang gugur setelah Indosat mengakuisisi Tri pada tahun 2021.[39] Memang harga saham XL cukup meningkat akibat rumor-rumor ini, tetapi sampai saat ini tidak ada rumor tersebut yang benar-benar terealisasi.
Pada awal 2020-an, XL Axiata mulai berekspansi ke bisnis konvergensi fixed-mobile convergence (FMC), yaitu layanan yang menggabungkan penyediaan jasa internet lewat kabel dan nirkabel. Pada Juni 2021 produk FMC XL Axiata diluncurkan yang diberi nama XL Satu, terdiri dari dua varian yaitu XL Satu Fiber dan XL Satu Lite.[84] XL Satu menawarkan fitur kombinasi internet cepat untuk rumah dalam wadah XL Home dan kuota bersama berkapasitas besar dalam XL Prabayar.[85] Pada kuartal ketiga 2023 layanan tersebut memiliki sekitar 206.000 pelanggan dan telah tersedia di 75 kota.[86] XL Axiata merupakan operator pertama di Indonesia yang meluncurkan produk berbasis konvergensi FMC, yang kemudian ditiru operator-operator lainnya.[84]
Untuk memperluas bisnis FMC-nya, XL Axiata kemudian mengakuisisi dua perusahaan telekomunikasi dari pihak ketiga, yaitu LinkNet dan Hypernet. Pada 27 Januari 2022, XL Axiata bersama induknya, Axiata Group Bhd., mengakuisisi 66% saham LinkNet dari Grup Lippo (XL Axiata mendapat 20%) dalam transaksi bernilai Rp 8,72 triliun.[1] LinkNet merupakan perusahaan penyedia jasa internet terkemuka dengan merek dagang salah satunya adalah First Media. Setelah akuisisi itu, XL Axiata mulai mensinergikan bisnisnya dengan LinkNet, seperti lewat peluncuran produk bersama[87] dan rencana pembangunan jaringan. Ditargetkan sekitar 750.000 pelanggan LinkNet nantinya akan menjadi pelanggan XL Axiata, sementara LinkNet menjadi perusahaan yang fokus pada pembangunan dan pemeliharaan jaringan.[84][88] Dua bulan kemudian, di tanggal 22 Maret 2022, XL Axiata mengakuisisi 51% saham PT Hipernet Indodata (Hypernet), perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan dan penyediaan jasa telekomunikasi dan informasi bagi pelanggan (managed service provider) dalam transaksi senilai Rp 321,3 miliar.[2] Sama seperti LinkNet, layanan Hypernet kemudian juga disinergikan bersama layanan XL Axiata Business Solutions maupun LinkNet yang menargetkan korporasi besar dan kecil.[89][90]
Identitas
Logo
Logo baru XL mempersembahkan identitas baru dalam mewujudkan komitmen untuk berubah menjadi lebih baik. Sebuah logo adalah representasi identitas yang dapat menggambarkan berbagai visi dan misi untuk membantu lebih maju. Tiga dimensi warna dalam logo baru XL memiliki makna yang saling berintegrasi. Warna biru merupakan identitas prinsip dasar XL yang melambangkan kepercayaan dan tanggung jawab. Warna hijau melambangkan sumber inspirasi pertumbuhan dan harmoni. Warna kuning menggambarkan energi dan pemikiran terang yang dapat membawa kemajuan.[91]
Pada tanggal 5 Oktober2016, bertepatan dengan hari ulang tahun (HUT) XL ke-20 tahun, XL kembali memperbaharui logonya, dengan pergantian warna logo dari warna kuning dan hijau menjadi warna biru dan hijau, seperti warna pada logo pertama XL.[92]