Theresa May
Theresa Mary May,Baroness May of Maidenhead (/təˈriːzə/;[1] née Brasier; lahir 1 Oktober 1956) adalah seorang politikus Britania yang menjabat sebagai Perdana Menteri Britania Raya dan Pemimpin Partai Konservatif dari tahun 2016 hingga 2019. May menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri dari tahun 2010 hingga 2016 dan menjadi Anggota Parlemen dari daerah pemilihan Maidenhead sejak tahun 1997. Secara ideologis, ia mengidentifikasi dirinya sebagai konservatif sebangsa.[2] May tumbuh di Oxfordshire dan kuliah di Kolese St Hugh, Oxford. Setelah lulus pada tahun 1977, ia bekerja di Bank of England dan UK Payments Administration. Dia juga menjabat sebagai anggota dewan untuk Durnsford di Merton. Setelah dua upaya yang gagal untuk terpilih menjadi anggota Dewan Rakyat, ia akhirnya terpilih sebagai anggota parlemen mewakili daerah pemilihan Maidenhead pada tahun 1997. Dari tahun 1999 hingga 2010, May memegang sejumlah peran dalam Kabinet Bayangan. Dia juga adalah Ketua Partai Konservatif dari tahun 2002 hingga 2003. Ketika pemerintah koalisi dibentuk setelah pemilihan umum 2010, May diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri dan Menteri Perempuan dan Kesetaraan, tetapi mundur dari jabatan yang terakhir disebut pada tahun 2012. Pasca pemilihan umum 2015, ia menjadi menteri dalam negeri terlama dalam kurun waktu lebih dari 60 tahun terakhir. Selama masa jabatannya, ia mengusahakan reformasi di Federasi Kepolisian, menerapkan garis yang lebih keras pada kebijakan narkoba termasuk pelarangan qat, mengawasi pengenalan anggota Komisaris Polisi dan Kejahatan terpilih, deportasi Abu Qatada, pembentukan Badan Kejahatan Nasional, dan pembatasan tambahan tentang imigrasi.[3] Dia sampai saat ini, satu-satunya wanita yang memegang dua jabatan di Jabatan Utama Negara. Pada Juli 2016, setelah David Cameron mengundurkan diri, May terpilih sebagai Pemimpin Partai Konservatif secara aklamasi, dan ia menjadi Perdana Menteri wanita kedua Britania Raya, setelah Margaret Thatcher. Sebagai Perdana Menteri, May memulai proses keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa, memicu berlakunya Pasal 50 pada Maret 2017. Bulan berikutnya, ia mengumumkan penyelenggaraan pemilihan umum awal, dengan tujuan memperkuat dirinya dalam negosiasi Brexit dan menjadikannya sebagai pemimpin yang "kuat dan stabil".[4][5] Hasil pemilu tersebut mengakibatkan lahirnya parlemen gantung, di mana jumlah kursi Partai Konservatif turun dari 330 kursi menjadi 317, meskipun begitu partainya memenangkan persentase suara tertinggi sejak 1983. Hilangnya suara mayoritas Partai Konservatif mendorongnya untuk melakukan koalisi dengan Partai Unionis Demokrat untuk membentuk pemerintahan. Setelah terbentuknya kabinet pada 11 Juni 2017, May menghadapi sejumlah besar pengunduran diri menteri-menterinya. May selamat dari mosi tidak percaya yang diajukan oleh anggota parlemen Partai Konservatif pada Desember 2018 dan mosi tidak percaya parlemen pada Januari 2019. Dia mengatakan bahwa dirinya tidak akan memimpin partainya dalam pemilihan umum berikutnya yang dijadwalkan pada 2022 berdasarkan Undang-Undang Parlemen Masa Jabatan Sah,[6] tetapi tidak mengesampingkan tanggung jawabnya untuk memimpin partai pada pemilihan umum awal lain sebelum itu. Dia melakukan negosiasi Brexit dengan Uni Eropa, mengikuti Rencana Chequers, yang menghasilkan draf Perjanjian Penarikan antara Britania Raya dan Uni Eropa. Perjanjian ini ditolak oleh Parlemen pada Januari 2019, merupakan penolakan terbesar parlemen terhadap pemerintah Britania Raya sepanjang sejarah.[7][8] Dia kemudian mengumumkan kesepakatan yang direvisi, tetapi kembali ditolak parlemen. Pada Maret 2019, May berkomitmen untuk mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri jika parlemen meloloskan kesepakatan Brexitnya, untuk memberi jalan bagi pemimpin baru di tahap kedua Brexit; namun, Perjanjian Penarikan ditolak untuk ketiga kalinya.[9] Pada 24 Mei 2019, ia mengumumkan pengunduran dirinya sebagai pemimpin partai yang mulai berlaku pada 7 Juni.[10] Dia menyatakan bahwa akan tetap menjabat sebagai Perdana Menteri sampai penggantinya ditunjuk.[11] Dia mundur sebagai Perdana Menteri pada 24 Juli, setelah terpilihnya mantan Menteri Luar Negeri, Boris Johnson, untuk menggantikannya; tetapi May tetap menjabat sebagai anggota parlemen di Dewan Rakyat sebagai backbencher.[12] Kehidupan awal, keluarga dan pendidikanDilahirkan pada 1 Oktober 1956 di Eastbourne, Sussex, May adalah anak tunggal dari pasangan Zaidee Mary (née Barnes; 1928–1982) dan Hubert Brasier (1917–1981).[15] Ayahnya adalah seorang pendeta Gereja Inggris (dan seorang Anglo-Katolik)[16] yang adalah pendeta rumah sakit Eastbourne.[17] Dia kemudian menjadi vikaris Enstone dan Heythrop dan akhirnya vikaris di Gereja Santa Maria di Wheatley, sebelah timur Oxford.[18][19][20] Ibu May adalah pendukung Partai Konservatif.[21] Ayahnya meninggal pada tahun 1981, karena cedera yang dideritanya akibat kecelakaan mobil, dan ibunya wafat karena menderita sklerosis multipel pada tahun berikutnya.[22][23] May kemudian menyatakan bahwa ia "menyesal mereka [orangtuanya] tidak pernah melihat saya terpilih sebagai Anggota Parlemen".[24] Pada awalnya May bersekolah di Sekolah Dasar Heythrop, sebuah sekolah negeri di Heythrop, lalu diikuti oleh Sekolah Biara St. Juliana untuk Anak Perempuan, sebuah sekolah independen Katolik Roma di Begbroke, yang ditutup pada tahun 1984.[25][26][27] Pada usia 13, ia diterima di Sekolah Tata Bahasa Holton Park Girls, sebuah sekolah negeri di Wheatley.[28] Selama menjadi murid, sistem pendidikan Oxfordshire direorganisasi, dan sekolahnya berubah menjadi Wheatley Park Comprehensive School yang baru.[25][29] May kuliah di Universitas Oxford, mengambil studi geografi di Kolese St Hugh, dan lulus dengan gelar BA pada tahun 1977.[30] Dia bekerja di sebuah toko roti pada hari Sabtu untuk mendapatkan uang saku, dan merupakan "wanita muda yang tinggi dan sadar mode yang sejak dini berbicara tentang ambisinya untuk menjadi perdana menteri wanita pertama," menurut mereka yang mengenalnya.[31] Menurut seorang teman universitasnya, Pat Frankland: "Saya tidak dapat mengingat saat ketika dia tidak memiliki ambisi politik. Saya ingat, pada saat itu, dia sangat kesal ketika Margaret Thatcher sampai di sana lebih dulu (menjadi perdana menteri)."[32] Karier awalSektor keuanganAntara tahun 1977 hingga 1983, May bekerja di Bank of England, dan dari tahun 1985 hingga 1997, ia bekerja di Asosiasi Layanan Pembayaran Kliring (APACS), sebagai konsultan keuangan. Dia menjabat sebagai Kepala Unit Urusan Eropa dari tahun 1989 sampai 1996 dan sebagai Penasihat Senior Urusan Internasional pada 1996 hingga 1997 di organisasi tersebut.[33] Terjun ke politikMay menjabat sebagai anggota dewan mewakili daerah Durnsford[34] di Merton, London dari tahun 1986 hingga 1994, di mana ia menjadi Ketua Bidang Pendidikan (1988-90) dan Wakil Pimpinan Kelompok serta Juru Bicara Perumahan (1992-94). Upaya nasional yang gagalDalam pemilihan umum 1992, May mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif di daerah pemilihan North West Durham, akan tetapi May kalah dari calon Partai Buruh yang juga anggota parlemen petahana Hilary Armstrong. May menempati urutan kedua dalam perolehan suara dengan 12.747 suara (27,6%), sementara Armstrong melaju kembali ke parlemen dengan perolehan 26.734 suara (57,8%), sedangkan calon dari Demokrat Liberal, Tim Farron berada di tempat ketiga. Kemudian May mengikuti pemilihan umum sela tahun 1994 untuk dapil Barking, yang digelar karena meninggalnya anggota parlemen Partai Buruh Jo Richardson. Kursi dapil tersebut secara terus-menerus dipegang oleh Partai Buruh sejak dapil itu dibentuk pada tahun 1945, dan kandidat Partai Buruh Margaret Hodge diharapkan untuk menang dengan mudah, dan pada akhirnya terjadi, Hodge menang dengan perolehan 13.704 suara (72,1%), sementara May menempati urutan ketiga dengan perolehan suara hanya 1.976 suara (10,4%). Lolos ke ParlemenSekitar 18 bulan menjelang pemilihan umum 1997, May terpilih sebagai kandidat Partai Konservatif untuk dapil Maidenhead, sebuah dapil baru yang diciptakan dari dapil surga Windsor dan Maidenhead dan Wokingham. May terpilih dengan perolehan 25.344 suara (49,8%), hampir dua kali lipat dari peringkat kedua Andrew Terence Ketteringham dari Demokrat Liberal, yang mendapatkan 13.363 suara (26,3%).[33] Meskipun demikian, partainya pada saat itu mengalami kekalahan terburuk di pemilu dalam kurun waktu lebih dari 150 tahun terakhir. Referensi
Pranala luar
|