Film bisuFilm bisu (bahasa Inggris: silent film, silent movie) adalah film yang diproduksi tanpa dialog dan rekaman suara, berasal dari periode sebelum diperkenalkannya film bersuara. Meskipun film bisu menyampaikan narasi dan emosi secara visual, berbagai elemen plot (seperti latar atau era) atau kunci utama dialog dapat disampaikan dengan menggunakan kartu judul. Kadang-kadang seseorang bahkan bertugas menceritakan kartu intertitle (kartu judul) untuk penonton. Istilah film bisu juga sering dipergunakan untuk menggambarkan film-film era suara yang hanya memiliki rekaman suara musik serta dialog disampaikan melalui gerak isyarat, pantomim, kartu intertitle (kartu judul), seperti City Lights dan The Artist. Istilah "film bisu" dapat menjadi pengertian yang keliru, sebab film bisu kebanyakan disertai dengan suara. Istilah 'film bisu' merupakan retronim— Istilah yang digunakan untuk membedakan sesuatu yang sudah ada demi membedakan versi awal dengan versi baru— dalam dunia perfilman. Selama era 'film bisu' yang berlangsung dari pertengahan 1890-an hingga akhir 1920-an, pianis, organis teater—atau bahkan, di kota-kota besar, orkes kecil—sering memainkan musik untuk mengiringi film tersebut. Para pianis dan organis teater mengiringi film dengan musik bedasarkan kertas musik atau improvisasi. Meskipun pada saat itu teknologi untuk menyinkronkan suara dengan film belum ada, musik dipandang sebagai bagian penting dari pengalaman menonton. Ide untuk menggabungkan gambar bergerak dengan suara yang direkam hampir setua umur film itu sendiri, tetapi dikarenakan kesulitan teknis hal itu sulit terjadi, sampai akhirnya pengenalan suara dialog yang tersinkronisasi dengan gambar menjadi mudah dilaksanakan secara baik pada akhir 1920-an oleh Audion dan munculnya sistem Vitaphone.[1] Era awal film yang memiliki suara dialog tersinkronisasi dengan gambar dimulai oleh film The Jazz Singer pada tahun 1927 yang pada saat itu disebut oleh banyak kalangan sebagai, "film suara", atau "gambar berbicara", "talkie". Kesuksesan film bersuara The Jazz Singer dari Warner Bros. pada tahun 1927 menyebabkan studio-studio besar menyadari bahwa agar mampu bersaing, mereka membutuhkan teknologi suara canggih. Era film bersuara dimulai setelah studio-studio besar setuju bekerja sama dengan Western Electric untuk menciptakan sistem suara pada tahun 1928.[2] Setelah adanya film bersuara, film bisu terus diproduksi, tetapi makin jarang. Charlie Chaplin membuat dua film bisu pada tahun 1930-an, dan mengurangi produksi filmnya setelah film bersuara menjadi lumrah. Media film bisu terus digunakan Charlie Chaplin hingga tahun 1936 dengan dirilisnya Modern Times. Setelah itu, film bisu untuk keperluan praktis, telah menjadi bentuk seni yang ditinggalkan orang.[2] Dalam satu dekade, produksi luas film bisu sebagai hiburan populer telah berhenti, dan industri film telah pindah sepenuhnya ke era suara, di mana film disertai dengan rekaman suara yang telah disinkronkan menjadi dialog lisan, musik serta efek suara. Kebanyakan film pada era awal dianggap hilang karena film nitrat yang digunakan pada masa itu sangat tidak stabil dan mudah terbakar. Selain itu, banyak film pada era ini yang sengaja dimusnahkan karena menyepelekan nilai berkelanjutannya yang dianggap tidak menguntungkan secara finansial. Sering diklaim bahwa sekitar 75 persen film bisu yang diproduksi di AS telah hilang, meskipun perkiraan ini mungkin tidak akurat karena kurangnya data numerik.[3] Elemen dan Awal mula (1833–1894)Proyeksi film sebagian besar berevolusi dari pertunjukan lentera ajaib, menggunakan lensa kaca, dan sumber cahaya yang persisten (lentera yang kuat) untuk memproyeksikan gambar dari slide kaca ke dinding. Slide kaca terserbut awalnya dilukis dengan tangan, tetapi, setelah munculnya fotografi pada abad ke-19, terkadang fotografi dipergunakan. Penemuan alat fotografi praktis mengawal dunia sinema sekitar lima puluh tahun.[4] Pada tahun 1833, Joseph Plateau memperkenalkan prinsip animasi stroboskopik dengan Fantascopenya (lebih dikenal sebagai fenakistoskop). Enam tahun kemudian, Louis Daguerre memperkenalkan keberhasilan sistem fotografi pertama. Pada awalnya, bahan kimia tidak cukup peka cahaya untuk menangkap subjek bergerak dengan benar. Plateau menyarankan metode awal untuk menganimasikan foto stereoskopik pada tahun 1849 dengan teknik gerak henti (stop motion). Jules Duboscq menciptakan perangkat yang disederhanakan pada tahun 1852, tetapi tidak terlalu berhasil. Keberhasilan awal dalam fotografi instan (snapshot) di akhir tahun 1850-an menginspirasi harapan baru untuk mengembangkan sistem fotografi animasi (stereo), tetapi dalam dua dekade berikutnya beberapa upaya percobaan menggunakan teknik stop-motion lagi. Pada tahun 1878, Eadweard Muybridge menggunakan deretan lusin kamera untuk merekam kuda yang sedang berlari (seperti yang disarankan oleh orang lain jauh sebelumnya) dan dengan hasil yang mengejutkan dunia, diterbitkan dengan nama The Horse in Motion dari seri cabinet card dengan deretan gambar kecil. Banyak orang yang mulai mengolah dengan teknis kronofotografi dan mencoba menghidupkan serta memproyeksikan hasilnya. Ottomar Anschutz sukses banyak berkat Electrotachyscope-nya sejak 1887, dengan gambar fotografi animasi yang kejelasan yang baik ditampilkan pada layar kaca susu (milk glass) kecil atau di dalam lubang koin intip, sampai pada akhirnya mulai memproyeksikan gambar pada layar besar pada tahun 1894. Rekamannya hanya berlangsung beberapa detik, dan mengisnpirasi Edison Manufacturing Company untuk menandingi film-film yang dapat bertahan sekitar 20 detik di tontonan layar peep-box Kinetoskop mereka dari tahun 1893 dan seterusnya. Era Film BisuKarya dari Muybridge, Marey, dan Le Prince meletakkan dasar bagi pengembangan kamera film, proyektor, dan transparent celluloid film di masa depan, yang mengarah pada perkembangan sinema seperti yang kita kenal sekarang. Penemu Amerika bernama George Eastman, pertama kali memproduksi pelat kering fotografi pada tahun 1878, membuat kemajuan pada kestabilan pada jenis film celluloid pada tahun 1888. Seni film berkembang menjadi matang pada era "film bisu" (tahun film 1894 – 1929). Puncak era bisu dalam dunia perfilman (dari awal 1910-an hingga akhir 1920-an) adalah periode yang sangat bermanfaat, penuh dengan inovasi artistik. Pergerakan film sinema hollywood klasik selaras serta baiknya dengan pergerakan Impresionisme Prancis, Ekspresionisme Jerman, dan Montase Soviet yang dimulai pada periode ini. Pembuat film bisu memelopori bentuk seni sejauh hampir setiap gaya dan genre pembuatan film pada abad ke-20 dan ke-21 serta menjadi akar artistik pada era film bisu. Era film bisu juga merupakan era perintis dari segi teknis sudut pandang. Pencahayaan tiga titik, teknik ambilan dekat, teknik pengambilan gambar luas, panning, dan pengeditan kontinuitas semuanya menjadi umum jauh sebelum film bisu digantikan oleh "gambar bersuara" atau "talkie" pada akhir 1920-an. Beberapa akademisi mengklaim bahwa kualitas artistik sinema mengalami penurunan selama beberapa tahun, dari awal 1930-an sampai sutradara, aktor, dan staf produksi beradaptasi sepenuhnya dengan "gambar bersuara/talkie" di sekitar pertengahan 1930-an.[5] Kualitas visual film bisu—terutama yang diproduksi pada tahun 1920-an—kebanyakan memiliki kualitas tinggi, tetapi masih ada kesalahpahaman yang tersebar luas bahwa film-film ini primitif, atau hampir tidak dapat ditonton menurut standar modern.[6] Kesalahpahaman ini berasal dari ketidaktahuan masyarakat umum dengan media, serta kecerobohan dari pihak industri. Sebagian besar film bisu tidak terpelihara dengan baik, menyebabkan kerusakan, dan film yang terpelihara dengan baik sering diputar ulang dengan kecepatan yang salah atau mengalami pemotongan sensor dan bingkai serta adegan yang hilang, sehingga memberikan tampilan pengeditan yang buruk.[7][8] Banyak film bisu hanya tersedia dalam salinan generasi kedua atau ketiga, bahkan sering kali dibuat dari stok film yang sudah rusak dan terabaikan.[5] Kesalahpahaman lain yang dipegang secara luas adalah bahwa film bisu kurang berwarna. Faktanya, warnanya jauh lebih merata dalam film bisu daripada film yang berada di dalam dekade pertama film bersuara. Pada awal 1920-an, 80 persen film dapat dilihat dalam beberapa jenis warna, biasanya dalam bentuk film tinting atau toning atau bahkan pewarnaan tangan, tetapi ada juga yang dengan proses dua warna yang cukup alami seperti Kinemacolor dan Technicolor.[9] Proses pewarnaan tradisional berhenti seiring adopsi teknologi sound-on-film. Dalam pewarnaan film tradisional, yang semuanya melibatkan penggunaan pewarna dalam beberapa bentuk dan mengganggu resolusi tinggi yang diperlukan untuk rekaman suara built-in, dan karenanya hal itu ditinggalkan. Bahkan proses inovatif three-strip technicolor yang diperkenalkan pada pertengahan 30-an berbiaya mahal dan penuh dengan keterbatasan, dan warna tidak akan memiliki prevalensi yang sama dalam film seperti yang terjadi pada film bisu yang telah terjadi hampir empat dekade. AntarjudulKarena film secara bertahap meningkat dalam durasi tayang, diperlukan pengganti juru bahasa internal yang akan menjelaskan bagian-bagian film kepada penonton. Karena film bisu tidak memiliki suara yang sinkron untuk dialog, layar antarjudul digunakan untuk menceritakan poin cerita, menyajikan dialog kunci dan terkadang bahkan mengomentari aksi dalam film untuk penonton. Penulis antarjudul professional menjadi kunci dalam film bisu dan sering kali terpisah dari penulis skenario yang menciptakan cerita. Antarjudul (atau judul sebagaimana mereka umumnya disebut pada saat itu) "sering kali merupakan elemen grafis itu sendiri, menampilkan ilustrasi atau dekorasi abstrak yang mengomentari aksi di dalam film".[10][11][butuh rujukan] Musik langsung dan iringan suara lainnyaPemutaran film bisu hampir selalu menampilkan musik langsung dimulai dengan penyorotan film pertama di publik oleh Lumière brothers pada 28 Desember 1895, di Paris, lalu dilanjutkan pada tahun 1896 oleh pameran film pertama di Amerika Serikat di Koster and Bial's Music Hall di New York City. Pada acara ini, Edison menetapkan panduan untuk dijadikan preseden bahwa semua pameran harus didampingi oleh orkestra.[12] Sejak awal, musik diakui sebagai sesuatu yang esensial, memberikan kontribusi atmosfer, dan memberikan isyarat emosional yang vital kepada penonton. Musisi terkadang bermain di set film selama syuting untuk alasan yang sama. Namun, tergantung pada ukuran jenis pameran, iringan musik dapat berubah secara signifikan.[4] Bioskop di kota kecil dan lingkungan sekitarnya biasanya memiliki pianis. Dimulai pada pertengahan 1910-an, teater kota besar cenderung memiliki organis atau musisi ansambel. Organ teater masif dirancang untuk mengisi celah antara solois piano sederhana dan orkestra yang lebih besar, dengan tujuan agar memiliki berbagai macam efek khusus. Organ teater seperti "Mighty Wurlitzer" yang terkenal dapat mensimulasikan beberapa suara orkestra bersama dengan sejumlah efek perkusi seperti bass drum dan simbal, dan efek suara mulai dari "peluit kereta api dan perahu [sampai] klakson mobil dan peluit burung;....beberapa bahkan dapat mensimulasikan tembakan pistol, dering telepon, suara ombak, kuku kuda, tembikar yang pecah, [dan] guntur dan hujan".[13] Skor film (musik latar belakang) untuk film bisu pada era awal merupakan improvisasi atau kompilasi musik klasik atau teater. Setelah seluruh fitur lengkap dalam musik menjadi hal yang umum, namun musik masih diambil dari kompilasi musik photoplay oleh pianis, organis, konduktor orkestra atau studio film itu sendiri, serta dengan lembar petunjuk dengan film. Lembaran musik tersebut biasanya panjang, dengan catatan rinci tentang efek dan suasana hati yang harus diperhatikan. Dimulai dengan musik latar yang sebagian besar orisinal yang digubah oleh Joseph Carl Breil untuk terobosan karya D. W. Griffith yang berjudul The Birth of a Nation (1915) yang dengan epik menghancurkan rasa rasial, menjadi relatif umum bagi film-film dengan anggaran besar untuk tiba di pameran teater dengan orginialitasnya, khususnya gubahan skor film (musik latar belakang).[14] Namun, desain skor film full-blown pertama sebenarnya telah disusun pada tahun 1908, oleh Camille Saint-Saëns untuk film The Assassination of the Duke of Guise[15] dan oleh Mikhail Ippolitov-Ivanov untuk film Stenka Razin. Ketika organis atau pianis menggunakan lembaran musik, mereka dapat menambahkan improvisasi untuk meningkatkan intensitas pada sinema. Bahkan ketika efek khusus tidak ditampilkan dalam skor film, jika seorang organis mampu memainkan organ teater yang menghasilkan efek suara yang tidak biasa seperti "kuda berderap", itu akan digunakan selama adegan kejar-kejaran berkuda. Pada puncak era bisu, film adalah satu-satunya sumber pekerjaan terbesar bagi musisi instrumental, setidaknya di Amerika Serikat. Namun, pengenalan talkie (gambar bersuara), ditambah dengan permulaan periode depresi besar yang hampir bersamaan, menghancurkan banyak musisi. Sejumlah negara menemukan cara lain untuk menampilkan suara ke film bisu. Sinema brasil, misalnya, menampilkan fitas cantatas (film bernyanyi), operet yang difilmkan dengan penyanyi yang tampil di belakang layar.[16] Di Jepang, film tidak hanya memiliki musik langsung tetapi ada juga benshi, narator secara langsung memberikan narasi serta suara karakter. Benshi menjadi elemen sentral dalam film Jepang, serta menyediakan terjemahan untuk film asing (kebanyakan Amerika).[17] Popularitas benshi adalah salah satu alasan mengapa film bisu bisa bertahan hingga tahun 1930-an di Jepang. Restorasi skor film dari tahun 1980 hingga sekarangBeberapa skor film bertahan utuh dari periode film bisu, dan para ahli musik masih dihadapkan pada pertanyaan ketika mereka mencoba mencari cara yang tepat untuk merekonstruksi yang tersisa. Skor film yang digunakan dalam rekonstruksi atau pemutaran film bisu saat ini mungkin merupakan rekonstruksi lengkap dari komposisi, disusun dengan baik, dirakit bedasarkan perpustakaan musik yang sudah ada, atau diimprovisasi sesuai dengan kaidah para musisi teater era bisu. Ketertarikan pada skor film bisu agak jauh dari zamannya yaitu periode tahun 1960-an dan 1970-an. Ada kepercayaan di banyak program film di perguruan tinggi dan perbendaharaan bioskop bahwa penonton harus menikmati film bisu sebagai media visual murni, tidak terganggu oleh musik. Keyakinan ini mungkin didorong oleh buruknya kualitas trek musik yang ditemukan pada banyak cetak ulang film bisu pada waktu itu. Sejak sekitar tahun 1980, ada kebangkitan minat untuk menyajikan film bisu dengan skor musik berkualitas (baik periode pengerjaan ulang skor film atau lembaran musik petunjuk, atau sesuai komposisi skor film asli). Upaya awal untuk melakukan restorasi tersebut dilakukan melalui restorasi oleh Kevin Brownlow pada tahun 1980 untuk yang berjudul Napoléon (1927) karya Abel Gance berkerjasama dengan Carl Davis untuk pembuatan skor filmnya. Versi restorasi Brownlow yang sedikit diedit ulang dan ritmenya dipercepat kemudian didistribusikan di Amerika Serikat oleh Francis Ford Coppola, dengan skor film orkestra yang secara langsung disusun oleh ayahnya Carmine Coppola. Pada tahun 1984, restorasi film Metropolis (1927) yang telah diedit dirilis dengan kebaharuan skor film rock oleh produser-komposer Giorgio Moroder. Meskipun skor film kontemporer yang mencakup lagu-lagu pop oleh Freddie Mercury, Pat Benatar dan Jon Anderson dari Yesm erupakan hal yang kontroversial, namun membuat pintu pendekatan baru terhadap penyajian film bisu klasik telah terbuka. Saat ini, sejumlah besar solois, ansambel musik, dan orkestra menampilkan musik tradisional dan kontemporer untuk film bisu internasional.[18] Organ teater legendaris Gaylord Carter terus tampil dan merekam original skor film bisu sampai sesaat sebelum kematiannya pada tahun 2000; beberapa dari skor film tersebut tersedia di DVD yang diterbitkan ulang. Pemasok rekaman lain dari pendekatan tradisional termasuk organis seperti Dennis James dan pianis seperti Neil Brand, Günter Buchwald, Philip C. Carli, Ben Model, dan William P. Perry. Pianis kontemporer lainnya, seperti Stephen Horne dan Gabriel Thibaudeau, sering mengambil pendekatan yang lebih modern untuk mencetak pendekatan baru dalam skor film. Konduktor orkestra seperti Carl Davis dan Robert Israel telah menulis dan menyusun skor film untuk banyak film bisu; banyak di antaranya telah ditampilkan dalam pertunjukan di Turner Classic Movies atau telah dirilis dalam bentuk DVD. Davis telah menyusun skor film yang baru untuk drama film bisu klasik seperti The Big Parade (1925) dan Flesh and the Devil (1927). Israel telah mengerjakan terutama perihal skor film komedi bisu dari film yang diperankan oleh Harold Lloyd, Buster Keaton, Charley Chase dan lain-lain. Timothy Brock telah banyak merestorasi skor film yang diperakan Charlie Chaplin, selain membuat skor film baru. Para ansambel musik kontemporer turut membantu memperkenalkan film bisu klasik kepada khalayak yang lebih luas melalui berbagai gaya dan pendekatan musik. Beberapa pemain musik membuat komposisi baru menggunakan alat musik tradisional, sementara yang lain menambahkan suara elektronik, harmoni modern, ritme, improvisasi, dan elemen desain suara untuk meningkatkan pengalaman dalam menonton. Di antara pada ansambel kontemporer dalam kategori tersebut berasal dari Un Drame Musical Instantané, Alloy Orchestra, Club Foot Orchestra, Silent Orchestra, Mont Alto Motion Picture Orchestra, Minima and the Caspervek Trio, RPM Orchestra. Donald Sosin dan istrinya Joanna Seaton mengkhususkan diri dalam menambahkan vokal ke film bisu, terutama pada nyanyian yang ada di layar guna mendengarkan lagu yang sebenarnya sedang dibawakan di dalam film tersebut. Film tersebut diantaranya film Lady of the Pavements karya D. W. Griffith dengan Lupe Vélez, film Evangeline karya Edwin Carewe dengan Dolores del Río, dan film The Phantom of the Opera karya Rupert Julian dengan Mary Philbin dan Virginia Pearson.[butuh rujukan] The Silent Film Sound and Music Archive mendigitalkan musik dan lembar cue (cue sheet) yang ditulis untuk film bisu dan membuatnya tersedia untuk digunakan oleh para pemain musik, cendekiawan, dan para antusias.[19] Teknik AktingAktor film bisu menekankan bahasa tubuh dan ekspresi wajah sehingga penonton dapat lebih memahami apa yang dirasakan dan digambarkan aktor di layar. Banyak akting film bisu secara tangkas menyambar penonton modern dengan kesederhanaan atau dengan gaya campy-nya (estetika yang kurang bagus dan penuh ironi). Gaya akting melodramatis dalam beberapa kasus merupakan kebiasaan aktor yang berasal dari pengalaman panggung mereka sebelumnya. Vaudeville adalah asal yang sangat populer bagi banyak aktor film bisu Amerika.[4] Kehadiran aktor panggung yang menjalar ke dalam dunia perfilman merupakan penyebab dari ledakan sutradara, Marshall Neilan pada tahun 1917: "Semakin cepat orang-orang panggung yang muncul dan lolos dalam film, semakin baik untuk filmnya." Dalam kasus lain, sutradara seperti John Griffith Wray mengharuskan aktor mereka untuk memberikan ekspresi yang lebih besar daripada kehidupan itu sendiri untuk penekanan dalam akting. Pada awal tahun 1914, penonton Amerika mulai menunjukkan preferensi lebih besar mereka untuk pada kealamian yang terjadi di layar.[20] Film bisu membuat vaudevillian berkurang pada pertengahan tahun 1910-an, karena perbedaan antara panggung dan layar menjadi jelas. Seperti halnya karya sutradara seperti D. W. Griffith, membuat sinematografi menjadi tak seperti panggung, dengan pengembangan teknik ambilan dekat yang memungkinkan akting yang bersahaja dan realistis. Lillian Gish disebut sebagai "aktris pertama yang sebenarnya" untuk karyanya pada film periode tersebut saat ia memelopori teknik kebaharuan pertunjukan film, serta mengakui perbedaan penting antara akting panggung dan layar. Sutradara seperti Albert Capellani dan Maurice Tourneur mulai menekankan naturalisme dalam film mereka. Pada pertengahan tahun 1920-an banyak film bisu Amerika telah mengadopsi gaya akting yang lebih naturalistik, meskipun tidak semua aktor dan sutradara langsung menerima akting yang naturalistik dan sederhana; hingga pada tahun 1927, film-film yang menampilkan gaya akting ekspresionis, seperti Metropolis masih dirilis.[20] Greta Garbo, yang memulai debutnya pada tahun 1926, dikenal karena akting naturalistiknya. Menurut Anton Kaes, seorang sarjana film bisu dari University of California, Berkeley, sinema bisu Amerika mulai terlihat pergeseran teknik akting antara tahun 1913 dan 1921, hal ini dipengaruhi oleh teknik-teknik yang terdapat dalam film bisu Jerman. Hal ini terutama disebabkan oleh masuknya emigran dari Republik Weimar, "termasuk sutradara film, produser, juru kamera, teknisi tata cahaya dan panggung, serta aktor dan aktris".[21] Kecepatan ProyeksiStandarisasi kecepatan proyeksi telah sampai 24 frame per detik (fps) untuk film suara antara tahun 1926 dan 1930, film bisu terpantau pada kecepatan variabel (atau "tingkat bingkai/frame rate) di rentang dari 12 hingga 40 fps, tergantung pada tahun dan studionya.[22] "Kecepatan standar film bisu" sering dianggap 16 fps, nilai tersebut diambil dari hasil Sinematografi yang berasal dari Lumière Bersaudara Cinématographe, tetapi praktik industri sangat bervariasi; tidak ada standar yang sebenarnya. William Kennedy Laury Dickson, seorang karyawan Edison, menetapkan kecepatan yang luar biasa cepat yaitu 40 frame per detik sebagai standar.[4] Selain itu, juru kamera pada zaman itu bersikeras bahwa teknik memutar mereka tepat 16 fps, tetapi pemeriksaan modern terhadap film menunjukkan bahwa terdapat kesalahan, mereka sering memutar lebih cepat. Jika tidak ditampilkan dengan hati-hati pada kecepatan yang diinginkan, film bisu dapat muncul dengan cepat atau lambat secara tidak wajar. Namun, beberapa adegan sengaja dipercepat (fast motion) selama pengambilan gambar untuk mempercepat aksi—khususnya untuk film komedi dan aksi.[22] Proyeksi kecepatan lambat dari film dengan dasar nitroselulosa membawa risiko kebakaran, karena setiap frame terpapar lebih lama terhadap panas yang intens dari lampu proyeksi; itulah merupakan alasan lain untuk memproyeksikan film dengan kecepatan yang lebih tinggi. Sering pula seorang ahli proyeksi menerima instruksi umum dari distributor pada lembar petunjuk direktur mengenai seberapa cepat gulungan atau adegan tertentu harus diproyeksikan.[22] Dalam kasus yang jarang terjadi, biasanya dalam produksi yang lebih besar, lembar petunjuk diproduksi khusus untuk ahli prpyeksi guna panduan terperinci untuk penyajian film. Teater juga—untuk memaksimalkan keuntungan—terkadang memvariasikan kecepatan proyeksi tergantung pada waktu atau popularitas film,[23] atau mencocokkan film menurut slot waktu yang ditentukan.[22] Semua proyektor film gambar bergerak memerlukan alat pengatur cahaya (shutters) bergerak untuk menghalangi cahaya saat film bergerak, sebaliknya jika tidak maka gambar akan tercoreng sesuai arah gerakan. Bagaimanapun alat pengatur cahaya ini menyebabkan gambar berkedip, dan gambar dengan tingkat kedipan rendah sangat tidak menyenangkan untuk ditonton. Studi awal yang dilakukan oleh Thomas Edison untuk mesin Kinetoskop-nya menetapkan bahwa kecepatan di bawah 46 gambar per detik "akan membuat mata tegang" [22] dan ini juga berlaku untuk gambar yang diproyeksikan dalam kondisi sinema normal. Solusi yang diadopsi untuk Kinetoscope dengan permasalahan tersebut adalah menjalankan film dengan kecepatan lebih dari 40 frame/detik, tetapi hal ini membuat film menjadi berbiaya mahal. Namun, dengan menggunakan proyektor dengan dua dan tiga bilah alat pengatur cahaya (shutter), tingkat kedipan dikalikan dua atau tiga kali lebih tinggi dari jumlah frame film — setiap frame di-flash dua atau tiga kali pada layar. Alat penangkap cahaya (shutter) tiga bilah yang memproyeksikan film 16 fps akan sedikit melampaui angka Edison, dan memberikan penonton 48 (16 x 3 bilah shutter) gambar per detik. Selama era film bisu, proyektor biasanya dilengkapi dengan alat penangkap cahaya (shutter) 3 bilah. Namun, Sejak diperkenalkannya film bersuara maka menjadi lazim menetapkan kecepatan standar 24 frame/dtk dengan standar 2-bilah alat penangkap cahaya (shutter) untuk 35 mm proyektor bioskop. Pada kecepatan 24fps dengan standar untuk film suara 35 mm maka film bergerak melalui proyektor dengan kecepatan 456 milimeter (18,0 in) per detik.[24] Satu gulungan 1.000 kaki (300 m) memerlukan 11 menit dan 7 detik untuk diproyeksikan pada 24 fps, sedangkan proyeksi 16 fps dari gulungan yang sama akan memerlukan waktu 16 menit dan 40 detik, atau 304 milimeter (12,0 in) per detik.[22] Lalu alat penangkap cahaya (shutter) 3 bilah pada standar 16 mm dan 8 mm proyektor sering digunakan untuk memproyeksikan footage amatir dengan pantauan pada 16 atau 18 frame/sec. Pada 1950-an, banyak konversi telecine dari film bisu pada frame rate yang sangat salah untuk siaran televisi dan mungkin membuat penonton merasa asing.[25] Kecepatan film sering menjadi masalah yang menjengkelkan di antara para akademisi dan penggemar film dalam penyajian film bisu era kini, terutama ketika menyangkut perilisan DVD film yang direstorasi, seperti kasus restorasi film Metropolis tahun 2002.[26] PewarnaanKarena kurangnya pemrosesan warna alami yang tersedia, film-film era bisu sering dicelupkan ke dalam bahan pewarna dan diwarnai dengan berbagai corak dan warna untuk menandakan suasana hati atau mewakili waktu dalam hari. Pewarnaan tangan dimulai pada tahun 1895 di Amerika Serikat dirilis oleh Edison dengan cetakan tangan berwarna dari Butterfly Dance. Selain itu, percobaan dalam film berwarna dimulai pada awal tahun 1909, meskipun butuh waktu lebih lama agar warna dapat diadopsi oleh industri dan masih dikembangkan untuk proses yang lebih efektif.[4] Biru mewakili pemandangan malam, kuning atau warna kuning sawo berarti siang, merah mewakili semangat dan hijau mewakili suasana misterius. Demikian pula, pemberian warna pada film (seperti yang umum terjadi pada film bisu yaitu pewarnaan sephia) dengan solusi pengganti khusus menggantikan partikel silver pada stok film dengan pewarnaan garam atau berbagai variasi pewarnaan. Kombinasi mewarnai (tinting) dan pemberian warna (toning) digunakan sebagai efek yang dapat menghasilkan hasil yang mencolok. Beberapa film diwarnai dengan tangan, seperti Annabelle Serpentine Dance (1894) dari Edison Studios. Di dalamnya, Annabelle Whitford,[27] seorang penari muda dari Broadway, mengenakan tudung putih yang tampak berubah warna saat dia menari. Teknik ini dirancang untuk menangkap efek pertunjukan langsung Loie Fuller, dimulai pada tahun 1891, di mana lampu panggung dengan gel berwarna mengubah gaun dan lengan baju putihnya menjadi gerakan yang jauh lebih artistik.[28] Pewarnaan tangan pada awalnya sering digunakan dalam "trik" dan film fantasi Eropa, terutama yang dibuat oleh Georges Méliès. Méliès mulai karya pewarnaan tangan sejak tahun 1897 dan pada film Cendrillion (Cinderella) tahun 1899, film Jeanne d'Arc (Joan of Arc) tahun pada tahun 1900, hal ini;memberikan contoh awal mengenai film yang diwarnai dengan tangan di mana warna merupakan bagian penting dari skenografi atau mise en scène kejadian; pewarnaan yang tepat seperti itu merupakan hasil dari lokakarya dari Elisabeth Thuillier di Paris, bersama tim seniman wanita yang menambahkan lapisan warna ke setiap bingkai (frame) dengan tangan hal tersebut berbeda dengan penggunaan proses stensil yang lebih umum serta sedikit lebih murah.[29] Versi baru dari karya Méliès' yang berjudul A Trip to yhe Moon , awalnya dirilis pada tahun 1902, menunjukkan penggunaan warna yang dirancang untuk menambahkan tekstur dan animo pada gambar.[30] Komentar oleh seorang distributor Amerika dalam katalog persediaan film tahun 1908 semakin menggarisbawahi dominasi Prancis yang terus berlanjut di bidang film mengenai pewarnaan tangan selama era film bisu awal. Distributor menawarkan untuk dijual dengan harga yang bervariasi untuk film-film "Kelas Tinggi" dari Pathé, Urban-Eclipse, Gaumont, Kalem, Itala Film, Ambrosio Film, dan Selig. Beberapa film yang lebih lama dan lebih bergengsi dalam katalog ditawarkan dalam "stok polos" hitam-putih standar sebaik pewarnaan "lukisan tangan".[31] Salinan stok biasa, misalnya, rilisan Ben Hur pada tahun 1907 ditawarkan seharga $120 ($3.456 USD pada hari ini), sedangkan film yang sama dengan versi berwarna dari film 1000-foot setara 15 menit dihargai $270 ($ 7.777) termasuk tambahan pembiayaan pewarnaan seharga $150 yang berjumlah 15 sen lebih per-foot.[31] Meskipun alasan untuk biaya tambahan yang disebutkan mungkin jelas bagi pelanggan, tetapi distributor menjelaskan mengapa film berwarna katalognya menuntut harga yang jauh lebih tinggi dan membutuhkan lebih banyak waktu untuk pengiriman. Penjelasannya juga memberikan pandangan yang mendalam mengenai keadaan umum layanan pewarnaan film di Amerika Serikat pada tahun 1908:
Pada awal tahun 1910-an dengan dimulainya film-film berdurasi panjang, pewarnaan digunakan sebagai pengatur suasana hati, sama halnya dengan musik. Sutradara D. W. Griffith menunjukkan minat dan perhatian yang konstan tentang warna, dan menggunakan pewarnaan sebagai efek khusus di banyak filmnya. Film epiknya pada tahun 1915 yang berjudul The Birth of a Nation, menggunakan sejumlah warna, termasuk kuning sawo, biru, lavender, dan warna merah mencolok untuk adegan seperti "pembakaran Atlanta" dan perjalanan Ku Klux Klan untuk membuat climax penggambarannya. Griffith kemudian menemukan sistem warna menggunakan lampu berwarna menyala di area layar untuk menggapai warna tertentu. Dengan perkembangan teknologi sound-on-film dan penerimaan industri itu, pewarnaan ditinggalkan sama sekali, karena pewarna yang digunakan dalam proses pewarnaan mengganggu soundtrack yang ada pada strip film.[4] Studio Era AwalStudio pada era awal banyak berlokasi di daerah New York City. Edison Studios pertama kali dibentuk di West Orange, New Jersey (1892), lalu dipindahkan ke Bronx, New York (1907). Fox (1909) dan Biograph (1906) dimulai di Manhattan, dengan studio di St George, Staten Island. Film lainnya diambil di Fort Lee, New Jersey. Pada bulan Desember 1908, Perusahaan Edison memimpin pembentukan Motion Picture Patents Company dalam upaya untuk mengendalikan industri dan menutup pintu masuk produsen yang lebih kecil. Julukan "Edison Trust" yang terdiri dari Edison, Biograph, Essanay Studios, Kalem Company, George Kleine Productions, Lubin Studios, Georges Méliès, Pathé, Selig Studios, dan Vitagraph Studios, mereka mendominasi distribusi melalui General Film Company. Perusahaan ini mendominasi industri baik sebagai monopoli vertikal maupun horizontal dan merupakan faktor pendukung migrasi studio ke Pantai Barat. The Motion Picture Patents Co. dan General Film Co. dinyatakan bersalah atas pelanggaran antimonopoli pada Oktober 1915, dan akhirnya dibubarkan. Studio film Thanhouser Company didirikan di New Rochelle, New York, pada tahun 1909 oleh impresario teater Amerika bernama Edwin Thanhouser. Perusahaan ini memproduksi dan merilis 1.086 film antara tahun 1910 hingga 1917, termasuk serial film pertama yang berjudul The Million Dollar Mystery, yang dirilis pada tahun 1914.[32] Film bergenre koboi pertama difilmkan di Fred Scott's Movie Ranch di South Beach, Staten Island. Aktor yang berkostum koboi dan penduduk asli Amerika berpac dalam melintasi set film peternakan Scott yang memiliki jalan utama perbatasan serta beragam pilihan kereta pos dan benteng setinggi 56 kaki. Tempat tersebut menyediakan stand-in yang dapat digunakan untuk lokasi yang bervariasi seperti gurun Sahara dan lapangan kriket Inggris. Adegan perang diambil di dataran Grasmere, Staten Island. Film The Perils of Pauline dan sekuelnya yang lebih populer yaitu film The Exploits of Elaine sebagian besar difilmkan di tempat itu. Begitu pula dengan film blockbuster yang berjudul Life of a Cowboy tahun 1906, oleh Edwin S. Porter Company, namun pembuatan film dipindahkan ke West Coast sekitar tahun 1912. Film Bisu dengan pendapatan kotor tertinggiBerikut ini adalah film-film Amerika dari era film bisu yang memperoleh pendapatan kotor tertinggi pada tahun 1932. Jumlah yang ditampilkan merupakan sewa kotor (bagian distributor dari box-office) sebagai pembanding dari pendapatan kotor pameran.[33]
Pada Era SuaraTransisiMeskipun upaya untuk membuat gambar bergerak yang tersinkronisasi dengan gambar kembali dilakukan dilab Edison pada tahun 1896, namun pada awal 1920-an teknologi dasar seperti vacuum tube amplifiers dan pengeras suara berkualitas tinggi telah tersedia. Beberapa tahun berikutnya terjadi perlombaan untuk merancang, mengimplementasikan, dan memasarkan beberapa format suara sound-on-disc dan sound-on-film formats, seperti Photokinema (1921), Phonofilm (1923), Vitaphone(1926), Fox Movietone (1927) dan RCA Photophone (1928). Warner Bros. adalah studio pertama yang mengimplementasikan suara sebagai elemen dalam produksi film dengan menggunakan Vitaphone, teknologi sound-on-disc untuk melakukannya.[4] Studio tersebut kemudian merilis The Jazz Singer pada tahun 1927, yang menandai kesuksesan komersial pertama film suara, tetapi film bisu masih menjadi fitur utama yang dirilis pada tahun 1927 dan 1928, bersamaan dengan itu, ada pula istilah film goat-glanded yaitu sebagai transisi film bisu, film tersebut disisipkan subbagian suara. Dengan demikian era film suara modern dapat dianggap mulai mendominasi mulai tahun 1929. Untuk daftar film era bisu yang terkenal, lihat daftar tahun film untuk melihat daftar tahun awal film pada tahun 1928. Daftar berikut hanya mencakup film-film yang diproduksi pada era suara dengan tujuan artistik dibuat khusus untuk menjadi film bisu.
Penghormatan BerikutnyaBeberapa pembuat film telah memberi penghormatan kepada komedi era film bisu, beberapa diantaranya Charlie Chaplin, dengan film Modern Times (1936), Orson Welles dengan film Too Much Johnson (1938), Jacques Tati dengan film Les Vacances de Monsieur Hulot (1953), Pierre Etaix dengan film The Suitor (1962), dan Mel Brooks dengan film Silent Movie (1976). Sutradara Taiwan yang bernama Hou Hsiao-hsien memuji Drama Three Times (2005) yang mengadopsi film bisu selama sepertiga-tengahnya lengkap dengan antarjudul; FIlm garapan sutradara Stanley Tucci yang berjudul The Impostors memiliki pembukaan rangkaian style film komedi bisu pada era awal. Film Margarette's Feast (2003) karya sutradara Brasil Renato Falcão merupakan film bisu pula. Penulis / Sutradara Michael Pleckaitis memberikan sentuhannya sendiri pada genre ini melalu film Silent (2007). Meskipun bukan film bisu, serial televisi dan film Mr. Bean telah menggunakan pendekatan karakter yang tidak banyak bicara untuk menciptakan gaya humor yang serupa. Contoh yang kurang populer adalah film La fille du garde-barrière (1975) karya Jérôme Savary, sebuah pengakuan untuk film era bisu yang menggunakan ciri khas intertitle serta memadukan komedi, drama, dan adegan seks eksplisit (menyebabkan film tersebut ditolak sertifikat bioskopnya oleh British Board of Film Classification). Pada tahun 1990, Charles Lane menyutradarai dan membintangi film Sidewalk Stories, sebuah karya film beranggaran rendah untuk penghormatan film komedi bisu yang sentimental, khususnya penghormatan pada karya Charlie Chaplin yang berjudul The Kid. Film Jerman yang berjudul Tuvalu (1999) sebagian besar bernuansa bisu; sedikit dialognya merupakan campuran bahasa Eropa yang aneh, sehingga meningkatkan universalitas pada film tersebut. Guy Maddin memenangkan penghargaan atas penghormatannya pada film bisu era Soviet dengan film pendeknya yang berjudul The Heart of the World setelah itu ia membuat film bisu panjang yang berjudul Brand upon the Brain! (2006), menggabungkan seniman foley, narasi dan orkestra di pertunjukan tertentu. Film Shadow of the Vampire (2000) adalah penggambaran fiksional dari pembuatan film vampir bisu klasik karya Friedrich Wilhelm Murnau yang berjudul Nosferatu (1922). Werner Herzog memberikan penghormatan terhadap film yang sama dalam versinya sendiri yang berjudul Nosferatu the Vampyre (1979). Beberapa film mengambil tarikan secara kontras antara era film bisu dan era film suara. Film Sunset Boulevard memperlihatkan keterputusan antara dua era film dalam karakter Norma Desmond yang diperankan oleh bintang film bisu Gloria Swanson, dan film Singin' in the Rain memberikan penawaran kepada artis-artis Hollywood untuk menyesuaikan diri dengan film suara. Film karya Peter Bogdanovich tahun 1976 yang berjudul Nickelodeon, membahas gejolak pembuatan film bisu di Hollywood selama awal 1910-an, yang mengarah pada perilisan epik karya D. W. Griffith yang berjudul The Birth of a Nation (1915). Pada tahun 1999, pembuat film Finlandia yang bernama Aki Kaurismäki memproduksi film Juha dalam warna hitam-putih yang menangkap gaya pada era film bisu serta menggunakan intertitle sebagai pengganti dialog lisan. Film tersebut mendapat cetakan rilis khusus dengan judul film dalam beberapa bahasa berbeda yang di produksi untuk distribusi internasional.[36] di India, film Pushpak (1988),[37] dibintangi Kamal Hassan merupakan film komedi hitam yang sama sekali tanpa dialog. Film asal Australia yang berjudul Doctor Plonk (2007), merupakan film bisu yang disutradarai oleh Rolf de Heer. Drama panggung menggunakan gaya dan bersumber dari film bisu. Aktor/penulis Billy Van Zandt & Jane Milmore mementaskan komedi slapstick Off-Broadway dalam film yang berjudul Silent Laughter sebagai penghargaan pada laga aksi era layar film bisu.[38] Geoff Sobelle dan Trey Lyford menciptakan dan membintangi film All Wear Bowlers (2004), pada awalnya sebagai penghormatan kepada aktor Laurel dan Hardy kemudian dikembangkan dengan menggabungkan rangkaian film bisu dari Sobelle and Lyford yang melompat kebelakang ke film yang bertema antara pertunjukan aksi langsung dan film kolektif.[39] Film animasi Fantasia (1940), yang merupakan delapan urutan animasi berbeda yang terhubung melalui musik, dapat dianggap sebagai film bisu, karena hanya satu adegan pendek yang melibatkan dialog. Film bergenre spionase yang berjudul The Thief (1952) memiliki musik dan efek suara, tetapi tidak ada dialog, seperti halnya seperti film Vase de Noces pada 1974 karya Thierry Zéno dan film The Angel karya Patrick Bokanowski pada tahun 1982. Pada tahun 2005, H. P. Lovecraft Historical Society memproduksi versi film bisu versi film bisu dari cerita karya Lovecraft yang berjudul The Call of Cthulhu. Film ini mempertahankan gaya pembuatan film dengan periode yang akurat, dan diterima sebagai "adaptasi HPL terbaik hingga saat ini" dan, mengacu pada keputusan untuk menjadikannya sebagai film bisu dengan penilaian film "kesombongan yang brilian".[40] Film asal Prancis yang berjudul The Artist (2011), ditulis dan disutradarai oleh Michel Hazanavicius, diputar sebagai film bisu yang berlatar di Hollywood pada era film bisu. Film tersebut memuat segment film bisu fiksional yang dibintangi protagonisnya.[41] Film vampir asal Jepang yang berjudul Sanguivorous (2011) tidak hanya digarap dengan gaya film bisu, tapi bahkan melakukan dikelilingi dengan iringan orkestra langsung.[42][43] Eugene Chadbourne salah satu di antara mereka yang memainkan musik langsung untuk film tersebut.[44] Blancanieves adalah film drama fantasi bisu hitam-putih asal Spanyol pada tahun 2012 yang ditulis dan disutradarai oleh Pablo Berger. Film bisu berdurasi panjang asal Amerika yang berjudul Silent Life diproduksi pada 2006, menampilkan penampilan oleh Isabella Rossellini dan Galina Jovovich, ibu dari Milla Jovovich, akan tayang perdana pada 2013. Film ini didasarkan pada kehidupan ikon layar bisu Rudolph Valentino, yang dikenal sebagai "Kekasih Hebat (Great Lover)" pertama di Hollywood. Setelah operasi darurat, Valentino kehilangan penguasaan akan realita dan mengingat kehidupannya di Hollywood dari sudut pandang koma – film bisu yang menuntun pada istana film, lorong keajaiban antara hidup dan keabadian, antara kenyataan dan ilusi.[45][46] The Picnic adalah film pendek tahun 2012 yang dibuat dengan gaya komedi melodrama bisu. Film tersebut merupakan bagian dari pameran No Spectators: The Art of Burning Man, pameran yang dilaksanakan pada tahun 2018-2019 yang dikuratori oleh Renwick Gallery dari Smithsonian American Art Museum.[47] Film ini ditampilkan di dalam miniatur ditas 12 kursi beroda yang disebut The Capitol Theatre di istana film Art Deco yang dibuat oleh Oakland, Ca. serta merupakan seni kolektif Five Ton Crane. Right There merupakan film pendek pada 2013 yang beraliran komedi film bisu. Film animasi asal Inggris tahun 2015 yang berjudul Shaun the Sheep Movie yang diambil berdasarkan film Shaun the Sheep dirilis dengan ulasan positif dan sukses di box office. Aardman Animations juga memproduksi Morph dan Timmy Time sebaik film pendek bisu lainnya. American Theatre Organ Society memberi penghormatan kepada musik film bisu, serta organ teater yang memainkan musik semacam itu, lebih dari 75 cabang lokal, organisasi ini berusaha untuk melestarikan dan mempromosikan organ teater dan musik, sebagai bentuk seni.[48] Globe International Silent Film Festival (GISFF) merupakan acara tahunan yang berfokus pada penggambaran dan atmosfer sinema yang sedang berlangsung di universitas atau lingkungan akademik terkemuka di setiap tahunnya dan acara ini pula merupakan platform untuk menampilkan dan menilai film dari pembuat film yang sedang aktif.[49] Pada tahun 2018, sutradara film Christopher Annino merekam film bisu panjang utama dan memenangkan penghargaan internasional dari filmnya yang berjudul Silent Times.[50][51][52] Film ini memberi penghormatan kepada banyak karakter dari tahun 1920-an termasuk Officer Keystone yang diperankan oleh David Blair, dan Enzio Marchello yang memerankan karakter Charlie Chaplin. Silent Times memenangkan film bisu terbaik di Festival Film Oniros. Film ini memiliki latar di sebuah kota kecil di New England, cerita berpusat pada Oliver Henry III (diperankan oleh Geoff Blanchette), seorang penjahat kecil yang berubah menjadi pemilik teater vaudeville. Berawal dari kehidupan yang sederhana di Inggris, ia berimigrasi ke Amerika Serikat untuk mencari kebahagiaan dan uang. Dia berkenalan dengan orang-orang dari semua lapisan masyarakat, dari pemain olok-olok, pantomim, gelandangan hingga gadis sosialita berkelas, lalu kekayaannya meningkat dan membuat hidupnya semakin tak terkendali. Pelestarian dan Film yang hilangSebagian besar film bisu yang diproduksi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dianggap telah hilang. Menurut laporan pada September 2013 yang diterbitkan oleh Perpustakaan Kongres Amerika Serikat, sekitar 70 persen film fitur bisu Amerika termasuk dalam kategori hilang.[53] Ada banyak alasan mengapa angka ini begitu tinggi. Beberapa film hilang secara tidak sengaja, tetapi sebagian besar film bisu tersebut sengaja dihancurkan. Antara akhir era bisu dan kebangkitan video rumahan, studio film sering dengan sengajamembuang sejumlah besar film bisu karena keinginan untuk mengosongkan penyimpanan di arsip mereka, selain itu ada asumsi bahwa mereka telah kehilangan relevansi budaya dan nilai ekonomi sehingga membenarkan terkait alasan mereka untuk mengosongkan penyimpanan arsip mereka. Selain itu, karena sifat rapuh dari stok film nitrat yang digunakan untuk merekam dan mendistribusikan film bisu, banyak gambar/adegan yang telah rusak atau hilang akibat kecelakaan, termasuk kebakaran (karena nitrat sangat mudah terbakar dan dapat terbakar secara spontan jika disimpan secara tidak benar). Contoh insiden tersebut termasuk kebakaran lemari besi MGM tahun 1965 dan kebakaran lemari besi Fox tahun 1937, yang keduanya menyebabkan kerugian besar pada film. Banyak diantara film tersebut tidak sepenuhnya hancur hanya bertahan sebagian, atau dalam cetakan yang rusak parah. Beberapa film yang hilang, seperti film London After Midnight (1927) yang hilang dalam kebakaran MGM danmenjadi subjek yang cukup menarik bagi kolektor film dan sejarawan. Beberapa film bisu utama yang dianggap hilang meliputi:
Meskipun sebagian besar film bisu yang hilang tidak akan pernah dapat ditemukan kembali, beberapa telah ditemukan kembali di arsip film atau koleksi pribadi. Versi yang ditemukan dan disimpan mungkin merupakan edisi yang dibuat untuk film sewa rental rumahan pada tahun 1920-an dan 1930-an yang ditemukan dalam penjualan real estat, dll.[57] Degradasi stok film lama dapat diperlambat melalui pengarsipan yang tepat, dan film dapat dipindahkan ke pengaman stok film atau ke media digital untuk pelestarian. Pelestarian film bisu telah menjadi prioritas tinggi bagi sejarawan dan arsiparis.[58] Kota Dawson, di wilayah Yukon, Kanada, pernah menjadi ujung dari jalur distribusi untuk banyak film. Pada tahun 1978, lebih dari 500 gulungan film nitrat ditemukan di tempat lokasi tersebut selama penggalian tanah kosong yang sebelumnya merupakan situs Dawson Amateur Athletic Association, tempat tersebut mulai memutar film sebagai tempat pusat rekreasi pada tahun 1903.[58][59] Ditemukan karya Pearl White, Helen Holmes, Grace Cunard, Lois Weber, Harold Lloyd, Douglas Fairbanks, dan Lon Chaney serta banyak film warta berita disertakan. Judul-judul itu disimpan di perpustakaan setempat sampai tahun 1929, sedangkan nitrat yang mudah terbakar tersebut layaknya tempat pembuangan sampah di kolam renang yang dikutuk. Setelah kurunwaktu 50 tahun di bawah lapisan es Yukon, gulungannya ternyata masih dalam kondisi yang sangat baik. Karena volatilitas kimianya yang berbahaya[60] temuan sejarah tersebut dipindahkan oleh transportasi militer ke Library and Archives Canada dan Perpustakaan Kongres Amerika Serikat untuk disimpan (dan di transfer ke pengaman stok film). Dokumenter mengenai pencarian tersebut dapat dilihat di film Dawson City: Frozen Time yang ditilis pada tahun 2016.[61][62] Lihat Juga
ReferensiCatatan Kaki
Bibliography
Bacaan lebih lanjut
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Silent film.
|