Suatu ketika pada tahun 2003, Sofjan Wanandi selaku ketua Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) menjadi pembicara dalam Musyawarah Nasional Himpunan Kawasan Industri Indonesia (HKI) di Hotel Hard Rock, Bali. Pembicara lain adalah SBY yang menjabat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menkopolkam). Sofjan mengenalnya sejak SBY menjabat Menteri Pertambangan dan Energi pada 1999, kemudian ia mengusulkan agar SBY menjadi calon Presiden dan disetujui oleh anggota HKI yang hadir dalam Musyawarah Nasional.[3] SBY tersenyum. Dia kemudian menulis di secarik kertas kecil: “Saudara Sofjan, apakah Anda serius?” Sofjan menulis jawabannya juga pada kertas kecil: “Serius, Pak.”
Setelah kembali ke Jakarta, Sofjan temui Susilo Bambang Yudhoyono di kantor Menkopolkam di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. SBY pun kembali menanyakan keseriusan Sofjan dalam mengusung SBY sebagai calon Presiden tahun 2004. SBY mengaku tidak memiliki apa-apa sebagai seorang calon Presiden, tetapi Sofjan menjawab serius akan mengusung SBY sebagai capres dengan syarat calon Wakil Presiden sebagai pendamping SBY harus dari kalangan pengusaha. Aburizal Bakrie dan Jusuf Kalla pun diajukan sebagai cawapres SBY. Sofjan mengatur pertemuan SBY dengan Aburizal Bakrie sampai tiga kali. Aburizal Bakrie menolak dengan merasa Partai Golkar lebih besar dibanding Partai Demokrat, partai baru yang didirikan SBY. Setelah itu, Sofjan beralih kepada Jusuf Kalla. Namun, JK ternyata juga menolak dengan menganggap SBY sulit membuat keputusan dan dinilai lemah.
Sementara itu, Sofjan mengetahui bahwa JK ingin berpasangan dengan Megawati sebagai cawapres. Namun, pertemuan JK dan Mega tidak membuahkan hasil. Akhirnya, Megawati lebih memilih Ketua PBNUHasyim Muzadi sebagai cawapresnya. Karena itulah, JK akhirnya bersedia sebagai cawapres SBY dengan syarat pembagian tugas.
Pada saat rapat kabinet pada Januari-Februari 2004, Presiden Megawati membahas jadwal kampanye pemilu bersama Wakil Presiden Hamzah Haz, Menteri Koordinator Politik, Sosial dan KeamananSusilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi ManusiaYusril Ihza Mahendra. Megawati menjelaskan bahwa ia akan dicalonkan sebagai presiden kembali oleh PDI-P. Untuk itu dia bertanya ke pejabat yang hadir yang kabarnya diusulkan partainya masing-masing menjadi calon presiden atau wakil presiden. Hamzah Haz mengaku dirinya dicalonkan PPP sebagai presiden, sedangkan Yusril Ihza Mahendra mengaku tidak dicalonkan oleh PBB sebagai presiden maupun wakil presiden. Presiden Megawati pun bertanya kepada Susilo Bambang Yudhoyono apakah ia dicalonkan oleh Partai Demokrat. SBY pun terkejut dan tampak enggan menjawab hingga wajahnya memerah. SBY menjawab bahwa itu hanya perkataan wartawan dan dia mengaku bahwa ia tidak dicalonkan oleh partainya. Megawati akhirnya bernapas lega. Inilah yang menganggap Megawati kecewa. Ia merasa dikhianati oleh menterinya sendiri yang mencalonkan diri menjadi presiden dan akhirnya menang pilpres.
Sampai pelantikan presiden tiba, Megawati tidak hadir dalam pelantikan, bahkan menonton acara pelantikan di televisipun enggan.
Suasana Pelantikan
Dalam upacara pelantikan presiden dan wakil presiden tersebut, Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid memuji kerja Presiden Megawati Sukarnoputri yang telah berhasil menjamin kelancaran dan kesukseskan pemilihan presiden.[5]
Suasana pelantikan begitu berbeda ketika Presiden Megawati dan Wakil Presiden Hamzah Haz tidak hadir dalam pelantikan. Menurut Ketua PBNU Hasyim Muzadi, Megawati tidak hadir dengan alasan bahwa dia tidak diharuskan menyaksikan pelantikan penggantinya. Muzadi menambahkan, Megawati hanya menggunakan haknya untuk tidak hadir.
Upacara pelantikan yang berlangsung 45 menit tersebut dipotong dari sejumlah anggota DPR yang menginginkan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pidato pendek di gedung MPR. Namun hal ini ditolak SBY lantaran beliau ingin menyampaikan pidato pertama sebagai presiden pada pukul 15.00 WIB di Istana Negara.
Demonstrasi Mahasiswa
Mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) melakukan aksinya di depan Gedung DPR/MPR RI. Mereka menentang pemerintahan SBY-JK untuk segera menuntaskan enam agenda reformasi, yaitu hapus Dwifungsi ABRI, adili Soeharto, amandemen UUD 1945, tuntut pertanggungjawaban Orde Baru, tegakkan budaya demokrasi yang rasional dan otonomi daerah seluas-luasnya.[6]