DDT (diklorodifeniltrikloroetana/dichlorodiphenyltrichloroethane) adalah senyawa kimia organoklorida berbentuk kristalin yang tidak berwarna, tidak memiliki rasa, dan hampir tidak berbau.[2] Awalnya ia dikembangkan sebagai insektisida dan terkenal akan dampak lingkungannya. DDT pertama kali disintesis oleh ahli kimia Austria Othmar Zeidler di tahun 1874, dan kemampuan DDT sebagai insektisida ditemukan oleh ahli kimia Swiss Paul Hermann Müller di tahun 1939. DDT digunakan pada masa Perang Dunia II untuk membatasi penyebaran penyakit malaria dan Rickettsia yang disebarkan oleh serangga kepada tentara dan masyarakat umum. Müller dianugerahi Penghargaan Nobel Fisiologi atau Kedokteran tahun 1948 atas jasanya tersebut.[3]
Sejarah
Ahli Kimia Swiss Paul Hermann Müller dalam 1948 mendapatkan penghargaan nobel atas penemuan DDT yang ampuh melawan serangga.[4] Penggunaan DDT berkembang pesat setelah perang dunia kedua, tetapi konsekuensi ekologis belum begitu dirasakan.[5] Tahun 1950, ilmuan telah mempelajari bahwa DDT akan tetap bertahan dalam lingkungan dan ditransportasi oleh air menuju area yang lebih jauh dari tempat.[5]
Dampak
Dampak yang pertama kali dirasakan pada tahun 1950 adalah penurunan populasi burung pelikan, elang tiram, dan elang, burung-burung tersebut merupakan puncak dari jaring-jaring makanan.[5] Setelah diteliti, ternyata DDT dapat menurunkan jumlah kalsium pada cangkang telur.[5] Ketika burung tersebut mengerami telur, telur tersebut pecah karena tidak mampu menahan bobot inang.[5] Sehingga pada tahun 1971, DDT dilarang dari Amerika Serikat.[5]
Penggunaan saat ini
Hingga saat ini DDT masih digunakan untuk mengendalikan nyamuk yang menyebarkan malaria dan penyakit lainnya, tetapi jumlahnya sudah semakin berkurang dengan adanya alternatif seperti penggunaan kawat nyamuk.[5]
Referensi