Keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa (UE), biasa disingkat Brexit (lakuran "Britain" dan "exit"),[1] adalah penarikan diri Britania Raya dari Uni Eropa sebagai hasil dari referendum Brexit yang diadakan pada Kamis 23 Juni 2016, referendum Brexit ini diadakan untuk memutuskan apakah Britania Raya harus meninggalkan keanggotaannya atau tetap tergabung dalam Uni Eropa.[1] Referendum ini diikuti oleh 30 juta pemilih, yang berarti partisipasi total di dalamnya mencapai 71,8% dari penduduk yang memiliki hak pilih di Britania Raya, hasilnya sendiri adalah 51,9% memilih untuk keluar dari Uni Eropa dan 48,1% memilih untuk tetap tergabung dengan Uni Eropa.[1]
Britania Raya menarik diri dari Uni Eropa pada pukul 11 malam GMT pada tanggal 31 Januari 2020, memulai periode transisi yang akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2020. Selama periode transisi 11 bulan, Britania Raya dan Uni Eropa akan menegosiasikan hubungan masa depan mereka. Britania Raya tetap tunduk pada Hukum Uni Eropa dan tetap menjadi bagian dari Uni Pabean Uni Eropa dan Pasar Tunggal Eropa selama periode transisi, tetapi tidak lagi terwakili dalam badan atau lembaga politik Uni Eropa.
Sebagai salah satu tahapan untuk secara resmi meninggalkan Uni Eropa, Britania Raya diharuskan untuk meminta digunakannya Artikel 50 dari Perjanjian tentang Uni Eropa kepada Dewan Eropa, dan pada 29 Maret 2017, pemerintah Britania Raya resmi menggunakan Artikel 50 dan mengajukan penarikan diri kepada Dewan Uni Eropa.[2] Sesuai dengan aturan yang tertulis dalam Artikel 50 mengenai waktu tenggang yang diberikan untuk negara yang berencana keluar dari Uni Eropa, Britania Raya diberikan waktu hingga tepat pada tengah malam tanggal 30 Maret 2019, Waktu Eropa Tengah, untuk secara resmi meninggalkan Uni Eropa [2]
Pada 17 Januari 2017, Perdana Menteri Theresa May mengumumkan 12 pokok rencananya untuk meninggalkan Uni Eropa, May juga sekaligus memastikan bahwa nantinya Britania Raya tidak akan lagi tergabung dalam Pasar Tunggal dan Serikat Pabean Uni Eropa.[3][4] Bersamaan dengan itu, May juga berjanji untuk mencabut Undang-Undang Masyarakat Eropa tahun 1972, dan menggabungkan semua hukum dan aturan Uni Eropa yang masih berlaku ke dalam hukum dan aturan Britania Raya.[5] May membentuk kementerian sendiri untuk mengatur mundurnya Britania Raya dari Uni Eropa, kementerian ini diberi nama Departemen untuk Keluar dari Uni Eropa (Department for Exiting European Union—DExEU) dan diresmikan pada Juli 2016, May juga menunjuk David Davis sebagai Sekretaris Negara memimpin departemen tersebut.[6] Perundingan antara pemerintah Britania Raya dan Uni Eropa pada akhirnya resmi dimulai pada 19 Juni 2017.[1]
Menilik dari sejarahnya, Britania Raya sendiri mulai bergabung dalam Komunitas Eropa pada tahun 1973, meski begitu terdapat dorongan untuk melakukan referendum dari banyak pihak yang tidak setuju apabila Britania Raya bergabung dalam Komunitas Eropa, sehingga pada tahun 1975 diadakan referendum 1975, tetapi hasil dari referendum tersebut justru memenangkan pihak yang setuju untuk bergabung sehingga semakin melegitimasi kebijakan Britania Raya untuk tetap tergabung dalam Komunitas Eropa.[7] Di era 1970-an dan 1980-an, wacana untuk mengundurkan diri dari Komunitas Eropa utamanya banyak digalang oleh anggota dan tokoh-tokoh dari Partai Buruh dan Serikat Buruh.[8] Mulai era 1990-an, pendukung kuat dari wacana ini adalah Partai Kemerdekaan Britania Raya (UKIP) dan anggota-anggota dari Partai Konservatif yang memiliki pandangan "Eurosceptic".[8]
Untuk efek Brexit ini sendiri dalam jangka pendek, terdapat penelitian yang berfokus pada pengaruh kebijakan Brexit sejak diadakannya referendum hingga Juli 2017, penelitian ini mengungkapkan bahwa Britania Raya mengalami kerugian tahunan sebesar £404 untuk tiap rumah tangga rata-rata, kemudian menurunnya nilai mata uang pound sterling di mana nilai pound sterling masih 10% di bawah nilai sebelum referendum, lalu meningkatnya inflasi hingga 1,7%.[9] Banyak pakar riset ekonomi dunia yang beranggapan bahwa keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa ini akan memiliki efek terhadap perekonomian Britania Raya, mereka memprediksi bahwa langkah Britania Raya ini akan mengurangi pendapatan riil per kapita Britania Raya dalam jangka menengah dan panjang.[10][11] Keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa juga diprediksi akan menurunkan jumlah pendatang dari negara-negara Area Ekonomi Eropa ke Britania Raya,[12] dan hal ini dapat berimplikasi kepada pendidikan tinggi dan riset akademis di Britania Raya.[13] Dampak persis, keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa sendiri masih harus melihat apakah keluaran ini terjadi dengan cara keras (Hard Brexit) yang berarti tidak terjadi kesepakatan sama sekali antara Britania Raya dan Uni Eropa, atau cara lunak (Soft Brexit) di mana masih terdapat hak-hak yang dapat dinikmati oleh Britania Raya meskipun telah keluar dari Uni Eropa.[14]
Linimasa
Di bawah ini adalah garis waktu peristiwa besar mengenai Brexit.[15]
24 Juni: David Cameron mengumumkan pengunduran dirinya sebagai perdana menteri.
25 Juni: Perwakilan Inggris Jonathan Hill mengundurkan diri sebagai Komisaris Uni Eropa.[16]
Terminologi
Brexit
Brexit adalah lakuran "Britain" dan "exit".[1] Oxford English Dictionary memberi kehormatan kepada Peter Wildling sebagai penemu pertama istilah ini.[17] Kata Brexit pertama kali oleh Peter Wildling untuk menggambarkan kemungkinan penarikan diri Britania Raya dari Uni Eropa dalam blog Euorativ tertanggal 15 Mei 2012 (diberikan sebagai pengesahan pertama dalam Oxford English Dictionary).[18][19] Wildling mengatakan bahwa istilah ini terinspirasi dari Grexit.[17]
Hard dan Soft Brexit
Istilah Hard Brexit dan Soft Brexit adalah istilah tidak resmi yang banyak digunakan oleh media massa dalam menggambarkan kemungkinan hasil negosiasi penarikan diri Britania Raya dari Uni Eropa.[20] Istilah ini sendiri tidak memiliki arti yang tegas dalam menggambarkan Brexit, dan dapat pula memiliki arti yang berbeda-beda bagi tiap orang, tetapi pada umumnya istilah ini merujuk pada kedekatan hubungan Britania Raya dengan Uni Eropa pasca-Brexit nantinya.[14] Diambil dari BBC, Hard (keras) Brexit, merupakan istilah yang menggambarkan kegagalan negosiasi dan tidak adanya kesepakatan antara Britania Raya dan Uni Eropa ketika Britania Raya resmi keluar nantinya, hal ini dapat menjadikan pola perdagangan Britania Raya dengan Uni Eropa seperti layaknya negara yang bukan anggota Uni Eropa lainnya,[14] yang mana hanya berlindung di bawah aturan Organisasi Perdagangan Dunia, tetapi juga dengan tanpa mewajibkan Britania Raya untuk menerima pendatang dari Uni Eropa secara bebas seperti yang terjadi saat ini.[14] Sedangkan Soft (lunak) Brexit, berarti meskipun Britania Raya keluar dari Uni Eropa, tetap Britania Raya masih diberi kesempatan untuk tetap mempertahankan keanggotaannya dalam pasar tunggal Uni Eropa untuk penyediaan barang dan jasa layanan, dan dengan setidaknya beberapa kelonggaran kebebasan bergerak orang-orang, sesuai dengan aturan Area Ekonomi Eropa.[14]
Tagihan Perceraian (Divorce Bill)
Tagihan Perceraian merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan tuntutan Uni Eropa terhadap Britania Raya untuk menyelesaikan komitmen kontribusi keuangan Britania Raya yang sebelumnya telah disetujui semasa Britania Raya masih menjadi anggota, dan belum terbayarkan hingga saat ini.[21]
Pada pemilihan umum Oktober 1974, Partai Buruh yang pada pemilu sebelumnya terpilih sebagai pemerintahan minoritas, dalam kampanyenya berkomitmen untuk menegosiasikan kembali persyaratan keanggotaan Britania Raya dalam Komisi Eropa dan kemudian mengadakan referendum untuk menentukan apakah Britania Raya akan tetap berada di Komisi Eropa dengan persyaratan baru tersebut.[27] Setelah Partai Buruh memenangkan pemilu, pada tahun 1975 Britania Raya mengadakan referendum nasional pertama untuk menentukan apakah Britania Raya harus tetap berada di Komunitas Eropa atau tidak.[28] Suara dalam Partai Buruh sendiri terpecah dalam referendum tersebut, sedangkan seluruh partai politik besar dan pers pada umumnya mendukung keanggotaan berkelanjutan dalam Komunitas Eropa.[28] Pada tanggal 5 Juni 1975, 67,2% dari pemilih dan hampir semua daerah pemilihan memilih untuk tetap tergabung dalam Komisi Eropa.[29]
Pada pemilihan umum 1983, Partai Buruh kembali berkampanye untuk membawa Britania Raya mundur dari Komisi Eropa, tetapi kali ini tanpa referendum.[30] Partai Buruh menderita kekalahan besar pada pemilihan umum ini, dan sejak saat itu mengubah arah kebijakan mereka.[30] Pada 1985, Pemerintahan Perdana Menteri Thatcher meratifikasi UU Eropa Tunggal—revisi besar pertama terhadap Perjanjian Roma—tanpa mengadakan referendum.[31]
Pada bulan Oktober 1990, Britania Raya bergabung dengan Mekanisme Nilai Tukar Eropa (ERM), dengan pound sterling yang merupakan mata uang Britania Raya dipatok ke deutsch mark, mata uang Jerman.[32] Perdana Menteri Tatcher yang merasa keberatan namun tak kuasa menghadapi tekanan dari menteri-menteri seniornya, memilih untuk mengundurkan diri pada bulan berikutnya.[32] Tatcher mengundurkan diri di tengah kisruh perpecahan dalam tubuh Partai Konservatif yang timbul dari semakin menguatnya pandangan Euroskeptisisme dalam tubuh partai tersebut.[32] Pada September 1992, Britania Raya dan Italia dipaksa mundur dari Mekanisme Nilai Tukar Eropa, menyusul semakin melemahnya pound sterling dan lira yang terus mengalami tekanan, peristiwa ini sendiri sering dikenal sebagai "Rabu Hitam".[33]
Komunitas Eropa berubah menjadi Uni Eropa pada 1 November 1993, setelah disetujuinya Perjanjian Mastricht,[34] dan mulai saat itu pula organisasi ini berubah dari yang mulanya serikat ekonomi menjadi serikat politik.[35]
Partai Referendum dan Partai Kemerdekaan Britania Raya (UKIP)
Partai Referendum dibentuk oleh Sir James Goldsmith pada tahun 1994, untuk mengikuti pemilihan umum tahun 1997 dengan tujuan menyelenggarakan referendum guna menentukan hubungan Britania Raya dengan aaa Uni Eropa.[36][37] Partai Referendum gagal memenangkan kursi parlemen tunggal kendati berhasil memenangkan 810.860 suara atau 2,6% dari total suara, karena suara yang tersebar di seluruh negeri.[38] Kematian Goldsmith pada tahun 1997, menjadi akhir dari partai ini[38]
Partai Kemerdekaan Britania Raya (UKIP), dibentuk pada tahun 1993, dan sedari awal merupakan partai yang beraliran Euroskeptisisme.[8] Pada pemilihan umum Eropa 2004 partai ini berhasil mencapai tempat ketiga di Britania Raya, dan kemudian tempat kedua dalam pemilihan Eropa 2009, dan kemudian tempat pertama dalam pemilihan Eropa 2014, dengan persentase 27,5 % dari total suara.[39] Ini adalah pertama kalinya terdapat partai selain Partai Buruh dan Partai Konservatif yang mampu mengambil suara terbesar dalam pemilihan nasional sejak 1910 di Britania Raya.[40]
Jajak Pendapat 1977-2015
Profesor John Curtice dari Universitas Strathclyde, dalam analisis statistik yang diterbitkan pada bulan April 2016, mendefinisikan Euroskeptisisme sebagai keinginan untuk memutuskan atau mengurangi kekuatan Uni Eropa, dan sebaliknya Europhilia sebagai keinginan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekuatan Uni Eropa.[41] Menurut definisi ini, survei British Social Attitudes (BSA) menunjukkan peningkatan euroskeptisisme dari 38% (1993) menjadi 65% (2015).[41] Namun demikian, skeptisme terhadap Uni Eropa tidak dapat disamakan dengan keinginan untuk meninggalkan Uni Eropa; survei BSA untuk periode Juli-November 2015, menunjukkan bahwa 60% mendukung opsi "berlanjut sebagai anggota Uni Eropa", dan hanya 30% mendukung opsi untuk "menarik diri dari Uni Eropa".[41]
Negosiasi Ulang Status Britania Raya dalam Uni Eropa
Pada Januari 2013, Perdana Menteri David Cameron memberikan pernyataan bahwa apabila Partai Konservatif memenangi mayoritas suara parlemen pada pemilihan umum 2015, Pemerintah akan merundingkan mekanisme yang lebih menguntungkan bagi Britania Raya untuk melanjutkan keanggotaannya di Uni Eropa, termasuk di dalamnya referendum untuk tetap tergabung atau keluar dari Uni Eropa.[42]
Pada pemilihan umum 2015, Partai Konservatif menang dengan suara mayoritas,[43] dan tak lama kemudian Akta Referendum Uni Eropa 2015, yang telah dirancang dan dibahas selama dua tahun,[44] diajukan ke Parlemen untuk mendapatkan persetujuan.[45]Cameron sendiri lebih memilih untuk tetap tergabung di Uni Eropa, dan dalam suratnya yang ditujukan kepada Donald Tusk, Presiden Dewan Eropa, tertanggal 10 November 2015, menegaskan empat kepentingan Britania Raya dalam menegosiasikan kembali keanggotaannya di Uni Eropa, empat kepentingan tersebut adalah: perlindungan pasar tunggal untuk negara-negara di luar Eurozone, pengurangan "pita merah", membebaskan Britania Raya dari "ever-closer union" dan memperkuat parlemen nasional, dan terakhir membatasi akses imigran dari Uni Eropa.[46] Jajak pendapat pada tahun 2015 menunjukkan mayoritas masyarakat mendukung agar Britania Raya tetap di Uni Eropa, tetapi dukungan tersebut dapat menghilang apabila David Cameron tidak berhasil menegosiasikan kembali kebijakan perlindungan pasar tunggal untuk negara-negara di luar Eurozone dan juga pembatasan/pengurangan 'manfaat' dan 'tunjangan' bagi warga negara Uni Eropa (imigran) di Britania Raya.[47]
Pada Februari 2016, hasil negosiasi ulang antara Britania Raya dan Uni Eropa diumumkan, beberapa pembatasan tunjangan kerja untuk imigran baru dan juga status istimewa bagi Britania Raya dalam Uni Eropa telah disepakati. Tetapi sebelum aturan-aturan baru ini dapat diterapkan, Britania Raya harus mendapatkan persetujuan dahulu dari Komisi Eropa dan kemudian dari Dewan Eropa.[48] Pada dasarnya kesepakatan baru baru bagi Britania Raya ini adalah untuk membuat sebuah mekanisme di dalam Uni Eropa untuk mengurangi laju pendatang ke suatu negara apabila negara tersebut mengalami kenaikan jumlah pendatang yang sangat masif, mekanisme ini disebut mekanisme "Rem Darurat".[48] Kemudian, mekanisme "kartu merah", di mana negara anggota Uni Eropa dapat mengembalikan aturan yang diberikan oleh Uni Eropa kepada Parlemen Eropa untuk dilakukan perubahan, mekanisme ini tidak sama dengan mekanisme veto, di sini aturan tetap harus dijalankan apabila Parlemen Eropa telah merasa mengatasi permasalahan yang ada dalam aturan tersebut.[49] Dalam sidang Parlemen Britania Raya pada 22 Februari 2016, yang bertujuan untuk membahas kesepakatan baru ini, Cameron mengatakan dalam pidatonya, "negosiasi ulang telah usai dan Britania Raya telah berhasil memperjuangkan kepentingan mereka, dan Pemerintah akan melaksanakan komitmen mereka untuk mengadakan referendum pada tanggal 23 Juni 2016, untuk mengembalikan keputusan akhir kepada rakyat."[50]
Organisasi Kampanye
Organisasi kampanye resmi untuk para pendukung keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa adalah Vote Leave (Pilih Keluar).[51]Vote Leave bersaing dengan organisasi kampanye lain, yaitu Leave.EU, dalam menggalang suara meskipun mereka satu tujuan dalam kampanyenya.[52]Vote Leave ditetapkan oleh Komisi Pemilihan sebagai organisasi kampanye resmi untuk referendum keanggotaan Uni Eropa. pada 13 April 2016.[51]
Pada tanggal 24 Juni 2016, hasil dari referendum Brexit diumumkan, hasilnya 51,9% suara menginginkan Britania Raya untuk keluar dari Uni Eropa, dan 48,1% mendukung Britania Raya untuk tetap tergabung dalam Uni Eropa.[54] Petisi yang menuntut pemerintah untuk mengadakan referendum kedua pun menjadi populer pasca-referendum, dan petisi ini berhasil menarik dukungan hingga empat juta tanda tangan.[55] Sejatinya petisi ini telah diunggah oleh William Oliver Healey sebelum referendum dimulai, dan hanya mendapatkan dukungan 22 tanda tangan hingga sampai hasil referendum diumumkan, petisi ini juga menuntut agar setidaknya diadakan debat parlemen, karena Parlemen Britania Raya selalu mengadakan debat apabila terdapat petisi yang dapat mengumpulkan lebih dari 100.000 suara, tetapi petisi ini ditolak oleh pemerintah secara resmi pada 9 Juli 2016.[56]
Berikut hasil dari Referendum Brexit dalam tabel:
Referendum Keanggotaan Britania Raya di Uni Eropa 2016 Perolehan Nasional
Pilihan
Suara
%
Meninggalkan Uni Eropa
17,410,742
51.89%
Tetap menjadi anggota Uni Eropa
16,141,241
48.11%
Suara sah
33,551,983
99.92%
Suara tidak sah
25,359
0.08%
Jumlah suara
33,577,342
100.00%
Kehadiran pemilih terdaftar
46,500,001
72.21%
Kehadiran pemilih berdasarkan kecukupan umur
51,356,768
65.38%
Sumber: Electoral Commission
Diagram batang hasil referendum
Keluar: 17.410.742 (51,9%)
Tetap: 16.141.241 (48,1%)
▲
Hasil berdasarkan daerah (kiri) dan berdasar wilayah konstituensi Parlemen (kanan)
Keluar
Tetap
Efek Politik
Perdana Menteri Cameron mengumumkan bahwa ia akan mengundurkan diri dari jabatannya pada bulan Oktober, segera setelah hasil referendum dikeluarkan.[57] Cameron berpesan agar keinginan rakyat Britania Raya (untuk keluar dari Uni Eropa) dihargai, dan untuk menjadi tugas bagi perdana menteri setelah dia untuk menggunakan Artikel 50 dan membawa Britania Raya keluar dari Uni Eropa.[57] Pada akhirnya dia berhenti pada 13 Juli 2016, dengan kemudian digantikan oleh Theresa May. Theresa May segera melakukan reformasi dalam tubuh pemerintahan dengan mengganti George Osborne sebagai Menteri Keuangan Britania Raya digantikan oleh Philip Hammond,[58] kemudian mengangkat mantan Walikota London, Boris Johnson sebagai Sekretaris Negara untuk Urusan Luar Negeri dan Persemakmuran,[59] dan David Davis menjadi Sekretaris Negara untuk DExEU.[6] Pada 4 Juli 2016, Nigel Farage mengumumkan pengunduran dirinya sebagai pemimpin UKIP setelah dia merasa tujuannya untuk membawa Britania Raya keluar dari Uni Eropa tercapai.[60]
Efek lainnya juga terasa di luar Britania Raya, banyak para tokoh Eurosceptic di luar Britania Raya yang ikut merayakan keberhasilan Britania Raya keluar dari Uni Eropa dan menyerukan agar negara-negara lain segera mengikuti jejak Britania Raya.[61] Tokoh sayap kanan Belanda, Geert Wilders mengatakan agar Belanda segera mengikuti langkah Britania Raya dan mengadakan referendum untuk menentukan apakah Belanda harus tetap tergabung dalam Uni Eropa.[61] Namun begitu tren Eurosceptic ini secara keseluruhan justru mengalami penurunan pendukung, berdasar jajak pendapat yang diadakan setelah referendum Brexit, jumlah pendukung gerakan Eurosceptic ini menurun di Belanda dan negara-negara Uni Eropa lainnya.[62]
Beberapa tuduhan mengenai turut campur Rusia dan Tiongkok dalam referendum Brexit juga sempat mengemuka di media massa hingga sekarang.[63]
"Para pemilih yang lebih tua dan kurang berpendidikan lebih cenderung memilih untuk 'keluar'... Sebagian besar pemilih kulit putih menginginkan untuk 'keluar', tetapi hanya 33 persen pemilih dari Asia dan 27 persen pemilih kulit hitam yang memilih untuk 'keluar'. Tidak ada perbedaan khusus secara gender dalam pemungutan suara ini, dengan 52 persen laki-laki dan perempuan memilih untuk 'keluar'. Hal yang menarik adalah, meskipun Brexit tidak pernah menerima banyak dukungan dari para pemimpin politik liberal atau sayap kiri, yang mana menjadikan Uni Eropa menerima dukungan dari seluruh spektrum politik...Pemilih yang memilih untuk meninggalkan Uni Eropa sangat erat dengan mereka yang memegang keyakinan politik sosial konservatif, menentang kosmopolitanisme, dan merasa kehidupan di Britania Raya menjadi lebih buruk ketimbang lebih baik.".[11]
Studi Ekonometris menunjukkan; pertama, pendidikan dan umur adalah faktor demografis utama dalam memprediksi pola pemilih, kedua, tingkat kemampuan ekonomi yang rendah dari seorang individu atau suatu wilayah memiliki kecenderungan untuk lebih memilih 'keluar', ketiga, mereka yang mendukung untuk 'keluar' kebanyakan adalah mereka yang menunjukkan diri mereka sebagai penentang imigran, dan bukan mereka yang secara langsung bersinggungan dengan imigran dalam kehidupan sehari-hari mereka.[11]
Investigasi Terhadap Pembiayaan Kampanye
Pada 11 Mei 2018, Komisi Pemilihan Britania Raya mengungkapkan hasil investigasi yang menuding Leave.EU telah menggunakan dana di atas batas maksimal yang telah ditentukan selama masa kampanye, yaitu sekitar £77.380 atau 10% dari ambang batas maksimal, dan memberi denda sebesar £70.000 kepada Leave.EU.[64] Komisi Pemilihan juga menuding Leave.EU memberikan laporan yang tidak akurat mengenai dana pinjaman yang diperolehnya, dan Leave.EU tidak dapat menunjukkan 97 nota pembayaran dengan nilai total £80.224.[64] Direktur Keuangan Politik dan Regulasi dari Komisi Pemilihan mengatakan bahwa denda £70.000 yang dijatuhkan pada Leave.EU tidaklah sepadan dengan kerugian yang dihasilkan oleh pelanggaran Leave.EU.[64] Lebih lanjut dia mengatakan terdapat bukti kuat ketua kampanye Leave.EU, Liz Bilney, melakukan aktivitas kriminal selama masa kampanye dan Komisi Pemilihan telah menyerahkan kasus ini pihak kepolisian.[64] Pendiri Leave.EU, Aaron Banks menyangkal temuan investigasi ini dan akan menentangnya di pengadilan.[65]
Prosedur Pengunduran Diri dari Uni Eropa
Prosedur pengunduran diri dari Uni Eropa diatur dalam Artikel 50 dari Perjanjian tentang Uni Eropa.[66] Berdasarkan prosedur dalam permohonan Artikel 50, negara anggota diharuskan memberi tahu Dewan Eropa dan akan diberikan periode waktu hingga dua tahun untuk menegosiasikan syarat dan ketentuan keluarnya negara tersebut, setelah itu segala perjanjian antara negara tersebut dan Uni Eropa akan berhenti berlaku.[66]
Terjadi perdebatan mengenai apakah keputusan untuk permohonan digunakannya Artikel 50 adalah hak prerogatif pemerintah, seperti yang diungkapkan Perdana Menteri Cameron, atau diperlukan persetujuan Parlemen untuk memohonnya.[67] Hal ini membuat Mahkamah Agung Britania Raya harus menyidangkan perkara ini dalam sidang kasus untuk menentukan hal tersebut, sidang ini sendiri dikenal sebagai sidang kasus Miller.[68] Mahkamah Agung Britania Raya akhirnya memutuskan pada Januari 2017 bahwa pemerintah membutuhkan persetujuan parlemen untuk meminta penggunaan Artikel 50.[68] Pada 1 Februari 2017, Parlemen mengijinkan perdana menteri untuk memohon penggunaan Artikel 50,[69] RUU tersebut akhirnya disahkan menjadi Akta (Pemberitahuan Penarikan) Uni Eropa 2017, kendati mendapatkan perlawanan dari beberapa anggota parlemen yang mewakili konstituennya dalam menolak Brexit.[70] Pada 28 maret 2017, Theresa May menandatangani surat yang memuat permintaan penggunaan Artikel 50, yang kemudian disampaikan oleh Tim Barrow, duta besar Britania Raya untuk Uni Eropa, kepada Presiden Dewan Eropa Donald Tusk pada hari berikutnya.[71][72]
Pembatalan
John Olav Kerr (Lord Kerr), sebagai salah satu penulis Artikel 50 membenarkan anggapan yang berkembang mengenai apakah Britania Raya dapat menghentikan/mencabut proses penarikan diri dalam Artikel 50 secara sepihak, namun Komisi Eropa membantahnya.[73] Komite Brexit Parlemen Eropa menyatakan bahwa penarikan Artikel 50 harus disetujui oleh semua anggota Uni Eropa, sehingga tidak dapat disalahgunakan sebagai alat untuk memeras ataupun untuk mengubah kesepakatan keanggotaan oleh Britania Raya.[74]
Tanggal Brexit
Artikel 50, telah menyatakan secara eksplisit bahwa perjanjian Uni Eropa akan berhenti berlaku "sejak tanggal berlakunya perjanjian penarikan atau, jika gagal, dua tahun setelah" pemberitahuan penarikan, kecuali Dewan Uni Eropa dan negara yang mengajukan setuju untuk memperpanjang periode dua tahun tersebut.[66]
Di pihak Uni Eropa, mensyaratkan bahwa "Perjanjian harus menetapkan tanggal penarikan, yang mana paling lambat adalah 30 Maret 2019 pukul 00:00 (waktu Brussels), kecuali Dewan Uni Eropa, dengan persetujuan Britania Raya, dengan suara bulat memutuskan untuk memperpanjang periode ini sesuai dengan Artikel 50 dari Perjanjian tentang Uni Eropa.".[75] Sedangkan pihak Britania Raya, pada awalnya tidak menentukan tanggal di dalam Akta (Penarikan) Uni Eropa, tetapi dalam perjalanannya tanggal penarikan ditambahkan pada tahap komite.[76] Tanggal keluar ditetapkan menjadi 29 Maret 2019 pukul 23.00.[76]
Negosiasi
Pemilihan Waktu
Negosiator Britania Raya dan Uni Eropa sepakat bahwa negosiasi awal akan dimulai pada Juni 2017 (segera setelah pemilihan presiden dan parlemen Prancis), negosiasi awal ini akan membahas isu-isu terpenting seperti isu hak tinggal bagi pendatang dari Uni Eropa.[77] Sementara negosiasi dengan skala penuh, yang terutama terkait dengan perjanjian perdagangan, akan dimulai pada bulan Oktober 2017 (segera setelah pemilihan federal Jerman).[77][78] Hari pertama negosiasi jatuh pada 19 Juni 2017.[78]
Perjalanan Negosiasi
Pada Juni 2016, Presiden Dewan EropaDonald Tusk, mengatakan "tidak akan ada pasar tunggal a la carte",[79] kemudian berkeras bahwa apabila Britania Raya menginginkan untuk dapat tetap berada dalam Pasar Tunggal Eropa (ESM) maka Britania Raya harus menerima empat syarat utama dari Uni Eropa, yaitu kebebasan bergerak untuk barang, modal, jasa layanan, dan tenaga kerja.[79] Tusk juga menambahkan, tidak akan ada negosiasi antara Uni Eropa dan Britania Raya sampai Britania Raya resmi memberikan permintaan penggunaan Artikel 50 kepada Uni Eropa.[79] Pada bulan Oktober, Perdana Menteri Theresa May menekankan bahwa prioritasnya adalah untuk mengakhiri yurisdiksi undang-undang Uni Eropa di Britania Raya dan juga kebebasan bergerak Uni Eropa, dan juga untuk tetap menjamin perusahaan Britania Raya dan Uni Eropa memiliki kebebasan maksimum untuk berdagang di Britania Raya dan Pasar Tunggal Eropa.[80][81]
Pada bulan November 2016, Perdana Menteri May mengusulkan agar Britania Raya dan negara-negara Uni Eropa lainnya saling menjamin hak tinggal bagi 3,3 juta imigran Uni Eropa di Britania Raya dan 1,2 juta warga Britania Raya yang tinggal di wilayah Uni Eropa, hal ini dimaksudkan untuk mengamankan nasib warga tersebut agar tidak digunakan sebagai alat negosiasi selama perundingan Brexit berlangsung.[82] Namun proposal May ini ditolak oleh Merkel dan Tusk meskipun mendapatkan persetujuan dari mayoritas negara anggota Uni Eropa.[83]
Pada bulan Januari 2017 Perdana Menteri May mempresentasikan 12 tujuan negosiasi Britania Raya dan menegaskan bahwa pemerintah tidak akan mengincar keanggotaan permanen dalam Pasar Tunggal Eropa.[5] Perunding utama dari Parlemen Eropa, Guy Verhofstadt, membalas pernyataan tersebut dengan mengatakan "Britania Raya tidak akan dapat seenaknya sendiri memilih hal yang mereka suka dan menyisihkan hal yang mereka tidak suka dalam perundingan".[84]
Periode hukum untuk negosiasi antara Britania Raya dan Uni Eropa dimulai pada 29 Maret 2017, ketika Britania Raya secara resmi telah mengajukan surat pemberitahuan penarikan diri mereka.[85] Dalam surat tersebut Britania Raya menyerukan bahwa terdapat "hubungan khusus dan mendalam" antara Britania Raya dan Uni Eropa, dan mengingatkan kembali bahwa kegagalan untuk mencapai kesepakatan di antara mereka dapat membuat hubungan perdagangan mereka diatur di bawah ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia, dan juga berakibat pada melemahnya kerja sama Britania Raya dalam perang melawan kejahatan dan terorisme.[86] Surat tersebut juga menyarankan agar kedua belah pihak memprioritaskan hak-hak warga negara Uni Eropa di Britania Raya dan sebaliknya dalam kesepakatan awal, dan menyatakan bahwa Britania Raya tidak akan berusaha untuk tetap berada di dalam Pasar Tunggal Eropa.[86] Sebaliknya, Britania Raya menginginkan adanya perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa.[86] Sebagai tanggapan, Merkel menyatakan dengan tegas bahwa Uni Eropa tidak akan membahas kerja sama dengan Britania Raya di masa depan tanpa terlebih dahulu menyelesaikan persyaratan mereka untuk meninggalkan Uni Eropa, dikutip dari The Guardian "Negosiasi harus pertama-tama mengklarifikasi bagaimana kita akan mengurai hubungan kita yang telah telanjur saling terkait ini...Hanya ketika pertanyaan ini telah terjawab—semoga segera setelah itu—kita dapat membicarakan hubungan kita di masa depan".[87] Kemudian Guy Verhofstadt juga menyebut pernyataan Britania Raya berkaitan dengan keamanan dan terorisme dalam surat tersebut sebagai bentuk "pemerasan", dan dia beserta anggota Uni Eropa lainnya tidak akan menerima apabila Britania Raya menggunakan kekuatannya dalam militer dan juga intelijen untuk digunakan sebagai alat tawar.[88]Presiden Komisi Eropa, Jean-Claude Juncker juga menambahkan, keputusan Britania Raya untuk mundur dari Uni Eropa adalah "pilihan yang akan mereka sesali suatu saat nanti".[88]
Pada 29 April 2017, segera setelah putaran pertama pemilihan presiden Prancis, tiap kepala negara anggota Uni Eropa menerima panduan negosiasi yang disiapkan oleh Tusk.[85][89] Pedoman tersebut memberi arahan bahwa Artikel 50 memungkinkan negosiasi dibagi dalam dua-fase, di mana fase pertama Britania Raya harus menyetujui komitmen keuangan dan pemberian 'tunjangan manfaat' seumur hidup bagi warga negara Uni Eropa yang berada di Britania Raya, dan kemudian setelah fase pertama tersebut negosiasi untuk membahas hubungan masa depan antara kedua belah pihak dapat dimulai.[89] Pada tahap pertama, Uni Eropa akan menuntut Britania Raya membayar "tagihan perceraian", yang berdasarkan perkiraan awal senilai 60 miliar euro, namun bertambah seiring tuntutan keuangan tambahan dari Jerman, Prancis, dan Polandia, hingga menjadi 100 miliar euro, yang mana David Davis langsung memberikan pernyataan bahwa Britania Raya tidak akan membayar £100 miliar.[90] Menurut laporan dari Komite Uni Eropa Parlemen Britania Raya yang diterbitkan pada 4 Maret 2017 menyatakan bahwa, jika tidak ditemukan kesepakatan pada akhir periode negosiasi, Britania Raya dapat menarik diri dari Uni Eropa tanpa pembayaran.[91]
Pada 22 Mei 2017, Dewan Eropa memberikan lampu hijau kepada negosiatornya untuk memulai pembicaraan Brexit dan mengadopsi arahan perundingan yang telah diberikan sebelumnya.[92] Hari pertama pembicaraan berlangsung pada 19 Juni, di mana Davis dan Barnier (ketua negosiator Uni Eropa) setuju untuk memprioritaskan isu hak tinggal bagi warga kedua belah pihak.[93] Dalam hari pertama ini Davis tidak dapat memaksa Uni Eropa untuk mendiskusikan isu perbatasan Republik Irlandia dan perdagangan bebas lainnya karena Uni Eropa menuntut pembahasan isu tersebut harus terlebih dahulu menunggu penyelesaian isu "tagihan perceraian" yang mereka tuntut.[93] Barnier, memberi pernyataan kepada media bahwa Britania Raya lah yang meminta untuk keluar dari Uni Eropa, maka Britania Raya harus paham dengan konsekuensinya, dan Britania Raya tidak dapat mendikte jalannya perundingan.[93]
Pada tanggal 22 Juni 2017, Perdana Menteri May memberi penawaran bahwa dia akan menjamin hak warga negara Uni Eropa yang tinggal secara sah di Britania Raya, dan menawarkan kepada setiap warga negara Uni Eropa yang tinggal di Britania Raya selama lebih dari 5 tahun sampai batas waktu yang tidak ditentukan, antara Maret 2017 hingga Maret 2019, akan menikmati hak yang sama seperti warga negara Britania Raya pada umumnya, dengan syarat Uni Eropa memberikan penawaran yang sama kepada para ekspatriat Britania Raya yang tinggal di Uni Eropa.[94][95] Perdana Menteri May memperinci proposalnya untuk isu hak tinggal pada 26 Juni, tetapi hal ini tetap tidak mampu menciptakan kesepakatan antara Britania Raya dan Uni Eropa hingga akhir Juni 2017.[96][97] Negosiator dari Uni Eropa sendiri terus bersikeras agar Mahkamah Eropa tetap memiliki yurisdiksi di Britania Raya berkaitan dengan warga negara Uni Eropa yang tinggal di sana, sesuai dengan tujuan dan arahan negosiasi yang diberikan kepada mereka.[95][98]
Pada pertengahan Juli 2017, putaran kedua negosiasi dimulai, di putaran kedua ini terdapat beberapa isu besar yang dibahas dalam negosiasi, di antaranya mengenai isu perbatasan Republik Irlandia, di mana kedua belah pihak mengalami kemajuan, kemudian permintaan rincian "tagihan perceraian" yang diajukan oleh Uni Eropa oleh negosiator Britania Raya, lalu kritik dari negosiator Uni Eropa terhadap tawaran hak kewarganegaraan dari Britania Raya.[99] David Davis sendiri dalam negosiasi ini enggan berkomitmen untuk menyetujui keseluruhan tagihan perceraian yang diminta oleh Uni Eropa, sedangkan Michel Barnier enggan untuk berkompromi atas permintaannya agar Mahkamah Eropa tetap memiliki yurisdiksi yang berkelanjutan atas hak-hak warga negara Uni Eropa yang tinggal di Britania Raya setelah Brexit,[100] Britania Raya mengusulkan untuk membentuk badan internasional baru yang terdiri dari hakim dari Britania Raya dan Uni Eropa, namun usulan ini langsung ditolak oleh Barnier.[101]
Pada Agustus 2017, pemerintah Britania Raya menerbitkan makalah pertama yang menjelaskan visi Britania Raya setelah Brexit, makalah ini membahas pengaturan perdagangan dan pabean.[102] Pada tanggal 23 Agustus, Perdana Menteri May mengumumkan bahwa Britania Raya akan meninggalkan yurisdiksi Mahkamah Eropa ketika periode transisi Brexit berakhir, tetapi May tetap menjanjikan pengadilan Britania Raya dan Mahkamah Eropa tetap saling mengawasi satu sama lain sesudah Britania Raya resmi meninggalkan Uni Eropa.[103] Jean-Claude Juncker mengkritisi makalah posisi Britania Raya ini dengan mengatakan bahwa makalah Britania Raya ini tidak ada yang memuaskan, dan menegaskan kembali bahwa Uni Eropa tidak akan memulai negosiasi mengenai masa depan hubungan perdagangan mereka apabila isu-isu sebelumnya tidak terlebih dahulu selesai.[104]
Putaran ketiga negosiasi dimulai pada 28 Agustus 2017.[105] Terdapat kemajuan pada isu perbatasan Irlandia di mana Britania Raya setuju untuk menjamin kebebasan bergerak bagi warga Uni Eropa di dalam Area Perjalanan Bersama (CTA) antara Irlandia dan Britania Raya.[105][106] Namun di lain sisi, terjadi ketidaksepakatan atas penyelesaian keuangan oleh kedua belah pihak, di mana negosiator Britania Raya mengacu pada Kerangka Keuangan Multiannual (MFF) untuk periode 2014-2020, yang disepakati oleh negara-negara anggota dan parlemen Uni Eropa sebagai "alat perencanaan" untuk periode berikutnya.[105] Britania Raya menganggap bahwa MFF menetapkan batas atas pengeluaran di berbagai area kebijakan yang luas dan pada praktiknya kemudian akan direvisi secara radikal selama proses pembentukan anggaran tahunan tiap negara, ketika kewajiban-kewajiban keuangan yang harus dianggarkan pada setiap negara tersebut muncul.[105] Sedangkan, metodologi yang digunakan oleh Komisi Eropa untuk menghitung "tagihan perceraian" Brexit, adalah dengan membagi pengeluaran dalam MFF ke dalam porsi yang sebelumnya disetujui oleh masing-masing negara anggota.[105] Metodologi perhitungan yang digunakan oleh Uni Eropa ini dinilai memberatkan Britania Raya karena membuat tagihan mereka membengkak.[105]
Pada tanggal 5 September 2017, Davis memberi pernyataan bahwa "kemajuan konkrit" telah diraih selama perundingan di musim panas dalam berbagai isu, seperti di antaranya perlindungan terhadap hak-hak ekspatriat Britania Raya dan Uni Eropa untuk mengakses perawatan kesehatan dan juga isu mengenai isu masa depan perbatasan Irlandia, namun perbedaan kedua belah pihak mengenai "tagihan perceraian" masih belum tersolusikan, dia menuding bahwa Uni Eropa mencoba menekan Britania Raya dengan menggunakan jadwal negosiasi yang semakin sempit agar Britania Raya segera menyetujui permintaan "tagihan perceraian" mereka.[107] Pada 9 September, Komisi Eropa menerbitkan beberapa makalah perundingan, termasuk salah satunya di mana Uni Eropa menyatakan bahwa solusi bagi perbatasan Irlandia pasca-Brexit merupakan tanggung jawab dari Britania Raya, dan makalah ini juga menjelaskan solusi "unik" yang digunakan untuk perbatasan Irlandia ini tidak akan selalu menjadi kerangka untuk hubungan pasca-Brexit bagi anggota Uni Eropa lainnya.[108]
Pada 22 September 2017, Perdana Menteri May mengumumkan detail lebih lanjut mengenai proposal Brexit-nya,[109] di mana dalam salah satu bagiannya menyebutkan Britania Raya menawarkan £20 miliar selama 2 tahun masa transisi dan dengan tetap menerima imigran dari Eropa.[109][110] May juga menawarkan hubungan kerja sama keamanan baru dengan Uni Eropa, di mana May menyebutkan Uni Eropa akan menjadi "rekan dan teman terkuat" bagi Britania Raya, kemudian juga untuk terus melanjutkan kontribusi terhadap proyek-proyek yang sedang berlangsung dan saling menguntungkan seperti sains dan keamanan.[109] Kemudian May juga mengungkapkan bahwa Britania Raya takkan menjadi penghalang bagi upaya Juncker untuk lebih menyatukan Uni Eropa.[109] Barnier sendiri menanggapi proposal May dengan mengatakan bahwa proposal tersebut sangat konstruktif, namun perlu diterjemahkan lebih lanjut menjadi aksi dalam negosiasi agar dapat memberikan kemajuan yang berarti,[111] Barnier juga mengungkapkan "untuk pertama kalinya dalam negosiasi Britania Raya mengajukan permintaan untuk tetap dapat mengakses pasar tunggal Eropa, maka apabila ke-27 pemimpin negara Uni Eropa setuju, maka permintaan ini dapat diperhitungkan oleh Uni Eropa.[111] Senada dengan Barnier, Presiden Prancis, Emanuel Macron menegaskan bahwa Uni Eropa takkan memulai negosiasi mengenai masa depan hubungan Britania Raya dan Uni Eropa apabila Britania Raya tidak menyelesaikan terlebih dahulu isu regulasi warga Uni Eropa, perbatasan Irlandia, dan "tagihan perceraian" yang sedang dinegosiasikan.[112]
Putaran keempat negosiasi dimulai pada 25 September, putaran keempat ini diwarnai dengan ungkapan Davis yang menegaskan kembali bahwa Britania Raya akan menghormati komitmen yang dibuat selama keanggotaannya dalam Uni Eropa hanya apabila tercapai kesepakatan untuk memiliki hubungan baru yang khusus dan mendalam antara Britania Raya dan Uni Eropa setelah Britania Raya resmi keluar.[113]
Pada pertemuan Dewan Eropa 19 sampai 20 Oktober 2017, ke-27 pemimpin negara Uni Eropa bertemu untuk membahas apakah mereka akan memulai negosiasi dagang dengan Britania Raya atau tidak.[114] Namun bagaimanapun Davis telah menyerah untuk menekan Uni Eropa agar segera memberi keputusan karena pemilu federal Jerman yang diadakan pada 24 September, yang berarti pemerintahan Jerman tidak akan siap untuk memberikan keputusan pada Oktober, hal ini menunda keputusan Dewan Eropa hingga desember.[115]
Pada 9 Oktober 2017, May mengumumkan kepada Parlemen bahwa Britania Raya dapat berdiri sendiri sebagai negara independen dalam pola perdagangannya dengan Uni Eropa apabila tidak tercapai kesepakatan antar Britania Raya dan Uni Eropa hingga mereka resmi keluar.[116]
Pada Desember 2017, Uni Eropa mengumumkan bahwa mereka siap untuk melanjutkan negosiasi ke fase selanjutnya, pembicaraan mengenai periode transisi setelah Maret 2019 akan dimulai pada awal tahun 2018, dan pembicaraan mengenai hubungan Britania Raya dan Uni Eropa di masa depan, termasuk perdagangan dan keamanan akan dimulai pada Maret 2018.[117]
Pada 2 Maret 2018, sebelum konferensi Uni Eropa di Brussel, PM May memberikan pidato sehubungan dengan Brexit.[118] May menegaskan kedua belah pihak harus dapat menerima kenyataan pahit yang akan mereka hadapi, dalam beberapa hal kedua belah pihak tidak akan dapat saling mengakses pasar seperti yang saat ini mereka nikmati, dan juga Britania Raya tidak bisa berharap untuk menikmati semua manfaat dan keuntungan dari Uni Eropa tanpa memenuhi semua kewajibannya.[118]
Pada Maret 2018, dalam Konferensi Uni Eropa di Brussel, kedua belah pihak setuju untuk menerapkan periode transisi, yang akan dimulai sejak 29 Maret 2019 hingga 31 Desember 2020.[119] Pada periode transisi ini para pendatang dari Uni Eropa ke Britania Raya ataupun sebaliknya akan tetap dapat menikmati haknya seperti sebelumnya, Britania Raya juga tetap dapat bernegosiasi, menyetujui, dan meratifikasi perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa selama masa transisi tersebut, kemudian selama periode transisi Britania Raya juga tetap dianggap sebagai bagian dari Uni Eropa dalam hal perjanjian perdagangan dengan negara di luar Uni Eropa, lalu Britania Raya masih akan tetap menjadi bagian dari Kebijakan Perikanan Bersama hingga 2020 dengan diberikan jaminan bahwa mereka tetap dapat menikmati bagian mereka dalam hal perikanan, dan terakhir, Irlandia Utara tetap akan tergabung dalam Pasar Tunggal Eropa dan Serikat Pabean apabila tidak diketemukan solusi bersama selama masa transisi ini untuk menghindari terciptanya perbatasan keras antara Republik Irlandia dan Irlandia Utara.[119]
Pada Oktober 2016, Theresa May menjanjikan akan meluncurkan "Akta Pencabutan Besar", yang akan mencabut Akta Komunitas Eropa 1972, dan mengembalikan kembali hukum Britania Raya yang sebelumnya berada di bawah hukum Uni Eropa dan bertujuan untuk memperlancar proses transisi dengan cara memastikan bahwa semua hukum tetap berlaku hingga benar-benar dicabut secara spesifik.[122] Rancangan undang-undang ini akhirnya menjadi Akta (Penarikan) Uni Eropa, dan diajukan kepada Parlemen Britania Raya pada 13 Juli 2017.[123] Pada 12 September 2017, akta ini disetujui di Parlemen dengan angka 326 berbanding 290 suara,[124] namun akta ini belum akan berlaku sampai tanggal keluarnya Britania Raya.[122][125]
Aturan Tambahan
Dalam laporan yang diterbitkan oleh lembaga independen the Institute for Government (Institut untuk Pemerintah) pada Maret 2017, Pemerintah Britania Raya perlu untuk menambahkan aturan dan legislasi baik primer maupun sekunder yang diperlukan untuk menjembatani jurang kebijakan dalam beberapa area sektor seperti, bea cukai, imigrasi, dan agrikultur, di mana masih terdapat banyak aturan yang akan menjadi tidak jelas seiring dengan dicabutnya aturan-aturan Uni Eropa.[126] Dalam laporan tersebut disebutkan, setidaknya pemerintah Britania Raya perlu menerbitkan 15 aturan baru yang memerlukan prioritisas dan pembatasan waktu pembahasan agar aturan tersebut segera diterbitkan.[126][127]
Pada 2016 dan 2017, Pemerintah Britania Raya menerbitkan beberapa laporan yang terkait dengan Brexit, di antaranya:
Britania Raya telah bergabung ke dalam Euratom sejak tahun 1973, di mana salah satu fungsi dari Euratom adalah untuk mengimplementasikan pengamanan terhadap bahan nuklir di seluruh negara-negara anggotanya.[128] Dengan mundurnya Britania Raya dari Euratom, maka diperlukan undang-undang dan aturan baru untuk membuat regulasi dan juga mengimplementasikan aturan internasional dalam hal pengamanan bahan nuklir.[128]Akta Perlindungan Nuklir 2017-19, yang berkaitan dengan pengunduran diri dari Euratom diajukan ke Parlemen pada Oktober 2017 dan mulai tahapan laporan pada Januari 2018.[128]
Pemungutan Suara terhadap Hasil Akhir
Menanggapi pertanyaan terkait keterlibatan Parlemen untuk melakukan pemungutan suara terhadap hasil akhir negosiasi dengan Uni Eropa, Perdana Menteri May menyatakan bahwa prioritasnya adalah untuk segera mewujudkan keinginan rakyat Britania Raya untuk keluar dari Uni Eropa, dan Parlemen akan diberikan kesempatan untuk mendiskusikan negosiasi dalam prosesnya, namun May juga mengesankan bahwa dia tidak akan memberikan kesempatan kepada Parlemen untuk melakukan pemungutan suara terhadap hasil akhir negosiasi nantinya.[129]
Dampak Brexit pada Britania Raya
Imigrasi
Efek Jangka Panjang
Isu imigrasi dianggap sebagai alasan kedua terkuat yang melatarbelakangi keinginan rakyat Britania Raya untuk keluar dari Uni Eropa. KPMG, lembaga auditor kenamaan dunia melakukan survei terhadap 2000 pekerja asal Eropa yang mencari nafkah di Britania Raya, dengan hasil 55% dari mereka yang bergelar doktor dan 49% dari mereka yang bergelar master mengatakan akan pergi dari Britania Raya atau sedang mempertimbangkannya dengan aktif.[130]
Ekonom Giuseppe Forte dan Jonathan Portes dari Kings's College London, dalam makalahnya pada tahun 2017, menyatakan bahwa meskipun arus migrasi sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti makro ekonomi dan lainnya, Brexit dan berakhirnya kebijakan kebebasan bergerak akan menghasilkan penurunan tajam dalam hal imigrasi dari negara-negara Area Ekonomi Eropa ke Britania Raya.[131] Portes juga menyatakan pada tahun 2016, "Spektrum opsi kebijakan imigrasi bagi Britania Raya pasca-Brexit masih tetap akan luas...Namun, apabila dilihat dengan akal sehat hampir semua hasil akhir kebijakan tersebut hanya akan berujung pada peningkatan beban regulasi terhadap bisnis, pengurangan arus tenaga kerja baik mereka yang terampil maupun yang tidak terampil, dan peningkatan jumlah tenaga kerja ilegal. Pertanyaan kunci bagi para pembuat kebijakan adalah bagaimana meminimalkan dampak negatif sementara pada saat yang sama menangani tuntutan politik domestik untuk meningkatkan kontrol dalam negeri dengan tetap menjaga hubungan dengan Uni Eropa agar tidak tercipta prasangka buruk terhadap aspek-aspek kunci lainnya dalam negosiasi.".[12]
Brexit juga akan sangat berpengaruh pada sektor kesehatan Britania Raya, dikutip dari New York Times, "Akan sangat sulit dan memakan banyak biaya bagi Pelayanan Kesehatan Nasional (NHS)-yang telah menderita kekurangan banyak staf, ke depannya untuk merekrut perawat, dokter, dan tenaga medis dari Eropa".[132]
Efek Jangka Pendek
Angka resmi pada Maret 2017 menunjukkan bahwa jumlah imigrasi dari Uni Eropa ke Britania Raya masih tetap melebihi jumlah emigrasi, namun jumlah perbedaan antara imigrasi dan emigrasi tersebut turun jatuh ke titik terendahnya selama tiga tahun.[133] Sebagai contoh, jumlah perawat Uni Eropa yang mendaftar ke NHS turun hingga 96%, dari 1.304 pada Juli 2016 menjadi hanya 46 orang pada April 2017.[134] Hingga saat ini NHS kekurangan sekitar 30.000 perawat di Britania Raya.[134]
Hampir semua ekonom dunia beranggapan bahwa keputusan Britania Raya untuk meninggalkan Uni Eropa akan memberi dampak buruk bagi perekonomian mereka baik dalam jangka menengah maupun panjang.[135] Survei yang dilakukan terhadap para ekonom dunia pada tahun 2016 menunjukkan bahwa Brexit akan berimbas pada penurunan tingkat pendapatan per-kapita Britania Raya.[136][137] Survei pada literatur mengenai Brexit tahun 2017 juga menunjukkan hal yang senada; "Brexit akan membuat Britania Raya lebih miskin dikarenakan munculnya hambatan-hambatan baru terhadap perdagangan, investasi luar negeri, dan juga imigrasi. Penelitian yang dilakukan pada 2017 berdasarkan pada data ekonomi 2010 menunjukkan bahwasanya "Hampir seluruh daerah Britania Raya lebih rentan terhadap Brexit apabila dibandingkan dengan daerah-daerah di negara lain. Wilayah Republik Irlandia memiliki tingkat kerentanan yang tinggi karena perdagangan mereka yang telah terintegrasi dengan Britania Raya sejak lama, namun tingkat kerentanan Republik Irlandia ini sama tingkatannya dengan kerentanan yang dimiliki oleh daerah dengan tingkat kerentanan terendah Britania Raya, seperti London dan bagian utara Skotlandia. Sementara itu, Jerman juga merupakan negara dengan tingkat kerentanan yang tinggi di antara negara-negara Uni Eropa, dengan tingkat yang rata-rata hanya setengah sampai sepertiga dari kerentanan di Britania Raya. Terdapat alasan geografis ekonomi yang logis apabila melihat tingkat kerentanan di Eropa, di mana Eropa barat dan utara adalah daerah yang paling rentan terhadap Brexit, sedangkan daerah selatan dan timur Eropa hampir tidak terpengaruh sama sekali, setidaknya dalam hal hubungan perdagangan... Secara keseluruhan, Britania Raya jauh lebih rentan terhadap risiko Brexit dibandingkan dengan Uni Eropa.".[138]
Kebanyakan pakar ekonom, termasuk Kementerian Keuangan Britania Raya, menegaskan bahwa keberadaan Britania Raya di Uni Eropa selama ini memberi efek positif terhadap perdagangan dan maka dengan keluarnya Britania Raya hal itu berarti akan ada efek buruk yang dirasakan pada sektor perdagangan.[139][140][141][142] Berdasarkan pernyataan dari kelompok ekonom Universitas Cambridge, apabila skenario "Hard Brexit" terjadi, maka hanya akan ada sepertiga saja jumlah ekspor Britania Raya yang bebas tarif, kemudian seperempat dari ekspor Britania Raya akan dikenai tarif dan halangan tinggi, dan sisanya akan dikenai tarif ekspor antara 1-10%.[143] Namun bagaimanapun, terdapat ketidakpastian mengenai seberapa besar efek kerugian yang akan diterima Britania Raya, dengan angka perkiraan beragam mulai dari 1 hingga 10 persen dari pendapatan per-kapita Britania Raya.".[11] Angka kerugian ini tergantung pada hasil negosiasi, apakah Britania Raya akan tetap berada pada Pasar Tunggal Eropa, atau membuat kesepakatan perdagangan bebas dengan Uni Eropa, atau hubungan perdagangan keduanya hanya akan diatur oleh Organisasi Perdagangan Dunia yang mana akan sangat merugikan Britania Raya.[11]
Pada Oktober 2017, Pemerintah Britania Raya dalam hal ini DExEU menerbitkan laporan mengenai dampak ekonomi dari Brexit terhadap 58 industri di Britania Raya, namun DExEU tidak menerangkan secara detail mengenai dampak tersebut.[144][145]Partai Buruh menuntut adanya akses kebebasan informasi terhadap laporan tersebut, namun DExEU menolak dan mengatakan bahwa untuk memberikan data laporan tersebut kepada khalayak umum dapat menciderai legitimasi proses perancangan kebijakan, dan mereka menginginkan untuk memberikan ruang aman kepada para pembuat kebijakan untuk merancang kebijakan-kebijakan terkait Brexit.[144] Pada 1 November 2017, Partai Buruh kemudian mengajukan mosi humble address kepada Parlemen, meminta agar laporan tersebut dirilis, dan mosi ini disetujui.[146] Pimpinan Parlemen Andrea Leadsom mengatakan bahwa akan terdapat sedikit penundaan untuk menunggu menteri terkait memutuskan bagaimana mekanisme perilisan laporan tersebut tanpa menimbulkan prasangka buruk terhadap negosiasi Brexit.[146]
Setelah referendum, the Institute of Fiscal Studies (Institut Ilmu Fiskal) menerbitkan laporan yang didanai oleh Dewan Riset Ekonomi dan Sosial, isi laporan tersebut memperingatkan pemerintah Britania Raya bahwa Britania Raya dapat mengalami kerugian sampai £70 miliar dalam perlambatan pertumbuhan ekonomi apabila Britania Raya tidak dapat mempertahankan keanggotaannya dalam Pasar Tunggal Eropa, dan kesepakatan baru apapun tetap tidak akan dapat membuat perbedaan apabila mereka kehilangan tempat dalam Pasar Tunggal Eropa tersebut.[147] Berdasarkan artikel dari John Armour, Profesor Hukum dan Keuangan Universitas Oxford, "Skenario 'Soft Brexit' di mana Britania Raya tetap keluar dari Uni Eropa namun tetap tergabung dalam Pasar Tunggal Eropa, merupakan opsi dengan risiko terkecil untuk the City (distrik pusat bisnis di London) dibandingkan dengan opsi lainnya, karena hal ini akan membuat perusahaan-perusahaan jasa finansial tetap melanjutkan bisnisnya dengan aturan hak paspor yang sama. Di bawah 'Hard Brexit'... perusahaan-perusahaan Britania Raya akan merasakan penambahan biaya yang signifikan untuk mengekspor ke Uni Eropa.".[148] Lebih lanjut, John Armour juga menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan jasa finansial tersebut sebagian besar merupakan perusahaan anak perusahaan dari Amerika Serikat, di mana apabila "Hard Brexit" terjadi, maka tidak ada lagi keuntungan yang akan didapat perusahaan-perusahaan ini untuk berbisnis melalui Britania Raya karena perusahaan-perusahaan ini dapat bersaing secara efektif dari New York sama seperti dari London.[148]
Analisis Dampak Jangka Pendek
Berdasarkan riset yang dilakukan oleh ekonom Eropa, Benjamin Born, Gernot Müller, Moritz Schularick, Petr Sedláček, memperlihatkan bahwa sampai kuartal ketiga 2017, kerugian ekonomi yang dialami Britania Raya telah mencapai 1,3% dari GDP Britania Raya.[149] Kerugian kumulatif diperkirakan mencapai 20 miliar pounds, dan akan tumbuh hingga 60 miliar pounds pada akhir 2018.[149] Analisis dari Financial Times, hingga Desember 2017 efek dari referendum Brexit telah mengurangi pendapatan Britania Raya antara 0,6% sampai 1,3%, yang berarti senilai 350 juta pounds per minggu.[150] Ekonom dari Universitas California, Berkeley, Barry Eichengreen, mengatakan bahwa ketidakpastian yang disebabkan oleh Brexit membuat konsumen dan khalayak umum kehilang kepercayaan diri terhadap pasar dan mengurangi pengeluaran mereka hingga mencapai titik terendah dalam 4 tahun terakhir.[151] Pada November 2017, dilaporkan bahwa bank-bank Eropa telah mengurangi aset mereka yang berhubungan dengan Britania Raya hingga 17%, atau senilai €350 miliar dalam 12 bulan setelah referendum Brexit, dan tren diperkirakan akan terus meningkat hingga Maret 2019, tanggal resmi Brexit.[152]
Prakiraan ekonomi makro jangka pendek yang dikeluarkan oleh Bank Sentral Inggris dan bank-bank lain terbukti terlalu pesimistis, dampak Brexit dalam jangka setahun setelah referendum terbukti tidak separah apa yang diperkirakan oleh kabanyakan institusi finansial.[153] Penilaian yang diberikan terbukti terlalu melebih-lebihkan asumsi bahwa hasil referendum akan menghasilkan ketidakpastian yang parah dalam pasar finansial dan bisnis.[154] Pada 5 Januari 2017, Andy Haldane, Kepala Ekonom dan Direktur Eksekutif Analisis Moneter dan Statistik Bank Sentral Inggris, mengakui bahwa prediksi yang dikeluarkan pihaknya (Bank Sentral Inggris) mengenai akan adanya penurunan ekonomi yang drastis setelah referendum memang tidak akurat dan mereka justru mencatat adanya kinerja pasar yang kuat setelah referendum, meskipun beberapa pihak mengemukakan adanya kenaikan harga yang terus melonjak melebihi kecepatan kenaikan pendapatan.[155][156] Haldane juga menambahkan bahwa prakiraan yang dibuatnya hanya akan tidak akurat dalam penilaian jangka pendek, dan untuk dampak jangka panjang, Bank Sentral Inggris masih menduga kuat bahwa Brexit akan berisiko membahayakan pertumbuhan ekonomi Britania Raya.[155]Simon Wren-Lewis, ekonom dari Universitas Oxford mengatakan, "prakiraan ekonomi makro jangka pendek sangat tidak dapat dijadikan pegangan, dan tidak seperti apa yang dilakukan bank, memperkirakan sesuatu yang tidak pasti seperti itu adalah hal yang tidak akan dilakukan oleh kalangan akademisi ekonomi.".[157]Barry Eichengreen menuliskan bahwa di masa lalu para ekonom memiliki peluang sukses yang kecil dalam memberi perkiraan kapan dan kenapa ketidakpastian muncul, dan tidak ada yang tahu seberapa besar dampak dari ketidakpastian tersebut.[151]Jonathan Portes juga mengatakan bahwa prakiraan jangka pendek sangatlah tidak dapat diandalkan ketepatannya, dan dia juga menganalogikan prakiraan ekonomi jangka pendek sebagai prakiraan cuaca, dan prakiraan ekonomi jangka panjang sebagai prakiraan iklim, dengan mengatakan bahwa metodologi untuk memperkirakan efek jangka panjang telah mapan dan kuat, sehingga prakiraan jangka panjang lebih dapat dijadikan sebagai pegangan.[154]Thomas Sampson menambahkan bahwa sangat sulit untuk memprediksikan dampak jangka pendek dari proses transisi Brexit, namun penilaian jangka panjang mengenai apa yang terjadi setelah Brexit lebih dapat diandalkan.[11] Berdasar dari Financial Times, para ekonom setuju bahwa dampak jangka pendek dari Brexit masih samar dan tidak dapat dipastikan.[153]
Keluarnya Agensi Uni Eropa
Brexit mengharuskan beberapa agensi Uni Eropa yang ditempatkan di Britania Raya untuk berpindah tempat, beberapa di antaranya adalah Agensi Medis Eropa dan Otoritas Perbankan Eropa.[158] Keduanya memiliki pegawai hingga 1000 orang dan akan direlokasi ke Amsterdam dan Paris.[159] Uni Eropa juga sedang mempertimbangkan untuk memindahkan pusat kliring dari perdagangan dengan denominasi euro ke wilayah yurisdiksi Eropa, yang saat ini masih berpusat di London.[160][161]
Pendidikan Tinggi dan Riset Akademis
Referendum Britania Raya untuk meninggalkan Uni Eropa pada Juni telah menyebabkan kekhawatiran besar di kalangan pendidikan tinggi.[13] Universitas Britania Raya (UUK), Grup Russell, kelompok MillionPlus, dan kelompok pendidikan tinggi lainnya sedari awal telah menetapkan pilihan untuk tetap tergabung dalam Uni Eropa. Hal ini dikarenakan pendidikan tinggi merupakan salah satu sektor eksportir utama Britania Raya. Laporan dari UUK pada tahun 2015, memperkirakan bahwa sektor ini berkontribusi sebesar £ 10.71 miliar dari pendapatan ekspor pada tahun 2011, atau sekitar 10 persen dari total ekspor jasa layanan di Britania Raya.[13] Lebih jauh lagi, ekspor jasa ini merupakan aset strategis untuk ekonomi, dengan kegiatan penelitian yang sangat penting terhadap inovasi.[13] Pendidikan tinggi juga sering kali menjadi penyedia lapangan pekerjaan utama dalam skala lokal di mana mereka berada. Dalam laporan UUK yang sama, UUK mengklaim bahwa, pendidikan tinggi di Britania Raya menghasilkan £73 miliar pada 2011-12, atau 2,8 persen dari PDB, dan pendidikan tinggi menyumbang 2,7 persen dari lapangan pekerjaan di negara itu.[13] Dengan demikian, ketika UUK mendesak pemerintah untuk mengembangkan kebijakan untuk 'mendukung universitas' agar tetap dapat berkembang pasca-Brexit, merupakan kepentingan nasional dan bukan hanya kepentingan sektoral.[13]
Britania Raya sendiri merupakan anggota dari Area Riset Eropa, dan sangat mungkin Britania Raya menginginkan untuk melanjutkan keanggotaannya tersebut.[162] Britania Raya saat ini menerima lebih banyak pendanaan riset dari Uni Eropa daripada Britania Raya menyumbang atau berkontribusi kepada riset di Uni Eropa,[163] dengan institusi pendidikan universitas menerima 10% dari sumber pendanaan riset mereka dari Uni Eropa.[164] Menurut penelitian Ken Mayhew, Profesor Edukasi dan Performa Ekonomi Universitas Oxford, pada tahun 2016, Brexit dapat memberikan ancaman pada pendidikan tinggi di Britania Raya, beberapa di antaranya adalah hilangnya pendanaan penelitian dari Uni Eropa, berkurangnya jumlah siswa dari negara-negara Uni Eropa, kemudian hilangnya kemampuan sektor ini untuk mempekerjakan pekerja akademis dari negara-negara Uni Eropa, dan terakhir Brexit akan berdampak pada kemampuan siswa-siswa Britania Raya untuk melanjutkan studi di negara-negara Uni Eropa.[13]
Skotlandia
Seperti yang telah dinyatakan oleh pemerintah Skotlandia sebelum referendum, Menteri PertamaSkotlandia mengumumkan bahwa pemerintah merencanakan untuk mengadakan referendum kemerdekaan berdasar hasil pemungutan suara sebelumnya yang menyatakan bahwa Skotlandia akan tetap tergabung dalam Uni Eropa sedangkan Inggris dan Wales memilih untuk keluar.[165][166] Pada Maret 2017, pemimpin Partai Nasional Skotlandia (SNP), dan Menteri Pertama Nicola Sturgeon meminta referendum kemerdekaan Skotlandia kedua pada 2018 atau 2019 sebelum Britania Raya secara formal meninggalkan Uni Eropa.[167]Perdana Menteri Britania Raya dengan segera menolak permintaan waktu referendum tersebut, tanpa menolak referendum itu sendiri.[168] Referendum Skotlandia telah disetujui oleh Parlemen Skotlandia pada 28 Maret 2017.[169]
Pada 21 Maret 2018, Parlemen Skotlandia meresmikan Akta Kelanjutan Skotlandia.[170] Akta ini dikeluarkan karena lambatnya negosiasi antara Parlemen Skotlandia dan Pemerintah Britania Raya mengenai pada siapa kekuasaan dalam kebijakan devolusi harus diberikan setelah Britania Raya resmi keluar dari Uni Eropa nantinya.[170] Akta ini memberikan hak kekuasaan pada Parlemen Skotlandia dan mengurangi kekuasaan eksekutif pada saat keluarnya Britania Raya nanti.[170]
Perjanjian Internasional
Dikutip dari Financial Times, dengan keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa akan menjadikan Britania Raya tidak lagi terlibat dalam 759 perjanjian internasional, yang mana tersebar pada 168 negara non-Uni Eropa, dan meliputi perjanjian-perjanjian dalam hal perdagangan nuklir, barang, transportasi, dan kerja sama di bidang-bidang seperti jasa keuangan.[171] Perjanjian-perjanjian ini termasuk dalam perjanjian multilateral berdasarkan konsensus, di mana Britania Raya harus mendekati kembali 132 pihak yang terpisah yang terkait di dalamnya.[171] Angka ini belum termasuk (sekitar) 110 perjanjian dalam Organisasi Perdagangan Dunia ataupun Perserikatan Bangsa Bangsa, dan juga "perjanjian-perjanjian sempit/kecil" yang lain, begitu pula kesepakatan sempit tentang lingkungan, kesehatan, penelitian, dan sains yang mana perlu dilakukan negosiasi ulang untuk kesemuanya.[171] Beberapa perjanjian bilateral tambahan, yang berada di luar kerangka Uni Eropa, dapat juga direvisi karena perjanjian tersebut mengacu pada undang-undang Uni Eropa.[171] Beberapa perjanjian sangatlah penting sehingga tidak terpikirkan apabila Britania Raya terlepas dari perjanjian-perjanjian tersebut.[171] Kemudian juga terdapat perjanjian layanan udara yang memungkinkan pesawat Britania Raya mendarat di Amerika, Kanada atau Israel, kemudian pembangkit listrik tenaga nuklir, yang mana kedua sektor ini akan dibahas di luar pembicaraan perdagangan dan harus ditangani secara terpisah.[171]
Opsi hubungan di masa depan dengan Uni Eropa
Hubungan Britania Raya dengan negara anggota Uni Eropa pasca-Brexit dapat berubah menjadi beberapa bentuk, dalam makalah penelitian yang dihadirkan ke Parlemen Britania Raya di Juli 2013, terdapat beberapa alternatif keanggotaan yang akan memberikan akses pada Britania Raya ke pasar internal Uni Eropa.[172] Salah satunya adalah tetap bergabung pada Area Ekonomi Eropa, kemudian menegosiasikan perjanjian bilateral yang sangat detail seperti layaknya Swiss, atau keluar dari Uni Eropa tanpa ikut bergabung dalam Area Ekonomi Eropa sama sekali dan hanya berdagang dengan Uni Eropa lewat aturan Organisasi Perdagangan Dunia.[172] Besar kemungkinan akan terdapat perjanjian sementara saat Britania Raya keluar dari Uni Eropa, hingga sampai saat perjanjian hubungan yang sebenarnya berlaku.[172] Perjanjian sementara ini akhirnya berlaku setelah pada Maret 2018, pemerintah Britania Raya dan Uni Eropa setuju untuk menerapkan masa transisi sementara terhitung mulai dari tanggal resmi keluarnya Britania Raya, hingga 31 Desember 2020.[119]
Perbatasan Republik Irlandia
Masih terdapat ketidakjelasan mengenai dampak Brexit terhadap perbatasan Republik Irlandia dan Irlandia Utara (Britania Raya), khususnya dampak ekonomi terhadap masyarakat di pulau tersebut apabila "perbatasan keras" (perbatasan fisik dengan pos perlintasan antarnegara yang dijaga dan dikontrol oleh aparat dan juga terdapat infrastruktur bea cukai) diterapkan.[173] Sampai saat ini kedua belah negara masih merupakan anggota dari Uni Eropa, dengan begitu keduanya masih tergabung dalam Serikat Pabean dan Pasar Tunggal Eropa, sehingga terdapat kebebasan bergerak untuk semua warga Uni Eropa di dalam Area Perjalanan Bersama dan tidak terdapat bea cukai ataupun kontrol imigrasi di perbatasan kedua belah negara.[174] Pada dasarnya, sejak Perjanjian Jumat Baik tahun 1998 (perjanjian internasional antara Britania Raya dan Republik Irlandia yang termasuk di dalamnya perjanjian mengenai Irlandia Utara), perbatasan di antara kedua belah pihak diatur untuk memberi kebebasan bergerak dan ekonomi bagi penduduk di pulau tersebut, sehingga tampak seperti tidak terdapat perbatasan di antara keduanya. Namun nantinya setelah Brexit, perbatasan antara kedua pihak akan menjadi perbatasan darat antara negara anggota Uni Eropa dan negara non Uni Eropa, bukan lagi sekadar perbatasan antara Britania Raya dan Republik Irlandia.[175] Hal ini memungkinkan adanya bentuk perbatasan fisik dengan pos perlintasan yang diatur oleh aparat, keimigrasian, dan bea cukai. Britania Raya dan Uni Eropa setuju bahwa "perbatasan keras" merupakan hal yang tidak mereka inginkan bersama, dan berisiko membahayakan Perjanjian Jumat Baik antara kedua belah negara.[176][177] Pada Okteber 2016, Pemerintah Britania Raya mengusulkan rencana untuk menerapkan kontrol imigrasi Britania Raya di pelabuhan dan bandara Republik Irlandia, hal ini dimaksudkan untuk mengontrol warga Uni Eropa yang bepergian ke sana, dan juga agar memudahkan mereka karena tidak akan lagi diperlukan adanya cek paspor di perbatasan Republik Irlandia, dan Irlandia Utara.[178] Namun rencana ini secara resmi ditolak oleh pihak Republik Irlandia pada 23 Maret 2017.[179] Menyusul hasil dari referendum Brexit, terdapat usulan untuk menyatukan kembali Republik Irlandia dan Irlandia Utara lewat referendum, usulan ini datang dari pimpinan Partai Sinn Féin, Martin McGuinness, dan pada April 2017,[180]Dewan Eropa setuju apabila reunifikasi ini berhasil, Irlandia Utara akan bergabung kembali dengan Uni Eropa.[181]
Pada Maret 2018, Britania Raya dan Uni Eropa setuju untuk tetap memasukkan Irlandia Utara dalam Pasar Tunggal Eropa dan Serikat Pabean selama periode transisi hinggga Desember 2018, hal ini dimaksudkan agar tidak tercipta perbatasan keras di antara kedua wilayah.[119] Pemerintah Britania Raya dan Uni Eropa akan bertemu kembali untuk membahas perbatasan Irlandia ini pada Juni 2018 di konferensi Dewan Eropa di Brussel.[120][121]
Perbatasan Prancis
Pimpinan dewan daerah Hauts-de-France, Xavier Bertrand mengatakan pada 2016, "Apabila Britania Raya meninggalkan Uni Eropa, maka perbatasan akan berpindah dari Calais ke Dover. Kita tidak akan terus menjaga perbatasan apabila Britania Raya meninggalkan Uni Eropa,".[182] Pernyataan ini merujuk perjanjian Le Touquet pada 2003 yang mengatur juxtaposed control di perbatasan kedua negara, di mana aturan ini membuat pengecekan imigrasi tidak dilakukan di negara tujuan, namun dilakukan di negara asal.[183] Perjanjian Le Touquet sendiri bukan merupakan perjanjian yang diatur dalam Uni Eropa, sehingga mendapat tekanan dari banyak kalangan euroscpetic yang tidak setuju apabila perbatasan dikembalikan ke Dover.[184]
Gibraltar dan Spanyol
Nasib Gibraltar sebagai wilayah Britania Raya yang berada di daratan Eropa dipertanyakan ketika Britania Raya memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa.[185] Penduduk Gibraltar sendiri dalam pemungutan suara menyatakan memilih untuk tetap tergabung dalam Uni Eropa, namun di satu sisi mereka juga tidak ingin untuk meninggalkan Britania Raya.[185] Gibraltar sangat bergantung kepada perdagangan dengan Uni Eropa (utamanya Spanyol) dalam mendapatkan pasokan kebutuhan mereka.[186]Spanyol sebagai negara yang berbatasan langsung dengan Gibraltar dan telah sering kali mencoba untuk mengambil alih Gibraltar sejak dahulu, menyerukan untuk menjadikan Gibraltar sebagai wilayah yang dikontrol bersama oleh Britania Raya dan Spanyol,[186] namun hal ini ditolak mentah-mentah oleh Ketua Menteri Gibraltar.[187] Britania Raya menyatakan hanya akan merundingkan nasib kedaulatan Gibraltar apabila hal itu dikehendaki oleh rakyat Gibraltar.[188]
Hubungan dengan negara-negara "CANZUK"`
Brexit juga telah menghangatkan kembali wacana dan peluang untuk mendirikan perjanjian perdagangan dan migrasi dengan negara "CANZUK" (Kanada, Australia, Selandia Baru dan Inggris).[189] Wacana ini telah sering disebutkan oleh banyak politisi di negara-negara tersebut, termasuk Senator Partai Liberal, James Paterson di Australia,[190] Menteri Luar Negeri Bayangan, Erin O'Toole di Kanada,[191] dan Sekretaris Negara untuk Urusan Luar Negeri dan Persemakmuran, Boris Johnson di Inggris.[192] Organisasi seperti CANZUK International juga ikut memperjuangkan gerakan ini, menyatakan bahwa dengan adanya kerja sama di antara keempat negara ini hubungan mereka akan jauh berkembang setelah Brexit.[193] Namun, banyak juga kaum akademisi yang mengkritik wacana alternatif Uni Eropa ini sebagai "nostalgia pasca-imperialisme".[194]
Konsekuensi bagi Uni Eropa
Struktur dan Anggaran
Menurut Perjanjian Lisbon 2007(disahkan 2009), keputusan Dewan Uni Eropa yang dibuat berdasarkan pada pemungutan suara, hanya dapat diblokir apabila terdapat setidaknya empat anggota dewan yang memutuskan untuk memblokir bersama keputusan tersebut (membentuk kelompok minoritas pemblokiran).[195] Aturan ini pada mulanya diciptakan untuk mencegah tiga anggota dengan populasi terbanyak di Eropa (Jerman, Prancis, Britania Raya) mendominasi dewan Uni Eropa.[195] Namun setelah keluarnya Britania Raya, Jerman dan negara-negara Eropa utara lainnya (Rep. Irlandia, Belanda, negara-negara Skandinavia dan Baltik) akan kehilangan sekutu dalam membentuk kelompok minoritas pemblokiran tersebut.[196] Hal ini sangat penting karena tanpa adanya kelompok tersebut, negara-negara lain dapat menolak usul Jerman terutama dalam hal isu ketidakdisiplinan anggaran oleh negara-negara anggota Uni Eropa lain, yang sering diperjuangkan oleh Jerman, dan juga dalam hal rekrutmen bank-bank Jerman untuk menjamin simpanan bagi bank-bank Eropa bagian selatan yang mengalami masalah.[197]
Koran Jerman Münchner Merkur memberitakan, dengan keluarnya Britania Raya, berarti Uni Eropa akan kehilangan negara dengan kekuatan ekonomi terkuat kedua, negara dengan populasi terbesar ketiga, dan yang paling penting Uni Eropa akan kehilangan "ibukota modal finansial dunia" mereka.[198] Sumbangsih Britania Raya sendiri pada tahun 2015 senilai €11.5 miliar, hal ini berarti Uni Eropa akan kehilangan negara dengan kontribusi anggaran terbesar kedua bagi mereka.[199] Dengan begitu, Brexit akan berimbas kepada adanya beban keuangan tambahan bagi negara-negara kontributor lainnya, kecuali apabila Uni Eropa memilih untuk mengurangi anggarannya berdasarkan dengan jumlah defisit yang timbul akibat kepergian Britania Raya.[199] Kemudian Britania Raya juga tidak akan lagi menjadi pemegang saham dalam Bank Investasi Eropa, karena hanya negara anggota Uni Eropa yang dapat berpartisipasi di dalamnya.[200] Britania Raya sendiri memiliki saham 16% atau senilai €39.2 miliar (figur 2013), yang nantinya akan ditarik, kecuali apabila terdapat perjanjian baru dengan Uni Eropa.[200]
Dewan Uni Eropa
Dalam berbagai kesempatan pemungutan suara di Dewan Eropa, Britania Raya selalu bersekutu dengan Jerman yang memiliki perekonomian relatif lebih liberal (dibanding negara-negara Eropa selatan), dan juga negara-negara Eropa utara lainnya untuk membentuk kelompok minoritas pemblokiran, yang berarti kelompok ini memiliki porsi 35% dalam Dewan Uni Eropa.[197] Keluarnya Britania Raya akan mengakibatkan kelompok pemblokiran ini tidak lagi dapat dibentuk dan disinyalir dapat membuat negara-negara Uni Eropa lainnya memulai upaya untuk melonggarkan disiplin anggaran Uni Eropa atau memberikan jaminan simpanan dengan skala Uni Eropa dalam serikat perbankan.[197]
Parlemen Eropa
Britania Raya memiliki 73 kursi di Parlemen Eropa, yang berarti Britania Raya (bersama dengan Italia) merupakan negara dengan delegasi terbanyak ketiga di Parlemen Eropa.[201] Anggota Parlemen Eropa dari Britania Raya ini akan tetap memiliki hak untuk berpartisipasi dalam Parlemen Eropa hingga tanggal resmi keluarnya Britania Raya, namun telah ada wacana dalam beberapa diskusi untuk tidak mengikutsertakan mereka dalam posisi komite utama.[202] Hal ini berdasar kepada kecemasan anggota parlemen lain, yang mengkhawatirkan anggota dari Britania Raya menggiring kebijakan-kebijakan parlemen ke arah yang menguntungkan kepentingan Britania Raya ketika Britania Raya resmi keluar nantinya.[202] Uni Eropa juga perlu untuk memutuskan kembali pembagian kursi parlemen dalam pemilihan Parlemen Eropa berikutnya, yang direncanakan untuk digelar pada Juni 2019, karena akan terdapat 73 kursi kosong yang sebelumnya dimiliki oleh Britania Raya.[201] Pada April 2017, sekelompok pembuat kebijakan Eropa telah berdiskusi untuk menentukan apa yang harus diperbuat mengenai kursi kosong tersebut, salah satu opsi yang didukung oleh Gianni Pittella dan Emmanuel Macron, adalah untuk mengisi 73 kursi tersebut dengan daftar konstituen dari seluruh Eropa, opsi lainnya adalah untuk meniadakan kursi tersebut dan mengatur kembali pembagian beberapa atau seluruh kursi yang ada dalam Parlemen untuk mengurangi ketidaksetaraan representasi dalam Parlemen.[201]
Perikanan
Uni Eropa menangkap 6 juta ton ikan per tahun, yang mana 3 juta ton di antaranya didapat dari wilayah perairan Britania Raya,[203] sedangkan andil dari Britania Raya sendiri untuk angka tersebut adalah hanya 750 ribu ton.[204] Pemerintah Britania Raya mengumumkan pada Juli 2017 bahwa Britania Raya akan mengakhiri perjanjian Konvensi Perikanan London 1964 pada 2019, di mana perjanjian ini telah dimasukkan ke dalam Kebijakan Perikanan Bersama milik Uni Eropa.[205] Hilangnya akses terhadap perairan Britania Raya dapat mempengaruhi industri perikanan di Uni Eropa, khususnya bagi Republik Irlandia yang mendapatkan sepertiga dari hasil tangkapannya di perairan Britania Raya.[205]
Organisasi Perdagangan Dunia
Pertanyaan bermunculan mengenai bagaimana perjanjian antara Uni Eropa dengan negara-negara lain yang diatur dalam Organisasi Perdagangan Dunia harus berubah dengan adanya Brexit ini.[206]Britania Raya dan Uni Eropa sendiri telah berencana untuk membagi kuota atas produk-produk yang perjanjian perdagangannya telah disetujui sebelumnya.[206] Namun rencana ini ditentang oleh beberapa negara seperti Australia dan Amerika Serikat, mereka menganggap pembagian kuota seperti ini akan merugikan bagi mereka.[206]
Opini Publik
Polling Opini Pasca-Referendum
Setelah referendum terdapat beberapa polling opini dengan pertanyaan "apakah Britania Raya benar atau salah untuk memilih keluar dari Uni Eropa", Hasil dari beberapa polling tersebut disajikan dalam tabel di bawah ini.
Theresa May memberikan pidato Mansion House, menjelaskan arah kebijakan pemerintah Britania Raya dalam hal hubungan Britania Raya dan Uni Eropa di masa depan.[207]
Terdapat pula polling dengan pertanyaan bagaimana orang-orang akan memilih apabila diadakan referendum kedua dengan pertanyaan yang sama (keluar atau tinggal di Uni Eropa), dan hasilnya sebagai berikut.
^ abcCrowson, Nicholas J. (2007). The Conservative Party and European integration since 1945 : at the heart of Europe?. London: Routledge. ISBN9780415400220.
^Goodman, Peter S. (20 Mei 2016). "'Brexit,' a Feel-Good Vote That Could Sink Britain's Economy". The New York Times. Diakses tanggal 28 Mei 2018. finding economists who say they believe that a Brexit will spur the British economy is like looking for a doctor who thinks forswearing vegetables is the key to a long life
^ abcdefSampson, Thomas (2017). "Brexit: The Economics of International Disintegration". Journal of Economic Perspectives. 31 (4): 163–184. doi:10.1257/jep.31.4.163. ISSN0895-3309. The results I summarize in this section focus on long-run effects and have a forecast horizon of 10 or more years after Brexit occurs. Less is known about the likely dynamics of the transition process or the extent to which economic uncertainty and anticipation effects will impact the economies of the United Kingdom or the European Union in advance of Brexit.
^Keep, Matthew (12 December 2017). "Brexit: the exit bill" (pdf). House of Commons Library. CBP-8039. Diakses tanggal 28 Mei 2018. When the UK leaves the EU it is expected to make a contribution towards the EU’s outstanding financial commitments – spending that was agreed while the UK was a member. The media have labelled this as an 'exit bill' or 'divorce bill', the EU see it as a matter of 'settling the accounts'. The issue has been discussed in the first phase of Brexit negotiations under the title of the 'single financial settlement' (the settlement).
^"European Plenary sitting 10 April 2017". European Parliament. 10 April 2017. Diakses tanggal 30 Mei 2019. "a revocation of notification [by Article 50] needs to be subject to conditions set by all EU27, so that it cannot be used as a procedural device or abused in an attempt to improve on the current terms of the United Kingdom's membership"
^Baldwin, Richard (31 Juli 2016). "Brexit Beckons: Thinking ahead by leading economists". VoxEU.org. Diakses tanggal 3 Juni 2018. On 23 June 2016, 52% of British voters decided that being the first country ever to leave the EU was a price worth paying for 'taking back control', despite advice from economists clearly showing that Brexit would make the UK 'permanently poorer' (HM Treasury 2016). The extent of agreement among economists on the costs of Brexit was extraordinary: forecast after forecast supported similar conclusions (which have so far proved accurate in the aftermath of the Brexit vote).
^ abGiles, Chris (16 April 2017)."Brexit will damage UK standards of living, say economists". Financial Times. Diakses tanggal 3 Juni 2018. Unlike the short-term effects of Brexit, which have been better than most had predicted, most economists say the ultimate impact of leaving the EU still appears likely to be more negative than positive. But the one thing almost all agree upon is that no one will know how big the effects are for some time.
^"It is likely that the UK would wish to remain an associated member of the European Research Area, like Norway and Iceland, in order to continue participating in the EU framework programmes." UNESCO Science Report: towards 2030. Paris: UNESCO Publishing. 2015. p. 269. ISBN 978-92-3-100129-1.
^Around 11% of the research income of British universities came from the EU in 2014–2015 University Funding Explained. London: UK Universities. Juli 2016.
^ abcdefMcClean, Paul (30 Mei 2017). "After Brexit: the UK will need to renegotiate at least 759 treaties". Financial Times. Diakses tanggal 4 Juni 2018. Through analysis of the EU treaty database, the FT found 759 separate EU bilateral agreements with potential relevance to Britain, covering trade in nuclear goods, customs, fisheries, trade, transport and regulatory co-operation in areas such as antitrust or financial services. This includes multilateral agreements based on consensus, where Britain must re-approach 132 separate parties. Around 110 separate opt-in accords at the UN and World Trade Organisation are excluded from the estimates, as are narrow agreements on the environment, health, research and science. Some additional UK bilateral deals, outside the EU framework, may also need to be revised because they make reference to EU law. Some of the 759 are so essential that it would be unthinkable to operate without them. Air services agreements allow British aeroplanes to land in America, Canada or Israel; nuclear accords permit the trade in spare parts and fuel for Britain's power stations. Both these sectors are excluded from trade negotiations and must be addressed separately.
^"the UK would seek the best possible deal for Gibraltar as the UK exits the EU, and there would be no negotiation on the sovereignty of Gibraltar without the consent of its people.", "UK won't negotiate away Gibraltar sovereignty, May tells Tusk". The Guardian. 6 April 2017. Diakses tanggal 6 Juni 2018.
Outhwaite, William (ed.), Brexit: Sociological Responses (London: Anthem Press, 2017). ISBN 9781783086443
Peers, Steve (2016). The Brexit: Legal Framework for Withdrawal from the EU or EU Membership Renegotiations. Oxford, UK: Hart Publishing. ISBN 978-1-84946-874-9. OCLC917161408.