Garis Mogadishu adalah titik atau batas ketika keterlibatan pasukan asing dalam sebuah konflik berubah dari operasi pemeliharaan perdamaian atau diplomasi menjadi operasi pertempuran.[1] Istilah ini sering dipakai untuk menyebut keengganan pelaku internasional untuk melakukan intervensi militer ke negara lain atas alasan kemanusiaan; mereka khawatir dengan operasi pertempuran yang berpotensi memakan banyak korban.
Asal
Istilah ini mengacu pada intervensi asing pada Perang Saudara Somalia ketika beberapa faksi saling berebut kendali negara. Pada April 1992, setelah Sekretaris Jenderal PBB Boutros Boutros-Ghali menuntut aksi secepatnya, Dewan Keamanan PBB menyetujui operasi kemanusiaan ke Somalia yang awalnya melibatkan kontingen kecil tentara PBB (UNOSOM), diikuti pasukan militer Amerika Serikat UNITAF pada bulan Desember.
Bulan Maret 1993, DK PBB mengirimkan misi baru, UNOSOM II, yang diberi hak penegakan hukum sesuai Bab VII Piagam PBB untuk menciptakan lingkungan kondusif di seluruh Somalia. Akan tetapi, operasi ini berubah setelah Pertempuran Mogadishu tanggal 3 Oktober 1993 ketika pasukan A.S. berusaha melancarkan serangan ke Olympic Hotel untuk menangkap Mohamed Farrah Aidid.[2] Pertempuran selanjutnya mengakibatkan 18 tentara A.S. dan 83 orang lainnya tewas. Jasad korban dari pihak A.S. diseret di jalanan Mogadishu oleh warga setempat dan anggota Aliansi Nasional Somalia pimpinan Aidid.
Setelah pertempuran mematikan ini, muncul tekanan dari berbagai pihak untuk menarik pasukan A.S. dari Somalia. Presiden Clinton beberapa hari kemudian menyatakan bahwa, "mulai hari ini sampai seterusnya, misi kami adalah meningkatkan kekuatan kami, melakukan tugas kami, menarik tentara kami dan memulangkan mereka". Ia juga mengumumkan bahwa tentara A.S. akan ditarik pada pertengahan 1994.[3]
Penggunaan
Konsep Garis Mogadishu semakin populer dalam diskursus hubungan internasional pasca-Perang Dingin. Kekhawatiran akan terulangnya peristiwa di Somalia membentuk kebijakan Amerika Serikat pada tahun-tahun selanjutnya. Banyak komentator yang menjadikan konsekuensi buruk Pertempuran Mogadishu sebagai alasan utama kegagalan intervensi A.S. di konflik-konflik selanjutnya seperti Genosida Rwanda tahun 1994.[4] Menurut mantan wakil utusan khusus A.S. untuk Somalia Somalia, Walter Clarke: "Hantu Somalia masih menghantui kebijakan Amerika Serikat. Sedikitnya respon A.S. di Rwanda merupakan bentuk ketakutan akan terulangnya peristiwa di Somalia."[3]
Clinton juga enggan memobilisasi angkatan darat A.S. untuk memerangi Angkatan Darat Serb Bosnia di Bosnia dan Herzegovina tahun 1995 dan Angkatan Darat Yugoslav di Republik Federal Yugoslavia (waktu itu di provinsi Kosovo) tahun 1999.
Pada 1990-an, Jenderal Michael Rose, kepala United Nations Protection Force, menegaskan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak akan "melintasi Garis Mogadishu".[1] Akan tetapi, pengganti Rose, Rupert Smith, menyimpulkan bahwa mandat kemanusiaan UNPROFOR tidak cukup kuat.
Pada tahun 2003, Fergal Keane berpendapat bahwa perubahan kebijakan A.S. terhadap Liberia menunjukkan bahwa Garis Mogadishu sudah tidak ada lagi.[4]
Referensi
Bacaan lanjutan
- Off, Carol (2000). The Lion, the Fox & the Eagle. Random House Canada. ISBN 0-679-31049-5.
- Scott, Derek and Simpson, Anna-Louise (2006). Power and International Politics. VASST. ISBN 978-0-9756734-8-5.