Quran memuat kisah tentang seorang tokoh bernama Zulkarnain (bahasa Arab: ذو القرنين, Dzulqarnain), yang secara harfiah berarti "Sang Empunya Dua Tanduk."[1]
Dunia kesarjanaan modern sudah lama menyadari bahwa kisah Zulkarnain di dalam Quran sangat mirip dengan legenda Aleksander Agung versi Suryani.[2] Menurut legenda ini, Aleksander Agung melakukan perjalanan ke ujung-ujung bumi, kemudian mendirikan sebuah tembok di pegunungan Kaukasus guna mencegah Gog dan Magog menggerayangi negeri-negeri beradab (unsur terakhir ini sudah muncul berabad-abad sebelumnya di dalam karya tulis sejarawan Yosefus). Beberapa sarjana berpendapat bahwa bentuk narasi yang terkandung di dalam Legenda Aleksander Suryani (dikenal dengan sebutan Nesyānā) berasal dari kurun waktu 629-636 Masehi, dan oleh karena itu bukanlah sumber dari narasi Quran,[3] selaras dengan pandangan banyak sarjana Barat[4] maupun ulama Muslim[5][6] bahwa Surah Al-Kahf tergolong dalam kumpulan surah Makiyah jangka ke-2 (615-619 Masehi).[7] Meskipun demikian, Legenda Aleksander Suryani dipertanggal berbeda-beda oleh sarjana yang berbeda-beda pula, mulai dari versi terkemudian yang dipertanggal tahun 630 Masehi[8] (dekat dengan waktu kematian Muhammad) sampai dengan versi terdahulu yang diperkirakan sudah ada pada abad ke-6 Masehi.[9] Sidney Griffith berpendapat bahwa alur cerita yang terdapat di dalam Legenda Aleksander Suryani, dan homili bermetrum atau puisi Aleksander yang disusun tidak begitu lama sesudahnya, "mungkin sekali sudah beredar luas secara lisan sebelum kedua gubahan sastra Suryani tersebut dituangkan ke dalam bentuk tertulis", dan mungkin sekali versi yang beredar luas secara lisan inilah yang dikilas balik di dalam ruang lingkup Islami.[10] Mayoritas peneliti Quran pada zaman modern maupun mufasir Islam mengidentifikasi Zurkarnain sebagai Aleksander Agung.[10]
Aleksander yang melegenda
Aleksander di dalam legenda dan roman
Aleksander Agung adalah tokoh yang sangat dikagumi masyarakat zaman Klasik maupun Pascaklasik di kawasan Laut Tengah dan Timur Tengah. Nyaris segera sesudah ia mangkat pada tahun 323 Pramasehi, marak bermunculan legenda-legenda seputar sepak terjang maupun liku-liku perjalanan hidupnya. Seiring bergulirnya waktu, legenda-legenda tersebut berkembang kian fantastis dan alegoris. Tradisi penceritaan legenda-legenda tentang Aleksander ini secara kolektif disebut roman Aleksander. Beberapa resensinya menyajikan cerita-cerita yang sangat memikat, misalnya cerita Aleksander melayang naik ke Firdaus, cerita Aleksander menjelajahi dasar laut dengan menggunakan wahana gelembung kaca, dan cerita Aleksander bertualang ke Negeri Kegelapan demi mencari Air Kehidupan (Mata Air Awet Muda).
Naskah-naskah roman Aleksander tertua dalam bahasa Yunani yang sintas terindikasi ditulis di Aleksandria pada abad ke-3 Masehi. Karya tulis aslinya yang sudah hilang merupakan sumber dari sekitar 80 versi berlainan yang ditulis dalam 24 macam bahasa.[11] Karena tak kunjung lekang berabad-abad lamanya, roman Aleksander akhirnya terserap ke dalam budaya sastrawi bangsa-bangsa lain di sekitar Aleksandria, khususnya ke dalam tradisi legenda Yahudi dan Kristen. Di dalam tradisi legenda Yahudi, mula-mula Aleksander adalah tokoh satir, representasi penguasa yang congkak atau tamak tetapi buta akan kebenaran-kebenaran rohani yang jauh lebih mulia. Meskipun demikian, keimanan kepada Tuhan Yang Mahakuasa lagi Mahaadil memaksa para mufasir Yahudi untuk membenarkan kesuksesan duniawi Aleksander yang mustahil mereka nafikan. Mengapa pula Tuhan Yang Mahakuasa lagi Mahaadil itu tampaknya berkenan memberkahi seorang penguasa fasik? Kebutuhan teologis ini, ditambah lagi dengan akulturasi dengan kebudayaan Helenistis, menggiring para mufasir Yahudi kepada suatu tafsir yang lebih positif atas warisan sejarah Aleksander Agung. Dalam bentuknya yang paling netral, tafsir semacam ini dicirikan oleh penokohan Aleksander sebagai pribadi yang menghormati bangsa Yahudi atau simbol-simbol keimanan bangsa Yahudi. Lewat penokohan penakluk besar itu sebagai pribadi yang mengakui kebenaran hakiki agama, kearifan, atau tradisi etis Yahudi, pamor Aleksander diberdayakan bagi kepentingan etnosentrisme Yahudi. Para pujangga Yahudi pada akhirnya merangkul Aleksander dengan sikap penerimaan yang nyaris paripurna. Ia digambarkan sebagai liyan budiman, atau bahkan sebagai orang yang beriman kepada Tuhan Yang Mahaesa.[12]
Masyarakat Kristen di kawasan Timur Dekat, yang mewarisi unsur-unsur Helenistis maupun unsur-unsur Yahudi dari roman Aleksander, meneologikan Aleksander lebih jauh lagi, sampai-sampai ia dihadirkan sebagai seorang waliyullah di dalam beberapa hikayat. Legenda-legenda Kristen mengubah Aleksander III, raja penakluk dari zaman Yunani Kuno, menjadi Aleksander raja beriman, yang menyiratkan keimanan kepada Tuhan Yang Mahaesa. Unsur-unsur roman Aleksander pada akhirnya dipadukan dengan legenda-legenda Alkitabiah seperti Gog dan Magog.
Pada zaman roman Aleksander ditulis, tidak banyak sejarah sesungguhnya dari Aleksander Agung yang diketahui orang, karena sebagian besar sejarah perang-perang penaklukan yang dilancarkannya terlestarikan dalam bentuk cerita rakyat dan berbagai legenda. Sejarah sesungguhnya dari tokoh Aleksander III baru terungkap kembali pada zaman Renaisans (1300-1600 Masehi):
Sejak Aleksander Agung mangkat pada tahun 323 Pramasehi, tak seabad pun di dalam sejarah, baik di Barat maupun di Timur, nama dan sepak terjangnya lekang dari ingatan orang. Sekalipun demikian, bukan hanya semua catatan sejarah dari masa hidupnya sudah hilang, malah karya tulis yang disusun berdasarkan catatan-catatan sejarah tersebut, kendati baru disusun sekitar empat setengah abad sesudah kemangkatannya, yakni Anabasis karangan Arianos, sama sekali tidak diketahui para pujangga Abad Pertengahan, dan hanya baru tersaji bagi dunia kesarjanaan Barat berkat bangkitnya minat untuk mendalami karya-karya sastra klasik [pada zaman Renaisans]. Sebab utama langgengnya ketenaran Aleksander untuk sekian lamanya, di dalam khazanah pengetahuan sekian banyak bangsa, adalah resensi-resensi dan transmogrifikasi-transmogrifikasi yang tak terbilang banyaknya dari karya sastra yang dikenal dengan sebutan Roman Aleksander atau Risalah Pseudo-Kalistenes.[13]
Pertanggalan dan asal muasal legenda-legenda Aleksander
Materi legenda Aleksander seawal-awalnya muncul pada zaman wangsa Ptolemayos (305-30 Pramasehi). Jati diri pengarangnya tidak diketahui, dan kadang-kadang disebut Pseudo-Kalistenes (bukan Kalistenes dari Olintos, sejarawan resmi rezim Aleksander Agung). Naskah sintas tertua roman Aleksander, yang diberi nama resensi α (alfa), dapat dipertanggal abad ke-3 Masehi, ditulis dalam bahasa Yunani di Aleksandria:
^Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama Tesei2013
^Wheeler, B. "Moses in the Quran and Islamic Exegesis". hlm. 19.
^Theodor Nöldeke: Geschichte des Qorāns. Göttingen 1860; 2. Aufl., Teil 1–3, bearb. von Friedrich Schwally (Teil 1–2), Goffhelf Bergsträsser u. Otto Pretzl (Teil 3). Leipzig 1909–1938.
^Allamah Abu 'Abd Allah al-Zanjani - The History of the Quran - Al-Tawheed Vol. 4, No. 3; Vol. 5, No. 1, 2, & 3.
^Kevin P. Edgecomb - Chronological Order of Quranic Surahs - Bombaxo, 2002.
^Gero, Stephen. "The Legend of Alexander the Great in the Christian Orient"(PDF). hlm. 4–5. Pada khususnya ia dikisahkan mengurung kabilah-kabilah Ya'juj wa Majuj, atau Gog dan Magog menurut Alkitab, dengan sebuah pintu atau tanggul besi yang baru dapat diterobos kabilah-kabilah tersebut pada akhir zaman. Nah, babak ini tidak terdapat di dalam bentuk tertua dari roman Aleksander; malah baru diinterpolasikan, sebagaimana yang akan kita lihat sekarang, ke dalam resensi-resensi roman Aleksander yang disusun di Romawi Timur pada Abad Pertengahan berdasarkan sumber-sumber lain; jadi tegas saja roman Aleksander tidak dapat dianggap sebagai sumber dari narasi Quran. [...] karya tulis tersebut (legenda Aleksander nesyana) juga tidak terkualifikasi sebagai sumber langsung dari kisah Aleksander 'Sang Empunya Dua Tanduk' di dalam Quran [...] investigasi-investigasi mutakhir mengindikasikan suatu pengetahuan ex eventu akan invasi bangsa Khazar atas Armenia pada tahun 629 Masehi.
^Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama KvBALitQ2008:175-203
^Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama :0
Anderson, Andrew Runni (1927). "Alexander's horns". Transactions and Proceedings of the American Philological Association. 58: 110.
Anderson, Andrew Runni (1928). "Alexander at the Caspian Gates". Transactions and Proceedings of the American Philological Association. 59: 130–163. doi:10.2307/282983. JSTOR282983.
E. A. W. Budge (translator), ed. (1889). "A Discourse Composed by Mar Jacob upon Alexander, the Believing King, and upon the Gate which he made against Gog and Magog," in The History of Alexander the Great Being, the Syriac Version of the Pseudo-Callisthenes (dalam bahasa Syriac).Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Budge (translator), E. A. W., ed. (1896). "The Life and Exploits of Alexander the Great Being," a Series of Translations of the Ethiopic Histories of Alexander by the Pseudo Callisthenes and Other Writers (dalam bahasa Ethiopic).Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Czeglédy, K. (1954). "Monographs On Syriac And Muhammadan Sources In The Literary Remains Of M. Kmoskó". Acta Orientalia Academiae Scientiarum Hungaricae. 4: 35–36.
Czeglédy, K. (1957). "The Syriac Legend Concerning Ale/xander The Great". Acta Orientalia Academiae Scientiarum Hungaricae. 7: 246–247.
Doufikar-Aerts, Faustina (2003). "The Last Days of Alexander in an Arabic Popular Romance of Al-Iskandar". Dalam Panayotakis, Stelios; Zimmerman, Maaike; Keulen, Wytse. The Ancient Novel and Beyond. Leiden, The Netherlands: Brill Academic Publishers NV. ISBN978-90-04-12999-3.
Friedländer, Israel (1910). "Zur Geschichte Der Chadhirlegende" [The History of the Al-Khidir Legend]. Archiv für Religionswissenschaft (dalam bahasa German). 13: 92–110.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Friedländer, Israel (1910). "Alexanders Zug Nach Dem Lebensquell Und Die Chadhirlegende" [Alexander's Journey to the Water of Life and the Legend of Al-Khidir]. Archiv für Religionswissenschaft (dalam bahasa German). 13: 161–246.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Friedländer, Israel (1913). Die Chadhirlegende Und Der Alexanderroman [The Legend of Al-Khidir and the Alexander Romance] (dalam bahasa German). Leipzig: Druck Und Verlag Von B. G. Teubner.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Nöldeke, Theodor (1890). "Beiträge Zur Geschichte Des Alexanderroman". Denkschriften der Kaiserlichen Akademie der Wissenschaften, Philosophisch-historische Klasse (dalam bahasa German). 37: 31.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
Nöldeke, Theodor (1893). "The Koran". Encyclopædia Britannica. 16. Edinburgh: A & C Black. hlm. 600.
Nöldeke, Theodor (2005) [1893]. "The Koran". Dalam Turner, Colin. The Koran: Critical Concepts In Islamic Studies. 1. London & New York: RoutledgeCurzon. hlm. 77–78. ISBN978-0-415-31191-5.
Reynolds, Gabriel Said (2007). The Qur’an in its Historical Context. Routledge. ISBN978-0-415-42899-6.
Stoneman, Richard (2003). "Alexander the Great in Arabic Tradition". Dalam Panayotakis, Stelios; Zimmerman, Maaike; Keulen, Wytse. The Ancient Novel and Beyond. Leiden, The Netherlands: Brill Academic Publishers NV. ISBN978-90-04-12999-3.
Wensinck, Arent Jan (1918). "The Ocean in the Literature of the Western Semites". Verhandelingen der Koninklijke Akademie van Wetenschappen te Amsterdam. Afdeeling Letterkunde. Nieuwe reeks. dl. 19. no. 2.
Wheeler, Brannon M. (2002). Moses in the Qur'an. London: RoutledgeCurzon. hlm. 10–36.
Zuwiyya, Z. David (2009), "Alexander the Great", dalam Campo, Juan, Encyclopedia of Islam, New York: Facts on File, hlm. 30–31, ISBN0-8160-5454-1, diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-11-05, diakses tanggal 2019-03-05