Shamu'il (bahasa Arab: شموئيل atauأشموئيل, translit. Šamū'īl atau Ašmū'īl) adalah seorang nabi bagi Bani Israil. Menurut Ibnu Katsir, ada yang mengatakan bahwa ia bernama Asymuel bin Bali bin Alqamah bin Yarkham bin Ilyahu bin Tahwu bin Shauf bin Alqamah bin Mahits bin Amusha bin Azriya. Mutaqil berkata bahwa "Shamu'il adalah keturunan Harun." Mujahid berkata "Ia adalah Asymuel bin Halfaqa".[1]
Kisah
Latar belakang
Setelah Bani Israil ingkar kepada agama yang dibawa Nabi Musa AS karena mengeramatkan dan menuhankan kekuatan yang terdapat pada benda bernama Tabut, nasib Bani Israil ini semakin lama kian terpuruk. Mereka yang tadinya memiliki kekuatan superhebat dari segala kondisi, berubah tidak ada apa-apanya pascameninggalnya Nabi Musa.
Dalam keadaan itu, akhirnya mereka dapat dikalahkan dan diusir dari kampung halaman mereke sendiri oleh bangsa Filistin dan akhirnya benda Tabut yang mereka agung-agungkan dalam kehidupan sehari-hari itu diambil alih kepemilikannya. Selama beberapa dekade Palestina berkuasa di tanah kaum Bani Israil.
Setelah kejadian tersebut, bangsa Israil semakin melarat karena penjajahan. Bukan hanya harta benda yang hilang dari mereka, kerabat dan keluarga mereka hilang karena penjajahan. Kondisi itu terjadi sampai bertahun-tahun dan tidak ada yang berani menentang penjajah terhadap mereka.
Akhirnya, seperti dikisahkan H Bey Arifin dalam bukunya Rangkaian Cerita Alquran, Allah mengutus kepada mereka seorang rasul, nabi itu bernama Shamu'il. Perlahan tapi pasti, Shamu'il dapat menata masyarakat kota itu kepada arah bertujuan dan kemakmuran.
Semua keadaan yang tadinya bercerai-berai lambat laun bisa dipersatukan dan pada akhirnya tejadilah sebuah perkumpulan yang membentuk sebuah keputusan politik domestik pada masyarakat itu untuk bisa keluar dari cengkeraman penjajahan.
Dari perkumpulan itu, timbullah hasrat di antara mereka untuk mengusir bangsa Palestina yang telah mengusir mereka dari tanah kelahiran mereka sendiri. Namun, belum ada di antara mereka yang bisa dikaderkan untuk memimpin perlawanan terhadap bangsa Palestina.
Shamu'il orang yang bijak sekaligus utusan Allah SWT tahu benar kelemahan kaum yang ada di hadapannya itu. Kelemahan mereka, kaum Bani Israil itu, lantaran di antara mereka sama sekali tidak ada kemauan untuk berjuang dan bangkit dari kelemahan.
Selain itu, kelemahan mereka juga didasari tidak adanya rasa takut terhadap pemimpinnya. Untuk itu, Shamu'il menyarankan dan berkata, "Kelemahan dari kalian adalah tidak mau berjuang menghadapi peperangan jika dipanggil untuk berperang,"
Kaum Bani Israil menyanggah apa yang disampaikan Shamu'il, mereka memastikan jika saja ada yang memimpin mereka untuk melakukan perlawanan pastinya mereka akan melawan karena sudah tidak kuat lagi hidup sengsara berpisah dengan keluarga dan Tanah Air. "Jika ada yang mau memimpin kami dalam perjuangan, kami siap melawan."
Meski telah melihat semangat kaumnya dari golongan Bani Israil, Shamu'il tidak buru-buru mengambil keputusan siapa yang dia tunjuk untuk menjadi seorang pemimpin bagi mereka, tapi menunggu beberapa saat perintah atau wahyu dari Allah SWT. Selang beberapa hari, Allah SWT menurunkan wahyu kepada Shamu'il agar memilih Thalut sebagai pemimpin dan jenderal di antara mereka.
Thalut adalah anak desa yang masih termasuk dalam kelompok Bani Israil yang melarat. Tugas dia sehari-hari menggembala kambing. Sehingga, jarang orang yang mengenal dia, begitu kaget ketika Shamu'il menyampaikan kepada kaum Bani Israil bahwa yang akan menjadi pemimpin mereka adalah Thalut yang sama sekali tidak pernah mereka pedulikan keberadaannya.
Tapi, di luar dari pandangan rendah dari Bani Israil itu, Thalut memiliki banyak kelebihan yang tidak pernah mereka ketahui. Thalut merupakan orang yang berbadan kuat, sehat, perawakan tinggi, gagah, tajam sorot mata dan pikiran, serta pengetahuannya yang luas. Selain itu, dia memiliki hati suci, bersih, dan budi pekerti yang agung. Dia tinggal di desa kecil bersama bapaknya.
Pertemuan
Pencarian ternak yang hilang menjadi jalan Thalut menerima perintah langsung dari Shamu'il untuk memimpin Bani Israil. Thalut dan Shamu'il bertemu di puncak bukit setelah mendapatkan saran dari orang-orang yang ditemuinya ketika mencari salah satu ternaknya yang hilang. Thalut yakin bahwa orang yang dia temui itu adalah Shamu'il, utusan Allah SWT, hal itu terlihat dari tanda kenabian Shamu'il.
Ketika awal pertemuan, keduanya saling memandang, wajah Shamu'il menatap tajam wajah Thalut, dalam hatinya, Shamu'il bergumam bahwa orang yang baru saja dilihatnya itu adalah orang yang ada dalam wahyu Allah.
Thalut memulai percakapan. "Saya datang menemui Tuan, hai Nabi Allah, untuk meminta keterangan dan petunjuk tentang keledai bapakku yang hilang di tengah padang yang luas ini," ceritanya.
Thalut melanjutkan percakapan ketika Nabi Shamu'il belum melepaskan pandangan terhadap wajahnya. "Sudah menjadi perintah Allah bahwa kita hamba-Nya jangan berputus asa. Mudah-mudahan Tuan kiranya dapat menunjukkan kepada kami di mana keledai itu dengan ilmu tuan miliki," katanya.
Shamu'il lalu menjawab, "Adapun, keledai yang hilang itu sekarang sedang berjalan pulang menuju kandangnya," katanya.
Shamu'il menyarankan supaya Thalut tidak lagi susah payah mencari ternaknya yang hilang. Setelah memberikan saran kepada Thalut, Shamu'il menyampaikan bahwa Allah SWT telah memberikan amanat kepadanya untuk menjadi pemimpin dari kaum Bani Israil untuk berperang dan mempersatukan kaum dan menyusun kekuatan mereka untuk menghadapi musuh-musuh yang sudah lama menjajah Bani Israil.
"Allah sudah menjanjikan pertolongannya bagi engkau. Engkau akan mendapatkan kemenangan dalam pertempuran dengan penjajah itu,"
Mendengarkan pernyataan itu, Thalut seakan tidak percaya, dia seorang fakir dan miskin diwajibkan untuk memimpin mereka yang pernah bergelimang harta dan memiliki kekuasaan yang tinggi di antara mereka. "Benar saya akan jadi raja, pemimpin, dan jenderal mereka?"
Shamu'il menguatkan bahwa dia tidak perlu merasa rendah atas kondisi derajat dan setatus sosialnya yang rendah. "Ini adalah kehendak dan wahyu Allah SWT. Engkau harus bersyukur atas nikmat Allah dan membulatkan pikiran untuk memimpin perjuangan," kata Shamu'il.
Penolakan
Sesudah Shamu'il dan Thalut berjabat tangan, keduanya lalu pergi menemui Bani Israil. Nabi Shamu'il menyampaikan kepada mereka. Bahwa dia telah memilih Thalut menjadi seorang pemimpin bagin Bani Israil, untuk itu, dia mesti menuruti apa yang menjadi keputusan Thalut. "Bersiaplah kalian untuk menghadapi musuh-musuh di bawah komandonya," katanya.
Mendengarkan perkataan Nabi Shamu'il sebagian ada yang terima ada yang tidak. Di antara mereka yang tidak terima menyela Thalut yang miskin dan lemah. Mereka protes mengapa Thalut harus dijadikan raja, padahal di antara mereka ada anak Lawei yang masih keturunan nabi dan rasul yang selama ini memegang tampuk pimpinan dan keturunan raja-raja pula yang pantas memimpin mereka. "Mengapa orang yang tidak kami kenal itu akan menjadi raja kami?" katanya.
Shamu'il langsung menenangkan kaumnya yang masing-masing menyampaikan tanggapan miring terhadap Thalut. Shamu'il berkata bahwa menjadi panglima perang dan kepala negara sesungguhnya tidak membutuhkan syarat bangsawan dan hartawan. Karena, kata dia, sekalipun orang itu bangsawan dan hartawan, jika tidak mampunyai kebijakan dan kemampuan, ia tidak dapat dijadikan raja.
Kata dia, Thalut telah Allah SWT berikan kelebihan dibandingkan orang-orang yang mereka usulkan. Ia memiliki kekuatan dan kesanggupan karena sehat badan panjang akalnya, sehat jiwanya, dan tabah hatinya. "Sehingga, hanya Thalutlah yang pantas memimpin dan memerintah kita sekalian," kata Shamu'il.
Mereka yang tidak setuju langsung merespons dengan mengatakan bahwa dia tidak bisa begitu saja menjalankan semua perintahnya dan menghentikan larangannya. Sebelum ada bukti bahwa Thalut adalah orang yang pantas menjadi pemimpin mereka. "Perlihatkan kepada kami tanda dan bukti itu," pintanya.
Seketika Allah SWT memperlihatkan bukti, benda Tabut yang telah lama hilang dibawa oleh para malaikat dan diserahkan kepada Thalut. Dari bukti itulah akhirnya mereka rela Thalut menjadi raja dan pemimpin mereka.
Thalut menduduki kursi kerajaan yang telah dan diserahkan kepadanya dengan segala tanggung jawab dan kebijaksanaan. Tampaklah keteguhan jiwa dan kebesaran semangat di antara mereka Bani Israil untuk berjuang melawan penjajahan terhadap mereka.[2]