Film suaraFilm suara adalah film dengan suara tersinkronisasi, atau suara yang dicocokkan dengan gambar. Bertolak belakang dari film bisu, film bersuara diproduksi dengan dialog dan rekaman suara. Pertunjukan film suara pertama untuk umum dilangsungkan di Paris pada tahun 1900, tetapi perlu berpuluh-puluhan tahun kemudian hingga film suara dapat dikomersialisasi. Sinkronisasi yang dapat diandalkan sulit dicapai dengan sistem awal suara pada pelat, sementara amplifikasi dan kualitas rekaman juga tidak memadai. Inovasi dalam suara pada film memungkinkan pemutaran komersial film pendek yang menggunakan teknologi ini pada tahun 1923. Perkembangan pertama dalam komersialisasi film suara terjadi pada awal hingga akhir 1920-an. Pada awalnya, film suara yang memasukkan dialog tersinkronisasi (disebut "talking pictures" atau "talkies") berdurasi pendek; film cerita terawal hanya berisi rekaman suara untuk musik dan efek suara. Film cerita pertama yang diproduksi sebagai film suara adalah The Jazz Singer yang mulai diedarkan bulan Oktober 1927. Film ini menjadi film laris, dibuat dengan teknologi Vitaphone yang merupakan merek ternama untuk teknologi suara pada pelat. Meskipun demikian, teknologi suara pada film segera menjadi standar suara pada film suara. Pada awalnya dekade 1930-an, film suara sudah menjadi fenomena global. Di Amerika Serikat, film suara mengamankan posisi Hollywood sebagai salah satu pusat komersial budaya dunia (lihat Sinema Amerika Serikat). Di Eropa (dan mungkin di tempat lain), perkembangan baru ini diamati dengan kecurigaan oleh pembuat film dan kritikus yang khawatir film berfokus pada dialog akan merusak nilai-nilai estetika film bisu. Jepang memiliki tradisi sendiri, berupa pemutaran film bisu diiringi oleh penampilan vokal hidup seorang pencerita, oleh karena itu, film bersuara perlu waktu sebelum diterima secara luas. Di India, suara merupakan unsur transformatif yang menyebabkan industri film di negara ini berkembang dengan cepat hingga menjadi industri film paling produktif di dunia sejak tahun 1960-an. SejarahPerkembangan awalIde menggabungkan gambar bergerak dengan rekaman suara hampir sama tuanya dengan konsep sinema itu sendiri. Pada tanggal 27 Februari 1888, beberapa hari setelah pelopor fotografi Eadweard Muybridge memberikan kuliah tidak jauh dari laboratorium Thomas Edison, kedua penemu itu bertemu secara pribadi. Muybridge kemudian mengklaim bahwa pada kesempatan itu, enam tahun sebelum pertunjukan film komersial pertama, ia mengusulkan sebuah skema untuk film suara yang akan menggabungkan gambar zoopraksiskop dengan rekaman suara teknologi Edison.[2] Persetujuan tidak tercapai, tetapi dalam setahun Edison menugaskan pengembangan Kinetoskop yang pada dasarnya adalah sistem "pertunjukan intip" gambar sebagai pelengkap visual untuk fonograf silinder ciptaannya. Kinetoskop dan fonograf silinder digabungkan menjadi alat bernama Kinetofon pada tahun 1895. Namun, lemari untuk melihat gambar bergerak untuk perorangan segera ketinggalan zaman setelah suksesnya sistem proyeksi film.[3] Pada 1899, sistem proyeksi film suara yang disebut Cinemacrophonograph atau Phonorama, terutama dibuat berdasarkan pemikiran penemu kelahiran Swiss, François Dussaud, dipamerkan di Paris. Meski mirip dengan Kinetofon, sistem ini memerlukan penggunaan penyuara kuping individual.[4] Sistem silinder yang lebih baik, Phono-Cinéma-Théâtre dikembangkan oleh Clément-Maurice Gratioulet dan Henri Lioret dari Prancis, dan dipakai untuk memutar film-film pendek cuplikan teater, opera, dan balet di Paris Exposition tahun 1900. Pemutaran tersebut tampaknya merupakan pertunjukan film pertama berupa proyeksi gambar berikut rekaman suara. Phonorama dan sistem film bersuara lainnya, Théâtroscope juga dipamerkan di Paris Exposition 1900.[5] Tiga masalah utama tetap ada, menyebabkan film dan rekaman suara tidak dapat dijadikan satu selama satu generasi. Sinkronisasi menjadi masalah utama: gambar dan suara direkam dan diputar kembali oleh perangkat terpisah, sehingga sulit untuk memulai dan memainkannya serentak.[6] Ketika diputar, volume suara yang memadai juga sulit dicapai. Ketika proyektor film sudah memungkinkan film diputar di hadapan penonton teater yang luas, teknologi audio sebelum pengembangan penguat elektronik tidak dapat memenuhi kebutuhan suara untuk ruangan besar. Selain itu masih ada tantangan besar. Akhirnya, ada tantangan dari kejernihan rekaman. Sistem primitif dari masa itu menghasilkan kualitas suara sangat rendah bila artis/aktor tidak ditempatkan langsung di depan perangkat rekaman yang menyusahkan (terutama corong akustik), memaksakan adanya batasan tegas pada jenis film yang bisa dibuat dengan rekaman suara langsung.[7] Inovator sinema berusaha mengatasi masalah dasar sinkronisasi dengan berbagai cara. Film-film mulai banyak mengandalkan rekaman gramofon yang dikenal sebagai teknologi suara pada pelat. Pelat rekaman suaranya sendiri sering disebut "piringan Berliner" karena salah satu penemu utama dalam bidang ini adalah orang Amerika-Jerman bernama Emile Berliner. Pada tahun 1902, Léon Gaumont mendemonstrasikan sistem suara pada pelat Chronophone yang memakai rangkaian listrik yang baru saja dipatenkan olehnya di hadapan Ikatan Fotografi Prancis.[8] Empat tahun kemudian, Gaumont memperkenalkan Elgéphone, sebuah sistem penguat udara mampat berdasarkan Auxetophone yang dikembangkan oleh penemu Inggris Horace Short dan Charles Parsons.[9] Meskipun diperkirakan bakal sukses besar, inovasi suara dari Gaumont hanya mencapai kesuksesan komersial terbatas. Setelah melalui perbaikan, sistem Faumon masih tidak dapat mengatasi tiga masalah dasar pada film bersuara dan harganya juga mahal. Selama beberapa tahun, Cameraphone ciptaan penemu Amerika Serikat E.E. Norton adalah pesaing utama untuk sistem Gaumont (penjelasan mengenai Cameraphone berbeda menurut sumbernya, sebagian menyebut memakai piringan, lainnya menyebut memakai silinder). Cameraphone juga akhirnya gagal karena alasan-alasan serupa yang dihadapi Chronophone.[10] Pada tahun 1913, Edison memperkenalkan sebuah alat baru untuk sinkronisasi suara yang berbasis silinder yang diberi nama seperti penemuannya pada tahun 1895, yakni Kinetofon. Tidak seperti lemari Kinetoskop yang memperlihatkan film untuk penonton perseorangan, Kinetofon yang telah disempurnakan itu memproyeksikan film di layar. Sebuah fonograf dihubungkan dengan pengaturan katrol yang rumit ke proyektor film, sehingga memungkinkan dilakukannya sinkronisasi di bawah kondisi ideal. Kondisi di lapangan ternyata jauh dari ideal, dan Kinetofon model baru dipensiunkan setelah lebih dari setahun.[11] Pada pertengahan dekade 1910-an, minat terhadap pertunjukan film komersial bersuara telah surut.[10] Mulai tahun 1914, film The Photo-Drama of Creation yang mempromosikan konsepsi penciptaan manusia menurut Saksi-Saksi Yehuwa diputar di seluruh Amerika Serikat. Gambar proyeksi sepanjang delapan jam yang terdiri dari slide dan ceramah disinkronisasikan dengan ceramah yang direkam terpisah dan permainan musik dari fonograf.[12] Sementara itu, inovasi terus berlangsung di bidang lain. Pada tahun 1907, penemu kelahiran Prancis berbasis di London Eugene Lauste yang bekerja untuk laboratorium Edison antara 1886–1892 mendapatkan paten pertama untuk teknologi suara pada film. Penemuannya mengubah suara menjadi gelombang cahaya yang direkam secara fotografis di atas seluloid. Seperti dijelaskan oleh sejawaran Scott Eyman,
Meskipun teknologi suara pada film akhirnya menjadi standar universal untuk suara bioskop tersinkronisasi, Lauste tidak pernah berhasil memanfaatkan penemuannya yang praktis menemui jalan buntu. Pada tahun 1914, penemu Finlandia Eric Tigerstedt memperoleh paten Jerman nomor 309,536 untuk penemuan suara pada film. Pada tahun yang sama, Tigerstedt mempertunjukkan yang dibuat dengan proses hasil penemuannya di hadapan para ilmuwan di Berlin.[14] Insinyur Hungaria Mihaly Denes menyampaikan konsep Projectofon berdasarkan teknologi suara pada film ke Pengadilan Paten Kerajaan Hungaria pada tahun 1918. Hak paten diperolehnya empat tahun kemudian.[15] Baik suara yang direkam pada silinder, piringan, maupun film, teknologi yang ada waktu itu masih belum memadai untuk tujuan komersial. Selama bertahun-tahun kemudian, pimpinan studio film Hollywood tidak melihat manfaat memproduksi film bersuara.[16] Referensi
|