Republik Puntland adalah sebuah sebuah negara pengakuan terbatas di bagian timur laut Somalia yang tidak diakui oleh siapapun. Nama "Puntland" diambil dari Negeri Punt, kini mencakupi wilayah Somalia, yang berasal dari narasumber pada zaman Mesir kuno.
Penguasa Puntland menganggap wilayahnya sebagai daerah otonomi di bawah naungan Somalia. Pada 1969 tatkala pemerintah Somalia digulingkan melalui sebuah kudeta, peperangan dan kerusuhan muncul. Setelah kaum komunis mengambil alih kekuasaan di Ethiopia, Uni Soviet mengubah dukungannya dari Somalia ke Ethiopia. Tanpa dukungan Soviet, Somalia berpaling kepada Amerika Serikat yang memperbolehkan Siad Barre yang menyatakan dirinya (self-proclaimed) sebagai presiden untuk tetap berkuasa hingga berakhirnya Perang Dingin pada 1991. Semenjak runtuhnya Uni Soviet, AS tidak lagi mendukung pemerintah Somalia, dan Barre akhirnya lengser.
Somalia kemudian tidak memiliki pemerintahan yang kuat, ditambah lagi dengan perang berkepanjangan yang memorak-porandakan bagian selatan Somalia. Rangkaian peristiwa tersebut memicu terbentuknya Somaliland pada 1991; republik sempalan Somalia itu pernah merdeka hanya beberapa hari pada 1960. Anarki yang terus-menerus melanda Somalia mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa mengirim pasukan perdamaiannya ke sana. Pada Maret 1995, AS menarik prajurit-prajuritnya setelah beberapa prajurit AS ditembak dan dibantai.
Somalia yang masih bergejolak kembali kehilangan kekuasaan wilayahnya pada 1998 saat Puntland dinyatakan sebagai daerah otonomi oleh Abdullahi Yusuf (deputi presiden Front Demokratik Keselamatan Somali). Misi utama Puntland ialah menjadi negara berbentuk konfederasi klan. Sejak 1998, daerah Sool dan Sanaag dipersengketakan oleh Puntland dan Somaliland.
Lain halnya dengan Somaliland, Puntland tidak menginginkan pengakuan internasional sebagai negara berdaulat, melainkan ingin menjadi suatu divisi federal di bawah naungan Somalia bersatu yang berbentuk republik federal.
Gejolak politik mulai muncul di Puntland pada 2001 ketika Presiden Ahmed ingin memperpanjang masa jabatannya. Ahmed dan Jama Ali Jama saling memperebutkan kontrol kekuasaan negara, di mana Ahmed memenanginya pada 2002. Ahmed menjabat sebagai presiden hingga Oktober 2004 ketika dia kalah pada pemilihan presiden di tingkat parlemen, yang memilih Jenderal Mohamud Muse Hersi "Adde". Pada Desember 2004, wilayah Puntland rusak parah akibat gempa bumi Samudra Hindia 2004. Komunitas internasional dituduh mengabaikan Puntland dan wilayah Afrika lainnya dalam hal pemberian bantuan.