Berbagai faksi bersenjata mulai bersaing memperebutkan pengaruh dalam kekosongan kekuasaan dan kekacauan yang terjadi, terutama di selatan.[20] Pada tahun 1990 hingga 1992, hukum adat diabaikan untuk sementara karena pertempuran.[21] Ini memicu kedatangan pengamat militer PBBUNOSOM I pada bulan Juli 1992, diikuti oleh pasukan pemelihara perdamaian yang lebih besar. Pertarungan antar faksi berlanjut di selatan. Dengan tidak adanya pemerintah pusat, Somalia menjadi "negara gagal".[22] PBB mundur pada tahun 1995, setelah menderita korban yang signifikan, namun belum ada otoritas pusat yang dibentuk kembali.[20] Setelah runtuhnya pemerintah pusat, sebagian besar wilayah mulai kembali menerapkan hukum adat dan hukum agama mereka.[23] Pada tahun 1991 dan 1998, dua pemerintah daerah otonom juga dibentuk di bagian utara negara ini.[20] Hal ini menyebabkan intensitas pertempuran yang relatif rendah, dan SIPRI menyingkirkan Somalia dari daftar konflik bersenjata utama untuk tahun 1997 dan 1998.[24]
Pada tahun 2000, Pemerintah Transisi Nasional dibentuk, diikuti oleh Pemerintah Transisi Federal (TFG) pada tahun 2004. Kecenderungan untuk mengurangi konflik terhenti pada tahun 2005, dan konflik baru yang merusak terjadi di selatan pada tahun 2005 hingga 2007.[25] Namun, peristiwa tersebut memiliki skala dan intensitas yang jauh lebih rendah daripada di awal tahun 1990-an.[24] Pada tahun 2006, pasukan Ethiopia merebut sebagian besar wilayah selatan dari Uni Pengadilan Islam (ICU) yang baru dibentuk. ICU kemudian terpecah menjadi kelompok yang lebih radikal, terutama Al-Shabaab, yang sejak saat itu telah memerangi pemerintah Somalia dan pasukan penjaga perdamaian AMISOM yang diberi mandat untuk mengontrol negara ini. Somalia menduduki puncak Indeks Negara Gagal tahunan selama enam tahun, antara 2008 dan 2013.[26]
Pada bulan Oktober 2011, setelah rapat persiapan, pasukan Kenya memasuki wilayah selatan Somalia (Operasi Linda Nchi) untuk memerangi Al-Shabaab,[27] dan untuk membentuk zona penyangga di Somalia.[28] Pasukan Kenya secara formal diintegrasikan ke dalam pasukan multinasional pada bulan Februari 2012.[29] Pemerintah Federal Somalia kemudian didirikan pada bulan Agustus 2012, merupakan pemerintah pusat permanen pertama di negara ini sejak dimulainya perang saudara.[30] Para pemangku kepentingan dan analis internasional kemudian mulai menggambarkan Somalia sebagai "negara rapuh", yang melakukan beberapa kemajuan menuju stabilitas.[31][32][33][34]
Pada bulan Mei 1986, Barre mengalami luka parah dalam sebuah kecelakaan mobil di dekat Mogadishu, ketika mobil yang mengangkutnya menabrak bagian belakang sebuah bus saat hujan lebat disertai badai.[35] Ia dirawat di sebuah rumah sakit di Arab Saudi karena cedera kepala, patah tulang rusuk dan syok selama sebulan.[36][37]Letnan Jenderal Mohamed Ali Samatar, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Presiden, kemudian menjabat sebagai kepala negara secara de facto dalam beberapa bulan ke depan. Meskipun Barre mampu memulihkan diri dan cukup untuk menampilkan dirinya sebagai satu-satunya calon presiden untuk terpilih kembali dalam jangka waktu tujuh tahun pada tanggal 23 Desember 1986, kesehatan dan usia lanjutnya yang buruk menyebabkan munculnya spekulasi tentang siapa yang akan menggantikannya untuk berkuasa. Kemungkinan calonnya termasuk menantunya, Jenderal Ahmed Suleiman Abdille, yang saat itu adalah Menteri Dalam Negeri, selain Samatar.[35][36]
Dalam upaya mempertahankan kekuasaan, partai penguasa Dewan Revolusioner Tertinggi (SRC) yang dipimpin Barre menjadi semakin otoriter dan sewenang-wenang. Hal ini menyebabkan oposisi terhadap pemerintahannya tumbuh. Barre pada gilirannya mencoba untuk memadamkan kerusuhan dengan mengabaikan nasionalisme, dan lebih banyak bergantung pada orang-orang kepercayaannya, dan mengeksploitasi animisme klan yang bersejarah. Pada pertengahan tahun 1980-an, gerakan perlawanan yang didukung oleh administrasi komunis Ethiopia Derg lebih banyak bermunculan di seluruh negeri. Barre menanggapi dengan memerintahkan tindakan hukuman terhadap orang-orang yang dianggapnya secara lokal mendukung gerilyawan, terutama di wilayah utara. Pembekuan tersebut berupa pengeboman kota-kota, termasuk kota Hargeisa, yang merupakan basis kuat markas Gerakan Nasional Somalia (SNM), di antara daerah-daerah yang ditargetkan pada tahun 1988.[38]
Pada tahun 1990, saat pertempuran semakin intensif, Presiden pertama Somalia Aden Abdullah Osman Daar dan sekitar 100 politisi Somalia lainnya menandatangani sebuah manifesto yang menganjurkan rekonsiliasi.[39] Sejumlah penanda tangan kemudian ditangkap.[40] Taktik berat Barre semakin memperkuat daya tarik berbagai gerakan pemberontak, meski satu-satunya tujuan umum kelompok ini adalah menggulingkan pemerintahannya.[38] Kelompok-kelompok ini juga memainkan peran utama dalam mengembangkan pembajakan laut di Somalia.
Kongres Serikat Somalia menggulingkan Barre
Pada pertengahan 1990, pemberontak Kongres Serikat Somalia (USC) telah menangkap sebagian besar kota dan desa di sekitar Mogadishu, yang mendorong beberapa orang untuk memberi Barre gelar ironis 'Wali Kota Mogadishu'.[41] Pada bulan Desember, USC memasuki Mogadishu. Pertempuran selama empat minggu antara pasukan Barre yang tersisa dan USC terjadi, dan selama pertempuran USC membawa lebih banyak pasukan ke kota tersebut. Pada bulan Januari 1991, pemberontak USC berhasil mengalahkan Baret Merah, dan dalam prosesnya berhasil menggulingkan pemerintahan Barre.[38] Sisa-sisa kekuatan pemerintah akhirnya ambruk. Beberapa di antaranya menjadi pasukan regional yang tidak beraturan dan milisi klan.[42] Setelah kemenangan USC atas pasukan Barre, kelompok pemberontak lainnya menolak untuk bekerja sama dengan mereka, karena masing-masing justru mendapat dukungan utama dari konstituensi mereka sendiri.[38] Di antara gerakan-gerakan oposisi lainnya adalah Gerakan Patriotik Somalia (SPM) dan Aliansi Demokratik Somalia (SDA), sebuah kelompok Gadabuursi yang dibentuk di barat laut untuk melawan milisi klan Isaaq, Gerakan Nasional Somalia.[43] SNM pada awalnya menolak untuk menerima legitimasi pemerintahan sementara yang telah ditetapkan oleh USC.[38] Namun, mantan pemimpin SNM, Ahmed Mohamed Silanyo, kemudian mengusulkan kerangka pembagian kekuasaan pada bulan Maret 1991 antara SNM dan USC di bawah pemerintahan transisi baru.[44]
Banyak dari kelompok oposisi kemudian mulai bersaing memperebutkan pengaruh kekosongan kekuasaan yang terjadi setelah penggulingan pemerintahan Barre. Di selatan, faksi-faksi bersenjata yang dipimpin oleh komandan USC Jenderal Mohamed Farah Aidid dan Ali Mahdi Mohamed, bentrok karena masing-masing berusaha untuk menancapkan kekuasaan atas ibu kota.[45] Di barat laut, dalam konferensi Burao pada bulan April-Mei 1991, kelompok separatis SNM memproklamirkan kemerdekaan untuk wilayah tersebut dengan nama Somaliland.[46] Mereka secara bersamaan memilih pemimpin SNM, Abdirahman Ahmed Ali Tuur, sebagai presiden.[47]
Pada tahun 1992, setelah empat bulan pertempuran sengit untuk menguasai Mogadishu, sebuah gencatan senjata disetujui antara Ali Mahdi Mohamed dan Mohamed Farah Aidid. Tidak ada pemimpin yang menguasai ibu kota tersebut, dan sebagai hasilnya, sebuah 'garis hijau' disepakati antara utara dan selatan yang membagi wilayah kekuasaan mereka.[48]
Selama negosiasi dari tahun 1993 sampai 1995, para tokoh Somalia cukup sukses dalam upaya rekonsiliasi dan pendirian otoritas publik. Di antara inisiatif tersebut adalah kesepakatan damai Mudug pada bulan Juni 1993 antara pasukan Aidid dan SSDF, yang menyepakati gencatan senjata antara klan Haber Gedir dan Majeerteen, membuka jalur perdagangan, dan meresmikan penarikan militan dari Galkayo; rekonsiliasi Hirab yang dimediasi oleh UNOSOM pada bulan Januari 1994 di Mogadishu antara para tetua klan Abgal dan Haber Gedir, yang didukung oleh politisi dari daerah pemilihan ini, dan diakhiri dengan sebuah kesepakatan untuk mengakhiri permusuhan, meniadakan garis hijau yang memisahkan kota tersebut, dan menghapus blokade-blokade jalanan; prakarsa Kismayo yang dimediasi UNOSOM tahun 1994 antara SNA, SPM, SSDF, dan para perwakilan dari sembilan belas klan dari daerah Juba Bawah dan Juba Tengah;[51] konferensi Bardenton tahun 1994 antara Marehan dan Rahanweyn (Digil dan Mirifle), yang menyelesaikan konflik mengenai sumber daya lokal; dan Dewan Pemerintahan Digil-Mirifle yang berumur pendek untuk daerah selatan Bay dan Bakool, yang didirikan pada bulan Maret 1995.[46]
Beberapa milisi yang kemudian bersaing dalam memperebutkan kekuasaan melihat kehadiran UNOSOM sebagai ancaman terhadap hegemoni mereka. Akibatnya, pertempuran senjata terjadi di Mogadishu antara milisi bersenjata lokal dan pasukan penjaga perdamaian. Di antaranya adalah Pertempuran Mogadishu pada bulan Oktober 1993, sebuah usaha yang tidak berhasil oleh pasukan AS untuk menangkap pemimpin faksi, Mohamed Farah Aidid. Pasukan PBB akhirnya menarik diri dari negara tersebut pada tanggal 3 Maret 1995, setelah mengalami korban yang cukup signifikan.[52]
USC/SSA (1995–2000)
Menurut Interpeace, setelah kepergian UNOSOM pada bulan Maret 1995, bentrokan militer antara faksi-faksi lokal umumnya menjadi lebih pendek, tidak terlalu intens, dan lebih terlokalisir. Ini sebagian besar karena intervensi militer berskala besar PBB yang telah membantu mengekang pertempuran sengit antara faksi-faksi utama, yang pada akhirnya lebih fokus untuk mengkonsolidasikan keuntungan yang telah mereka dapatkan. Prakarsa perdamaian dan rekonsiliasi lokal yang telah dilakukan di bagian selatan dan tengah Somalia antara tahun 1993 dan 1995 juga secara umum memiliki dampak positif.[46]
Aidid kemudian mendeklarasikan dirinya sebagai Presiden Somalia pada tanggal 15 Juni 1995.[53] Namun, deklarasi tersebut tidak mendapat pengakuan, karena saingannya Ali Mahdi Muhammad telah terpilih sebagai Presiden sementara pada sebuah konferensi di Djibouti dan diakui oleh dunia internasional.[54]
Akibatnya, kelompok Aidid kembali melanjutkan pencariannya akan hegemoni di wilayah selatan. Pada bulan September 1995, pasukan milisi yang setia kepadanya menyerang dan menduduki kota Baidoa.[55] Pasukan Aidid tetap mengendalikan Baidoa dari bulan September 1995 sampai setidaknya bulan Januari 1996, sementara milisi lokal Tentara Perlawanan Rahanweyn terus-menerus melibatkan pasukannya di lingkungan kota.[56]
Pertarungan berlanjut di paruh akhir tahun 1995 di Kismayo selatan dan Lembah Juba, serta Somalia barat daya dan tengah. Namun, terlepas dari wilayah-wilayah konflik ini, daerah Gedo dan Shabelle Tengah, dan juga bagian timur laut dan barat laut Somalia justru relatif damai. Sejumlah pemerintah daerah dan distrik yang telah didirikan beberapa tahun sebelumnya terus beroperasi di daerah-daerah ini.[56]
Pada bulan Maret 1996, Ali Mahdi terpilih sebagai ketua Kongres Serikat Somalia/Aliansi Keselamatan Somalia (USC/SSA), yang berbasis di bagian utara Mogadishu. Di bagian selatan kota, pasukan Aidid memerangi orang-orang Osman Atto untuk mengendalikan pelabuhan Marka serta daerah-daerah strategis di Mogadishu. Pertempuran di Marka akhirnya berakhir setelah para tetua ikut campur, namun justru berlanjut di Mogadishu. Pada bulan Agustus 1996, Aidid meninggal karena luka yang terjadi selama pertempuran di daerah Madinah.[57]
Pada tahun 1998, konferensi konstitusional diadakan di kota di bagian timur laut Somalia, Garowe, selama periode tiga bulan. Dihadiri oleh elit politik daerah tersebut, tetua-tetua tradisional (Issim), anggota komunitas bisnis, intelektual dan perwakilan masyarakat sipil lainnya, Negara Bagian Puntland Somalia yang otonom secara resmi dibentuk sehingga dapat memberikan layanan kepada masyarakat, menawarkan keamanan, memfasilitasi perdagangan, dan berinteraksi dengan mitra domestik dan internasional.[58]
Pada tahun 1999, Eritrea diduga mendukung pasukan Aliansi Nasional Somalia yang dipimpin oleh putra almarhum Aidid, Hussein Farrah Aidid. Hussein membantah klaim tersebut, dan mengatakan bahwa Perdana Menteri EthiopiaMeles Zenawi telah meminta agar dialah yang menjadi penengah Ethiopia dan Eritrea dalam konflik mereka yang terpisah.[59] Namun Institut Internasional untuk Studi Strategis (IISS) secara terpisah melaporkan bahwa Hussein Aidid sendirilah yang telah mengakui adanya dukungan dari Eritrea dan Uganda.[60] Pasukan Hussein menduduki Baidoa pada bulan Mei 1999. Namun mereka diusir mundur oleh Tentara Perlawanan Rahanweyn pada bulan Juni 1999, didukung oleh pasukan Ethiopia yang beranggotakan 3.000 orang serta dilengkapi tank dan artileri. IISS menyatakan bahwa serangan tersebut merupakan bagian dari strategi untuk mencegah Eritrea membuka medan perang baru. Pada akhir tahun, Tentara Perlawanan Rahanweyn telah menguasai provinsi selatan Bay dan Bakool. Pemimpin RRA, Hasan Muhammad Nur kemudian mendirikan pemerintahan daerah Negara Bagian Barat Daya Somalia.
Pada tahun 2000, Ali Mahdi berpartisipasi dalam konferensi lain di Djibouti. Di sana, ia kalah dalam kesempatan pemilihan ulang dari mantan Menteri Luar Negeri Abdiqasim Salad Hassan.[61]
TFG, Uni Pengadilan Islam, dan Ethiopia (2006–2009)
Pada tahun 2000, Pemerintah Transisi Federal (TNG) dibentuk.[19]Pemerintah Transisi Federal (TFG) dibentuk di Nairobi pada tahun 2004. Pemilihan anggota parlemen sedang berlangsung pada bulan Juni, lebih dari dua ratus anggota parlemen mengambil sumpah jabatan pada bulan Agustus, dan Abdullahi Yusuf Ahmed terpilih sebagai presiden oleh parlemen pada bulan Oktober 2004.[62] Namun, pada bulan Maret 2005, TFG terpecah setelah sebuah ketidaksepahaman di parlemen mengenai pengerahan pasukan penjaga perdamaian dan relokasi ke ibu kota sementara. Juru bicara parlemen memimpin beberapa anggota ke Mogadishu sementara presiden dan yang lainnya tinggal di Nairobi. Pada bulan Juni 2005, di bawah tekanan dari Kenya, sisa TFG meninggalkan Nairobi untuk Jowhar.[63] Pada bulan Februari 2006, parlemen TFG bertemu di Baidoa untuk pertama kalinya sejak bulan Maret 2005. (Interpeace, 104)
Pertarungan untuk menguasai Mogadishu terjadi pada paruh pertama tahun 2006 disaat ARPCT, sebuah koalisi para pemimpin milisi yang didukung AS, menghadapi Uni Pengadilan Islam (ICU) yang berkuasa. Namun, ICU meraih kemenangan yang menentukan di bulan Juni tahun itu.[64] Kemudian dengan cepat memperluas dan mengkonsolidasikan kekuatannya di seluruh Somalia selatan. Pada bulan Agustus 2006, daerah yang dikontrol TFG terbatas di wilayah Baidoa di bawah perlindungan Ethiopia. (Interpeace, 104) Kaum Islam garis keras kemudian memperoleh kekuasaan di dalam ICU, yang memicu ketakutan akan Talibanisasi dari gerakan tersebut.[65]
Pada bulan Desember 2006, pasukan Ethiopia memasuki Somalia untuk membantu TFG melawan Uni Pengadilan Islam yang terus bergerak maju,[19] yang sebelumnya memenangkan Pertempuran Baidoa. Dengan dukungan mereka, pasukan pemerintah Somalia merebut kembali ibu kota dari ICU.[66] Serangan tersebut membantu TFG memperkuat kekuasannya.[64] Pada tanggal 8 Januari 2007, saat Pertempuran Ras Kamboni berkecamuk, Presiden dan pendiri TFG Abdullahi Yusuf Ahmed memasuki Mogadishu untuk pertama kalinya sejak terpilih. Tetapi seperti yang dinyatakan Menkhaus, TFG dipandang oleh sebagian besar penduduk Mogadishu sebagai "boneka Ethiopia", dan pasukan keamanan TFG yang tidak terkontrol menjadi sumber utama ketidaknyamanan penduduk lokal, dan terlibat dalam penculikan, penyerangan, atau lebih buruk."[67] Dalam beberapa minggu, sebuah pemberontakan bersenjata kemudian muncul di ibu kota melawan TFG dan sekutu Ethiopia-nya.[68] Pemerintah kemudian pindah ke ibu kota dari lokasi sementara di Baidoa.[66]
Embargo senjata di Somalia diubah pada bulan Februari 2007, untuk memungkinkan negara-negara lain memasok senjata ke pasukan keamanan TFG, selama mereka mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Komite Sanksi PBB di Somalia. Setelah diskusi panjang, Uni Afrika menyetujui pengerahan awal Misi Uni Afrika ke Somalia (AMISOM) pada bulan Maret 2007. Organisasi ini membentuk "segitiga perlindungan" di sekitar bandara Mogadishu, pelabuhan laut, dan Villa Somalia, dan mulai mengadopsi sikap negosiasi yang rendah hati dengan tokoh kunci.[69] Pada bulan November 2008, setelah pelanggaran berulang atas blokade senjata, Dewan Keamanan memutuskan bahwa embargo senjata dapat dikenakan pada organisasi atau kelompok yang terlibat dalam pelanggaran tersebut.[70] Setelah proses konsultasi selama dua tahun, TFG dibentuk pada tahun 2004 oleh para politisi Somalia di Nairobi di bawah naungan Otoritas Antarpemerintah untuk Pembangunan (IGAD). Proses tersebut juga mengarah pada pembentukan Institut Transisi Federal (TFI), dan diakhiri pada bulan Oktober 2004 dengan terpilihnya Abdullahi Yusuf Ahmed sebagai presiden.[71] TFG kemudian menjadi pemerintah Somalia yang diakui secara internasional.[70]
Setelah kekalahan mereka, Uni Pengadilan Islam terpecah menjadi beberapa faksi yang berbeda. Beberapa elemen yang lebih radikal, termasuk Al-Shabaab, bergabung kembali untuk melanjutkan pemberontakan mereka melawan TFG dan menentang kehadiran militer Ethiopia di Somalia. Sepanjang tahun 2007 dan 2008, Al-Shabaab mencatatkan kemenangan militer, merebut kendali kota-kota utama dan pelabuhan di Somalia tengah dan selatan. Pada akhir tahun 2008, kelompok ini telah menguasai Baidoa. Pada tanggal 1 Mei 2008, AS melakukan serangan udara di Dhusamareb, dan dilanjutkan pada tanggal 3 Mei dengan serangan udara lainnya di kota perbatasan Dobley. Menurut International Crisis Group, para pemimpin Ethiopia terkejut dengan kegigihan dan kekuatan pemberontakan dan frustrasi terhadap masalah internal TFG yang kronis.[72] Hingga bulan Januari 2009, Al-Shabaab dan milisi lainnya telah memaksa pasukan Ethiopia untuk mundur, meninggalkan pasukan penjaga perdamaian Uni Afrika yang kekurangan tenaga.[73]
Karena kurangnya dana dan sumber daya manusia, embargo senjata yang menyulitkan untuk membangun kembali pasukan keamanan nasional, dan ketidakpedulian umum dari pihak masyarakat internasional, Presiden Yusuf merasa dirinya berkewajiban untuk menyebarkan ribuan pasukan dari Puntland ke Mogadishu untuk mempertahankan pertempuran melawan elemen pemberontak di bagian selatan negara tersebut. Dukungan finansial untuk usaha ini diberikan oleh pemerintah daerah otonom. Hal ini menyisakan sedikit pendapatan bagi pasukan keamanan Puntland dan pegawai negeri sipil, sehingga wilayah ini rentan terhadap pembajakan dan serangan teroris.[74][75]
Pada tanggal 29 Desember 2008, Abdullahi Yusuf Ahmed mengumumkan di hadapan sebuah parlemen gabungan di Baidoa perihal pengunduran dirinya sebagai Presiden Somalia. Dalam pidatonya, yang disiarkan di radio nasional, Yusuf menyatakan penyesalan karena gagal mengakhiri konflik tujuh belas tahun di negara tersebut seperti yang telah diamanatkan pemerintahannya.[76] Ia juga menyalahkan dunia internasional karena kegagalan mereka untuk mendukung pemerintah Somalia, dan mengatakan bahwa juru bicara parlemen akan menggantikannya sebagai Presiden dari Pemerintah Transisi Federal sesuai dengan ketetapan dari Piagam Transisi Federal Republik Somalia.[77]
Antara tanggal 31 Mei dan 9 Juni 2008, perwakilan pemerintah federal Somalia dan kelompok gerilyawan pemberontak Aliansi untuk Pembebasan Kembali Somalia (ARS) yang moderat berpartisipasi dalam perundingan damai di Djibouti yang ditengahi oleh mantan Utusan Khusus PBB untuk Somalia, Ahmedou Ould-Abdallah. Konferensi tersebut diakhiri dengan sebuah kesepakatan yang ditandatangani, yang intinya meminta penarikan tentara Ethiopia sebagai ganti penghentian konfrontasi bersenjata. Jumlah kursi di parlemen kemudian ditambah menjadi 550 kursi untuk mengakomodasi anggota ARS, yang kemudian memilih Sheikh Sharif Sheikh Ahmed, mantan ketua ARS, ke kursi parlemen. Presiden Sharif segera menunjuk Omar Abdirashid Ali Sharmarke, putra mantan Presiden Abdirashid Ali Sharmarke yang tewas, sebagai Perdana Menteri baru Somalia.[19]
Dengan bantuan AMISOM, pemerintah koalisi juga mulai melakukan serangan balasan pada bulan Februari 2009 untuk mengambil alih kendali penuh di bagian selatan negara tersebut. Untuk memperkuat kekuasannya, TFG membentuk aliansi dengan Uni Pengadilan Islam, para anggota lain dari Aliansi untuk Pembebasan Kembali Somalia, dan Ahlu Sunna Waljama'a, sebuah kelompok milisi sufi yang moderat.[78] Lebih jauh lagi, Al-Shabaab dan Hizbul Islam, dua kelompok Islam utama yang menjadi oposisi, mulai mengalami kekacauan di dalam kelompok mereka sendiri pada pertengahan tahun 2009.[79]
Sebagai simbol gencatan senjata, pada bulan Maret 2009, pemerintah koalisi Somalia mengumumkan bahwa mereka akan menerapkan kembali syariah sebagai sistem peradilan resmi negara tersebut.[80] Namun, konflik tetap berlanjut di bagian selatan dan tengah negara ini. Dalam beberapa bulan, pemerintah koalisi yang sebelumnya menguasai 70% wilayah konflik Somalia di bagian selatan dan tengah, wilayah yang diwarisi dari pemerintahan Yusuf sebelumnya, kehilangan kontrol atas 80% wilayah yang dipersengketakan tersebut kepada para pemberontak Islam.[81]
Pada bulan November 2010, sebuah pemerintahan teknokratik baru terpilih, yang memberlakukan banyak reformasi. Di antaranya, dalam 50 hari pertama di kantornya, pemerintah baru menyelesaikan pembayaran bulanan pertama dari uang saku kepada tentara pemerintah.[82] Upaya berulang untuk menerapkan daftar biometrik terdaftar dari pasukan keamanan belum berhasil hingga awal tahun 2016.
Pada tanggal 6 Agustus 2011, Al-Shabaab dipaksa untuk menarik diri dari sebagian besar wilayah di Mogadishu. Pasukan pemerintah Somalia dan sekutu AMISOM mereka kemudian melancarkan serangan pada Januari 2012 di pertahanan terakhir kelompok pemberontak di pinggiran utara kota.[83] Perpecahan ideologis dalam kepemimpinan Al-Shabaab juga muncul setelah kekeringan yang terjadi pada tahun 2011 dan pembunuhan para tokoh berpengaruh di organisasi tersebut.[84]
Pada bulan Oktober 2011, setelah sebuah pertemuan persiapan akhir pekan antara para pejabat militer Somalia dan Kenya di kota Dhobley,[27]Operasi Linda Nchi, yang melibatkan Pasukan Pertahanan Kenya dan Angkatan Bersenjata Somalia, mulai melawan kelompok pemberontak Al-Shabaab di Somalia bagian selatan.[85][86] Serangan lintas batas tersebut dilaporkan telah memakan waktu hampir dua tahun perencanaan, karena disaat yang sama para pejabat Kenya juga mencari dukungan AS.[87] Misi ini secara resmi dipimpin oleh tentara Somalia, dan pasukan Kenya memberikan peran pendukung,[85] namun justru pihak Kenya-lah yang melibatkan personel yang lebih besar.[88] Pada awal bulan Juni 2012, pasukan Kenya secara resmi diintegrasikan ke dalam AMISOM.[89]
Pada akhir bulan September dan awal Oktober 2012, pasukan AMISOM Angkatan Darat Kenya dan milisi sekutunya, Raskamboni, berhasil merebut kota strategis Kismayo dari Al-Shabaab. Kota ini merupakan sumber pendapatan utama bagi kelompok pemberontak dan merupakan benteng besar terakhir mereka.[90]
Hingga bulan November 2012, sekitar 85 persen wilayah yang disengketakan di Somalia telah berada di bawah kendali pemerintah menurut Perwakilan Khusus PBB untuk Somalia, Augustine Mahiga. Tanggal resmi ditariknya pasukan AMISOM juga akan diumumkan setelah pasukan keamanan dan kepolisian Somalia dilatih dan dipersiapkan dengan memadai.[91]
Pada bulan Januari 2013, mandat AMISOM diperpanjang untuk setahun lagi setelah diadopsinya Resolusi 2093 oleh Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan dengan suara bulat juga memilih untuk menangguhkan embargo senjata Somalia terhadap senjata ringan untuk jangka waktu satu tahun. Selain itu, Dewan Keamanan menyambut baik rencana pemerintah federal Somalia mengenai strategi keamanan nasional yang baru, mendesak pemerintah pusat untuk mempercepat pelaksanaan rencana tersebut, selanjutnya menentukan komposisi pasukan keamanan Somalia, dan mengidentifikasi kesenjangan kemampuan untuk membantu mitra internasional mereka, dalam rangka membantu otoritas Somalia dengan lebih baik.[92]
Menurut Laura Hammond dari Sekolah Studi Oriental dan Afrika, pemerintah federal yang dibantu oleh AMISOM berhasil menguasai kembali semua pusat kota utama Somalia. Namun, Al-Shabaab masih menguasai banyak daerah pedesaan, di mana sejumlah anggota mereka dilaporkan telah berbaur ke komunitas lokal untuk lebih memanfaatkan kesalahan yang dilakukan oleh otoritas pusat.[93]
Pada bulan Oktober 2013, Komando Afrika AS mulai membentuk Blok Koordinasi Mogadishu di ibu kota Somalia tersebut, dan mulai beroperasi penuh pada akhir bulan Desember.[94] Unit ini dibentuk atas permintaan pemerintah Somalia dan AMISOM, yang telah melobi Sekretaris Jenderal Departemen Pertahanan Amerika Serikat, Chuck Hagel, pada bulan September tentang kemungkinan tersebut. Unit ini terdiri dari tim kecil yang terdiri dari kurang dari lima penasihat, termasuk perencana dan komunikator antara otoritas Somalia dan AMISOM. Unit ini dimaksudkan untuk memberikan konsultasi dan perencanaan dukungan kepada pasukan sekutu untuk meningkatkan kapasitas mereka dan untuk mempromosikan perdamaian dan keamanan di seluruh negeri dan wilayah yang lebih luas.[95] Pada bulan November 2013, seorang pejabat senior pemerintah Ethiopia mengumumkan bahwa pasukan Ethiopia yang ditempatkan di Somalia akan segera bergabung dengan AMISOM, karena telah mengajukan permintaan untuk melakukannya. Pada saat itu, diperkirakan 8.000 tentara Ethiopia ditempatkan di negara tersebut.[96] Kementerian Luar Negeri Somalia menyambut baik keputusan tersebut, dengan menegaskan bahwa langkah tersebut akan menggembleng kampanye AMISOM melawan Al-Shabaab.[97]
Setelah diadopsinya Resolusi Dewan Keamanan PBB 2124, yang memberi wewenang untuk mengerahkan 4.000 tentara tambahan untuk menambah kekuatan AMISOM yang berjumlah 22.126, tentara Ethiopia secara resmi bergabung dalam misi tersebut pada bulan Januari 2014.[98] Mereka diberi mandat untuk bekerja sama dengan Tentara Nasional Somalia, dengan tanggung jawab untuk operasi sekutu di wilayah bagian selatan Somalia berupa Gedo, Bakool dan Bay. Pasukan Ethiopia mewakili kontingen keenam AMISOM setelah pasukan dari Djibouti, Burundi, Sierra Leone, Kenya dan Uganda.[99]
Pada bulan Januari 2014, pada Konferensi Tingkat Tinggi Uni Afrika di Addis Ababa, Presiden Hassan Sheikh Mohamud meminta perpanjangan mandat Dewan Keamanan PBB perihal pembelian senjata untuk Somalia menjelang batas berakhirnya mandat tersebut pada bulan Maret. Ia mengindikasikan bahwa pasukan pertahanan Somalia membutuhkan peralatan militer dan senjata yang lebih baik untuk lebih efektif memerangi militan.[100] Bulan berikutnya, Kelompok Pemantau PBB Somalia dan Eritrea melaporkan adanya pelanggaran sistematis oleh pejabat di dalam lingkup pemerintah Somalia yang mengizinkan senjata-senjata tersebut dialihkan dari pasukan keamanan Somalia ke tangan pemimpin faksi dan militan Al-Shabaab. Kelompok pemantau tersebut telah mengamati berbagai masalah dan kekhawatiran seputar pengelolaan stok senjata dan amunisi, termasuk kesulitan mereka dalam mengakses persediaan senjata lokal dan untuk mendapatkan informasi tentang senjata tersebut. Para pemantau juga menyebut bahwa seorang penasehat utama presiden terlibat dalam merencanakan pengiriman senjata ke Al-Shabaab dan bahwa pengiriman senjata dari Djibouti dan Uganda tidak dapat dipertanggungjawabkan.[101] Kepala Staf Angkatan Bersenjata Somalia Dahir Adan Elmi melakukan penyangkalan proforma atas tuduhan tersebut.[102] Ia juga mengindikasikan bahwa tim pemantau PBB telah dua kali mengunjungi fasilitas penyimpanan senjata dan amunisi pemerintah di Mogadishu,[103] di mana mereka memeriksa tumpukan stok dan dilaporkan telah menyatakan kepuasannya.[102] Elmi menyatakan bahwa pemerintah telah dua kali membeli senjata sejak embargo senjata di Somalia diangkat sebagian.[103] Elmi juga menegaskan bahwa Al-Shabaab sudah memiliki persediaan senjata yang memadai, terutama menggunakan alat peledak dan bom yang canggih.[104]
Pada bulan Februari 2014, sebuah delegasi yang dipimpin oleh Perdana Menteri Somalia Abdiweli Sheikh Ahmed bertemu dengan Perdana Menteri Ethiopia Hailemariam Desalegn di Addis Ababa untuk membahas penguatan hubungan kedua negara. Ahmed memuji peran Ethiopia dalam proses perdamaian dan stabilisasi yang sedang berlangsung di Somalia serta dukungan mereka dala melawan Al-Shabaab, dan menyambut baik keputusan militer Ethiopia untuk bergabung dengan AMISOM. Hailemariam Desalegn pada gilirannya menjanjikan dukungan terus-menerus dari pemerintahannya untuk upaya perdamaian dan stabilisasi di Somalia, serta kesiapannya untuk membantu inisiatif yang bertujuan untuk membangun pasukan keamanan Somalia melalui berbagi pengalaman dan pelatihan. Pertemuan tersebut diakhiri dengan sebuah Nota Kesepahaman tripartit yang sepakat untuk mempromosikan kemitraan dan kerja sama, termasuk sebuah kesepakatan kerjasama untuk mengembangkan pasukan kepolisian.[105]
Pada tanggal 5 Maret 2014, Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat memilih untuk memperpanjang pelonggaran parsial embargo senjata di Somalia sampai 25 Oktober tahun 2014.[106] Resolusi tersebut mengizinkan pemerintah Somalia untuk membeli senjata ringan, dengan ketentuan bahwa semua negara anggota harus mengambil langkah-langkah untuk mencegah pasokan, pengiriman atau penjualan senjata dan peralatan militer secara langsung atau tidak langsung kepada individu atau entitas di luar pasukan keamanan Somalia.[106][107] Pemerintah Somalia juga diharuskan untuk secara rutin melaporkan status struktural militer, serta memberikan informasi mengenai infrastruktur dan protokol yang ada, yang dirancang untuk menjamin pengiriman, penyimpanan dan pemeliharaan peralatan militer yang aman.[107]
Pada awal Maret 2014, AMISOM, yang didukung oleh milisi Somalia, meluncurkan operasi lain untuk menyingkirkan Al-Shabaab dari wilayah kontrol mereka yang tersisa di Somalia bagian selatan.[108] Menurut Perdana Menteri Abdiweli Sheikh Ahmed, pemerintah kemudian meluncurkan upaya stabilisasi di wilayah yang baru dibebaskan, termasuk Rab Dhuure, Hudur, Wajid dan Burdhubo. Kementerian Pertahanan Somalia memberikan kepastian dan keamanan yang terus menerus kepada penduduk setempat, dan memberikan dukungan logistik dan keamanan. Selain itu, Kementerian Dalam Negeri siap untuk mendukung dan menerapkan program untuk membantu administrasi dan keamanan daerah. Seorang Wakil Menteri dan beberapa tokoh agama juga dikirim ke kota-kota tersebut untuk mengkoordinasikan dan mengawasi inisiatif stabilisasi oleh pemerintah federal.[109] Pada tanggal 26 Maret, pasukan sekutu telah membebaskan sepuluh kota hanya dalam waktu sebulan, termasuk Qoryoley dan El Buur.[110][111] Perwakilan Khusus PBB untuk Somalia Nicholas Kay menggambarkan kemajuan militer tersebut sebagai serangan paling signifikan dan secara geografis yang paling ekstensif sejak pasukan Uni Afrika mulai beroperasi pada tahun 2007.[112]
Pada bulan Agustus 2014, Operasi Samudera Hindia yang dipimpin pemerintah Somalia diluncurkan, yang bertujuan untuk membersihkan kantong-kantong wilayah pemberontak yang tersisa di pedesaan.[113] Pada tanggal 1 September 2014, sebuah serangan drone AS dilakukan sebagai bagian dari misi yang lebih luas yang menewaskan pemimpin Al-Shabaab Moktar Ali Zubeyr.[114] Otoritas AS memuji serangan tersebut sebagai kerugian simbolis dan operasional utama bagi Al-Shabaab, dan pemerintah Somalia menawarkan amnesti 45 hari kepada semua anggota moderat dari kelompok militan tersebut.
Korban
Menurut Necrometrics, sekitar 500.000 orang diperkirakan telah terbunuh di Somalia sejak dimulainya perang saudara pada tahun 1991.[10] The Armed Conflict Location & Event Dataset memperkirakan bahwa 3.300 orang tewas dalam konflik pada tahun 2012,[115] dengan jumlah korban tewas menurun sedikit pada tahun 2013 menjadi 3.150.[115]
^Berbagai tanggal saat perang saudara di Somalia dimulai bervariasi. Bank Sentral Somalia,[6]Perserikatan Bangsa-Bangsa,[7][8]Kantor Sekretaris Pertahanan AS,[9] dan Necrometrics, semuanya menegaskan bahwa konflik dimulai pada tahun 1991, setelah penggulingan pemerintahan Siad Barre.[10] Pemerhati politik James Fearon berpendapat bahwa dimulainya konflik ini dapat ditujukan pada tahun 1981, ketika milisi bersenjata klan Isaaq mulai meluncurkan serangan berskala kecil terhadap rezim Barre dan anggota-anggotanya yang berasal dari klan Isaaq, atau runtuhnya kota mayoritas Yahudi di Hargeisa pada tahun 1988 oleh pasukan negara, atau pada tahun 1991, setelah runtuhnya pemerintahan Barre dan dimulainya perang antar klan. Untuk tujuan analitis, ia teguh berpendapat tahun 1991 sebagian tahun dimulainya perang saudara, dengan alasan bahwa pertempuran telah dimulai sebelumnya, namun sebuah partai besar dalam konflik tersebut telah dikalahkan.[11] Robinson menulis bahwa "perang saudara telah dimulai pada tahun 1987", mengacu pada Compagnon.[12]
^Robinson, Colin (2016). "Revisiting the rise and fall of the Somali Armed Forces, 1960–2012". Defense & Security Analysis. 32 (3): 237–252. doi:10.1080/14751798.2016.1199122.
^ abcdCentral Intelligence Agency (2011). "Somalia". The World Factbook. Langley, Virginia: Central Intelligence Agency. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-07-01. Diakses tanggal 5 Oktober 2011.
^ abcCentral Intelligence Agency (2011). "Somalia - Government - Judicial branch". The World Factbook. Langley, Virginia: Central Intelligence Agency. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-11-22. Diakses tanggal 2 Mei 2015.
^Ken Menkhaus, "Local Security Systems in Somali East Africa," Fragile States and Insecure People, 2007, 73.
^Central Intelligence Agency (2003). "Somalia - Government - Judicial branch". The World Factbook. Langley, Virginia: Central Intelligence Agency. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-10-12. Diakses tanggal 18 Mei 2015.
^ abPada 2007, Menkhaus menulis bahwa '..konflik bersenjata di Somalia pada umumnya mereda sejak awal 1990-an. Bentrokan bersenjata terus berlanjut, namun tidak mendekati skala dan intensitas pertempuran yang menghancurkan Hargeisa pada tahun 1988-89 atau Mogadishu pada tahun 1991-92. Menkhaus, FSIP, 2007, 75.
^United Nations Security Council, Report of the Monitoring Group on Somalia and Eritrea pursuant to Security Council Resolution 2002 (2011), S/2012/544, p.226
^ abWorld of Information (Firm), Africa review, (World of Information: 1987), p.213.
^ abArthur S. Banks, Thomas C. Muller, William Overstreet, Political Handbook of the World 2008, (CQ Press: 2008), p.1198.
^National Academy of Sciences (U.S.). Committee on Human Rights, Institute of Medicine (U.S.). Committee on Health and Human Rights, Scientists and human rights in Somalia: report of a delegation, (National Academies: 1988), p.9.
^Adam, Hussein (1998). Somalia: Personal Rule, Military Rule and Militarism (in) Hutchful and Bathily, The Military and Militarism in Africa. Dakar: Council for the Development of Economic and Social Research in Africa (CODESRIA). hlm. 389. ISBN2-86978-069-9.
^Nina J. Fitzgerald, Somalia: issues, history, and bibliography, (Nova Publishers: 2002), p.19.
^Clancy, Tom; Tony Zinni; Tony Koltz (2005). Battle Ready:Study in Command Commander Series. Penguin. hlm. 234–236. ISBN978-0-425-19892-6.
^Mohamed Ahmed Jama, “Securing Mogadishu: Neighbourhood Watches,” in Whose Peace is it anyway? Connecting Somali and International Peacemaking Approaches, Accord 21, Conciliation Resources, 2010, 66.
^Untuk rincian lebih lanjut tentang konferensi rekonsiliasi berbasis komunitas yang disponsori oleh UNOSOM, lihat Menkhaus, 'International Peacebuilding and the Dynamics of Local and National Reconciliation in Somalia,' International Peacekeeping, Vol. 3, No. 1, Spring 1996, 52.
^Lihat juga Report of the Secretary-General on Somalia, S/1995/231 (28 Maret 1995).
^Report of the Secretary-General on the Situation in Somalia, S/1997/135, 17 Februari 1997, paragraf 6,7, dan 9. Untuk kejadian selanjutnya dari tahun 1997 hingga 2000, lihat S/1997/715, S/1999/882, dan S/2000/1211 (19 Desember 2000).
^Anderson, David; McKnight, Jacob (2015). "Kenya at war: Al-Shabaab and its enemies in Eastern Africa". African Affairs. 114 (454): 1–27. doi:10.1093/afraf/adu082.
Afyare Abdi Elmi. Understanding the Somalia conflagration: Identity, political Islam and peacebuilding. Pluto Press, 2010.
Barnes, Cedric, and Harun Hassan. "The rise and fall of Mogadishu's Islamic Courts." Journal of Eastern African Studies 1, no. 2 (2007): 151–160.
Bøås, Morten. "Returning to realities: a building-block approach to state and statecraft in Eastern Congo and Somalia." Conflict, Security & Development 10, no. 4 (2010): 443–464.
I. M. Lewis. A Modern History of the Somali: Nation and State in the Horn of Africa, Athens: Ohio University Press, 2002, ISBN978-0-8214-1495-8.
Jutta Bakonyi. Authority and administration beyond the state: local governance in southern Somalia, 1995–2006, Journal of Eastern African Studies, Vol. 7, Issue 2, 2013.
Ken Menkhaus. Somalia: State collapse and the threat of terrorism. Adelphi Papers No. 364, Routledge, 2008.
McGregor, Andrew. "The Leading Factions Behind the Somali Insurgency." Terrorism Monitor, Volume V, Issue 8, April 26, 2007.