Peta yang menunjukan wilayah terluas yang sempat dikuasai oleh pemberontak pada Januari 2013, sebelum diambil alih oleh militer Mali dan pasukan Prancis.
Tanggal
16 Januari 2012 – 20 Februari 2015 (3 tahun, 1 bulan dan 4 hari)
Gencatan Senjata *Pemberontak Tuareg memukul mundur pasukan Pemerintah Mali dari wilayah Mali Utara pada Januari 2012 [56] *Presiden Mali Amadou Toumani Touré diturunkan dari jabatannya melalui kudeta pimpinan Amadou Sanogo pada tahun 2012[57] *Wilayah Mali Utara dikuasai sepenuhnya oleh pemberontak pada April 2012, Azawad merdeka dideklarasikan oleh MNLA[58] dan didukung oleh Ansar Dine[59] *Kelompok Muslim (Ansar Dine, AQIM[60] dan MOJWA) mengambil alih wilayah Mali Utara dari MNLA dan menerapkan hukum syariah di wilayah tersebut. *Prancis dan sebagian negara Afrika mengintervensi dan memberikan bantuan kepada pasukan Mali untuk mengambil alih wilayah Mali Utara. *Perjanjian damai antara Pemerintah Mali dan pemberontak Tuareg ditandatangani pada 18 Juni 2013[61] *Perjanjian damai berakhir setelah pasukan Mali menembak pengunjuk rasa tak bersenjata[62][63] *Gencatan senjata ditandatangani pada tanggal 20 Februari 2015 antara Pemerintah Mali dan aliansi enam kelompok bersenjata[64] *Pemimpin Mali menolak pilihan otonomi, tetapi berkemauan untuk memberikan kesempatan pada kekuatan lokal
Konflik Mali Utara, Perang SaudaraMali atau Perang Mali adalah konflik bersenjata yang dimulai dari bulan Januari 2012 yang melibatkan antara Mali bagian utara dan selatan. Pada 16 Januari 2012, beberapa kelompok-kelompok pemberontak mulai berjuang melawan pemerintah Mali untuk mendapatkan kemerdekaan atau otonomi lebih besar untuk wilayah bagian utara Mali, sebuah area yang dikenal sebagai Azawad. Gerakan Nasional untuk Pembebasan Azawad (MNLA), sebuah organisasi yang berjuang untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi wilayah Azawad dan membuatnya menjadi tanah air bagi orang-orang Tuareg, yang telah memegang kontrol wilayah tersebut sejak bulan April 2012.
Pada 22 Maret 2012, Presiden Amadou Toumani Touré dilengserkan dalam kudeta terkait kegagalan penanganan krisis yang dilakukan olehnya, tepat sebulan sebelum pelaksanaan pemilihan presiden.[112] Tentara pemberontak, yang menyebut dirinya sebagai Komite Nasional untuk Pemulihan Demokrasi dan Negara (CNRDR), mengambil kontrol dan menangguhkan konstitusi dari Mali.[113] Sebagai akibat dari ketidakstabilan setelah terjadinya kudeta, tiga kota terbesar di utara Mali—Kidal, Gao dan Timbuktu—dikuasai oleh pemberontak[114] selama tiga hari berturut-turut.[115] Pada 5 April 2012, setelah pendudukan Douentza, MNLA mengatakan bahwa mereka telah mencapai tujuannya dan menghentikan tindakan penyerangan. Pada hari berikutnya, mereka menyatakan kemerdekaan Azawad dari Mali.[116]
MNLA pada awalnya didukung oleh kelompok Islam Ansar Dine. Setelah militer pemerintah Mali dipukul mundur dari Azawad, Ansar Dine dan sejumlah kecil kelompok Islam mulai memaksakan hukum syariah secara ketat. MNLA dan kelompok muslim mencoba mencari titik tengah terkait dengan perbedaan visi untuk negara baru.[117] Setelah itu, MNLA mulai berperang melawan Ansar Dine dan kelompok muslim lainnya, termasuk Gerakan untuk Kesatuan dan Jihad di Afrika Barat (MOJWA/MUJAO), pecahan kelompok Al-Qaeda di Maghreb Islam. Sejak 17 Juli 2012, MNLA telah kehilangan kontrol dari sebagian besar dari kota di bagian utara Mali kepada kelompok muslim.[118]
Pemerintah Mali meminta bantuan militer asing untuk mengambil alih wilayah Mali bagian utara. Pada tanggal 11 Januari 2013, Militer Prancis memulai operasi melawan kelompok muslim.[83] Pasukan lain dari Uni Afrika dikerahkan sesaat setelah itu. Sejak tanggal 8 Februari, wilayah yang dikuasai kelompok muslim telah kembali diambil oleh militer Mali, dengan bantuan dari koalisi internasional. Separatis Tuareg terus melawan kelompok muslim juga, meskipun pada saat yang sama MNLA juga telah dituduh melaksanakan serangan terhadap militer Mali.[119]
Sebuah kesepakatan damai antara pemerintah dan pemberontak Tuareg ditandatangani pada 18 Juni 2013[61] tetapi pada tanggal 26 September 2013 pemberontak menarik diri dari perjanjian perdamaian dan menyatakan bahwa pemerintah tidak menghormati kesepakatan untuk gencatan senjata.[120] Pertempuran masih terus berjalan meskipun pasukan Prancis dijadwalkan untuk ditarik dari wilayah tersebut.[121] Perjanjian gencatan senjata telah ditandatangani pada tanggal 19 februari, 2015 di Aljazair, Aljazair tapi serangan teroris masih terjadi secara sporadis.[122]
Latar belakang
Pada awal tahun 1990an Tuareg dan masyarakat nomaden Arab membentuk Mouvement Populaire de l'Azaouad/Gerakan Orang-Orang Azawad (MPA) dan menyatakan perang untuk meraih kemerdekaan Azawad.[123] Meskipun telah ada perjanjian damai dengan pemerintah Mali pada tahun1991 dan 1995, tumbuh ketidakpuasan di antara para mantan pejuang Tuareg, yang telah terintegrasi ke dalam Militer dari Mali, yang menyebabkan peperangan baru pada tahun 2007.[124] Meskipun secara historis mengalami kesulitan mempertahankan aliansi antara kelompok sekuler dan Islam, Gerakan Nasional untuk Pembebasan Azawad mencoba bersekutu dengan kelompok Muslim pimpinan Ansar Dine dan Al-Qaeda di Maghreb Islam dan memulai konflik di bagian Utara Mali pada tahun 2012.[123]
MNLA adalah sebuah pecahan dari sebuah gerakan politik yang dikenal sebagai Gerakan Nasional untuk Azawad (MNA) sebelum pemberontakan.[125] Setelah akhir dari Perang Sipil Libya, sebuah aliran masuk persenjataan yang mengarah kepada mempersenjatai Tuareg demi menuntut untuk kemerdekaan untuk Azawad.[126] kekuatan pemberontakan ini dan dukungan dari penggunaan senjata berat, yang tidak ada dalam konflik sebelumnya, yang dikatakan telah membuat "terkejut" pejabat Mali dan para pengamat.[127]
Meskipun didominasi oleh Tuareg, MNLA menyatakan bahwa mereka mewakili kelompok etnik lain juga,[128] dan dilaporkan bergabung dengan beberapa pemimpin Arab lainnya.[125] Pemimpin MNLA Bilal Ag Acherif mengatakan bahwa pilihan ada pada pemerintah Mali untuk juga memberikan rakyat Sahara kemerdekaan atau mereka akan merebutnya sendiri.[129]
Kelompok lainnya yang di dominasi oleh Tuareg, kelompok muslim Ansar Dine (Pembela Iman), pada awalnya berjuang bersama MNLA melawan pemerintah Mali. Berbeda dengan MNLA, Kelompok ini tidak mencari kemerdekaan melainkan meminta penerapan hukum syariah Islam di seluruh Mali.[130] Pemimpin gerakan Iyad Ag Ghaly adalah juga bagian dari pemberontakan pada awal dekade 1990an dan telah dilaporkan berhubungan dengan sebuah kelompok sayap dari Al-Qaeda di Maghreb Islam (AQIM) yang dipimpin oleh sepupunya Hamada Ag Hama[131] serta kelompok di Aljazair Département du Renseignement et de la Sécurité (DRS).[81]
Mali telah melewati beberapa krisis secara bersamaan yang menyebabkan mudahnya tumbuh konflik:[132]
Krisis pemerintahan: pembentukan negara bagi masyarakat Tuareg adalah tujuan jangka panjang dari MNLA, sejak dimulainya pemberontakan pada tahun 1962. Selanjutnya, Mali selalu berada dalam kondisi yang sulit untuk mempertahankan wilayahnya.
Krisis makana: perekonomian Mali yang bergantung dari bantuan luar negeri, yang telah menyebabkan Economic Community of West African States (ECOWAS) untuk memblokir, untuk mengurangi pengaruh junta militer.[133]
Krisis politik: pemberontakan yang menyebabkan turunnya presiden dari jabatannya.
Pemberontakan Tuareg (Januari–April 2012)
Serangan pertama dari pemberontak terjadi di Ménaka, sebuah kota kecil di timur jauh Mali, pada tanggal 16 dan 17 Januari 2012. Pada tanggal 17 Januari, serangan di Aguelhok dan Tessalit juga dilaporkan telah terjadi. Pemerintah Mali mengaku telah mengambil kembali kontrol dari semua kota tersebut pada hari berikutnya.[134] Pada tanggal 24 Januari, pemberontak mengambil alih Aguelhok setelah tentara Mali kehabisan amunisi.[81] Pada hari berikutnya tentara Mali sekali lagi merebut kembali kota tersebut.[134] Tentara Mali meluncurkan serangan udara dan darat untuk mengambil kembali wilayah yang dikuasai pemberontak,[135] ditengah adanya protes di Bamako[136] dan Kati.[137] Presiden Mali Amadou Toumani Touré kemudian memerintahkan komandan senior untuk berjuang melawan pemberontak.[138]
Pada tanggal 1 Februari 2012, MNLA mengambil alih kontrol kota Menaka ketika tentara Mali mengambil langkah untuk menarik pasukan. Kekerasan di wilayah utara Mali memicu protes di pusat kota Bamako. Puluhan tentara Mali juga tewas dalam pertempuran di Aguelhok.[136] Pada tanggal 6 Februari, pasukan pemberontak menyerang kota Kidal, ibu kota regional.[139]
Pada tanggal 4 Maret 2012, pertempuran dilaporkan di dekat kota Tessalit yang sebelumya dikuasai oleh pemberontak.[140] Pada hari berikutnya, tiga unit tentara Mali berhenti mencoba untuk membuka pengepungan kota tersebut.[81][141] Angkatan Udara Amerika Serikat menurukan persediaan melalui pesawat C-130 Hercules untuk mendukung tentara Malian yang terkepung.[142] Pesawat C-130 tersebut kemungkinan besar datang dari Ouagadougou, Burkina Faso, atau Mauritania, yang diketahui telah digunakan oleh militer Amerika Serikat.[143] Pada tanggal 11 Maret, MNLA mengambil alih Tessalit dan bandaranya, dan tentara Mali dipaksa melarikan diri ke arah perbatasan dengan Aljazair.[144]
Pemberontak bergerak maju ke sekitar 125 kilometer dari Timbuktu dan pergerakan mereka tidak terkendali ketika mereka masuk kota tanpa pertempuran di kota Diré dan Goundam.[145] Ansar Dine menyatakan bahwa ia memiliki kontrol atas perbatasan Mali-Aljazair.[146]
Kudeta
Pada tanggal 21 Maret 2012, prajurit yang tidak puas dengan perkembangan konflik, menyerang Menteri Pertahanan Sadio Gassama saat ia tiba untuk berbicara dengan mereka. Mereka kemudian melempari mobil menteri dengan batu dan memaksa dia untuk melarikan diri dari kamp.[147] setelah itu, tentara menyerbu istana kepresidenan, memaksa presiden Touré untuk bersembunyi.[148]
Pagi berikutnya, Kapten Amadou Sanogo, pemimpin Komite Nasional untuk Pemulihan Demokrasi dan Negara (CNRDR), tampil di televisi di mana ia mengumumkan bahwa junta telah menangguhkan konstitusi Mali dan mengambil alih kendali negara.[149] Para pemberontak menyebut bahwa kegagalan Touré dalam penanganan pemberontakan dan kurangnya peralatan untuk tentara Mali sebagai alasan untuk memberontak.[150] CNRDR akan bertindak sebagai sebuah penguasa sementara sampai kekuasaan bisa dikembalikan ke pemerintahan baru yang dipilih secara demokratis.[151]
Kudeta ini dikutuk oleh komunitas internasional,[152] termasuk oleh Dewan Keamanan Perserikatan bangsa-Bangsa,[153] Uni Afrika,[153] dan Economic Community of West African States (ECOWAS), yang diumumkan pada 29 Maret itu menyatakan bahwa CNRDR memiliki 72 jam untuk melepaskan kontrol sebelum perbatasan Mali akan ditutup oleh negara tetangga,[154] aset-aset negara akan dibekukan oleh Uni Ekonomi dan Moneter Afrika Barat, dan individu dalam CNRDR akan menerima pembekuan aset dan larangan perjalanan.[155] ECOWAS[156] dan Uni Afrika juga akan menangguhkan keanggotaan Mali. AS, Bank Dunia, dan Bank Pengembangan Afrika menangguhkan tambahan bantuan dana untuk mendukung ECOWAS dan Uni Afrika sebagai reaksi atas kudeta tersebut.[157][158]
Presiden Pantai Gading Alassane Ouattara, yang merupakan ketua ECOWAS, mengatakan bahwa ketika pemerintah sipil telah dipulihkan, maka ECOWAS dengan 2.000 tentara bisa bergerak melawan pemberontakan.[159] Presiden Burkina Faso Blaise Compaore ditunjuk sebagai mediator oleh ECOWAS untuk mengatasi krisis.[155] Sebuah kesepakatan dicapai antara junta dan ECOWAS pada tanggal 6 April, di mana Sanogo dan Touré akan mengundurkan diri, sanksi akan dicabut, para pemberontak akan diberikan amnesti, dan kekuasaan akan diserahkan kepada pemimpin Majelis Nasional Mali Diouncounda Traoré.[160] Setelah pengangkatannya, Traoré berjanji untuk berperang tanpa henti pada pemberontak Tuareg kecuali mereka melepaskan kendali kota di wilayah utara Mali.[161]
Penyerangan terus menerus
Selama ketidakpastian setelah kudeta, para pemberontak melancarkan sebuah serangan dengan tujuan dari menguasai beberapa kota dan kamp-kamp tentara ditinggalkan oleh tentara Mali.[162] Meskipun serangan tersebut melibatkan kelompok MNLA dan Ansar Dine, menurut Jeremy Keenan dari University of London's School of Oriental dan African Studi, kontribusi kelompok Ansar Dine untuk bidang militer adalah sedikit: "Apa yang tampaknya terjadi adalah bahwa ketika mereka masuk ke kota, MNLA mengambil alih pangkalan militer – dimana tidak ada banyak perlawanan – dan Iyad [ag Aghaly] pergi ke kota dan memasang bendera dan mulai berceramah tentang hukum syariah."[163]
Pada tanggal 30 Maret 2012, pemberontak merebut kendali Kidal, ibu kota dari Wilayah Kidal,[164] serta Ansongo dan Bourem di Wilayah Gao.[165] Pada tanggal 31 Maret, Gao jatuh ke pemberontak, dan bendera kelompok MNLA dan Ansar Dine muncul di kota ini.[114] Pada hari berikutnya, pemberontak menyerang Timbuktu, kota besar terakhir yang masih dikuasai oleh pemerintah; dengan sedikit pertempuran.[166] kecepatan dan kemudahan pemberontak dalam mengambil kontrol atas wilayah utara ini disebabkan oleh kebingungan yang terjadi karena kudeta militer.[167]
Pada tanggal 6 April 2012, setelah menyatakan bahwa mereka sudah mengamankan semua wilayah yang diinginkan, MNLA menyatakan kemerdekaan dari Mali. Namun, deklarasi tersebut ditolak sebagai hal yang tidak sah oleh Uni Afrika dan Uni Eropa.[168]
Konflik kelompok muslim - nasionalis (Juni–November 2012)
Setelah penarikan mundur pasukan pemerintah Mali dari daerah konflik, para mantan sekutu ini, Ansar Dine, MOJWA, dan MNLA segera bertempur antar kelompok mereka sendiri.
Pada tanggal 5 April 2012, kelompok muslim, mungkin dari AQIM atau MOJWA, memasuki konsulat Aljazair di Gao dan mengambil sandera.[169] MNLA berhasil dalam negosiasi untuk melepaskan sandera tanpa kekerasan, dan salah satu komandan MNLA mengatakan bahwa gerakan ini telah memutuskan untuk melucuti kelompok-kelompok bersenjata lain.[170] Pada tanggal 8 April, sebagian besar milisi Arab menyebut kelompoknya sebagai Front Pembebasan Nasional Azawad (FNLA) mengumumkan niatnya untuk menentang kekuasaan Tuareg, melawan MNLA, dan "mengembalikan perdamaian dan kegiatan ekonomi"; kelompok ini mengklaim terdiri dari 500 pejuang.[171]
MNLA melawan pengunjuk rasa di Gao pada tanggal 14 Mei, dilaporkan melukai empat orang dan membunuh satu orang.[172] Pada tanggal 6 Juni, penduduk kota Kidal protes terhadap pemaksaan hukum syariah di kota tersebut dan menyatakan dukungan kepada MNLA, yang kemudian dibubarkan secara paksa oleh anggota kelompok Ansar Dine. Pada malam tanggal 8 Juni, MNLA dan kelompok Ansar Dine bertarung melawan satu sama lain di dalam kota dengan menggunakan senjata otomatis, dengan dua korban mati di pertempuran tersebut.[173]
Pada awal Juni, Presiden Nigeria Mahamadou Issoufou menyatakan bahwa pejuang Afghanistan dan Pakistan melatih pasukan pemberontak Azawad.[174]
Pertempuran Gao dan akibatnya
Budaya populer
Mali pertama kali menang pada gelaran kejuaraan sepak bola Piala Afrika 2013 pada tanggal 20 januari 2013 dengan menang 1-0 di Niger. Setelah mencetak satu-satunya gol, Seydou Keita menampilkan T-shirt dengan tanda damai tersemat dalam kaos tersebut.[175] Sejumlah musisi dari Mali datang bersama-sama untuk merekam lagu Mali-ko (yang berarti damai) dan merilis video Suara Bersatu untuk Mali-'Mali-ko'[176] pada awal 2013 sesaat setelah konflik berlangsung di negeri ini. Kolaborasi ini diikuti musisi terkenal Mali, termasuk Oumou Sangaré, Vieux Farka Touré, dan Amadou & Mariam.[177]
^ ab"Mali and Tuareg rebels sign peace deal". BBC. 19 June 2013. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-03-21. Diakses tanggal 2016-08-19.Kesalahan pengutipan: Tanda <ref> tidak sah; nama "peace" didefinisikan berulang dengan isi berbeda
^2 killed (17–19 January),[1] 160 killed (24–25 January),[2] 19 killed (16 February), [3]Diarsipkan 2017-12-27 di Wayback Machine. 16 killed (24 March), 17 killed (26 March) total of 197+ reported killed
^"Des prisonniers crient leur détresse" (dalam bahasa French). El Watan. 8 April 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-04-09. Diakses tanggal 9 April 2012.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)