Anthony Salim

Anthony Salim
Nama asal林逢生
Lahir25 Oktober 1949 (umur 75)
Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Indonesia
Tempat tinggalJakarta, Indonesia[1]
Kewarganegaraan Indonesia[1]
AlmamaterNorth East Surrey College of Technology
PekerjaanPengusaha
Dikenal atasSalim Group
Indofood
Kekayaan bersihKenaikan 7,5 Miliar USD [1]
Suami/istriMargareth Salim
AnakAxton Salim
Alston Salim
Astrid Salim
Orang tuaSudono Salim
Lie Kim Nio
KerabatAlbert Salim (kakak)
Andree Halim (kakak)
Mira Salim (adik)
Franciscus Welirang (adik ipar)
Situs webwww.indofood.com

Anthony Salim[2] (lahir 25 Oktober 1949 dengan nama Liem Hong Sien atau Liem Fung Seng, Hanzi: 林逢生) adalah seorang pengusaha Indonesia. Dia merupakan putra dari pengusaha Sudono Salim.

Latar belakang pribadi

Anthony lahir di Kudus, Jawa Tengah, tempat ayahnya Liem Sioe Liong (Soedono Salim) merintis usahanya setelah menetap di Indonesia sejak 1938. Nama Tionghoa-nya adalah Liem Fung Seng (dapat diartikan sebagai "menemui hidup yang baru"), suatu nama yang diberikan Liem sebagai rasa syukur setelah ia hampir terbunuh akibat kecelakaan angkot saat dalam perjalanan dari Kudus ke Semarang di tahun 1949. Menurut penulis biografi Liem, Richard Borsuk dan Nancy Chng, Anthoni memiliki karakter yang hiperaktif dan gemar bermain di masa kecilnya, sampai-sampai pernah membuat rumah keluarganya hampir terbakar. Pendidikan dasarnya ditempuh di sekolah Sin Hua dan SMAN 21 di Jakarta, dilanjutkan ke Seventh-Day Adventist School dan St Joseph's Institution di Singapura. Ia lalu melanjutkan pendidikan tinggi di Ewell Country Technical College di Inggris. Meskipun prestasinya biasa-biasa saja, namun karakternya yang kemudian membantunya menjadi pengganti ayahnya. Tiga saudaranya yang lain, Albert Salim, Andree Halim dan Mira Salim, justru kemudian tersingkir dari grup yang didirikan Liem. Albert keluar dari Salim Grup sejak 1980-an, Andree sejak 1998, dan Mira tidak terlibat dalam bisnis keluarganya.[3][4]

Borsuk dan Chng mendeskripsikan karakteristik Anthoni, meliputi jeli melihat peluang bisnis; pekerja keras; bergaya hidup sederhana; loyal kepada keluarganya, terutama ayahnya; terbuka pada informasi dan masukan-masukan baru; dan berani mengambil keputusan yang riskan. Gaya hidup sederhana dapat dilihat dari penampilannya yang umumnya hanya menggunakan kemeja batik, suatu yang menurutnya memiliki makna spesial: seperti corak batik yang beragam, bisnis tidaklah selalu hitam-putih, bisa sangat berwarna, sehingga seorang pebisnis bisa saja mencari jalan keluar dari persoalan yang dihadapinya. Sikap yang berani ditunjukkannya ketika bernegosiasi dengan BPPN di tahun 1998 dan ketika ia membujuk Liem untuk menyingkirkan pamannya, Liem Sioe Kong (Soedarmo Salim) saat Mochtar Riady hendak dilibatkan dalam pengelolaan Bank Central Asia. Sikapnya yang pembelajar dan pekerja keras dapat dilihat dari aktivitasnya di kantor utamanya, Wisma Indocement, dimana dirinya sering berada hingga malam di kantornya yang dipenuhi tumpukan berkas-berkas dan dokumen. Dipengaruhi kuat oleh ajaran Konfusianisme dan Buddhisme yang dianut keluarganya, Anthoni juga mempercayai tradisi seperti feng shui dan konsultasi ke para biksu dalam penentuan langkah usahanya.[3]

Pada usianya yang ke-25 di tahun 1974, Anthoni menikahi Siti Margareth Jusuf, seorang putri pengusaha keturunan Hakka. Mereka memiliki dua putra dan satu putri: Axton Salim (lahir 1979), Astrid Salim (lahir 1981) dan Alston Salim (lahir 1987). Axton memiliki latar belakang pendidikan administrasi bisnis di Colorado, AS. Saat ini ia banyak terlibat pada bisnis ayahnya di IndoAgri dan Indofood,[5] sehingga saat ini digadang-gadang sebagai penerus Anthoni. Putra bungsunya, yang kemudian dikenal dengan nama Alston Stephanus, berprofesi sebagai perancang aksesori dan gemar mengembangkan cosplay.[6]

Anthoni menguasai Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, Bahasa Mandarin, Bahasa Inggris dan dialek Fuqing ayahnya.[3]

Kiprah

Setelah kembali dari Inggris di awal 1970-an, Anthoni memfokuskan dirinya untuk membantu pengembangan bisnis Salim Grup.[7] Mulanya ia berusaha menunjukkan agresivitasnya dengan berusaha mengimpor semen dari Korea Utara, suatu keputusan yang fatal karena pihak Korut justru mengirimkan dengan armada dan fasilitas yang seadanya sehingga Salim Grup mengalami kerugian besar akibat rusaknya semen impor tersebut. Namun, Anthoni mempelajari kesalahan-kesalahannya dan dibantu oleh rekan bisnis ayahnya (seperti Ciputra di bidang properti, Mochtar Riady di bidang perbankan dan Sukanto Tanoto di bidang kelapa sawit) maupun usaha Salim Grup yang kuat, ia mulai meletakkan fondasi yang kuat bagi perkembangan bisnis keluarganya dan dirinya secara pribadi sebagai pebisnis yang tangguh.[3]

Latar belakangnya yang berpendidikan Barat juga membawa arus modernisasi bagi Salim Grup. Anthoni merasa bisnis ayahnya yang selama ini tergantung pada kekuasaan tidaklah sustainable dalam jangka panjang, sehingga sejak 1979 arah grup tersebut mulai diarahkan ke usaha yang berfokus pada permintaan pasar. Salim Grup juga mulai menancapkan bisnisnya di berbagai negara, seperti Belanda, Amerika Serikat, Tiongkok, Hong Kong dan Singapura.[8] Salah satunya adalah pendirian First Pacific, perusahaan investasi yang berbasis di Hong Kong pada tahun 1981. Anthoni juga berusaha memperkenalkan manajemen di luar keluarga (dengan beberapa tokoh yang terkenal seperti Benny S. Santoso, Phiong P. Dharma, Judiono Tosin, Johannes Kotjo dan Eva Riyanti Hutapea), menghilangkan pengaruh keluarga Liem dalam bisnis Salim Grup (sehingga dua saudara Liem, Soedarmo Salim dan Liem Sioe Hie (Soehanda Salim) tidak lagi berkiprah di grup tersebut sejak awal 1990-an),[3] adanya integrasi dan sinergi antar usahanya, mencatatkan saham perusahaan-perusahaan Salim di bursa efek, serta mereorganisasi bisnisnya ke dalam sejumlah divisi.[7]

Selain mengelola perusahaan keluarganya, Anthoni sempat juga dilibatkan pemerintah Orde Baru dalam urusan kenegaraan. Dirinya pernah duduk sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai perwakilan KADIN,[4] dan tetap duduk di sana hingga kejatuhan Orde Baru. Di tahun 1995, dalam sebuah yayasan yang dibentuk pemerintah bernama Dana Sejahtera Mandiri dan dikepalai Soeharto, Anthoni didudukkan sebagai bendahara pembantu. Lalu, ketika Indonesia ditimpa efek hebat dari krisis finansial Asia 1997, IMF melibatkan dirinya dalam tim kecil, yang disusul penunjukan Anthoni sebagai sekretaris Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan pada Maret 1998 hingga Mei 1998.[3]

Pemimpin Grup Salim

Namun, kiprah dirinya sebagai pemimpin utama Grup Salim baru nampak setelah tahun 1998. Di tahun tersebut, ayahnya Liem melarikan diri ke Singapura (sampai meninggal di tahun 2012) setelah rumah keluarganya dibakar dalam Kerusuhan Mei 1998, dan banyak bisnis Grup Salim terhuyung-huyung akibat terjerat hutang yang besar akibat krisis moneter. Pada titik inilah Anthoni men-take over bisnis Salim dari ayahnya secara penuh. Ia berperan besar dalam menyelamatkan kapal grup tersebut yang hampir karam akibat hutang yang mencapai US$ 5 miliar (Rp 55 triliun). Meskipun mengaku sebagai loyalis Soeharto, namun Anthoni tetap harus menghadapi kenyataan dengan bernegosiasi dengan kekuatan politik baru. Untuk melunasi hutangnya, Anthoni memutuskan menyerahkan hampir 100 perusahaan keluarganya ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Fokusnya adalah mempertahankan Indofood (yang kini menjadi usaha utamanya), setelah BCA dikuasai pemerintah dan Indocement terjerat hutang. Anthoni dikenal sebagai orang yang sangat tangguh dalam melakukan negosiasi dengan BPPN, sehingga aset berharganya, terutama Indofood dan First Pacific tidak berhasil diserahkan ke pemerintah. Sebaliknya, 107 perusahaan yang diserahkan ke BPPN (dalam wadah PT Holdiko Perkasa) kebanyakan merupakan saham minoritas atau perusahaan yang tidak signifikan.[3]

Pada awalnya aset Grup Salim yang diserahkan ditaksir sebesar Rp 127,6 triliun,[3] yang kemudian merosot menjadi Rp 53 triliun. Setelah dijual seluruhnya, aset-aset di bawah PT Holdiko hanya terjual Rp 20 triliun. Meskipun banyak yang menilai adanya manipulasi, menurut analisis Dieleman dan Sachs (2008), Salim-lah yang merupakan konglomerasi terbaik dalam kualitas aset yang diserahkan, adanya kerjasama yang baik dengan pemerintah, dan lainnya, di saat konglomerat lainnya berusaha memanipulasi aset mereka.[8] Sedangkan Borsuk dan Chng menilai harga jual yang rendah disebabkan banyak perusahaan yang diserahkan Salim saat itu tidak berada dalam performa terbaiknya akibat krisis, dan grup tersebut tidak membeli kebanyakan asetnya yang telah diserahkan ke negara. Sejak 2004, Anthoni sudah diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang membebaskannya dari hutang ke pemerintah.[3] Perubahan politik sejak 1998 membuat dirinya tidak lagi seperti ayahnya, dengan cenderung menjaga jarak dengan kekuasaan,[8] maupun dengan rekan bisnis lama keluarganya.[3]

Membaiknya kondisi ekonomi di Indonesia dan Asia membuat Grup Salim bisa kembali berekspansi sejak 2001, khususnya di luar Indonesia. Di Tiongkok, Salim Grup mengakuisisi bisnis properti COSCO, ditambah mengembangkan usaha pabrik kaca dan transportasi batu bara. Berbeda dengan ayahnya yang berbisnis di sana karena relasi personal dan terbatas hanya di Fujian, Anthoni membangun basis usahanya di Shanghai.[3] Di Filipina, kiprah Anthoni dimulai dari membeli sebagian saham perusahaan telekomunikasi terbesar PLDT. Kini bisnis Anthoni di Filipina (lewat First Pacific, bersama Manuel V. Pangilinan) telah menggurita di berbagai sektor, seperti media massa (TV5, Philippine Daily Inquirer, Cignal TV); distribusi air (Maynilad Water Services); pembangkit listrik (Meralco); infrastruktur (Metro Pacific Investments), dll. Menurut pengamat Roberto Tiglao, jika bisnisnya dikalkulasi, Anthoni bisa ditempatkan di posisi salah satu orang terkaya di Filipina.[9] Di Timur Tengah dan Afrika dirinya mengembangkan sejumlah perusahaan yang memproduksi Indomie, di Australia dalam bisnis pertambangan, pabrik terigu di Vietnam, dan di Singapura, lengan bisnis Salim terlihat pada Gallant Venture Ltd. (yang mengelola properti di Batam dan Bintan serta memiliki Indomobil), Grandiflora (bisnis kesehatan, kerjasama dengan Chairul Tanjung) dan pabrik deterjen Universal Integrated Corporation Consumer Products Pte. Ltd. Namun tidak semua ekspansi internasionalnya tersebut berhasil, seperti proyek properti yang gagal di Bengal Barat, India.[3][10]

Kembalinya Anthoni dalam kancah bisnis nasional ditandai dengan naiknya dirinya sebagai CEO Indofood di tahun 2004.[3] Keberhasilannya membangun kembali kerajaan bisnis Salim Grup dari jurang membuatnya menjadi salah satu orang yang masuk ke dalam 10 tokoh bisnis yang paling berpengaruh pada tahun 2005 oleh majalah Warta Ekonomi.[11] Beberapa aksi korporasi penting Anthoni di Indonesia yang belakangan mengejutkan beberapa pihak, seperti akuisisi perusahaan kelapa sawit PT PP London Sumatera Indonesia Tbk di tahun 2007; terjunnya Grup Salim ke industri pertambangan lewat PT Amman Mineral Internasional Tbk (berkongsi dengan Medco Group) di tahun 2016[12] dan kerjasama patungan bersama Grup Bakrie di dalam PT Bumi Resources Tbk sejak 2022;[13] akuisisi sebesar Rp 45 triliun oleh Indofood CBP pada produsen Indomie di luar negeri bernama Pinehill Company Ltd. di tahun 2020;[14] masuknya dirinya sebagai salah satu pemegang saham utama di perusahaan data center yang dirintis Otto Toto Sugiri, PT DCI Indonesia Tbk;[15] dan kembalinya Grup Salim berbisnis perbankan lewat PT Bank Ina Perdana Tbk.

Kekayaan dan bisnis

Berkat usahanya membangun perusahaan mi instan dan tepung terigu, Anthony Salim pernah dinobatkan sebagai taipan terkaya nomor 3 di Indonesia oleh Majalah Globe Asia. Dia berada di bawah Budi Hartono yang notabenenya adalah pemilik dari Djarum Group dan Eka Tjipta Widjaja yang merupakan pemilik Sinar Mas Group. Kekayaannya ditaksir mencapai US$ 3 miliar atau jika dikonversikan sekitar Rp 27 triliun. Hal ini dikarenakan Anthony Salim memiliki banyak perusahan baik publik maupun non-publik.

Perusahaan paling penting yang dimiliki Anthony Salim adalah PT Indofood Sukses Makmur Tbk dan PT Bogasari Flour Mills. Produknya sudah banyak sekali dikenal oleh masyarakat Indonesia bahkan dunia. Contohnya saja adalah mi instan. Pasti kebanyakan orang Indonesia sudah banyak yang mengenal mi instan Indomie, Supermi, dan Sarimi. Ketiga jenis mi ini pernah menjadi favorit banyak orang di Indonesia. Selain mi instan, produk lainnya yang sudah banyak dikenal adalah susu Indomilk, tepung terigu Bogasari Segitiga Biru, Kunci Biru, dan Cakra Kembar. Bahkan minyak goreng Bimoli dan mentega Simas adalah milik Anthony Salim. Pada tahun 2009, PT Indofood pernah mencatat laba bersih yang diperolehnya tahun itu yakni mencapai 2 Triliun rupiah dan ini merupakan prestasi yang sangat membanggakan. Laba bersih tersebut merupakan keuntungan yang paling besar yang pernah dia raih selama menjalani bisnisnya. Padahal pada tahun 2009, harga komoditas terus bergejolak namun PT Indofood berhasil melewatinya.

Dalam masalah bisnis, Anthony Salim mempunyai prinsip bisnis untuk PT Indofood. Prinsipnya adalah Anthony ingin PT Indofood tetap berinovasi dan berekspansi. Bahkan untuk mendukung prinsipnya itu, Anthony Salim bekerja sama dengan Nestle S.A untuk memperbesar pangsa pasar yang semakin sulit untuk ditembus. Untuk melancarkan bisnisnya tersebut, Anthony Salim berani untuk menyetor 50% saham. Strateginya dalam memimpin perusahaan tergolong berhasil. Dia yakin dengan adanya komunikasi yang baik dengan karyawan, maka kinerja perusahaan bisa fokus dan menghasilkan.

Referensi