Robinia grandiflora L. (1753)[2] Aeschynomene grandiflora L. (1763) Sesban grandiflorus Poir. (1806)[3] Agati grandiflora Desv. (1813)[4]
Turi (Sesbania grandiflora) merupakan pohon kecil anggota sukuFabaceae. Tumbuhan dengan banyak kegunaan ini asalnya diduga dari Asia Selatan dan Asia Tenggara, tetapi sekarang telah tersebar ke berbagai daerah tropis dunia.
Turi merupakan pohon yang berkayu lunak dan berumur pendek. Tingginya dapat mencapai 5-12 m.[7]Akarnya berbintil-bintil dan berguna untuk menyuburkan tanah.[8]Bunganya besar dan keluar dari rantingnya. Bunganya apabila mekar, berbentuk seperti kupu-kupu.[7] Warna bunganya ada yang merah dan ada juga yang putih.[9] Ada juga yang berwarna gabungan kedua-duanya.[8] Letaknya menggantung dengan 2-4 bunga dan bertangkai, kuncupnya berbentuk sabit.[7]Rantingnya menggantung, kulit luar berwarna kelabu hingga kecokelatan. Kulit luarnya ini tidak rata dengan alur membujur dan melintang tidak beraturan dengan lapisan gabus yang mudah terkelupas. Pada bagian dalam, batangnya berlendir dan berair[9] yang berwarna merah, dan rasanya pahit.[10] Percabangan baru keluar apabila panjangnya sudah mencapai 5 meter. Daunnya majemuk[9] dan tersebar.[7]
Memiliki daun penumpu sepanjang 1/2-1 cm. Anak daunnya bentuknya jorong memanjang, rata, dan menyirip genap. Panjang tangkai daun 20–30 cm. Tangkainya pendek, dan setiap tangkai berisi 20-40 pasang anak daun. Warna bunganya ada yang merah dan ada juga yang putih.[9]Buahnya berbentuk polong, menggantung, bersekat, dengan panjang 20-55 cm, sewaktu muda berwarna hijau, dan sudah tua berwarna kuning keputih-putihan. Sedangkan bijinya berbentuk bulat panjang, dan berwarna cokelat muda.[4]
Persebaran dan habitat
Spesies ini tersebar di India Timur sampai Australia. Di Indonesia, tumbuhan ini ditanam sebagai tumbuhan hias di halaman-halaman rumah dan di sawah-sawah sebagai tanaman pelindung. Ia dapat pula hidup pada tanah asam dan kadang juga tumbuh subur di tanah berair.[11] Akan tetapi, turi tidak baik ditanam pada ketinggian lebih dari 1.500 mdpl.[9] Turi biasanya digunakan sebagai tanaman pelidung[9] pohon rambatan bagi tanaman lada atau vanila.[12]
Perbanyakan turi dilakukan dengan biji atau stek batang.[13] Biji-biji tersebut disemai terlebih dahulu. Biji yang ditabur tanpa naungan dapat berkecambah hingga 80%, tetapi perkembangbiakan dengan stek batang dilakukan kadang-kadang saja.[14]
Manfaat
Lalapan
Daun, bunga dan polongnya yang masih muda dapat dimakan sebagai sayur atau lalap setelah direbus terlebih dahulu. Daun muda ini baunya tetap tidak enak dan berlendir, sekalipun telah dikukus. Namun lalapan daun ini baik dimakan ibu untuk menambah ASI. Bunganya terasa gurih dan manis, sehingga digemari sebagai campuran pecel.[15] Untuk membuat pecel ini, bunga turi (bisa juga diganti kacang panjang) ini dicampur dengan "ganteng" taoge, bersama dengan kulit melinjo yang sudah dikukus direbus sampai cukup masak. Kalau merebus bahan-bahan ini hanya setengah matang, akan menyebabkan rasa "gatal" di tenggorokan karena bulunya belum rontok.[16] Buah turi yang berwarna putih merupakan sayur yang sangat digemari di Jawa. Polongnya pun dapat dimakan layaknya kacang panjang.[8]
Obat tradisional
Pepagannya dapat dipergunakan sebagai obat. Kulit kayu ini diremas dalam air atau direbus, dan airnya diminum untuk mengobati seriawan, disentri, murus darah, atau menceret pada umumnya. Namun jika terlalu banyak diminum, air rebusan ini akan bekerja sebagai obat muntah (emetik).[5]
Bunganya yang berwarna merah bermanfaat sebagai obat.[a] Kulit kayunya yang berwarna merah dijual dengan nama kayu timor. Kadar tanin yang tinggi inilah yang menyebabkan dapat digunakan untuk penyembuhan luka atau disentri.[15][b] Pada umumnya kayu timor ini digunakan untuk mengobati berak darah dan mengatasi peradangan, memar, dan bengkak-bengkak.[5]
Dalam pengobatan, turi dapat digunakan untuk seriawan, radangusus (dengan cara meminum rebusan pepagan turi)[4] disentri, diare, scabies (yakni dengan tumbukan kulit kayu yang dibubuhkan di tempatnya[15]), cacar air, keseleo, terpukul,[17] keputihan, batuk, beri-beri, sakit kepala, radang tenggorokan; demam nifas, produksi ASI, hidung berlendir, batuk, reumatik, dan luka.[13] Adapun, oleh etnis Sumba, daun dan pepagan turi digunakan untuk ditempelkan pada bagian yang patah tulang, yang kemudian diikat dengan kain dan dibungkus oleh pelepah daun pisang selama seharian.[18]
Menurut penelitian ilmiah, getah tumbuhan ini merupakan astringen. Ia mengandung zat pewarna utama, yakni agatin dan zantoagatin, kemudian basorin, dan tanin. Biji tumbuhan ini mengandung 70% protein, dan daunnya mengandung saponin yang tidak berbahaya,[10] sekalipun dapat dijadikan pengganti sabun untuk mencuci pakaian.[15] Bunganya mengandung konten gula variabel dan sumber vitamin B. Semua bagian tumbuhan ini dilaporkan dapat menyembuhkan rabun senja; kalau memang demikian, tumbuhan ini mengandung vitamin A.[10]
Penelitian terbaru mendapatkan bahwa akar turi mengandung bahan-bahan aktif yang bersifat anti-tuberkulosis terhadap bakteria Mycobacterium tuberculosis. Bahan-bahan itu di antaranya adalah asam betulinat dan tiga macam isoflavanoid.[19]
Penyamak dan pewarna
Pepagan turi mengeluarkan getah bening yang akan mengeras menjadi gom apabila kena udara. Gom ini dimanfaatkan sebagai pengganti gom arab, dan digunakan dalam makanan dan perekat.[6] Di Karimunjawa, lendirnya digunakan untuk pewarna.[8]
Getah turi itu dimanfaatkan nelayan zaman dahulu untuk mengolesi tali pancing dan jala agar lebih awet. Getah ini juga dapat dicampurkan ke dalam cat hitam yang dipakai untuk mengawetkan tambang atau kayu bangunan; selain itu getah juga bersifat mengikat cat. Gom turi digunakan pula sebagai perekat dalam penjilidan buku.[5]
Di samping getah, cairan rebusan pepagan turi dipakai untuk merendam alat-alat penangkap ikan sehingga tahan lama. Di Kebumen, air rebusan yang dicampur dengan jelaga dipakai untuk memberi warna hitam pada kerajinan anyaman bambu.[5]
Pakan ternak
Daun-daun turi juga dapat dipergunakan untuk makanan ternak[9] dan pupuk hijau.[12]
Banyak catatan yang menunjukkan bahwa turi merupakan hijauan pakan yang disukai ruminansia dan bernilai nutrisi tinggi.[20] Setiap 100 g berat kering, daun-daun turi mengandung sekitar 36% protein kasar dan 9600 IU vitamin A.[6] Konsentrasi N pada dedaunan itu sekitar 3,0–5,5%, dan lebih tinggi lagi pada biji, yakni hingga 6,5%. Ketecernaan dedaunan itu berkisar antara 65–73%, dengan kandungan serat kasar yang rendah (5–18%). Dan meskipun hijauan ini diketahui mengandung saponin dan tanin, sejauh ini tidak ada reaksi toksik yang terjadi pada ruminansia. Akan tetapi pemanfaatannya bagi hewan berperut tunggal (monogastrik) perlu berhati-hati, karena pakan ini bersifat mematikan bagi ayam.[20]
Berikut ini adalah zat kimia yang terkandung dalam turi yang menyebabkan baik untuk dimakan ternak:[21]
Kayu turi tergolong ringan; BJ-nya berkisar antara 0,38 hingga 0,50 dan digolongkan dalam kelas awet V (tidak awet). [14][6]
Kayu ini juga kurang baik untuk dijadikan kayu bakar, karena banyak menghasilkan asap. Meskipun demikian, turi menjadi sumber kayu bakar yang populer di pedesaan karena lekas tumbuh dan telah menghasilkan kayu pada umur setahun.[6] Turi dapat mencapai tinggi 2 m dalam 12 minggu, dan 4–5 m dalam setahun; di Indonesia dapat menghasilkan 20–25 m³/ha per tahun apabila ditanam rapat-rapat. Kayunya lunak, berwarna putih, dan lekas rusak.[20]
Batang/kayu turi dapat diolah menjadi kertas[8] dengan campuran bambu. Dengan rotasi penanaman 3-4 tahun, turi mampu menghasilkan lebih banyak bahan mentah selulosa per satuan luas jika dibandingkan jenis kayu penghasil pulp yang lain. Akan tetapi serat kayu turi ini pendek-pendek, sehingga perlu dicampur dalam proporsi yang cukup dengan serat bambu yang lebih panjang, agar dapat menghasilkan kertas yang lumayan kuat. Bubur kayu turi dapat dipakai untuk membuat kertas kelas menengah ke bawah:kertas koran, majalah, kertas tulis, atau untuk barang cetakan murah.[6]
Kayu ini digunakan pula untuk papan.[10] Dengan bertambahnya umur, kepadatan kayu turi pun turut meningkat. Kayu yang dihasilkan turi berumur 5–8 tahun telah cukup besar dan cukup kuat untuk dipergunakan sebagai ramuan rumah atau untuk membuat peralatan. Kayu ini mungkin pula untuk dijadikan tiang, akan tetapi kurang awet karena kayu turi mudah diserang cendawan dan serangga.[6]
Kulit pohon turi yang sudah dijadikan bubuk dapat digunakan untuk kosmetik.[12]Daunnya yang mengandung saponin dapat digunakan untuk menggantikan sabun setelah diremas-remas dalam air untuk mencuci pakaian.[15]
Kegunaan lain
Di samping itu turi juga ditanam untuk pelbagai kegunaan: peneduh, pagar hidup, penahan angin, pohon rambatan, pohon hias, dan juga untuk menghijaukan lahan kritis.[20] Bintil-bintil akar pada turi mengikat nitrogen dalam tanah, dan dengan demikian memperbaiki kesuburan tanah. Daun-daun, bunga, dan buah yang berjatuhan menjadi mulsa dan pupuk hijau yang baik. Karena pertumbuhannya yang cepat, turi sangat baik ditanam sebagai tanaman antara –misalnya pada masa bera– untuk memulihkan kesuburan tanah.[6]
Pada tahun 1984, belalang kayu menyerang tanaman kelapa, pisang, cemara, dan juga turi di wilayah Kebumen dan Tegal.[22] Beruntung, salah satu cara untuk mengusir hama belalang kayu adalah dengan menanam turi yang mengundang kumbang endol (Mylabris putulata). Turi juga ditanam untuk membasmi belalang kayu (Valanga nigricornis zehntneri). Ini dimaksudkan untuk mengundang kumbang endol. Kumbang dewasa menyukai bunga turi, sementara larvanya akan memakan telur-telur belalang.[23]
Turi juga bermanfaat sebagai pagar hidup. Maksudnya di sini adalah sebagai penghalang bibitsayuran dari gangguan-gangguan ruminansia seperti ayam kampung. Slamet Soeseno, penulis buku sayuran Indonesia mencatat bahwa pagar hidup dapat dibuat berselang-seling. Misalnya, turi berselang-seling dengan kelor dan singkong.[24][25] Maka dari itu, tidak perlu mengeluarkan biaya banyak untuk memagari bibit tanaman sayuran, semisal dengan bambu ataupun tembok setengah badan berkawatkasa.[24]
^ abcdHeering, J.H. & R.C. Gutteridge. 1992. Sesbania grandiflora (L.) Poir.Diarsipkan 2016-03-04 di Wayback Machine. [Internet] Record from Proseabase. L.'t Mannetje and R.M. Jones. (Editors). Forages.: Plant Resources of South-East Asia 4: 196-198. PROSEA (Plant Resources of South-East Asia) Foundation, Bogor, Indonesia. Accessed from Internet: 5-Feb-2013
Dharma, A.P. (1987). Indonesian Medicinal Plants (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Balai Pustaka. ISBN979-407-032-7.Parameter |trans_title= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Hidayat, Syamsul (2005). Ramuan Tradisional ala 12 Etnis Indonesia. Jakarta: Penebar Swadaya. ISBN979-489-944-5.
Sastrapradja, Setijati; Lubis, Siti Harti Aminah; Djajasukma, Eddy; Soetarno, Hadi; Lubis, Ischak (1980a). Proyek Penelitian Potensi Sumber Daya Ekonomi:Sayur-Sayuran. 6. Jakarta: LIPI bekerja sama dengan Balai Pustaka. OCLC66307472.
Sastrapradja, Setijati; Lubis, Siti Harti Aminah; Djajasukma, Eddy; Soetarno, Hadi; Lubis, Ischak (1980b). Proyek Penelitian Potensi Sumber Daya Ekonomi:Kayu Indonesia. 14. Jakarta: LIPI bekerja sama dengan Balai Pustaka. OCLC11804239.
Sastrapradja, Setijati; Naiola, Beth Paul; Rasmadi, Endi Rochandi; Soepardiyono, Ernawati Kasim; Waluyo, Eko Baroto (1980c). Proyek Penelitian Potensi Sumber Daya Ekonomi:Kayu Indonesia. 16. Jakarta: LIPI bekerja sama dengan Balai Pustaka.Parameter |first4= tanpa |last4= di Authors list (bantuan)