Dampak lingkungan dari pestisida bersifat baik maupun buruk. Pestisida berdampak baik pada peningkatan hasil pertanian, tetapi juga berdampak buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Lebih dari 98% insektisida dan 95% herbisida menjangkau tempat selain yang seharusnya menjadi target, termasuk spesies non-target, perairan, udara, makanan, dan sedimen.[1] Pestisida dapat menjangkau dan mengkontaminasi lahan dan perairan ketika disemprot secara aerial, dibiarkan mengalir dari permukaan ladang, atau dibiarkan menguap dari lokasi produksi dan penyimpanan.[2] Penggunaan pestisida berlebih justru akan menjadikan hama dan gulma resistan terhadap pestisida.
Sejarah
Kepedulian terhadap ekotoksikologi mulai muncul ketika terjadi kasus keracunan akut di akhir abad ke 19 melalui tulisan Rachel Carson, Silen Spring yang menggambarkan dampak pada lingkungan yang tidak menyenangkan akibat bahan kimia. Tidak lama setelah itu, DDT digunakan untuk melawan malaria di negara miskin dan negara berkembang namun menyebabkan dampak terhadap satwa burung di tingkat populasi. Studi lalu dilakukan di negara maju untuk memahami dampak mematikan dari pestisida terutama pada burung dan ikan.[3]
Pestisida berkontribusi pada polusi udara ketika disemprotkan melalui pesawat terbang. Pestisida dapat tersuspensi di udara sebagai partikulat yang terbawa oleh angin ke area selain target dan mengkontaminasinya.[4] Pestisida yang diaplikasikan ke tanaman dapat menguap dan ditiup oleh angin sehingga membahayakan ekosistem di luar kawasan pertanian.[5] Kondisi cuaca seperti temperatur dan kelembaban juga menjadi penentu kualitas pengaplikasian pestisida karena seperti halnya fluida yang mudah menguap, penguapan pestisida amat ditentukan oleh kondisi cuaca. Kelembapan yang rendah dan temperatur yang tinggi mempermudah penguapan. Pestisida yang menguap ini dapat terhirup oleh manusia dan hewan di sekitar.[6] Selain itu, tetesan pestisida yang tidak larut atau tidak dilarutkan oleh air dapat bergerak sebagai debu[7] sehingga dapat mempengaruhi kondisi cuaca dan kualitas presipitasi.
Penyemprotan pestisida dekat dengan tanah memiliki risiko persebaran lebih rendah dibandingkan penyemprotan dari udara.[8] Petani dapat menggunakan zona penyangga di sekitar tanaman pertanian yang terdiri dari lahan yang kosong atau ditumbuhi tanaman non-pertanian seprti pohon yang berfungsi sebagai pemecah angin yang menyerap pestisida dan mencegah persebaran ke area lain.[9] Di Belanda, para petani diperintahkan untuk membangun pemecah angin.[9]
Dampak pestisida pada sistem perairan sering kali dipelajari menggunakan model transportasi hidrologi untuk mempelajari pergerakan dan akhir dari pergerakan zat kimia di aliran sungai. Pada awal tahun 1970-an, analisis kuantitatif aliran pestisida dilakukan dengan tujuan untuk memprediksi jumlah pestisida yang akan mencapai permukaan air.[13]
Terdapat empat jalur utama bagi pestisida untuk mencapai perairan: terbang ke area di luar yang disemprotkan, melalui perkolasi menuju ke dalam tanah, dibawa oleh aliran air permukaan, atau ditumpahkan secara sengaja maupun tidak.[14] Pestisida juga bergerak di perairan bersama dengan erositanah.[15] Faktor yang mempengaruhi kemampuan pestisida dalam mengkontaminasi perairan mencakup tingkat kelarutan, jarak pengaplikasian pestisida dari badan air, cuaca, jenis tanah, keberadaan tanaman di sekitar, dan metode yang digunakan dalam mengaplikasikannya.[16] Fraksi halus sedimen penyusun dasar perairan juga berperan dalam persebaran pestisida DDT dan turunannya.[17]
Berbagai senyawa kimia yang digunakan sebagai pestisida merupakan bahan pencemar tanah yang persisten, yang dapat bertahan selama beberapa dekade.[19] Penggunaan pestisida mengurangi keragaman hayati secara umum di tanah. Tanah yang tidak disemprot pestisida diketahui memiliki kualitas yang lebih baik,[20] dan mengandung kadar organik yang lebih tinggi sehingga meningkatkan kemampuan tanah dalam menahan air.[11] Hal ini diketahui memiliki dampak positif terhadap hasil pertanian di musim kering. Telah diketahui bahwa pertanian organik menghasilkan 20-40% lebih banyak dibandingkan pertanian konvensional ketika musim kering berlangsung.[21] Kadar organik yang rendah juga meningkatkan kemungkinan pestisida meninggalkan lahan dan menuju perairan, karena bahan organik tanah mampu mengikat pestisida. Bahan organik tanah juga bisa mempercepat proses pelapukan bahan kimia pestisida.[11]
Tingkat degradasi dan pengikatan merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat persistensi pestisida di tanah. Tergantung pada sifat kimiawi pestisida, proses tersebut mengendalikan perpindahan pestisida dari tanah ke air secara langsung, yang lalu berpindah ke tempat lainnya termasuk udara dan bahan pangan. Pengikatan mempengaruhi bioakumulasi pestisida yang tingkat aktivitasnya bergantung pada kadar organik tanah. Asam organik yang lemah diketahui memiliki kemampuan pengikatan oleh tanah yang rendah karena tingkat keasaman dan strukturnya. Bahan kimia yang telah terikat oleh partikel tanah juga telah diketahui memiliki dampak yang rendah bagi mikrorganisme, dan bahan organik tanah mempercepat pengikatan tersebut. Mekanisme penyimpanan dan pelapukan pestisida di tanah masih belum diketahui banyak, namun lamanya waktu singgah di tanah sebanding dengan peningkatan resistensi degradasi pestisida.[22]
Dampak-dampaknya
Manusia & pertaniannya
Dalam penerapannya, tidak semua pestisida sampai ke sasaran. Kurang dari 20% pestisida sampai ke tumbuhan. Selebihnya lepas begitu saja. Akumulasi dari pestisida dapat mencemari lahan pertanian dan apabila masuk dalam rantai makanan, dapat menimbulkan macam-macam penyakit, misalnya kanker, mutasi, bayi lahir cacat, dan CAIDS.[23]Pestisida yang paling merusak adalah pestisida sintesis, yaitu golongan organoklorin. Tingkat kerusakan yang dihasilkan lebih tinggi ketimbang senyawa lain, mengingat jenis ini peka akan sinarmatahari dan tidak mudah terurai. Di Indonesia, kasus pencemaran karena pestisida telah menimbulkan kerugian. Di Lembang dan Pangalengan, tanah disekitar pertanian kebunwortel, tomat, kubis dan buncis tercemar oleh organoklorin. Sungai Cimanuk juga tercemar akibat hasil-hasil pertanian yang tercemar pestisida.[23]
Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dipublikasikan pada tahun 1990, dampak dan risiko penggunaan pestisida kimia selama ini 25 juta kasus dan meningkat pada tiap tahunnya. Data lain dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) pada tahun 1996 menunjukkan 14% pekerja di pertanian terkena bahaya pestisida dan 10%-nya terkena bahaya yang fatal. Fenomena seperti ini juga terjadi di sentra pertanian Indonesia seperti Brebes dan Tegal. Penelitian dari Organisasi Pangan dan Pertanian pada tahun 1992 juga menunjukkan adanya 19 gejala keracunan yang disebabkan pestisida pada petani cabe dan bawang. Di perkebunan Luwu, Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa 80-100% petani yang memeriksakan dirinya ke rumah sakit mengindikasikan keracunan pestisida.[24]
Tumbuhan
Pestisida menghalangi proses pengikatan nitrogen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman.[25] Insektisida DDT, metil paration, dan pentaklorofenol diketahui mengganggu hubungan kimiawi antara tanaman legum dan bakteri rhizobium.[25] Dengan berkurangnya hubungan simbiotik antara keduanya menyebabkan pengikatan nitrogen menjadi terganggu sehingga mengurangi hasil tanaman pertanian.[25]Bintil akar pengikat nitrogen yang terbentuk pada tanaman ini diketahui telah berkontribusi US$ 10 miliar setiap tahunnya dalam penghematan pupuk nitrogen sintetis.[26]
Pestisida dapat membunuh lebah dan berakibat buruk terhadap proses penyerbukan tumbuhan, hilangnya spesies tumbuhan yang bergantung pada lebah dalam penyerbukannya, dan keruntuhan koloni lebah.[27][28][29][30] Penerapan pestisida pada tanaman yang sedang berbunga dapat membunuh lebah madu yang akan hinggap di atasnya.[4]USDA dan USFWS memperkirakan petani di Amerika Serikat kehilangan setidaknya US$ 200 juta per tahunnya akibat berkurangnya penyerbuk untuk tanaman mereka.[1]
Di sisi lain, pestisida juga memiliki dampak langsung yang merugikan bagi tumbuhan, seperti rendahnya pertumbuhan rambut akar, penguningan tunas, dan terhambatnya pertumbuhan.[31]
Burung
United States Fish and Wildlife Service memperkirakan 72 juta burung di Amerika Serikat terbunuh karena pestisida setiap tahunnya.[32]Burung pemangsa merupakan hewan yang terdampak secara tidak langsung karena berada di puncak rantai makanan; residu pestisida terus terakumulasi dari satu tingkatan predatori ke tingkatan berikutnya. Di Inggris, populasi sepuluh spesies burung berkurang hingga 10 juta ekor sejak tahun 1979 hingga 1999, sebuah fenomena yang diperkirakan akibat hilangnya keanekaragaman hayati tanaman dan inverteberata yang menjadi makanan burung tersebut.[33] Di seluruh Eropa, 116 spesies burung saat ini dalam status terancam.[33] Pengurangan populasi burung diketahui terkait dengan waktu dan tempat di mana pestisida tersebut digunakan.[33] Pestisida DDE diketahui menyebabkan penipisan cangkang telur pada burung di Amerika Utara dan Eropa.[34]
Fungisida yang digunakan pada usaha budi daya kacang tanah diketahui dapat membunuh cacing tanah, sehingga mengancam keberadaan burung dan mamalia yang memangsa mereka.[8] Beberapa pestisida tersedia dalam wujud butiran, sehingga burung dan hewan lainnya dapat memakan butiran tersebut karena disangka sebagai biji-bijian.[8] Herbisida ketika mengalami kontak dengan telur burung, akan mengakibatkan pertumbuhan embrio yang abnormal dan mengurangi jumlah telur yang akan menetas.[8] Herbisida juga dapat mengurangi populasi burung karena begitu banyaknya tumbuhan penunjang habitat mereka yang mati.[8]
Pada beberapa dekade yang lalu, penurunan populasi amfibi terjadi di seluruh dunia, karena alasan yang tak bisa dijelaskan yang bervariasi tapi beberapa pestisida kemungkinan ikut menjadi penyebab.[35]
Campuran beberapa pestisida menunjukkan efek racun yang kumulatif pada kodok.[36]Kecebong dari kolam dengan beberapa pestisida menunjukkan di dalam air bahwa si kecebong bermetamorfosis dalam bentuk yang lebih kecil, menurunkan kemampuan mereka dalam menangkap mangsa dan menghindar dari predator.[36]
Sebuah studi dari Kanada menunjukkan bahwa kecebong yang terpapar endosulfan, sebuah pestisida organoklorida pada level yang sepertinya menunjukkan kematian pada habitat dekat bidang yang disiram dengan pembunuhan kimia pada kecebong dan menyebabkan keanehan pada perilaku pertumbuhan.[37]
Herbisida atrazin telah menyebabkan perubahan kodok jantan hermafrodit, menurunkan kemampuan mereka untuk berreproduksi.[36] Baik efek reproduktif maupun nonreproduktif pada reptil dan amfibi air telah ditemukan. Buaya, beberapa spesies kura-kura, dan beberapa kadal tidak memiliki kromosom pembeda seks hingga peristiwa organogenesis pasca fertilisasi terjadi, tergantung pada temperatur lingkungan. Paparan berbagai PCB (poly chlorinated biphenyl) pada tahap embrio pada kura-kura menunjukan gejala pembalikan kelamin. Di berbagai tempat di Amerika Serikat dan Kanada, berbagai gejala seperti berkurangnya jumlah telur yang menetas, feminisasi, luka pada kulit, dan ketidaknormalan pertumbuhan terjadi.[38]
Kehidupan akuatik
Ikan dan biota akuatik lainnya dapat mengalami efek buruk dari perairan yang terkontaminasi pestisida.[39] Aliran permukaan yang membawa pestisida hingga sungai membawa dampak yang mematikan bagi kehidupan di perairan, dan dapat membunuh ikan dalam jumlah besar.[40]
Penerapan herbisida di perairan dapat membunuh ikan ketika tanaman yang mati membusuk dan proses pembusukan tersebut mengambil banyak oksigen di dalam air, sehingga membuat ikan kesulitan bernafas.[39] Beberapa herbisida mengandung tembaga sulfit yang beracun bagi ikan dan hewan air lainnya.[39] Penerapan herbisida pada perairan dapat mematikan tanaman air yang menjadi makanan dan penunjang habitat ikan,[39] menyebabkan berkurangnya populasi ikan.
Pestisida dapat terakumulasi di perairan dalam jangka panjang dan mampu membunuh zooplankton, sumber makanan utama ikan kecil.[41] Beberapa ikan memakan serangga; kematian serangga akibat pestisida dapat menyebabkan ikan kesulitan mendapatkan makanan.[39]
Semakin cepat pestisida terurai di lingkungan, dampak dan bahayanya semakin berkurang.[39] Selain itu, telah diketahui bahwa insektisida secara umum memiliki dampak yang lebih berbahaya bagi biota akuatik dibandingkan herbisida dan fungisida.[39]
Pengganti & solusi
Ada beberapa tumbuhan yang berguna sebagai biopestisida. Misalnya, tahi kotok (Tagetes erecta Linn.). Tumbuhan ini, selain berguna sebagai obat, dapat pula dipergunakan sebagai insektisida alami. Caranya, giling bunga hingga halus, tambah seliter air. Saringlah dan siap dipergunakan sebagai pembasmi serangga.[42] Sejumlah catatan menyebutkan, lebih dari seribu tanaman berpotensi sebagai pestisida. Tanaman-tanaman pengobatan tradisional yang asalnya dari familiaMeliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae, dan Rutaceae. Minyak atsiri dari tumbuhan-tumbuhan ini punya senyawa aktif yang bisa digunakan sebagai bahan-baku insektisida. Berdasarkan hal itu, ada sebuah penelitian mengenai keefektifan biopestisida terhadap hamathrips pada kentang yang berusia 45 hari. Dipergunakan cengkih, serai wangi, dan kayu manis sebagai biopestisida sebanyak 2ml/l dan terbukti efektif dalam mengendalikan hama Thrips palmi sebanyak 82%.[43]
Dapat pula digunakan mimba (Azadirachta indica A. Juss.) sebagai pestisida nabati. Mimba dipergunakan sebagai pestisida dengan dua cara, cara pertama memakai serbuk dan dilarutkan ke dalam air. Cara kedua dapat dipakai dengan cara industri, diambil sari pati azadirakhtin 0,8-1,2 %.[44] Menurut peneletian, pestisida nabati dari mimba terhadap ulat jarak (Achea janata) dapat menyebabkan kematian larva hingga 79-100%. Larva ulat grayak (Spodoptea litura) dan ulat tembakau (Helicoverpa armigera) menjadi terganggu pertumbuhan larvanya karena mimba ini.[44]
^Damalas, Christos A. and Ilias G. Eleftherohorinos.” Pesticide Exposure, Safety Issues, and Risk Assessment Indicators.” International Journal of Environmental Research and Public Health. 6 May 2011. Web of Science.
^Hogan,, CM, Patmore L, Latshaw, G, Seidman, H, et al. (1973), Computer modeling of pesticide transport in soil for five instrumented watersheds, U.S. Environmental Protection Agency Southeast Water laboratory, Athens, Ga. by ESL Inc., Sunnyvale, California.
^Lotter DW, Seidel R, and Liebhardt W (2003). "The performance of organic and conventional cropping systems in an extreme climate year". American Journal of Alternative Agriculture. 18 (03): 146–154. doi:10.1079/AJAA200345.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Zeissloff, Eric (2001). "Schadet imidacloprid den bienen" (dalam bahasa German). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-03-20. Diakses tanggal 2007-10-10.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^Walley F, Taylor A and Lupwayi (2006) Herbicide effects on pulse crop nodulation and nitrogen fixation. FarmTech 2006 Proceedings 121-123.
^ abcKerbs JR, Wilson JD, Bradbury RB, and Siriwardena GM (August 12, 1999), The second silent spring. Commentary in Nature, Volume 400, Pages 611-612.
^Vos, Joseph G, Erik Dybing, Helmut A. Greim, Ole Ladefoged, Claude Lambré, Jose V. Tarazona, Ingvar Brandt, and A. Dick Vethaak. “Health Effects of Endocrine-Disrupting Chemicals on Wildlife, with Special Reference to the European Situation.” National Institute of Public Health and the Environment, Bilthoven, Netherlands. 2000, Vol. 30, No. 1, Pages 71-133.Web of Science.
^Vos, Joseph G.; Erik Dybing; Helmut A. Greim; Ole Ladefoged; Claude Lambré; Jose V. Tarazona; Ingvar Brandt; serta A. Dick Vethaak. (2000). "Health Effects of Endocrine-Disrupting Chemicals on Wildlife, with Special Reference to the European Situation." Bilthoven, Belanda: National Institute of Public Health and the Environment 30(1):89 – 93, tabel 3.
Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan (1989). Pestisida untuk pertanian dan kehutanan. Jakarta: Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Diakses tanggal 10 April 2020.